Jurnal Anestesi
Jurnal Anestesi
bimandibular ?
10. Apa yang dimaksud dengan fraktur Lefort I, Lefort II, dan Lefort III ?
11. Kapan kita dapat mendiagnosa fraktur basis cranii yang berhubungan
dengan fraktur mandibula ?
12. Apa tanda dan gejala jika diduga terjadi penetrasi pada jalan napas ?
13. Apa terapi yang perlu dilakukan dengan segera ?
B. Persiapan dan Evaluasi Pre-operatif
1. Apa tes laboratorium yang dianjurkan ?
2. Pemeriksaan penunjang x-ray yang dianjurkan ?
?
6. Jika pasien tidak dapat dilakukan ventilasi, tindakan apakah dapat
dilakukan ?
7. Komplikasi apa yang dapat terjadi saat tindakan krikotirotomi dilakukan ?
8. Bagaimana cara memperbaiki jalan napas jika ditemukan trauma pada
jalan napas ?
9. Apa indikasi untuk trakeostomi pada pasien dengan trauma jalan napas
bagian atas ?
10. Apakah yang dimaksud dengan laryngeal mask airway (LMA) ?
11. Bagaimana cara menginduksi anestesi ?
12. Anestesi apa yang digunakan jika ada indikasi maupun kontraindikasi
pada pasien ini ?
D. Manajemen Post-operatif
1. Apa kriteria dari ekstubasi ?
2. Teknik apa yang dapat digunakan selama ekstubasi ?
3. Bagaimanakah keracunan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan
terlarang dapat mempengaruhi manajemen post-operatif ?
4. Apa terapi nyeri yang dapat digunakan ?
A. Penyakit Medis dan Diferensial Diagnosa
A.1. Apakah senjata merupakan alat pelindung ?
Di Amerika Serikat, trauma adalah penyebab utama terjadinya kematian
pada usia muda dan setiap tahun kematian ini meningkat dan berpotensial terjadi
pada usia produktif. Angka pembunuhan di Amerika Serikat tetap meningkat
dengan pesat. Senjata adalah alat pelindung rumah tangga tetapi sifatnya bukan
untuk melindungi melainkan cukup meningkatkan resiko terjadinya kematian
dengan cara yang kejam.
A.2. Apa pemeriksaan awal yang dinilai pada pasien trauma ini ?
Pendekatan sistematis untuk menilai pasien trauma sangatlah penting demi
suksesnya penanganan pada pasien dengan trauma multipel. Protokol pada
Advanced Trauma Life Support (ATLS) atau biasa dikenal dengan bantuan hidup
trauma tingkat lanjut merekomendasikan pemeriksaan primer harus dilakukan
seketika selama ditemukan trauma yang mengancam jiwa yang diidentifikasikan
dengan urutan sebagai berikut: A. Jalan Napas, B. Pernapasan, C. Sirkulasi dan
kontrol perdarahan, dan D. Ketidakmampuan neurologis.
A.3. Bagaimana cara mengevaluasi status mental pasien ?
Korban dari trauma berat sangat sulit diduga. Penderita selalu mudah
marah dan tidak kooperatif karena menderita hipoksemia atau terkena intoksikasi
alkohol maupun obat-obatan. Pertanyaan yang diajukan harus secara langsung
yang menentukan pengetahuan dari pasien tersebut seperti orang yang hidup
bersama, tempat tinggal, dan waktu. Penyelidikan dibuat berdasarkan waktu
pencernaan kapan terakhir mengkonsumsi makanan, alkohol, dan obat-obatan
yang terakhir digunakan. Penyelidik wajib menanyakan lebih spesifik obat-obat
apa saja yang dikonsumsi selama ini. Apakah penderita mengingat bagaimana ia
diserang? Kegagalan mengingat bagaimana penyerangan dapat mengindikasikan
amnesia dan menjadi poin utama bahwa telah terjadi trauma pada intrakranial.
A.4. Apa tanda penting yang terlihat pada trauma ini ?
Trauma pada bagian wajah biasanya berhubungan dengan fraktur atau
dislokasi pada tulang belakang cervical yang terjadi pada 1% hingga 6% pasien.
Trauma intrakranial dilaporkan meningkat hingga 15% pada pasien. Bukti nyata
apabila terdapat trauma dibagian wajah seharusnya tidak membuat seorang dokter
kesulitan untuk mencari sebab luka yang mengancam jiwa entah itu di bagian
perut atau dada. Pemeriksaan abdomen wajib dilakukan. Rupturnya limfa atau
hepar terlihat dengan adanya perdarahan yang mengancam jiwa daripada trauma
di bagian wajah. Auskultasi pada dada dan jantung wajib dilakukan. Jika terdapat
hipotensi dan bunyi jantung satu redup dapat diindikasikan terjadinya tamponade
jantung. Pemeriksaan neuroloogis harus secara hati-hati dilakukan untuk
menetukan apakah tulang belakang masih utuh.
A.5. Bagaimana cara mengevaluasi jalan napas ?
Komplikasi serius yang memerlukan penanganan segera pada trauma
maksilofasial dan mengancam jiwa adalah obstruksi jalan napas. Keadaan ini
dapat terjadi secara mendadak dan kemudian berkembang menjadi stadium lanjut
sebagai hasil adanya edema jaringan pada jalan napas. Trauma maksilofasial
jarang mengancam jiwa kecuali tidak terjadi gangguan pada jalan napas. Jika
pasien bernapas spontan dan saturasi oksigen melebihi 90% maka jalan napas
dapat dievaluasi dengan cepat oleh tenaga medis. Jika intubasi endotrakeal dapat
dilakukan secara langsung oleh pasien, maka pasien harus membuka mulutnya
dan menjulurkan lidah melewati gigi. Pertanyaan selanjutnya apakah pasien dapat
menjulurkan, memutar, dan memfleksikan kepalanya secara mandiri? Gerakan
yang dipaksakan adalah kontraindikasi karena dapat memungkinkan terjadinya
trauma tulang belakang. Ekstensi kepala dengan jarak antara tulang hyoid dan tepi
mandibula setidaknya melebihi tiga jari. Bagian mulut wajib dinilai apakah ada
gigi yang hilang dan edema mukosa atau obstruksi lidah. Auskultasi pada laring
dapat ditemukan bunyi stridor. Bagian hidung wajib dievaluasi untuk menilai
adanya fraktur. Jika intubasi nasotrakeal dilakukan, wajib diingat bahwa bagian
nasal posterior harus dalam ukuran yang dapat berubah. Hal ini sangat berguna
untuk menutup lubang hidung secara berurutan dan digunakan untuk memberikan
tekanan ekspirasi pada lubang hidung.
A.6. Mengapa pasien tidak dapat membuka mulutnya ?
Pergerakan rahang mungkin dibatasi oleh adanya satu atau beberapa faktor
lainnya (Tabel 49.1). Sebagian besar nyeri merupakan penyebab imobilitas pada
rahang dan akan dikurangi dengan pemberian anestesi. Trismus adalah spasme
muskulus masseter yang mengakibatkan rahang tertutup. Trismus akan berespon
dengan anestesi dan relaksasi otot kecuali kalau trismus sudah terjadi selama dua
minggu atau lebih. Tetapi, gangguan mekanik pada rahang mungkin dapat
menyebabkan imobilitas susah dimanipulasi. Pada fraktur condilus sampai sendi
temporomandibular dapat mengganggu pergerakan sendi yang normal. Fraktur
pada tulang zygomatikus hingga tulang temporal akan selalu menyebabkan
pergerakan yang terbatas pada rahang dan akan membatasi pergerakan seorang
anestesiologi untuk melakukan intubasi pada pasien. Hal ini juga dapat terjadi
pada fraktur tulang zygomatikus, dan apabila fasia temporal yang berfungsi untuk
melindungi mengalami robekan mulai dari bagian lateral hingga medial dapat
menyebabkan tulang zygomatikus tidak terlindungi. Sebuah pukulan dari arah atas
maupun ke samping dapat menyebabkan rupturnya fasia dan retaknya tulang,
sehingga mendesak terjadinya fraktur pada segmen processus coronoid dari
mandibula. Mandibula memiliki dua pergerakan, yaitu pergerakan sendi yang
menyambung hingga ke condylus, dan pergerakan antero-posterior (translasi).
Pergerakan translasi akan terbatas apabila terdapat segmen fraktur pada bagian
coronoid sehingga mulut tidak dapat terbuka sempurna. Seorang anestesiologi
dapat memanipulasi pergerakan rahang pasien, dengan cara pemberian anestesi
dan relaksasi otot sehingga rahang dapat terbuka sempurna. Fraktur condylus
disertai sendi temporomandibular dapat mengganggu pergerakan rahang.
Anestesiologi wajib menganjurkan pemeriksaan x-ray untuk menentukan area
fraktur jika ada kesulitan mekanik untuk membuka mulut.
Tabel 49.1 Faktor-faktor yang Membatasi Pergerakan Rahang akibat Trauma
Trismus
Edema
Nyeri
Gangguan Mekanik
1. Fraktur Condylus
2. Fraktur Zygomatikus dan tulang temporal
A.7. Apa saja area yang fraktur jika ditemukan fraktur mandibula ?
Mandibula adalah tulang berbentuk pipa. Tulang ini berasal dari korteks
dan sangat kuat sehingga tulang ini lebih sulit untuk fraktur diakibatkan lapisan
korteks yang sangat tebal terutama di bagian tepi anteroinferior. Mandibula
korteks posterior, pada bagian sudut, sangatlah tipis. Pada kecepatan tinggi, atau
tabrakan kuat, seperti kecelakaan mobil, fraktur sering terjadi pada area ramus,
condylus, dan sudut mandibula. Pada kecepatan rendah, atau tabrakan rendah,
seperti pukulan atau jatuh, kebanyakan fraktur terjadi pada bagian badan
mandibula, simfisis, dan regio parasimfisis. Perbedaan lokasi fraktur mungkin
disebabkan gaya kinetik dan juga karena tubrukan atau pukulan kecepatan rendah
pada wajah biasanya dapat diantisipasi, diikuti dengan bukti yang kuat dengan
wajah yang berbalik arah berlawanan arah dengan badan mandibula.
A.8. Apa tanda penting jika terdapat fraktur bimandibular ?
Salah satu tanda penting pada fraktur mandibula pada bagian badan dekat
dengan gigi geraham satu atau dua. Kedua gigi geraham ini terdapat di sebelah
mandibula sehingga apabila terjadi fraktur dapat membingungkan apakah terjadi
perpindahan pada segmen anterior dan segmen posteroinferior, sering berkaitan
dengan lidah dan jaringan lunak. Trauma pada jalan napas atas dapat
menyebabkan obstruksi parsial atau total dan harus dievakuasi dengan manajemen
jalan napas darurat. Karakteristik dari fraktur mandibula ini adalah terjadi
pemendekan pada bagian depan mandibula.
A.9.
Bagaimana
cara
memperbaiki
jalan
napas
jika
terdapat
fraktur
bimandibular ?
Jika jalan napas stabil dan pasien tidak mengalami distres pernapasan,
intubasi dapat dilakukan setelah pasien bangun atau sesudah induksi anestesi. Jika
jaringan lunak pada jalan napas atas terjepit kemudian berkembang menjadi
udem, berdarah, dan sekresi lendir berlebih, sehingga mengancam kemampuan
bernapas, pasien wajib dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi darurat. Pada
situasi darurat ini seorang anestesiologi harus memahami dan melakukan tindakan
A.11. Kapan kita dapat mendiagnosa fraktur basis cranii yang berhubungan
dengan fraktur mandibula ?
Tulang kraniofasial sebenarnya hanya mempunyai 2 tulang saja yaitu
tulang kranial dan tulang fasial. Kekuatan paling besar terletak pada tulang fasial,
sedangkan kerangka yang lain hanya bekerja saat mengunyah. Untuk melindungi
satu tulang dari trauma, ada beberapa tulang yang menonjol sebagai penopang
dari susunan kraniofasial dan beberapa tulang lainnya berfungsi untuk
mengurangi tekanan, sehingga membentuk garis normal yang menyebar dan
terdistribusi. Pukulan pada rahang sepanjang garis normal dapat menyebabkan
fraktur pada rahang sehingga menyebabkan tulang tumpang tindih di mana saja
tetapi tidak akan meluas hingga ke tengkorak. Pukulan pada wajah, akan membuat
tekanan abnormal pada tulang wajah yang dimulai dari tulang kranial dan meluas
menjadi garis fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii harus selalu
dipertimbangkan jika ditemukan adanya trauma berat pada tulang wajah.
A.12. Apa tanda dan gejala jika diduga terjadi penetrasi pada jalan napas ?
Tanda dan gejala terjadinya penetrasi pada jalan napas menujukkan
masuknya udara yang sangat tinggi kedalam sistem transportasi pembuluh darah.
Gejala ini seperti hemoptisis, stridor, pernapasan dalam, dan adanya emfisema
subkutis atau mediastinum.
A.13. Apa terapi yang perlu dilakukan dengan segera ?
Oksigen harus diatur melalui sungkup wajah atau kanul nasal. Jika pasien
mengalami pneumotoraks dan hematoraks, chest tube wajib dilakukan.
Pemasangan infus harus menggunakan ukuran kateter jarum yang besar (ukuran
16 atau lebih) dan harus diberikan cairan kristaloid.
B. Persiapan dan Evaluasi Pre-operatif
pemerikasaan
klinik
dilakukan
dengan
sangat
teliti,
harus
menstabilkan
hemodinamik pasien,
dapat
diberikan
midazolam melalui intravena dengan dosis 0,25 mg, dapat dinaikkan 4-5 mg, yang
memberikan efek sedasi pada pasien. Titrasi perlu dilakukan dengan sangat hatihati untuk memastikan pasien tidak mengalami disorientasi dan tidak koperatif.
C. Manajemen Intraoperatif
C.1. Monitor apakah yang harus digunakan ? Apakah monitor perlu dipasang ?
Apakah suhu pasien penting dievaluasi ?
Tekanan darah, elektrokardiografi, capnografi, dan saturasi oksigen harus
diperlihatkan pada semua pasien. Kateter Foley harus dipasang. Kateter ini
dipergunakan untuk melihat output urin yang mengindikasikan fungsi ginjal dan
perfusi organ yang lain.
Pada line arteri dipergunakan untuk melihat tekanan darah, menentukan
gas darah, dan kecukupan oksigen. Kateter vena sentral harus ditempatkan jika
dibutuhkan untuk memonitoring volume intravaskular vena sentral, sehingga
dapat dibutuhkan ekspansi intravaskular untuk titrasi obat-obat vasoaktif. Kateter
arteri pulmonal jarang diindikasikan karena dapat membuat operasi tertunda,
tetapi kateter ini dapat ditempatkan jika terlihat hemodinamik tidak stabil, untuk
titrasi obat-obat vasoaktif dan diantisipasi dengan penjepitan silang intraabdomen
mayor dan pembuluh darah toraks.
Sesungguhnya, penurunan suhu merupakan suatu proses yang tidak dapat
dihindari pada pasien-pasien trauma. Hipotermi dapat terlihat jika temperatur
tubuh pasien kurang dari 35C. Gejala dini yang dapat terlihat pada pasien adalah
perubahan status mental pasien dan kelemahan otot. Menggigil dapat
meningkatkan
konsumsi
oksigen
sebanyak
10
400%.
Penguraian
oksigen-
Nervus laryngeus superior diblok dengan cara translaryngeal blok. Jika posisi
pasien supine, jarum 22 harus disemprotkan secara langsung pada bagian
posterior tulang hyoid, dekat dengan cornu, bagian anterior carotis. Jarum harus
dibuat sejajar dengan meja dan jangan pernah menyemprotkan pada bagian
posterior karena dikuatirkan akan penetrasi ke carotis. Ketika jarum menembus os
hyoid, jarum harus secara hati-hati disuntikkan ke bagian caudal hingga sampai ke
membran hyothyroid. Pada saat dilakukan aspirasi harusnya tidak ada cairan
apapun. Kemudian lidokain 2% sebanyak 2 ml diinjeksikan, kemudian blok juga
dilakukan pada sisi sebelahnya. Tehnik ini disebut blok translaryngeal. Jarum 22
ditusukkan melalui midline membran krikotiroid dan mengaspirasi udara bebas.
Pasien akan bernapas lebih dalam dan ekspirasi secara penuh. Pada akhir ekspirasi
lidokain 4%-2% sebanyak 4 ml diinjeksikan secara cepat dan jarum dengan cepat
pula dipindahkan. Jika pasien batuk akan memastikan bahwa distribusi anestetik
lokal akan menyebar ke jalan napas.
12
sehingga
menyebabkan
resiko
meningitis.
Pemasangan
pipa
C.6. Jika pasien tidak dapat dilakukan ventilasi, tindakan apakah yang mungkin
dapat dilakukan ?
Krikotirotomi merupakan salah satu metode untuk mengakses jalan napas.
Prosedur ini dilakukan dengan membuka membran krikotiroid dan menempatkan
pipa endotrakeal ke dalam trakea. Krikotirotomi dapat dilakukan dengan sangat
cepat dibandingkan dengan trakeostomi. Tetapi, akibat banyaknya trauma pada
larynx maka pipa krikotirotomi harus diganti dalam waktu 24 jam. Jika pasien
tidak dapat dilakukan krikotirotomi, maka harus dengan cepat melakukan
trakeostomi. Teknik ini menggunakan kateter ukuran 14 dan memasukkan jarum
ke dalam membran krikotiroid, menarik jarum kemudian memasukkan kateter
untuk ventilasi.
C.7. Komplikasi apa yang dapat terjadi saat tindakan krikotirotomi dilakukan ?
13
Jika pipa endotrakeal dan ventilasi larynx tidak ditempatkan dengan baik
diantara larynx dan trakea, usaha ventilasi ini akan menimbulkan emfisema
subkutis, dimana emfisema ini akan meluas hingga ke bagian leher dan toraks dan
dapat menjadi emfisema mediastinum dan pneumotoraks. Sekali diidentifikasi,
usaha lebih lanjut untuk melakukan krikotirotomi atau membuka jalan napas
adalah teknik yang sangat banyak menimbulkan komplikasi. Ketika ventilasi dari
pasien dibuat, maka harus ada jalan untuk mengeluarkan ekspirasi melalui
krokotirotomi. Sebaliknya, jika ventilasi tidak dilakukan, maka pasien akan
mengalami barotrauma yang cukup serius pada paru.
C.8. Bagaimana cara memperbaiki jalan napas jika ditemukan trauma pada jalan
napas ?
Jika terdapat penetrasi pada larynx, cervical,dan trakea, maka pipa
endotrakeal harus diposisikan agak lebih ke bawah dari tempat penetrasi. Jalan
napas harus dilindungi dan ahli bedah harus memperbaiki gangguan tersebut tanpa
mengintervensi ventilasi. Karena banyaknya pembuluh darah pada leher, dan
banyaknya lapisan pembungkus pada fasia cervical, luka pada leher dapat
beresiko terperangkapnya perdarahan di dalamnya, resiko ini akan meningkatkan
volume dan tekanan. Laryng dapat terjepit dengan trakea, dan akan terjadi deviasi
dan penekanan trakea. Hal ini memungkinkan jalan napas akan tertutup sempurna
jika tidak dilakukan perbaikan dalam kurun waktu kurang lebih 15 menit. Intubasi
dini harus dilakukan. Tindakan terbaik untuk trauma pada laryng adalah
trakeostomi dibandingkan intubasi fiberoptik.
C.9. Apa indikasi untuk trakeostomi pada pasien dengan trauma jalan napas
bagian atas ?
Trakeostomi sangat perlu dilakukan pada trauma jalan napas bagian atas
karena trauma dapat membuat distorsi anatomis yang berat, perdarahan, dan
dengan cepat berkembang menjadi edema jaringan lunak. Trakeostomi harus
dilakukan pada keadaan darurat seperti trauma jalan napas atau untuk mengatur
14
15
dan laringoskop adalah kontraindikasi relatif dan fiberoptik juga merupakan suatu
teknik yang sangat sulit digunakan.
Struktur LMA-ProSeal mirip dengan LMA-Classic dengan tambahan pipa
keluar yang disertai sungkup berbentuk saluran yang menghubungkan dengan
sphinter esofagus atas. Tehnik ini dapat memungkinkan untuk memasukkan pipa
orogastrik dan diperuntukkan untuk mengalihkan isi perut yang terdapatdi trakea
jika terdapat regurgitasi. Selama ventilasi tekanan positif dilakukan, pipa keluar
ini dapat mengalihkan kebocoran gas dari esofagus dan mengurangi resiko influsi
gas. Namun, jika LMA digunakan secara tunggal, teknik ini tidak dapat menjaga
traktus respiratorius dibanding dengan penggunaan pipa endotrakeal dan bukan
merupakan pilihan pertama pada pasien-pasien trauma.
C.11. Bagaimana cara menginduksi anestesi ?
Jika hemodinamik pasien stabil, anestesi dapat diinduksi dengan golongan
barbiturat seperti thiopental. Jika terdapat hemodinamik yang tidak stabil,
etomidate dapat digunakan. Ketamin merupakan kontraindikasi jika terdapat
trauma kepala karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan
alterasi fokal pada metabolisme otak. Bukti dari penggunaan ketamin sangat
kontroversial. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ketamin dapat
mempertahankan tekanan darah pada pasien-pasien trauma.
C.12. Anestesi apa yang digunakan jika ada indikasi maupun kontraindikasi pada
pasien ini ?
Penggunaan nitrous oksida harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati
karena dapat mengumpulkan udara pada suatu celah yang kosong seperti pleura
maupun
usus.
Nitrous
oksida
merupakan
kontraindikasi
jika
terdapat
dipantau dapat memberikan identifikasi dini pada keadaan jalan napas yang
berbahaya.
D.3. Bagaimanakah keracunan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang
dapat mempengaruhi manajemen post-operatif ?
Gejala withdrawal penggunaan alkohol dapat terjadi selama 24 jam.
Delirium dapat berkembang kira-kira 72 jam sesudah penghentian alkohol. Gejala
withdrawal penggunaan narkotik terjadi sekitar 4-6 jam. Penggunaan narkotik
pada manajemen anestesi akan menunda atau mencegah kejadian dari fenomena
withdrawal.
D.4. Apa terapi nyeri yang dapat digunakan ?
Ketorolac dapat digunakan secara tunggal untuk nyeri dan sebagai
tambahan terapi untuk nyeri yang signifikan. Obat ini dapat diinjeksikan dengan
obat anti inflamasi nonsteroid dan tidak akan menyebabkan depresi pernapasan.
Penggunaan ketorolac tidak tepat jika terdapat perdarahan berlanjut atau drainase
dari luka karena obat ini memberikan efek transient pada fungsi platelet dan dapat
menyebabkan perdarahan berlangsung lebih lama. Pemberian jangka pendek harus
dibatasi karena dapat menyebabkan ulkus gaster atau perdarahan pada gaster. Jika
pasien tetap diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik, narkotik dapat
digunakan dengan dosis yang signifikan tanpa perlu kuatir jika terjadi depresi
pernapasan.
Penggunaan
inhibitor
COX-2
seperti
parecoxib
dapat
18
19