Anda di halaman 1dari 28
KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN DI INDONESIA: Analisis Data Sensus dan Survei' Sri Harijati Hatmadji” Lembaga Demografi -FEUI’ 1. Pe Bulan lalu (Desember 2002) kita baru saja menyaksikan perdebatan yang seru mengensi Kebijakan kependudukan dalam Konferensi Kependudukan Asia Pasifik ke-5 di Thailand Bangkok. Dalam konferensi ini para wakil dari 35 negara, termasuk Indonesia, membahas tema utama Kependudukan dan Kemiskis berupaya menyampaikan kebijakan kependudukan negaranya dan ingin diakui negara lain n di Asia dan Pasifik. Setiap negara yang hadir untuk direkomendasikan dalam rencana aksi (program of action).* Konferensi ini merupekan rangkaian konferensi intemasional yang menempatkan penduduk sebagai tik sentral penduduk diposisikan pembangunan (people centered development). Dalam konsep sebagai sumber daya yang paling penting dan berharga bagi setiap bangsa. Penduduk dengan demikian menjadi modal pembangunan sehingga menjadi dasar dan sasaran semua kebijakan pembangunan negara. Sebagai modal pembangunan maka kebijaken kependudukan mestinya menjedi prioritas nasional. Semua kebijakan nasional harus memperhitungkan dinamika kependudukan yang ada dengan berbagai variabelnya. Hal itu berarti bahwa kebijakan kependudukan memiliki posisi yang strategis dalam kebijakin pembangunan lainnya. " Makai durmpaitan dalam Rapet Kerja Nasional Program KB Nasional Tahun 2003,27-31 Januari 2003, ‘Auditorium Kantor Pusat BKKBN, J Permata No. | Halim Perdanakusume-Jakara Timur £ cepala Lembaga DemograS Fakulas Ekonomi Universns Indonesia. > Penula menguespkan trina kas Kepada Romanus Beni taf pnel Lembaga DemograS FEUL, yang. smembanty penuls dalam mempesiopkan makalah ii, = "Dalam konfrens ini werjad perdebeum yang seruaniara Delegasi Amerika yang mengingiakan revi i Plan of Action (POA) ICPD Caio terutmna menyanghuthak-hak reproduksi dan keechatn rep . dao Kesehatan reproduksiremaj (paragraph G) dengan 34 negara linnya yang menginginkan {erhadap pon ersebut dalam POA APC V. Upeya Amerika ii akhirya Kalah dalam voting 1:32 dengan 2 separ beuin ‘Awalnya, Kebijakan kependudukan (population policies) memang secara sempit diartikan sebagai pengendalian fertltas (fertility contro), Pengertian ini kurang tepat, sebab ebijakan kependudukan sebenamya tidak semata-mata fertility contro! —yang di Indonesia ikenal sebagai program keluarga berencana-~ melainkan lebih Iuas dari ins (beyond family planning). Disamping fertility control (program Keluarga berencana) kebijakan kependudukan juga termasuk kebijakan mobilitas penduduk dan Kebijakan Kesehatan yang peda akhimys tertujuan untuk mengurangi tingkat kematian (moralitas), khususnya kemetian ibu dan anak, Jadi pada dasamye Kebijakan Kependudukan adalah Kebijakan yang dityjukan untuk rmempengaruhi tiga variabel utama demografi yaita fertlitas, mortaltas dan mobiltas (igri), Ketiga variabel fetltas, moralits dan mobilitas tersebut mempengaruhi jumiah, komposisi dan distribusi penduduk yang pada akhimya berpengaruh pula pada berbagai espek 1, ekonomi, politik, budays, pertshanan dan keamanan. kehidupan lainnya seperti sos Makalah ini bermaksud untuk membahas kebijakan kependudukan yang telah ada di Indonesia selama ini, hasil yang telah dicapai, dan saran kebijakan di masa depan. Data-data hasil Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), dan survei dengan ccakupan nasional terutama Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dipaperkan untuk menggambarkan hasil dari kebijakan kependudukan yang telah diambil pemerintah Untuk memperluas pemahaman tentang kebijakan kependudukan, makalah ini diawali dengan pembshasan tentang definisi dan ruang lingkup kebijakan kependudukan, diikuti dengan pembahasan tentang perkembangan kebijakan kependudukan di dunia dan Indonesia. Untuk mendekati tema Rakemas maka Keluarga Berencana (KB) sebagai salah satu kebijekan ependudukan priortas di Indonesia dibahas lebih mendalam. Setelah itu, makalah ini smemaparkan dats-data hasil SP, SUPAS, dan SDKII yang mencerminkan has dari kebijakan kependudukan. Dalam konteks kebijekan KB dan desentralisasi make ditampilkan dan dianalisis perkembangan fertilitas dan mortalitas baik nasional maupun regional berdasarkan Makalah ini kemudian diakhiri dengan pembahasan tentang saran data sensus dan survei, kebijakan kependudukan pada masa mendatang. 5 Dara yang ditumpitan pada skal nasional dan regional (provi). Uoruk dtm SP 2000 sebeninys bisa dolce rat sunpe ingkatkabupaten, namun tidak bisa melihat rend perkembanganaya karen pada SP Sebcloranye data henye tersedi sampai peda tingkatpropvinsi 2, Defi Ruang Lingkup Kebijakan Kependudukan ‘Ad Hoc Consultative Group of Experts on Population Policy PBB® merumuskan kebijakan kependudukan sebagai berikut: “,, measures and programs designed to contribute to the achivement of economic, ‘social, demographic, political and other collective goals through affecting critical demographic variables namely, size and growth of population, its geographic distribution (national and international) and its demographic characterist (C... kegiatan dan program yang dibuat untuk menunjang pencapaian tujuan ekonomi, sosial, demograf, politik dan sebagainya, dengan cara mempengaruhi variabel-variabel demografi yang penting yaitu jumlah dan pertumbuhan penduduk, distribusi geografi (nasional dan internasional) dan karakteristik demografinya ...") Selanjutnya kebijakan kependudukan temysta tidak seja dimaksudkan untuk mempengaruhi aspek kuantitas (jumlah, komposisi dan distribusi) penduduk tetapi juga aspek kualitas penduduk. Oleh karena itu tujuan kebijakan kependudukan tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga kuslitas penduduk di masa-masa mendatang. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan yaitu dimensi demografi (pertumbuhan, komposisi, distribusi dan mobilitas penduduk) serta dimensi sosial ekonomi, politik dan ekologi (seperti pendidikan, kesehatan, Kebebasan, kualitas hidup, dan sebagainya). Oleh karena itu rumusan kebijakan kependudukan harus mencakup bidang yang lebih luas dari sekedar fertility control. Kebijakan kependudukan untuk mempengaruhi aspek kuantitas dan kualitas penduduk ada yang dilakukan secara langsung (direct policy) dan ada yang dilakukan secara tidak langsung melalui pembangunan di sektor-sektor lain (indirect policy). Gavin W. Jones (1973) ‘membedakan antara (a) population-responsive policies dengan (b) population influencing policies. Population-responsive policies, menurut Jones, adalah kebijakan yang diperlukan dalam bidang kesehatan, pendidikan, pengadaan pangen, ketenagakerjaan, perencanaan kota ddan sebagainya yang merupakan hesil dari tingkat fertilitas dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Namun menurut Jones. kebijakan kependudukan seringkali hanya dibatasi peda kebijakan yang mempengaruhi penduduk. Menunat Isaacs etal. (1985) dalam mendefinisikan tentang population policy perlu dibedakan secara jelas antara kebijakan eksplisit dan kebijakan implisit. Kebijakan eksplisit adalah pemnyataan atau dokumen yang dibuat pemerintah pusat yang menyangkut tentang rencana untuk mempengaruhi pertumbuhan penduduk dan mungkin distribusi atau komposisinya. Kebijakan eksplisit dinyatakan dalam berbagai bentuk seperti perundang- tundangan, peraturan menteri, pemyataan presiden dan sebagainya. Sebaliknya kebijakan implisit adalah hukum, peraturan dan sejenisnya yang meskipun tidak dikeluarkan khusus dan distribusi penduduk namun memiliki untuk mempengaruhi pertumbuhan, komposi pengaruh terhadap hal tersebut Para perencana dan pengembil keputusan, menurut Isaacs et. al, harus memperhatikan beberapa hal dalam merumuskan Kebijekan kependudukan. Pertama, bahwa kebijakan kependudukan biasanya dikaitkan dengan pembangunan. Kebijakan kependudukan kadang- kadang disalahartikan hanya sebagai kebijekan fertilitas atau kebijakan keluarga berencans. Bagaimanspun, kebijakan kependudukan lebih luas dan mencakup masalah migrasi dan mortalitas. Dalam mencakup tiga topik —fertilitas, mortalitas dan migrasi— kebijakan kependudukan mengarah pada aspek fundamental dari kesejahteraan manusia seperti meningkatkan status wanita, memperiuas kesempatan memperoleh pendidikan, dan meningkatkan status Kesehatan, Perencanaan pembangunan yang menisdakan variabel penduduk merupakan kebijakan yang tidak sempura (not complete), dan kebijakan kependudukan yang tidak dikaitkan dengan pembangunan adalah tidak bermakna (no! sound). Kedua, kebijakan kependudukan dan kebijakan pembangunan bukan merupakan dua hal yang bertentangan. The World Population Conference yang diadakan di Bucharest 1974, diwamsi oleh debst manaksh yang lebih penting antara kebijekan kependudukan dengan pembangunan. Akhimya peserta konferensi sepakat bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Mereka setuju bahwa sebagaimana pembangunan —ini berarti pendidikan lebih bik, lebih banyak anak yang sehat, distribusi pendapatan yang adil, dan diatas semua iru peningkatan status wanita— penduduk memil ak lebih sedikit; disisi lain ‘tingginya pertumbuhan penduduk menuntut besamya kebutuhan akan pelayanan sosial, sistem pendidikan dan kerusakan lingkungan. Sejak 1974, banyak studi ilmu sosial dan demografi telah menunjukkan hubungan yang erat antara tingkat pertumbuhan penduduk dan untuk memili “National Academy of siences, Rapid Population Growth: Consequences and Population impliedion, John, Hpkins Press, Baltimore, 1971, p.70 pembangunan. Ketiga, kebijakan kependudukan bukan lagi merupakan isu yang sensitif dan seat ini telah umum di seluruh dunia. 3. Perkembangan Kebijakan Kependudakan Sejak empat dekade lalu kebijakan kependudukan memfokuskan perhatiannya peda beberapa perubshan demografi, khususnya pada pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dalam upays ‘enurunkan tingkat pertumbuhan penduduk tersebut maka dilakukan upaya pengendalian fertlitas yang instrumen utamanya adalah program keluarga berencana Pada tahun 1950-an dan 1960-an kelompok neo-Malthusian memberi perhatian khusus pada pertumbuhan penduduk yang begitu cepat sehinggs berdampak pada aspek-aspek kehidupan linnya, antara lain karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memicu kerusakan lingkungan, berkurangnya pelayanan sosial dan menimbulkan konflik horisontal di masyaraket, Oleh Karena itu lembaga-lembaga kependudukan mendukung dan smengkampanyekan pentingnya pengendalian kelahiran (birth control) melalui pengembangan teknologi kontrasepsi yang lebih baik dan program keluarga berencana di seluruh dunia. Pada Konferensi Kependudukan Dunia (World Population Conference) 1974 di Bucharest, Rumania, negara-negara maju beranggapan bahwa program keluarga berencans hendaknya menjadi alat utama dalam pengendalian penduduk. Pada waktu itu terdapat dua Kelompok negara yang berbeda pandangan. Kelompok negara-negara Barat berpendapat bahwa kemiskinan adalah akibat dari peledakan jumlah penduduk. Oleh Karena itu perlu diupaysken cara-cara untuk menghambat pertumbuhannya, diantaranya melalui program keluarga berencana. Di pihak Isin, kelompok negara-negara komunis dan banyak negara sedang berkembeng lain beranggapan bahwa yang salah bukanlah jumlah penduduknye, tetapi arena kebijakan ekonomi yang tidak tepat sehingga mengakibatkan pengangguran dan penurunan kesejahtersan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya yaitu periode tahun 1980-an program keluarge berencana telah meluas ke negara-negara sedang berkembang. Seiring dengan hal itu makin meluas pula kampanye tentang pentingnya suatu integrasi antara program keluarga berencana dengan program-program kesehatan dan program-program yang menyangkut kemajuan keum, perempuan. Dengan demikian kebijakan kependudukan tidak lagi dipandang sebagai kebijakan yang hanya bertujuan untuk mengendaliken jumish penduduk semata. Pada Konferensi Intemasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD) 1994 di Cairo menghasilkan program aksi yang mendukung strategi baru dalam kebijakan kependudukan yang menekankan adanya keterkaitan secara integral antara penduduk dan pembangunan. fokus perhatian diarahkan pada kesesuaian kepentingan individu antara laki-laki dan perempuan dari pada pencapaian target-target demografi, seperti penurunan angka kelahiran ‘dan kematian. Pada dasamya kesepakatan ICPD Cairo 1994 terjadi karena banyak pihak melihat bahwa telah terjadi ekses dalam pelaksanaan program KB. Ekses tersebut terutama membust seolah-olah wanita tidak mendapat kebebasan untuk menentukan hak-hak reproduksinya. ‘Saddik (1994) menyatakan bahwa kunci dari pendekatan beru ini adalah pemberdayaan perempuan (empowering women) dan memberinya lebih banyak akses pada bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan, pengembangan ketrampilan dan pekerjaan, dan mengikutsertakan perempuan pada proses pegambilan kepurusan di berbagai tingkatan. Oleh karena itu salah satu pencapaian terbesar dalam ICPD Cairo 1994 adaleh adenya keinginan untuk memberdayakan perempuan baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun sebagai kunci untuk memperbaiki kualitas hidup semua orang. Sejak saat itu ada tuntutan akan terselenggaranya program KB dengan paradigma baru yaitu pelayanan KB yang lebih berorientasi pada klien . Pada dekade terakhir di sbad 20 telah terjadi perubahan visi dalam kebijakan kependudukan, dari fokusnya pada pengendalian variabel-variabel demografi semata menjadi ke arah perbsikan kualitas hidup terutama wanita dan pembangunan. Sen, Germain dan Chen (1994) menyatakan pentingnya mempertimbangkan kembali kebijakan kependudukan untuk melihat etika dasar, tujuan dan metodologi dari kebijekan-kebijakan kependudukan yang berlaku. Kebijakan kependudukan perlu didukung oleh suatu pendekatan pembangunan manusia dengan keschatan reproduksi (health reproduction), pemberdayaan (empowerment) dan hak-hak individu sebagai tujuan sentral. Selanjutnya Sen, Germain dan Chen menyatakn bahwa ada tiga hal penting dalam aitannya dengan kebijakan kependudukan, Per‘ama, bahwa kebijakan kependudukan harus berubsh, mencerminkan adanya suatu komitmen yang mendasar pada etika dan hak asasi manusia (human rights). Kedua, Kebijekan kependudukan yang lebih deri sekedar pengendaian fetlitas hanya fea jika menjadi bagian dari pendekatan pembangunan mmanusia yang lebih huss. Ketiga, kebijakan kependudukan mempunyai pririta strate yaita pemberdayaan perempuan (women's empowerment) dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health services). Berbagai perkembangan kebijakan kependudukan yang trjadi selama ini menunjukkan bahwa Kebijakan kependudukan dituntut untuk terus disempurakan sesuai dengan tujuan ddasar dari seluruh Kebijakan pembangunan ysitu terwujudnys kesejahteraan penduduk baik secara material maupun spiritual yang termasuk didalamnya terjaganya hak-hak dasar penduduk itu sendiri Konferensi Kependudukan Asia Pasifik ke-S tahun 2002 di Bangkok mempertegas embali visi Kebijakan kependudukan dunia yang telah dicapai dalam ICPD Cairo 1994, ICPD#S, dan Beijing*5 dengan memprioritasken Kebijakan kesehatan reproduksi, KB, dan program kependudukan yang luss, terutama untuk melepaskan penduduk deri jerstan kemiskinan. 4. Kebijakan Kependudokan di Indonesia Kebijekan kependudukan yang dijalankan pemerintah Indonesia saat ini_merupakan implementasi deri anh Kebijakan yang telah dirumuskan dalam GBHN 1999-2004, Dalam GBHN 1999-2004 kebijakan yang menyangkut kependudukan memang tidak menjadi ebijekan tersendisi ttapi merupakan bagian integral dari kebijekan di bidang sosial dan budaya, khususnya pada bidang keschatan dan kesejahteraan sosial. Arah kebijakan di bidang ependudukan seperti yang tercantum dalam GBHN bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut: “meningkatkan Kualitas penduduk melalui pengendalian kelahiran, memperkecil angka kematian, dan peningkatan Kualitas program keluarge berencana” Selain kebijakan transmigrasi (redistribusi penduduk), kebijaken kependudukan yang. bertujuan untuk mengendalikan jumlah kelahiran telah menjadi kebijakan prioritas dalam sejarah Indonesia. Pada era onde lama di bawah kepemimpinan Presiden Sockamo, Indonesia menganut kebijakan kependudukan yang bersifst pronatalis. Sebab menurut persepsi Soekamo, dengan jumlsh penduduk yang besar dan merata di seluruh Indonesia merupakan suaty sumber daya yang bemilai untuk melakukan revolusi melawan kapitalisme barat. Selanjutnya Presiden Soekamo juga mengatakan bahwa Indonesia sanggup untuk memberi makan 250 juta penduduk (Adioetomo, 1993). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Presiden Soekarno menginginkan jumlah penduduk yang besar yang ketika itu dimaksudkan terutama untuk kepentingan pertahanan negara. Beralihnya kekuasaan dari Soekamo (Orde Lama) ke Soeharto (Orde Baru) membawa dampak yang besar bagi kebijakan kependudukan di Indonesia. Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Socharto temysta sangat mendukung upaye-upaya untuk mengendalikan jumlah penduduk. Sebagai bukti bahwa pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang kuat pada bidang kependudukan adalah dengan ikutnya Presiden Soeharto bersama 29 pemimpin dunia lainnya dalam menandatangani the Declaration of World Leaders on Population pada Desember 1967. Penandatanganan deklarasi oleh Presiden Socharto dapat dipandang sebagai pendorong dalam pembentukan program keluarga berencana nasional di Indonesia dan sekaligus pula merupakan titik balik yang sangat penting bagi perubahan di bidang kependudukan di Indonesia. Namun demikian, hal tersebut dapat terlaksana antara lain Karena desakan masyaraket intemasional yang mulsi menyadari bahaya peledakan penduduk terhadap daya dukung lingkungan serta penurunan tingkat kesejahteraan umat manusia, Namun, dalam era reformasi setelah jatuhnya Presiden Socharto, dari segi kelembagaan, kebijakan kependudukan seperti kehilangan arah. Kementrian kependudukan yang menjadi dapur kebijakan kependudukan malah dilikuidasi ke kementrian tenaga kerja = 387345 Timor Timur nana 88 SMD AO AAS 627 $32 Aas 3.47 3933358 | Kal. Tengah 683587 4033.16 Se si 2a Kal. Selatan 543 460 3.26 3.09 27233257 Kal. Timur S41 499328 2.96 ~ aa as | Sulawesi ! Sulawesi Utara 679 266 266 eas os tel Sulawesi Tengsh 6.53, 3853.28 ay see 4 Sulawesi Selatan 5.71 354 3.05 301292 Sulawesi Tenggara 645 ao 369 - 32 } Maluku 689 616 4593.68 Ba) al Irian ya 720 $35 4703 2 3is 338 Catatan: Metode Tidak Tangsung menggunakan metode anak Kandung. NICPS = National Indonesia Contraceptive Prevalence Survey ‘Sumber: S. Mubidin. 2002. The Popul jon of Indonesia. Amsterdam: Rozenberg Publisher Tabel 5. Age Specific Fertility Rate Indonesia, Tahun 1971-2000 [Famun/Omur [1519 [2024 [25-29 | 3034 | 35.59 BH (67-70. 133] 26] 273 ai 12a] 3 77 [7-73 ie 265| 256 199] Tia] 37 i [76-79 i 2a8] 232] 17 T04] ‘a 13 [so-85 95 1) 204] 154] 8 37] 109 iee-a7 78) Tad] 173] 126] Bl 29) 79 s6-29 71 178] 173] 128] Bl 31 3 lss-o1 7 162] 137] 117] | 2 7| [91-34 6H 147] 130] 703] 63 3 4 (95-97 a 143] 149] 108] | 24] 4 [2000 al Tid] 12] 35 36] 26 12] ‘Somber: SPI Tabun 1987 SDKI Tahun 1991, 1994 dan I ‘dan 2000 SUPAS Tahun 1976, 1985 77 Seasus Tabun 1971, 1980, 1990 Table 6 _Distribusi wanita pernah kawin Indonesia berdasarkan metode Kontrasepsi yang digunakan dan umur kawin pertama menurut daorh, 1991-1997 Penggunoan konirasepai O®) Wilayah/Provinsi 1991 1994 1997 Umur kawin “Modern “Trad Modern Trad Modem Trad ~ 19941997 Indonesia N26) 2 ota 2d ae Sumatra Dista Aceh 40° 3010-2237 Bs ‘Sumatra Utara 31 2 68 a6 201 ‘Sumatra Barat 250 413 a 203 Rieu 46386 24h 19.1 Jambi oe is) ito ‘Sumatra Selatan 25 50128579 191 Bengkulu 24 60214623. re Lampung 3057913 66S is Jowa Jakarta 518420 S48 50539 500.206 Java Barat CE oO wre mm th. oe Jawa Tengah ey 6s ee ee ol as Yogyakarta 370 1435979763792 03007 Java Timur 5300-24 5350-23 SRB tga ‘Nusa Tenggara Bali M2 17 665 19662 205 NTB 3820847919565 181 NTT. O50 AoE) 26 4g 383) 24 Timor Timur 4 47° 2071928 as Kalimantan Kal. Barat 2g 14 8s sata? Kal, Tengah 29 17 at 34 570639 Kal. Selatan 47200470 S12 362 Kal. Timur SG 34 K7 SB SAS 4k 8k Sulawesi ‘Sulawesi Utara O28 57 1 38) 1277 OF i Sulawesi Tengah 415-28 4834250215986 Sulawesi Selatan SES 42 352) 7A Ws ie wa Sulawesi Tenggara 3794.0 4184S 467 GA 8G Maluku Bes) 66 34r als ee as) ata Irian Jaya 916 LD 21 188192 ‘Sumber. Mubidin. 2002. The Population of Indonesia, Amsterdam: Rozenberg Publisher Tabel7 Infant mortality rate (IMR) di Indonesie menurut provinsi yang diestimasi berdasarkan ‘metode tidak langsung dan langsung, 1967-1997 ‘Extimasi tidak Tangrang ‘Estimasi langsung. Wilayah/Provinsi —SP7I SP80 SP.90 Supas0_ “WICPSB7 SDKIS1 SDKI94~ SDKI87 1967-71 1976-80 1986-90 1991-95 _ 1977-87 1981-91 1984-94 1987-97 Indonesia M52 1087 13S Cid aoe cea | s22 Sumatra Dista Acch 2593.1 sta 370 sha 583. Sumatra Utara 121388760948. 14455 Sumatra Barat 1524 121740603 676 452 Riu 1463 1098 65.0 39.0 I 607 Jambi 1545 1209736447 602 60.4 Sumatra Selatan 1553101771842 596 53.0 Bengkulu 1669 1110693 60.1 ml 73 Lampung 1459 993693480 Al 482 Jove Jakarta a9 Bk 82949828 Java Barat 1674 133.7 90.3 560947169 BBB 8G Jawa Tengah 1440 986 65.0389 a7 MRSS 45.2 Yogyakarta W021 621417 303763783048 Jawa Timur 1203 2 (9732 ee) 362 716) a. | is ‘Nusa Tenggara Bali 10S 925 S13 341 5H 58395 NTB 2205 1890 1446 = 101.2 * = 109.8 1105 NIT 1538 1281770587 : et 97, Timor Timur aoe E30 : - 88 M8 Kalimantan Kal, Barat 14428, S74 968 © 703 Kal. Tengah 1295 100.16 343, 4 553 Kal. Selatan 1652 123.16 16 #29 © 707 Kal. Timur 103.7 100.32 458 611 507 Sulawesi Sulawesi Vara = 1138933630413 656 476 Sulawesi Tengah 150.1 130.1 923-720 14S SulawesiSelatan 1614 1106703559 87 630 Sul. Tenggara 167461773552 m9 TRL Maluku 433 1232-64579 : + es Irian Jaya 59 1068 803 : oe Ole 00 Catatan: Untuk estimasi Gdak Tangsung menggunakan metode Trossell, dan informant Gerasal dart ‘kelompok umus ibu 20-24, 25-29, dan 30-34 tahun, Sumber: 8. Mubi 2002. The Population of Indonesia. Amsterdam: Rozenberg Publisher ia Harapan Hidup di Indonesia berdasarkan level tabe! kematian, 1967-1991 Tevels of Ue tables the West model) Usia Harapan Hidup Wilayah/provinsi “SPT SP80_ SP90__SP93_ —SP7I SP80_SP90._ SP95_ (1967) (1976) (1986) (1991) __(1967)_(1976) (1986) _ (1991), Indonesia. 187 1447 1762 1950 -45.7 52.2 59.84 Sumatra Dista Aceh 1205 15.76 1880 2088 = 462552 62.7 TB Sumatra Utare 1353 1611 1556 2009 499 S61 62.1 65.8 Sumatra Barat 140 1358 (1737 1862446 49.9592 RZ Riau 1180 1439 1818 2065456 5200612672 Jambi 1126 13:56 1741 2013 M42 50.0593, 66.0 Sumatra Selatan N21 1506 1763 19.19 M41 536 58.8 63.7 Benghulu 1048 14301780 1864423 S18 602623 Lampung 1183 1523 1780 1980456 540 6026.1 Jawa Jakarta 1298 2054 2250 486 57666319 Jawa Barat 10.45 1597 1902 423 47.7 558 32 Jawa Tengah 1195 118 2069459 S41 62673. Yoryakarta 15.00 242 S34 LB 66H TT Jaya Timur 1360 19.00 SOL 5461S 632 1287 15.79 UI 483 S54 43 OES 730 9.18 1508 350398. 45.9 53.7 1130 13.03 171 MAT SBG 2G Timor Timur 47 5710594 Kalimantan Kol. Barat 194 13.71 1674 1889 459 S04 S77 629 Kel. Tengah 1294 15:16 1887 21.16 484538 2B ES Kal. Selatan 1059 1339 1593 1705 2.649.655.7584 Kel. Timur M437 ISIS 188-2002 S32 S38 ORT 8.7 Sulawesi Sulawesi Utara 1408 15.72 1837-2046 S13 S52 61.6667 Sulawesi Tengah MSS 1290 1581 1755 450 483 554 596 Sulawesi Selatan 1082 1432 17.70 1903 -43.2— S18 60632 Sulawesi Tenggara 10.45.—«*13.90 17.08 19.10 42.3 SOB SRS OB Maluku 1199 1339 1716 1884 46.0 49.6 SRT 628 lvian Jaya® 1336 1479 1682 1880 56.7 53,0 57.9 62.7 Caratan: * Estimasi untuk Irian Jaya tahun 1971 banya untuk wiayah perkotaan, Tabun dalam kurang adalah tahun referensi ‘Sumber: S. Muhidin. 2002. The Population of indonesia. Amsterdam: Rozenberg Publisher

Anda mungkin juga menyukai