Anda di halaman 1dari 19

BAB 49

Trauma Jalan Napas


Alexander W. Gotta
Colleen A. Sullivan
Lisa Philips
Seorang laki-laki 25 tahun terkena luka tembak senjata di dada kiri. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan ekimosis vaskular, pasien tidak dapat membuka
mulut, dan pada saat batuk mengeluarkan darah berbusa. Tidak ditemukan bunyi
pernapasan pada bagian dada kiri dan pada saat perkusi didengarkan bunyi pekak.
Lelaki ini menunjukkan tanda intoksikasi dan diakui olehnya sebelumnya
menggunakan kokain.
A. Penyakit Medis dan Diferensial Diagnosa?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Apakah senjata merupakan alat pelindung ?


Apa pemeriksaan awal yang dinilai pada pasien trauma ini ?
Bagaimana cara mengevaluasi status mental pasien ?
Apa tanda penting yang terlihat pada trauma ini ?
Bagaimana cara mengevaluasi jalan napas ?
Mengapa pasien tidak dapat membuka mulutnya ?
Apa saja poin yang penting ditemukan jika ditemukan fraktur mandibula ?
Apa tanda penting yang terlihat jika terdapat fraktur bimandibular ?
Bagaimana cara memperbaiki jalan napas jika terdapat fraktur

bimandibular ?
10. Apa yang dimaksud dengan fraktur Lefort I, Lefort II, dan Lefort III ?
11. Kapan kita dapat mendiagnosa fraktur basis cranii yang berhubungan
dengan fraktur mandibula ?
12. Apa tanda dan gejala jika diduga terjadi penetrasi pada jalan napas ?
13. Apa terapi yang perlu dilakukan dengan segera ?
B. Persiapan dan Evaluasi Pre-operatif
1. Apa tes laboratorium yang dianjurkan ?
2. Pemeriksaan penunjang x-ray yang dianjurkan ?

3. Apakah pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) diperlukan ?


4. Apakah pipa nasogastric dapat ditempatkan pada perut yang kosong ?
5. Premedikasi apa yang harus dievaluasi pada pasien ini ?
C. Manajemen Intraoperatif
1. Monitor apakah yang harus digunakan ? Apakah monitor perlu dipasang ?
2.
3.
4.
5.

Apakah suhu pasien penting untuk dievaluasi ?


Bagaimana seorang anestetik melakukan intubasi jalan napas ?
Apakah Double Lumen Tube (DLT) diperlukan ?
Apakah intubasi fiberoptik diperlukan ?
Masalah apakah yang dapat timbul selama dilakukan ventilasi dan intubasi

?
6. Jika pasien tidak dapat dilakukan ventilasi, tindakan apakah dapat
dilakukan ?
7. Komplikasi apa yang dapat terjadi saat tindakan krikotirotomi dilakukan ?
8. Bagaimana cara memperbaiki jalan napas jika ditemukan trauma pada
jalan napas ?
9. Apa indikasi untuk trakeostomi pada pasien dengan trauma jalan napas
bagian atas ?
10. Apakah yang dimaksud dengan laryngeal mask airway (LMA) ?
11. Bagaimana cara menginduksi anestesi ?
12. Anestesi apa yang digunakan jika ada indikasi maupun kontraindikasi
pada pasien ini ?
D. Manajemen Post-operatif
1. Apa kriteria dari ekstubasi ?
2. Teknik apa yang dapat digunakan selama ekstubasi ?
3. Bagaimanakah keracunan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan
terlarang dapat mempengaruhi manajemen post-operatif ?
4. Apa terapi nyeri yang dapat digunakan ?
A. Penyakit Medis dan Diferensial Diagnosa
A.1. Apakah senjata merupakan alat pelindung ?
Di Amerika Serikat, trauma adalah penyebab utama terjadinya kematian
pada usia muda dan setiap tahun kematian ini meningkat dan berpotensial terjadi
pada usia produktif. Angka pembunuhan di Amerika Serikat tetap meningkat

dengan pesat. Senjata adalah alat pelindung rumah tangga tetapi sifatnya bukan
untuk melindungi melainkan cukup meningkatkan resiko terjadinya kematian
dengan cara yang kejam.
A.2. Apa pemeriksaan awal yang dinilai pada pasien trauma ini ?
Pendekatan sistematis untuk menilai pasien trauma sangatlah penting demi
suksesnya penanganan pada pasien dengan trauma multipel. Protokol pada
Advanced Trauma Life Support (ATLS) atau biasa dikenal dengan bantuan hidup
trauma tingkat lanjut merekomendasikan pemeriksaan primer harus dilakukan
seketika selama ditemukan trauma yang mengancam jiwa yang diidentifikasikan
dengan urutan sebagai berikut: A. Jalan Napas, B. Pernapasan, C. Sirkulasi dan
kontrol perdarahan, dan D. Ketidakmampuan neurologis.
A.3. Bagaimana cara mengevaluasi status mental pasien ?
Korban dari trauma berat sangat sulit diduga. Penderita selalu mudah
marah dan tidak kooperatif karena menderita hipoksemia atau terkena intoksikasi
alkohol maupun obat-obatan. Pertanyaan yang diajukan harus secara langsung
yang menentukan pengetahuan dari pasien tersebut seperti orang yang hidup
bersama, tempat tinggal, dan waktu. Penyelidikan dibuat berdasarkan waktu
pencernaan kapan terakhir mengkonsumsi makanan, alkohol, dan obat-obatan
yang terakhir digunakan. Penyelidik wajib menanyakan lebih spesifik obat-obat
apa saja yang dikonsumsi selama ini. Apakah penderita mengingat bagaimana ia
diserang? Kegagalan mengingat bagaimana penyerangan dapat mengindikasikan
amnesia dan menjadi poin utama bahwa telah terjadi trauma pada intrakranial.
A.4. Apa tanda penting yang terlihat pada trauma ini ?
Trauma pada bagian wajah biasanya berhubungan dengan fraktur atau
dislokasi pada tulang belakang cervical yang terjadi pada 1% hingga 6% pasien.
Trauma intrakranial dilaporkan meningkat hingga 15% pada pasien. Bukti nyata
apabila terdapat trauma dibagian wajah seharusnya tidak membuat seorang dokter
kesulitan untuk mencari sebab luka yang mengancam jiwa entah itu di bagian

perut atau dada. Pemeriksaan abdomen wajib dilakukan. Rupturnya limfa atau
hepar terlihat dengan adanya perdarahan yang mengancam jiwa daripada trauma
di bagian wajah. Auskultasi pada dada dan jantung wajib dilakukan. Jika terdapat
hipotensi dan bunyi jantung satu redup dapat diindikasikan terjadinya tamponade
jantung. Pemeriksaan neuroloogis harus secara hati-hati dilakukan untuk
menetukan apakah tulang belakang masih utuh.
A.5. Bagaimana cara mengevaluasi jalan napas ?
Komplikasi serius yang memerlukan penanganan segera pada trauma
maksilofasial dan mengancam jiwa adalah obstruksi jalan napas. Keadaan ini
dapat terjadi secara mendadak dan kemudian berkembang menjadi stadium lanjut
sebagai hasil adanya edema jaringan pada jalan napas. Trauma maksilofasial
jarang mengancam jiwa kecuali tidak terjadi gangguan pada jalan napas. Jika
pasien bernapas spontan dan saturasi oksigen melebihi 90% maka jalan napas
dapat dievaluasi dengan cepat oleh tenaga medis. Jika intubasi endotrakeal dapat
dilakukan secara langsung oleh pasien, maka pasien harus membuka mulutnya
dan menjulurkan lidah melewati gigi. Pertanyaan selanjutnya apakah pasien dapat
menjulurkan, memutar, dan memfleksikan kepalanya secara mandiri? Gerakan
yang dipaksakan adalah kontraindikasi karena dapat memungkinkan terjadinya
trauma tulang belakang. Ekstensi kepala dengan jarak antara tulang hyoid dan tepi
mandibula setidaknya melebihi tiga jari. Bagian mulut wajib dinilai apakah ada
gigi yang hilang dan edema mukosa atau obstruksi lidah. Auskultasi pada laring
dapat ditemukan bunyi stridor. Bagian hidung wajib dievaluasi untuk menilai
adanya fraktur. Jika intubasi nasotrakeal dilakukan, wajib diingat bahwa bagian
nasal posterior harus dalam ukuran yang dapat berubah. Hal ini sangat berguna
untuk menutup lubang hidung secara berurutan dan digunakan untuk memberikan
tekanan ekspirasi pada lubang hidung.
A.6. Mengapa pasien tidak dapat membuka mulutnya ?
Pergerakan rahang mungkin dibatasi oleh adanya satu atau beberapa faktor
lainnya (Tabel 49.1). Sebagian besar nyeri merupakan penyebab imobilitas pada

rahang dan akan dikurangi dengan pemberian anestesi. Trismus adalah spasme
muskulus masseter yang mengakibatkan rahang tertutup. Trismus akan berespon
dengan anestesi dan relaksasi otot kecuali kalau trismus sudah terjadi selama dua
minggu atau lebih. Tetapi, gangguan mekanik pada rahang mungkin dapat
menyebabkan imobilitas susah dimanipulasi. Pada fraktur condilus sampai sendi
temporomandibular dapat mengganggu pergerakan sendi yang normal. Fraktur
pada tulang zygomatikus hingga tulang temporal akan selalu menyebabkan
pergerakan yang terbatas pada rahang dan akan membatasi pergerakan seorang
anestesiologi untuk melakukan intubasi pada pasien. Hal ini juga dapat terjadi
pada fraktur tulang zygomatikus, dan apabila fasia temporal yang berfungsi untuk
melindungi mengalami robekan mulai dari bagian lateral hingga medial dapat
menyebabkan tulang zygomatikus tidak terlindungi. Sebuah pukulan dari arah atas
maupun ke samping dapat menyebabkan rupturnya fasia dan retaknya tulang,
sehingga mendesak terjadinya fraktur pada segmen processus coronoid dari
mandibula. Mandibula memiliki dua pergerakan, yaitu pergerakan sendi yang
menyambung hingga ke condylus, dan pergerakan antero-posterior (translasi).
Pergerakan translasi akan terbatas apabila terdapat segmen fraktur pada bagian
coronoid sehingga mulut tidak dapat terbuka sempurna. Seorang anestesiologi
dapat memanipulasi pergerakan rahang pasien, dengan cara pemberian anestesi
dan relaksasi otot sehingga rahang dapat terbuka sempurna. Fraktur condylus
disertai sendi temporomandibular dapat mengganggu pergerakan rahang.
Anestesiologi wajib menganjurkan pemeriksaan x-ray untuk menentukan area
fraktur jika ada kesulitan mekanik untuk membuka mulut.
Tabel 49.1 Faktor-faktor yang Membatasi Pergerakan Rahang akibat Trauma
Trismus
Edema
Nyeri
Gangguan Mekanik
1. Fraktur Condylus
2. Fraktur Zygomatikus dan tulang temporal

A.7. Apa saja area yang fraktur jika ditemukan fraktur mandibula ?

Mandibula adalah tulang berbentuk pipa. Tulang ini berasal dari korteks
dan sangat kuat sehingga tulang ini lebih sulit untuk fraktur diakibatkan lapisan
korteks yang sangat tebal terutama di bagian tepi anteroinferior. Mandibula
korteks posterior, pada bagian sudut, sangatlah tipis. Pada kecepatan tinggi, atau
tabrakan kuat, seperti kecelakaan mobil, fraktur sering terjadi pada area ramus,
condylus, dan sudut mandibula. Pada kecepatan rendah, atau tabrakan rendah,
seperti pukulan atau jatuh, kebanyakan fraktur terjadi pada bagian badan
mandibula, simfisis, dan regio parasimfisis. Perbedaan lokasi fraktur mungkin
disebabkan gaya kinetik dan juga karena tubrukan atau pukulan kecepatan rendah
pada wajah biasanya dapat diantisipasi, diikuti dengan bukti yang kuat dengan
wajah yang berbalik arah berlawanan arah dengan badan mandibula.
A.8. Apa tanda penting jika terdapat fraktur bimandibular ?
Salah satu tanda penting pada fraktur mandibula pada bagian badan dekat
dengan gigi geraham satu atau dua. Kedua gigi geraham ini terdapat di sebelah
mandibula sehingga apabila terjadi fraktur dapat membingungkan apakah terjadi
perpindahan pada segmen anterior dan segmen posteroinferior, sering berkaitan
dengan lidah dan jaringan lunak. Trauma pada jalan napas atas dapat
menyebabkan obstruksi parsial atau total dan harus dievakuasi dengan manajemen
jalan napas darurat. Karakteristik dari fraktur mandibula ini adalah terjadi
pemendekan pada bagian depan mandibula.
A.9.

Bagaimana

cara

memperbaiki

jalan

napas

jika

terdapat

fraktur

bimandibular ?
Jika jalan napas stabil dan pasien tidak mengalami distres pernapasan,
intubasi dapat dilakukan setelah pasien bangun atau sesudah induksi anestesi. Jika
jaringan lunak pada jalan napas atas terjepit kemudian berkembang menjadi
udem, berdarah, dan sekresi lendir berlebih, sehingga mengancam kemampuan
bernapas, pasien wajib dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi darurat. Pada
situasi darurat ini seorang anestesiologi harus memahami dan melakukan tindakan

dengan sangat hati-hati, dorongan mandibula ke arah depan, dapat menurunkan


resiko fraktur dan terjepitnya jaringan lunak diorofaring.
A.10. Apa yang dimaksud dengan fraktur Lefort I, Lefort II, dan Lefort III ?
Fraktur Lefort I atau yang lazim disebut Guerin atau fraktur transversal
maksilla. Lokasi fraktur ini berada di area dental-alveolar dari maksilla; melewati
bagian atas hidung; melibatkan septum nasi; mengarah ke palatum, prosessus
alveolar maksilla, pterygoid bagian bawah, dan tulang palatina. Fraktur pada
segmen ini mengakibatkan perpindahan pada bagian posterior dan lateral, rotasi
aksis, atau kombinasi keduanya. Dapat dicurigai adanya gangguan jalan napas,
dan pasien dapat diintubasi secara oral maupun nasal, dan biasanya dengan tingkat
kesulitan yang tinggi.
Fraktur Lefort II atau biasa disebut fraktur piramidal maksilla. Fraktur ini
mengarah ke tulang nasal bagian atas dan bagian lunak yang membentuk tepi atas
apertura nasal anterior. Fraktur menyilang pada dinding medial orbita, termasuk
tulang lacrimalis; yang berada dibawah sutura zygomaticomaxillaris, menyilang
ke dinding lateral antrum; dan menuju ke bagian posterior tulang palatina.
Segmen ini dapat berpindah atau rotasi pada aksisnya. Intubasi nasotrakeal
merupakan kontraindikasi relatif karena ditemukan fraktur nasal.
Fraktur Lefort III atau biasa disebut disfungsi craniofasial. Garis fraktur
bersifat paralel dari alas tengkorak, memisahkan tulang midfasial dari alas kranial.
Lengkungan zygomatikus pada tulang temporal biasanya fraktur. Garis fraktur
memanjang menuju dasar hidung dan melebar hingga ke tulang ethmoid. Lapisan
cribriform pada tulang ethmoid mungkin terjadi fraktur, sehingga mengganggu
integritas dasar tengkorak dan membuka ruang subarachnoid. Bagian tengah
wajah terpisah dari kerangka kranial dan umumnya mengganggu area posterior,
dengan karakteristik yang disebut deformitas wajah remuk. Trakeostomi
umumnya dilakukan untuk melindungi jalan napas sehingga menyingkirkan faktor
resiko yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dan memberikan area operasi
yang luas untuk ahli bedah.

A.11. Kapan kita dapat mendiagnosa fraktur basis cranii yang berhubungan
dengan fraktur mandibula ?
Tulang kraniofasial sebenarnya hanya mempunyai 2 tulang saja yaitu
tulang kranial dan tulang fasial. Kekuatan paling besar terletak pada tulang fasial,
sedangkan kerangka yang lain hanya bekerja saat mengunyah. Untuk melindungi
satu tulang dari trauma, ada beberapa tulang yang menonjol sebagai penopang
dari susunan kraniofasial dan beberapa tulang lainnya berfungsi untuk
mengurangi tekanan, sehingga membentuk garis normal yang menyebar dan
terdistribusi. Pukulan pada rahang sepanjang garis normal dapat menyebabkan
fraktur pada rahang sehingga menyebabkan tulang tumpang tindih di mana saja
tetapi tidak akan meluas hingga ke tengkorak. Pukulan pada wajah, akan membuat
tekanan abnormal pada tulang wajah yang dimulai dari tulang kranial dan meluas
menjadi garis fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii harus selalu
dipertimbangkan jika ditemukan adanya trauma berat pada tulang wajah.

A.12. Apa tanda dan gejala jika diduga terjadi penetrasi pada jalan napas ?
Tanda dan gejala terjadinya penetrasi pada jalan napas menujukkan
masuknya udara yang sangat tinggi kedalam sistem transportasi pembuluh darah.
Gejala ini seperti hemoptisis, stridor, pernapasan dalam, dan adanya emfisema
subkutis atau mediastinum.
A.13. Apa terapi yang perlu dilakukan dengan segera ?
Oksigen harus diatur melalui sungkup wajah atau kanul nasal. Jika pasien
mengalami pneumotoraks dan hematoraks, chest tube wajib dilakukan.
Pemasangan infus harus menggunakan ukuran kateter jarum yang besar (ukuran
16 atau lebih) dan harus diberikan cairan kristaloid.
B. Persiapan dan Evaluasi Pre-operatif

B.1. Apa tes laboratorium yang dianjurkan ?


Hemoglobin atau hematokrit secara kasar dapat menilai kehilangan darah
walaupun itu tidak tepat dan menjadi kecenderungan untuk diikuti pada waktu
perioperatif. Tampilan obat, seperti alkohol, biasanya digunakan untuk
manajemen perioperatif. Hasil urinalisis dapat mengindikasikan adanya kerusakan
ginjal. Darah harus dikirim berdasarkan jenis dan golongan. Tes laboratorium
seharusnya tidak boleh terlambat dilakukan karena sangat diperlukan untuk terapi.
B.2. Pemeriksaan penunjang x-ray yang dianjurkan ?
Meskipun

pemerikasaan

klinik

dilakukan

dengan

sangat

teliti,

pemeriksaan radiologi sangat perlu dilakukan untuk mengevaluasi pasien untuk


melihat adanya pneumotoraks, hematoraks, deviasi trakea, lokasi diafragma, besar
dan ukuran mediastinum. Radiologi pada tulang wajah dan cervical sangat perlu.
CT-scan adalah dasar dari pemeriksaan yang sangat menolong untuk mendiagnosa
trauma tengkorak. Sangat perlu juga dilakukan CT-Scan pada cervical karena pada
pemeriksaan X-ray tidak dapat memperlihatkan kerusakan pada C1, C2, atau C7.
Pemeriksaan ini selalu diperlukan untuk melihat hubungannya dengan
pemeriksaan klinik.
B.3. Apakah pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) diperlukan ?
Meskipun memberikan nilai yang kecil pada usia muda, EKG
diindikasikan ketika ada trauma pada dada yang didiagnosa kerusakan
mikokardium.
B.4. Haruskah pipa nasogastric ditempatkan pada perut yang kosong ?
Perut yang penuh disertai dengan masalah pada jalan napas, dapat
meningkatkan resiko muntah dan aspirasi. Memasang pipa nasogastrik sangat
beresiko jika ada fraktur basis cranii. Menempatkan pipa nasogastrik pada perut
kosong tidak menjamin baik karena pipa tidak dapat menghilangkan partikel padat
yang keras dan tindakan ini juga dapat membuat aspirasi.

B.5. Premedikasi apa yang harus dievaluasi pada pasien ini ?


Hipovolemik pada pasien dapat diatasi dengan mempertahankan sifat
pembuluh darah melalui sekresi katekolamin. Analgesia dapat menurunkan
pelepasan katekolamin dan mempercepat kolaps pembuluh darah. Jika intubasi
direncanakan

harus

menstabilkan

hemodinamik pasien,

dapat

diberikan

midazolam melalui intravena dengan dosis 0,25 mg, dapat dinaikkan 4-5 mg, yang
memberikan efek sedasi pada pasien. Titrasi perlu dilakukan dengan sangat hatihati untuk memastikan pasien tidak mengalami disorientasi dan tidak koperatif.
C. Manajemen Intraoperatif
C.1. Monitor apakah yang harus digunakan ? Apakah monitor perlu dipasang ?
Apakah suhu pasien penting dievaluasi ?
Tekanan darah, elektrokardiografi, capnografi, dan saturasi oksigen harus
diperlihatkan pada semua pasien. Kateter Foley harus dipasang. Kateter ini
dipergunakan untuk melihat output urin yang mengindikasikan fungsi ginjal dan
perfusi organ yang lain.
Pada line arteri dipergunakan untuk melihat tekanan darah, menentukan
gas darah, dan kecukupan oksigen. Kateter vena sentral harus ditempatkan jika
dibutuhkan untuk memonitoring volume intravaskular vena sentral, sehingga
dapat dibutuhkan ekspansi intravaskular untuk titrasi obat-obat vasoaktif. Kateter
arteri pulmonal jarang diindikasikan karena dapat membuat operasi tertunda,
tetapi kateter ini dapat ditempatkan jika terlihat hemodinamik tidak stabil, untuk
titrasi obat-obat vasoaktif dan diantisipasi dengan penjepitan silang intraabdomen
mayor dan pembuluh darah toraks.
Sesungguhnya, penurunan suhu merupakan suatu proses yang tidak dapat
dihindari pada pasien-pasien trauma. Hipotermi dapat terlihat jika temperatur
tubuh pasien kurang dari 35C. Gejala dini yang dapat terlihat pada pasien adalah
perubahan status mental pasien dan kelemahan otot. Menggigil dapat
meningkatkan

konsumsi

oksigen

sebanyak

10

400%.

Penguraian

oksigen-

hemoglobin dapat bergeser ke arah kiri. Epinefrin dan norepinefrin meningkat,


menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Hipotermi ringan dapat
menyebabkan koagulopati, aritmia jantung, henti jantung, metabolisme obatobatan tertunda, dan kesadaran lambat pulih dari anestesi.
C.2. Bagaimana seorang anestetik melakukan intubasi jalan napas ?
Inervasi jalan napas dipersarafi melalui 3 jalur neuron. Jika intubasi nasal
hendak dilakukan, beberapa metode anestesi harus menghambat nervus trigeminus
yang bercabang di area maksilla. Jika melibatkan bagian posterior lidah haruslah
memblok nervus glossopharyngeus. Untuk struktur yang lebih distal dari jalan
napas seperti epiglotis harus memblok cabang dari nervus vagus.
Nervus trigeminal, yang normalnya menginervasi mukosa nasal, dapat
dengan mudah dianestesi dengan memasukkan jeli lidokain ke dalam jalan napas.
Mencampurkan jeli lidokain dengan oxymetazolin 0.05% dapat membuat
vasokonstriksi pembuluh darah nasal dan mengurangi perdarahan dari mukosa
nasal. Anestetik lokal cair dan vasokonstriktor dapat disemprotkan juga ke dalam
jalan napas.
Nervus glossopharyngeus memiliki kepentingan pada keadaan nervus
pharyngeal sebagai sensorik primer pada mukosa pharynx; nervus tonsilar, yang
memberikan sensasi kepada mukosa palatum mole dan palatum durum; dan
sensorik tersebut bercabang kebagian posterior lidah. Pertama kali yang dilakukan
adalah menyiapkan anestesi intraoral topikal dengan anestetik lokal spray atau
lidokain nebulizer. Pemberian anestesi topikal pada bagian lidah, dimulai dengan
cara pasien membuka mulut selebar mungkin sehingga pilar tonsil palatina
terlihat. Kemudian jarum ukuran 22 dimasukkan kebagian caudal dari tonsil
palatina. Jarum disuntikkan ke submukosa diikuti dengan aspirasi untuk melihat
perdarahan, setelah itu lidokain 0.5% sebanyak 5 ml diinjeksikan. Anestesi ini
dilakukan pula pada bagian kontralateral.
Nervus vagus menginervasi mukosa jalan napas mulai dari epiglotis
hingga jalan napas bagian distal, termasuk bagian superior dari nervus laryngeus.
11

Nervus laryngeus superior diblok dengan cara translaryngeal blok. Jika posisi
pasien supine, jarum 22 harus disemprotkan secara langsung pada bagian
posterior tulang hyoid, dekat dengan cornu, bagian anterior carotis. Jarum harus
dibuat sejajar dengan meja dan jangan pernah menyemprotkan pada bagian
posterior karena dikuatirkan akan penetrasi ke carotis. Ketika jarum menembus os
hyoid, jarum harus secara hati-hati disuntikkan ke bagian caudal hingga sampai ke
membran hyothyroid. Pada saat dilakukan aspirasi harusnya tidak ada cairan
apapun. Kemudian lidokain 2% sebanyak 2 ml diinjeksikan, kemudian blok juga
dilakukan pada sisi sebelahnya. Tehnik ini disebut blok translaryngeal. Jarum 22
ditusukkan melalui midline membran krikotiroid dan mengaspirasi udara bebas.
Pasien akan bernapas lebih dalam dan ekspirasi secara penuh. Pada akhir ekspirasi
lidokain 4%-2% sebanyak 4 ml diinjeksikan secara cepat dan jarum dengan cepat
pula dipindahkan. Jika pasien batuk akan memastikan bahwa distribusi anestetik
lokal akan menyebar ke jalan napas.

C.3. Apakah Double Lumen Tube (DLT) diperlukan ?


Double Lumen Tube (DLT) digunakan pada paru-paru yang terluka. Jika
hanya satu sisi pada bagian dada yang terluka DLT hanya akan ditempatkan pada
sisi tersebut untuk membuat ventilasi yang adekuat. Jika kedua paru terluka, maka
akan ditempatkan DLT pada sisi sebelahnya, setelah ventilasi menjadi adekuat,
maka DLT akan berpindah ke sisi sebelahnya. Intubasi nasotrachea diperlukan
apabila jalan napas dari pasien tidak dapat menerima DLT, maka dapat dilakukan
cara pipa block bronkus. Perbaikan paru dapat dicapai efektif dengan
menempatkan pipa endotrachea dan dipasangkan dengan pipa blok bronkus. Pipa
lumen Univent sangat sering digunakan sebagai blok bronkus. Pipa ini
mempunyai kateter yang dilengkapi balon yang juga mempunyai keuntungan
untuk melakukan suction dan menginjeksikan oksigen ke dalam lumen. Ventilasi
dengan satu paru fisiologinya serupa dengan pemasangan DLT.

12

C.4. Apakah intubasi fiberoptik diperlukan ?


Intubasi fiberoptik dapat menjadi pilihan jika laryng tidak dapat ditemukan
pada kasus-kasus trauma wajah. Tetapi, cara ini sagat sulit untuk menilai kelainan
anatomi, perdarahan, dan edema. Intubasi ini dapat digunakan untuk melihat
jangkauan fiberoptik untuk mengkonfirmasi penempatan pipa endotrakeal.
C.5. Masalah apakah yang dapat timbul selama dilakukan ventilasi dan intubasi ?
Ventilasi dengan masker sangat tidak mungkin digunakan apabila terdapat
trauma maksilofasial. Jika terdapat fraktur basis cranii, ventilasi menggunakan
ambu bag dan masker dapat membuat udara atau benda asing masuk ke dalam
tengkorak,

sehingga

menyebabkan

resiko

meningitis.

Pemasangan

pipa

nasotrakeal dapat memperparah kerusakan pada intrakranial. Regurgitasi dan


aspirasi merupakan resiko yang berlanjut yang dapat terjadi pada pasien trauma
hingga jalan napas terjamin dengan pemasangan pipa endotrakeal.

C.6. Jika pasien tidak dapat dilakukan ventilasi, tindakan apakah yang mungkin
dapat dilakukan ?
Krikotirotomi merupakan salah satu metode untuk mengakses jalan napas.
Prosedur ini dilakukan dengan membuka membran krikotiroid dan menempatkan
pipa endotrakeal ke dalam trakea. Krikotirotomi dapat dilakukan dengan sangat
cepat dibandingkan dengan trakeostomi. Tetapi, akibat banyaknya trauma pada
larynx maka pipa krikotirotomi harus diganti dalam waktu 24 jam. Jika pasien
tidak dapat dilakukan krikotirotomi, maka harus dengan cepat melakukan
trakeostomi. Teknik ini menggunakan kateter ukuran 14 dan memasukkan jarum
ke dalam membran krikotiroid, menarik jarum kemudian memasukkan kateter
untuk ventilasi.
C.7. Komplikasi apa yang dapat terjadi saat tindakan krikotirotomi dilakukan ?

13

Jika pipa endotrakeal dan ventilasi larynx tidak ditempatkan dengan baik
diantara larynx dan trakea, usaha ventilasi ini akan menimbulkan emfisema
subkutis, dimana emfisema ini akan meluas hingga ke bagian leher dan toraks dan
dapat menjadi emfisema mediastinum dan pneumotoraks. Sekali diidentifikasi,
usaha lebih lanjut untuk melakukan krikotirotomi atau membuka jalan napas
adalah teknik yang sangat banyak menimbulkan komplikasi. Ketika ventilasi dari
pasien dibuat, maka harus ada jalan untuk mengeluarkan ekspirasi melalui
krokotirotomi. Sebaliknya, jika ventilasi tidak dilakukan, maka pasien akan
mengalami barotrauma yang cukup serius pada paru.
C.8. Bagaimana cara memperbaiki jalan napas jika ditemukan trauma pada jalan
napas ?
Jika terdapat penetrasi pada larynx, cervical,dan trakea, maka pipa
endotrakeal harus diposisikan agak lebih ke bawah dari tempat penetrasi. Jalan
napas harus dilindungi dan ahli bedah harus memperbaiki gangguan tersebut tanpa
mengintervensi ventilasi. Karena banyaknya pembuluh darah pada leher, dan
banyaknya lapisan pembungkus pada fasia cervical, luka pada leher dapat
beresiko terperangkapnya perdarahan di dalamnya, resiko ini akan meningkatkan
volume dan tekanan. Laryng dapat terjepit dengan trakea, dan akan terjadi deviasi
dan penekanan trakea. Hal ini memungkinkan jalan napas akan tertutup sempurna
jika tidak dilakukan perbaikan dalam kurun waktu kurang lebih 15 menit. Intubasi
dini harus dilakukan. Tindakan terbaik untuk trauma pada laryng adalah
trakeostomi dibandingkan intubasi fiberoptik.
C.9. Apa indikasi untuk trakeostomi pada pasien dengan trauma jalan napas
bagian atas ?
Trakeostomi sangat perlu dilakukan pada trauma jalan napas bagian atas
karena trauma dapat membuat distorsi anatomis yang berat, perdarahan, dan
dengan cepat berkembang menjadi edema jaringan lunak. Trakeostomi harus
dilakukan pada keadaan darurat seperti trauma jalan napas atau untuk mengatur

14

ventilasi pada operasi neuro dan maksilofasial dengan intubasi yang


berkepanjangan.
C.10. Apakah yang dimaksud dengan laryngeal mask airway (LMA) ?
Laryngeal mask airway (LMA) adalah salah satu alternatif selain sungkup
wajah untuk mengontrol jalan napas selama prosedur anestesi. LMA tidak dapat
melindungi aspirasi dan regurgitasi isi lambung dan tidak bisa melindungi jalan
napas bagian bawah jika terdapat perdarahan pada jalan napas bagian atas,
sehingga alternatif lain adalah pemasangan pipa endotrakeal. Kontraindikasi
penggunaan LMA pada pasian adalah situasi terdapat regurgitasi isi lambung,
tetapi tidak dibatasi pada keadaan trauma masif atau multipel, obesitas,
kehamilan, trauma akut abdomen atau toraks, penggunaan narkotik, atau kondisi
lain yang berhubungan dengan pengosongan isi lambung yang terlambat. Tetapi
jika terdapat trauma jalan napas dan intubasi endotrakeal tidak dapat dilakukan,
maka LMA dapat mengurangi obstruksi jalan napas dan menaikkan ventilasi
hingga intubasi endotrakeal dilakukan.
Saat ini, LMA-Fastrach adalah intubasi yang didesain untuk memfasilitasi
intubasi endotrakeal pada kelainan anatomis jalan napas. Pipa ini didesain sesuai
dengan anatomi jalan napas dan dipasang pada sungkup laryng yang dapat
melewati celah yang terjepit sepanjang 20 mm dengan posisi kepala yang netral.
Karena alat ini dapat digunakan pada jalan napas, ventilasi yang terkontrol dan
oksigenasi dapat berlanjut selama intubasi dilakukan, sehingga mengurangi
kemungkinan desaturasi. Untuk mengkonfirmasi pemasangan alat ini dengan
tepat, harus didengarkan suara napas pada ventilasi tekanan positif, maka pipa
endotrakeal dapat masuk ke jalan napas melalui LMA-Fastrach atau dengan
bronkus fiberoptik. Ketika LMA-Fastrach dikeluarkan, maka yang tertinggal
adalah pipa endotrakeal dan jalan napas akan aman. Penempatan LMA dapat
menurunkan rangsangan pada jalan napas dibanding laringoskopi, oleh karena itu,
jika terdapat sedasi pada pasien maka teknik ini merupakan kontraindikasi. Pada
kesempatan lain, penggunaan sungkup wajah dapat menjadi bahan pertimbangan

15

dan laringoskop adalah kontraindikasi relatif dan fiberoptik juga merupakan suatu
teknik yang sangat sulit digunakan.
Struktur LMA-ProSeal mirip dengan LMA-Classic dengan tambahan pipa
keluar yang disertai sungkup berbentuk saluran yang menghubungkan dengan
sphinter esofagus atas. Tehnik ini dapat memungkinkan untuk memasukkan pipa
orogastrik dan diperuntukkan untuk mengalihkan isi perut yang terdapatdi trakea
jika terdapat regurgitasi. Selama ventilasi tekanan positif dilakukan, pipa keluar
ini dapat mengalihkan kebocoran gas dari esofagus dan mengurangi resiko influsi
gas. Namun, jika LMA digunakan secara tunggal, teknik ini tidak dapat menjaga
traktus respiratorius dibanding dengan penggunaan pipa endotrakeal dan bukan
merupakan pilihan pertama pada pasien-pasien trauma.
C.11. Bagaimana cara menginduksi anestesi ?
Jika hemodinamik pasien stabil, anestesi dapat diinduksi dengan golongan
barbiturat seperti thiopental. Jika terdapat hemodinamik yang tidak stabil,
etomidate dapat digunakan. Ketamin merupakan kontraindikasi jika terdapat
trauma kepala karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan
alterasi fokal pada metabolisme otak. Bukti dari penggunaan ketamin sangat
kontroversial. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ketamin dapat
mempertahankan tekanan darah pada pasien-pasien trauma.
C.12. Anestesi apa yang digunakan jika ada indikasi maupun kontraindikasi pada
pasien ini ?
Penggunaan nitrous oksida harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati
karena dapat mengumpulkan udara pada suatu celah yang kosong seperti pleura
maupun

usus.

Nitrous

oksida

merupakan

kontraindikasi

jika

terdapat

penumotoraks atau trauma intrakranial. Inhalasi ini dapat meningkatkan tekanan


intrakranial, dan efek merugikan lainnya adalah hiperventilasi. Narkotik dapat
digunakan, terutama pada pecandu narkotik, dan ini dapat menunda fenomena
withdrawal. Halotan merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan
konduksi abnormal dan aritmia ventrikular. Obat relaksasi otot lainnya dapat
16

digunakan, tetapi pancuronium selalu menyebabkan takikardia, sehingga


membatasi kemampuan klinikus untuk mengevaluasi kedalaman anestesi dan
stabilitas hemodinamik. Hipotensi dapat terjadi saat penggunaan dosis amnestik,
salah satunya adalah midazolam.
D. Manajemen Post-operatif
D.1. Apa kriteria dari ekstubasi ?
Fungsi normal neuromuskular dari pasien harus kembali sempurna dan ini
harus dinilai dengan stimulasi neuron. Pasien dapat mengangkat kepala dan tetap
elevasi kurang lebih 5 detik. Tekanan H2O berkisar 20 cm merupakan indikator
tehadap kemampuan respiratorik yang adekuat. Pasien juga harus mengikuti
perintah untuk membuka mata. Pada keadaan trauma jalan napas atau operasi,
edema dapat terjadi sehingga ekstubasi post operatif tidak tepat. Pipa endotrakeal
harus dijaga tetap pada tempatnya dan aman hingga edema hilang. Pelayanan
yang baik diperlukan untuk memastikan bahwa pasien tidak melakukan ekstubasi
untuk dirinya sendiri. Meskipun kita tidak mungkin untuk mengevaluasi jalan
napas bagian interior, edema eksternal merupakan indikasi terjadinya edema
internal. Tanda paling nyata adanya edematous lidah yang melebihi gigi. Jika
terdapat tanda ini maka pasien belum bisa dilakukan ekstubasi.
D.2. Teknik apa yang dapat digunakan selama ekstubasi ?
Bahaya yang dapat terjadi dengan seketika sesudah terjadinya trauma jalan
napas harus diperhatikan setelah ekstubasi dilakukan karena edema dapat terjadi
dan dapat membahayakan pernapasan pasien. Bila perlu dilakukan anestesi topikal
pada jalan napas sebelum pemeriksaan untuk membatasi rangsangan pada saat
melakukan pemeriksaan, ekstubasi dan reintubasi pada jalan napas. Pipa ventilasi
dapat disambungkan dengan pipa endotrakeal sebelum dikeluarkan. Bronkoskopi
fiberoptik dapat disambungkan dengan pipa nasopharyngeal sebelum dikeluarkan
sehingga dapat dilakukan penggantian seketika. Jalan napas tetap berada dalam
kondisi lemah selama 1 jam setelah ekstubasi. Auskultasi pada laryng harus
dilakukan lebih sering untuk mendengar stridor. Saturasi oksigen yang terus
17

dipantau dapat memberikan identifikasi dini pada keadaan jalan napas yang
berbahaya.
D.3. Bagaimanakah keracunan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang
dapat mempengaruhi manajemen post-operatif ?
Gejala withdrawal penggunaan alkohol dapat terjadi selama 24 jam.
Delirium dapat berkembang kira-kira 72 jam sesudah penghentian alkohol. Gejala
withdrawal penggunaan narkotik terjadi sekitar 4-6 jam. Penggunaan narkotik
pada manajemen anestesi akan menunda atau mencegah kejadian dari fenomena
withdrawal.
D.4. Apa terapi nyeri yang dapat digunakan ?
Ketorolac dapat digunakan secara tunggal untuk nyeri dan sebagai
tambahan terapi untuk nyeri yang signifikan. Obat ini dapat diinjeksikan dengan
obat anti inflamasi nonsteroid dan tidak akan menyebabkan depresi pernapasan.
Penggunaan ketorolac tidak tepat jika terdapat perdarahan berlanjut atau drainase
dari luka karena obat ini memberikan efek transient pada fungsi platelet dan dapat
menyebabkan perdarahan berlangsung lebih lama. Pemberian jangka pendek harus
dibatasi karena dapat menyebabkan ulkus gaster atau perdarahan pada gaster. Jika
pasien tetap diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik, narkotik dapat
digunakan dengan dosis yang signifikan tanpa perlu kuatir jika terjadi depresi
pernapasan.

Penggunaan

inhibitor

COX-2

seperti

parecoxib

dapat

dipertimbangkan karena tidak menyebabkan depresi pernapasan dan tidak


menyebabkan peningkatan perdarahan. Epidural thoraks dan abdominal dapat
dilakukaan saat preoperatif atau postoperatif untuk mengontrol nyeri perioperatif.
Penggunaan narkotik epidural dengan atau tanpa anestetik lokal dapat diinzinkan
penggunaannya dengan dosis yang kecil untuk terapi depresi pernapasan.

18

19

Anda mungkin juga menyukai