Anda di halaman 1dari 15

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui pengertian spermatogenesis.
2. Mengetahui tahap tahapan dari pembentukan spermatogenesis.
3. Mengetahui hormon yang berperan dalam proses pembentukan
spermatozoa.
4. Mengetahui bentuk sperma.
5. Mengetahui komponen-komponen dari semen ternak.
6. Mengetahui kualitas semen yang baik dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel sperma yang terjadi di
epitelum (tubuli) seminefri dibawah kontrol hormon gonadothropin dan hipofisis
(pituitaria bagian depan). Tubuli seminefri ini terdiri atas sel setroli dan sel
germinalis. Spermatogenesis terjadi dalam tiga fase, yaitu fase spermatogonial,
fase meiosis, dan fase spermiogenesis yang membutuhkan waktu 13-14 hari
(Yuwanta, 2004). Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel spermatozoa
(tunggal : spermatozoon) yang terjadi di organ kelamin (gonad) jantan, yaitu
testis tepatnya di tubulus seminiferus. Sel spermatozoa, disingkat sperma yang
bersifat haploid (n) dibentuk di dalam testis melewati

sebuah proses

kompleks. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal dengan


melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel. Pematangan sel terjadi di tubulus
seminiferus yang kemudian disimpan dalam epididimis. Tubulus seminiferus
terdiri dari sejumlah besar sel germinal yang disebut spermatogonia (jamak).
Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapis luar sel-sel epitel tubulus
seminiferus. Spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap tahap perkembangan
tertentu untuk membentuk sperma.
2.1. Tahapan-tahapan dari Pembentukan Spermatogenesis
Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada
saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan
menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel yang baru dibentuk dapat
mengikuti satu dari dua jalur. Sel-sel ini dapat terus membelah sebagai sel induk,
yang disebut spermatogonium tipe A, atau dapat berdeferensiasi selama siklus
mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B. Spermatogonium B
merupakan sel progenitor yang akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer.
Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari pembelahan
meiosis pertama. Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis

keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya kromosom dalam


berbagai tahap proses penggelungan di dalam intinya (Fawcett, 2002).

Gambar 1. Tahapan pembentukan spermatogenesis


Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih kecil
yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam
sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan berada dalam tahap
interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis
kedua. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Karena tidak
ada fase-S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan
kedua pada spermatosit, jumlah DNA per sel berkurang setengah selama
pembelahan kedua ini, yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena itu, proses
meiosis menghasilkan sel dengan jumlah kromosom haploid. Dengan adanya
pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid yang normal (Junqueira et
al., 2007).
Pada proses spermatogenesis terjadi proses - proses dalam istilah sebagai
berikut :
a. Spermatositogenesis (spermatocytogenesis)
spermatogenesis,

adalah

tahap

awal

dari

yaitu peristiwa pembelahan spermatogonium menjadi

spermatosit primer (mitosis), selanjutnya spermatosit melanjutkan pembelahan

secara meiosis menjadi spermatosit sekunder dan spermatid. Istilah ini biasa
disingkat proses pembelahan sel dari spermatogonium menjadi spermatid.
b. Spermiogenesis (spermiogensis) adalah peristiwa perubahan spermatid menjadi
sperma yang dewasa. Spermiogenesis terjadi di dalam epididimis dan
membutuhkan waktu selama 2 hari. Terbagi menjadi tahap 1) Pembentukan golgi,
axon ema dan kondensasi DNA, 2) Pembentukan cap akrosom, 3) pembentukan
bagian ekor, 4) Maturasi, reduksi sitoplasma difagosit oleh sel Sertoli.
c. Spermiasi (Spermiation) adalah peristiwa pelepasan sperma matur dari sel sertoli
ke lumen tubulus seminiferus selanjutnya ke epididimidis. Sperma belum
memiliki kemampuan bergerak sendiri (non-motil). Sperma non motil ini
ditranspor dalam cairan testicular hasil sekresi sel Sertoli dan bergerak menuju
epididimis karena kontraksi otot peritubuler. Sperma baru mampu bergerak dalam
saluran epidimis namun pergerakan sperma dalam saluran reproduksi pria bukan
karena motilitas sperma sendiri melainkan karena kontraksi peristaltik otot
saluran.
Ada dua fase atau tahap spermatogenesis :
1)

Fase spermatocytogenesis, yaitu fase pertumbuhan jaringan spermatogenik

dengan pembelahan sederhana.


2)

Fase spermiogenesis, yaitu fase terjadinya peristiwa metamorfosis atau

perubahan bentuk dari spermatid menjadi spermatozoa muda dan sempurnaa.


Spermatogenesis atau proses pembentukan sperma terjadi di dalam testis,
tepatnya pada tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel
epitel germinal dengan melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel. Hal ini
bertujuan untuk membentuk sperma fungsional. Pematangan sel terjadi di tubulus
seminiferus yang kemudian disimpan dalam epididimis. Tubulus seminiferus
terdiri dari sejumlah besar sel epitel germinal atau sel epitel benih yang disebut
spermatogonia. Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapisan luar sel-sel
epitel tubulus seminiferus. Spermatogonia terus-menerus membelah untuk
memperbanyak diri. Sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahaptahap perkembangan tertentu untuk membentuk sperma.

Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia yang bersifat diploid


berkumpul di tepi membran epitel germinal yang disebut spermatogonia tipe A.
Spermatogonia tipe A membelah secara mitosis menjadi spermatogonia tipe B.
Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel ini akhirnya menjadi
spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Setelah beberapa minggu, setiap
spermatosit primer membalah secara meiosis membentuk dua buah spermatosit
sekunder yang bersifat haploid. Spermatosit sekunder kemudian membelah lagi
secara meiosis membentuk empat buah spermatid. Spermatid merupakan calon
sperma yang belum memiliki ekor dan bersifat haploid. Setiap spermatid akan
berdiferensiasi menjadi spermatozoa atau sperma. Proses perubahan spermatid
menjadi sperma disebut spermiasi.
Spermatogonium berubah menjadi spermatosit primer melalui pembelahan
mitosis. Selanjutnya, spermatosit primer membelah diri secara miosis menjadi dua
spermatosit sekunder yang haploid dan berukuran sama. Spermatosit sekunder
mengalami pembelahan meiosis dua menghasilkan empat spermatid. Spermatid
adalah calon sperma yang belum berekor. Spermatid yang telah mempunyai ekor
disebut sperma. Pada manusia spermatogenesis berlangsung lebih kurang 16 hari.
Selama spermatogenesis, sperma menerima bahan makanan dari sel-sel sertoli. Sel
sertoli merupakan tipe sel lainnya di dalam tubulus seminiferus.
2.3. Hormon-Hormon yang Berpengaruh terhadap Proses Spermatogenesis
Proses pembentukan spermatozoa dipengaruhi oleh kerja beberapa
hormon, diantaranya
a. Kelenjar hipofisis menghasilkan hormon peransang folikel (Folicle Stimulating
Hormon/ FSH) dan hormon lutein (Luteinizing Hormon/ LH).
b. LH merangsang sel leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada masa
pubertas, androgen/ testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin sekunder.
c. FSH merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein)
yang akan memacu spermatogonium untuk memulai spermatogenesis.
d. Hormon pertumbuhan, secara khusus meningkatkan pembelahan awal pada
spermatogenesis.

Semua proses spermatogenesis dikontrol oleh sistem endokrin, yaitu oleh


hormon gonadothropin seperti hormon FSH, ICGSH dan androgen. Rangkaian
kejadian pengendalian hormon terhadap spermatogenesis pada sapi jantan adalah
a. Sapi jantan pada waktu pubertas dicapai hormon FSH mempengaruhi sel Leydig
untuk menghasilkan hormon androgen (hormon jantan).
b. Androgen membuat epitel germinalis dari tubulus seminifrus bereaksi terhadap
FSH.
c. FSH menyebabkan dimulainya spermatogenesis dengan adanya pembelahan sel di
spermatogonia.
d. Spermatogenesis diatur oleh FSH, LH dan androgen serta estrogen.
e. Androgen terhadap seluruh organ kelamin jantan membantu mempertahankan
kondisi yang optimum terhadap spermatogenesis, transportasi spermatozoa dan
penempatannya di daerah yang terjadi pembuahan.
2.4. Bagian-Bagian Sperma
Sperma merupakan suatu sel kecil, kompak, dan sangat khas, yang tidak
bertumbuh atau membagi diri. Secara esensial ia terdiri dari kepala yang
membawa materi herediter paternal, dan ekor yang mengandung sarana
penggerak. Sperma tidak memiliki sitoplasma yang khas bagi kebanyakan sel;
volume sperma sapi, misalnya, hanyalah kurang lebih satu per duapuluh ribu dari
volume satu ovum, namun keduanya mempunyai nilai herediter yang sama. Di
lain pihak, sperma dihasilkan dalam jumah yang jauh lebih banyak dan satu
ejakulat sapi yang baik mengandung 10.000 juta spermatozoa yang ckup untuk
diinseminasikan kepada 1000 ekor sapi betina (White, 1974 dalam Toelihere,
1979).
Walaupun ukuran dan bentuk spermatozoa berbeda pada berbagai jenis
hewan namun struktur morfologisnya sama. Panjang dan lebar kepala kira-kira 8,0
sampai 10,0 mikron kali 4,0 sampai 4,5 mikron pada sperma sapi, domba, dan
babi, dan 7,0 mikron kali 2,7 sampai 4,0 mikron pada sperma kuda. Tebal kepala
lebih kurang 0,5 sampai 1,5 mikron atau kurang pada semua species. Badan atau

bagian tengah sperma mempunyai panjang satu setengah sampai dua kali panjang
kepala, 10,0 sampai 15,0 mikron dan diameter sekitar 1,0 mikron pada semua
species. Ekor spermatozoa adalah 35,0 sampai 45,0 mikron panjang dan 0,4
sampai 0,8 mikron diameter. Panjang keseluruhan spermatozoa pada hewan
peliharaan mencapai 50 sampai 70 mikron.
Permukaan sperma dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Apabilaa
sel tersebut mati, permeabilitas membrannya meninggi, terutama di daerah
pangkal kepala, dan hal ini merupakan dasar pewarnaan semen yang membedakan
sperma hidup dari yang mati. Zat warna yang umum dipakai adalah eosin atau
merah Kongo terhadap latar belakang hitam dari negrosin.
Kepala Sperma
Kepala spermatozoa berbentuk oval memanjang, lebar, dan datar pada satu
pandangan dan sempit pada pandangan lain dengan bagian paling tebal pada
pangkal kepala yang melangsing ke apex yang tipis. Kepala sperma terisi
sepenuhnya dngan materi inti, kromosom, terdiri dari DNA yang bersenyawa
dengan protein. Informasi genetic yang dibawa oleh spermatozoa diterjemahkan
dan disimpan di dalam molekul DNA.
Bagian anterior selubung inti atau selubung dalam akrosom dimodifisier
untuk membentuk perforatorium yang kurang berkembang pada sperma hewanhewan peliharaan dibandingkan dengan pada sel-sel sperma tikus. 60% bagian
anterior nukleus dan perforatorium ditutup oleh selubung akrosom yang
mempunyai struktur seperti kantong berdinding rangkap setebal kira-kira 0,1
mikron dan mengandung suatu bahan akrosomal. 40% nukleus di posterior zona
ekuatorial dibungkus oleh selubung inti posterior atau post nuclear cap. Perbedaan
struktur selubung akrosom dan selubung inti posterior mengungkapkan perbedaan
afinitas zat warna pada kedua selubung tersebut. Lapisan luar selubung akrosom
atau galea capitis dapat tanggal secara spontan di dalam caput epididymis karena
istirahat kelamin yang lama, secara buatan in vitro, atau selama pembuahan,
mungkin sebagai suatu langkah kea rah kapasitasi sperma. Penanggalan terjadi

karena pemecahan selubung sel dan selubung luar akrosom pada daerah ekuatorial
yang mengekspos bahan akrosomal yaitu enzim-enzim seperti hyaluronidase
dan/atau zona lysin di antara kedua selubung akrosom yang bersama peroratorium
penting untuk penerobosan dinding ovum.
Ekor Sperma
Ekor sperma yang panjang (40-50 mikron) dapat dibagi atas 3 bagian,
bagian tengah, bagian utama, dan bagian ujung, dan berasal dari sentriol
spermatid selama spermiogenesis. Ia memberi gerak maju kepada spermatozoa
dengan gelimbang-gelombang yang dimulai di daerah implantasi ekor-kepala dan
berjalan kea rah distal sepanjang ekor bagaikan pukulan cemeti.
Ujung anteruir bagian tengah yang berhubungan dengan kepala dikenal
sebagai daerah implantasi. Pemisah kepala dari ekor dapat terjadi di daerah ini,
satu keadaan yang ditemukan pada sapi dengan defek-defek herediter spesifik atau
apabila testes dipanasi atau jika hewan tersebut menderita demam. Di bawah
mikroskop elektron terlihat bahwa daerah implantasi mengandung centriol
proksimal. Bagian tengah ekor merupakan bagian yang memberikan energi untuk
kehidupan dan pergerakan spermatozoa oleh proses-proses metabolic yang
berlangsung di dalam helix mitokondria. Bagian ini kaya akan phospholipid,
lescithin, dan plasmalogen.
Inti ekor atau axial core terdiri atas dua serabut sentral dikelilingi oleh
suatu cintin konsentrik terdiri atas 9 ibril rangkap yang berjalan dari daerah
imlantasi sampai bagian ujung ekor, suatu pola yang umum ditemukan pada cilia
dan flagella. Di bagian tengah ekor, kesebelas fibril tersebut di atas dikelilingi lagi
oleh 9 fibril yang lebih kasar. Pada bagian utama ekor, kesembilan fibril terluar
yang kasar makin menipis dan akhirnya menghilang, meninggalkan kesebelas
serabut inti ekor. Bagian utama ekor mengandung sebagian besar mekanisasi daya
gerak spermatozoa. Pada bagian ujung ekor yang pendek inti ekor tidak
mempunyai selubung dan fibril luar yang sembilan tidak ada.

Kelainan-kelainan morfologis sperma


Abnormalitas sperma dapat berupa abnormalitas primer dan abnormalitas
sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena kelainan-kelainan spermatogenesis
di dalam tubuli seminiferi atau epithel kecambah, sedangkan abnormalitas
sekunder terjadi sesudah sperma meninggalkan tubuli seminiferi. Abnormalitas
primer meliputi kepala yang terlampau besar, kepala terlampau kecil, kepala
pendek melebar, pipih memanjang, dan piriformis; kepala rangkap, ekor berganda,
membengkok, membesar, filiformis; bertaut abaxial pada pangkal kepala; dan
ekor yang melingkar, putus atau terbelah. Abnormalitas sekunder meliputi ekor
yang terputus, kepala tanpa ekor, bagian tengah yang melipat, adanya butiranbutiran protoplasma proksimal atau distal dan akrosom yang terlepas.
2.5. Komponen-Komponen Semen Ternak
Semen terdiri dari spermatozoa dan plasma semen.
A. Sperma
1.
2.

Deoxyribonucleoprotein, terdapat pada nucleus yang merupakan


kepala dari sperma. Terbentuk oleh RNA yang terikat oeh protein.
Muco-polysakarida, senyawa ini terikat pada molekul-molekul
protein yang terdapat di acrosome. Polysakarida yang terdapt pada
acrosome ini mengandung 4 macam gula, yaitu fucose, galactose,
mannose, hexosaminase. Keempat gula terikat dalam protein sehingga
memberi reaksi pada zat warna asam yaitu Periodic Acid Schiff (PAS).
Fungsi untuk maetabolisme sperma tidak diketahui (Partodihardjo, 1987).

3.

Plasmalogen, nama lainnya adalah lemak aldehydrogen yang


terdapat pada bagian leher, badan, dan ekor sperma. Merupakan bahan
yang dipakai sperma untuk respirasi endogen, jadi plasmalogen merupakn
sumber energy endogen, yang akan dipergunakan apabila semua zat lain
habis terpakai (Toelihere, 1977)

4.

Protein yang menyerupai kreatine, merupakan selubung tipis yang


meiputi seluruh badan, kepala, dan ekor sperma. Protein ini banyak
mempunyai ikatan dengan unsur zat tanduk yaitu S (Sulfur). Protein ii
banyak terdapat di membrane sel dan fibril-fibrilnya serta bertanggung
jawab terhadap sifat elastisitas permukaan sel sperma itu.

5.

Enzim dan Co-Enzim, ynag berguna untuk proses oksidasi,


misalnya glikolisis. Sel sperma juga mengandung Hyluronidase yang

letaknya dekat sekali dengan permukaan sel, sehingga setiap saat dapat
dilepaskan ke medium sekitarnya (Partodhardjo, 1985).
B. Plasma Semen
Plasma seminal merupakan campuran sekresi dai epididimis , vasdeferns, vesica
seminalis, dan kelenjar cowper. Jika dilihat satu persatu dari masing-masing organ
yang mensekresikan cairan masing-masing maka dapat dilihat sebagai berikut.
1. Epididimis : mensekresikan Glyceylphosphorylholine (GPC).
2. Ampula : mensekresikan substansi tereduksi diantaranya adalah fruktosa
dan asam sitrat.
3. Vesikula seminalis : Sekresi dari kelenjar ini merupakan sekresi terbesar,
sekitar 80 % dari keseluraham air mani. Dan merupakan sumber utama
fruktosa dan sukrosa pengeluaran dikendalikan oleh hormone jantan.
Fruktosa berasal dari gula darah. Dan sekresi tersebut normal bila banyak
asam sitrat, karena hewan yang dikastrasi prosuksi asam sitrat akan
menurun.
4. Prostate : Merupakan sumber antaglutin. Prostate juga mengeluarkan
alkalin sebagai sumber dari bau semen (Vandemark, 1985)
Plasma seminal banyak sekali menandung bahan organic, inorganic, dan air. Zat
organic relative lebih banyak dibandingkan dengan lainnya. Unsur-unsur itu
antara lain :
1. Phosphorylcholine dan glyserylphosphorylcholine
Phosphorylcholine terdapat terutama pada semen manusia, sedangkan
glyserylphosphorylcholine terdapat terutama pada hewan. Phosphorylcholine pada
domba sifatnya sangat labil, apabila meninggalkan tubuh cepat peca dan berubah
menjadi asam phosphate dan choline. Apabila glyserylphosphorylcholine (GPC)
berbeda lagi, zat organic ini sangat stabil, GPC dipecahkan oleh enzim-enzim
yang terdapat pada saluran reproduksi betina, dari pemecahan tersebut diperoleh
energy yang dipergunakan untuk mengarungi saluran reproduksi betina dan
fertilisasi.
1. Asam Sitrat, asam ini terutama disekresikan oleh glandula vesika
seminalis, asam sitrat merupakan komponen dari suatu buffer.
2. Inositol, terdapat banyak pada babi, namun inositol ini buka merupakan
sumber energy.
3. Sorbitol, Sorbitol merupakan gula alcohol, dapat masuk kedalam proses
pembakaran dan akan pecah menjadi fruktosa, dan selanjutnya fruktosa
akan berubah menjadi energy.

10

4. Fruktosa, fruktosa ini berasl dari glukosa darah dan disekresikan dari
vesika seminalis. Pada kuda konsentrasi fruktosa dalam semen sangat
sedikit, sedangkan pada anjing hamper tidak ada, tetapi pada domba, sapi,
dan kambinng konsentrasi fruktosa dalam semennya sangat tinggi.
5. Ergothioneine, merupakan nitrogen basa yang mengandun unsur S.
Terdapat dalam konsentrasi kecil pada kuda dan babi. Proses pembentukan
pada kuda di ampula, sedangkan pada babi di vesika seminalis, untuk
fungsinya belum diketahui.
Selain zat organic, plasma semen juga mengandung zat non-organik, diantaranya
adalah K, Ca dan bikarbonat yang relative tinggi kadarnya dibandingkan yang ada
diseluruh tubuh (Partodihardjo, 1985).

2.6. Kualitas Semen yang Baik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya


Kualitas semen dapat dilihat dari beberapa hal dari cara makroskopis maupun cara
mikroskopis.
1.

Makroskopis

Volume dan konsentrasi. Volume semen yang baik adalah pada domba dan sapi
adalah sedikit tetapi mempunyai konsentrasi sperma yang banyak. Sedangkan
volume pada pejantan kuda dan babi biasanya mempunyai volume yang banyak,
tetapi konsentrasi spermanya sedikit.
sapi

= 1200 juta/ml (vol. 4-6 ml)

kuda

= 150 juta/ml (vol. 75-150 ml)

babi

= 200 juta/ml (vol.125 ml)

domba

= 2000 juta/ml (vol. 1,5 ml)

Konsentrasi secara mikroskopik juga bisa dilihat dari jarak antara sperma yang
satu dengan sperma yang lain

Densum : Jarak antara dua kepala sperma kurang dari panjang satu kepala,
jumalh spermanya rata-rata 1000-2000 juta/ml.
Semi Densum : Jaraknya 1-1,5 kepala sperma, jumlah 500-1000 juta
sel/ml
Rarum : Jaraknya lebih dari satu kepala atau satu sperma, jumlah 200-500
juta/ml

11

Oligospermia : sedikit sperma, jaraknya adalah lebih dari satu sperma,


jumlahnya kurang dari 200 juta sel/ml

Aspermia ; tidak ada sperma.

Warna, warna semen pada sapi adalah putih krem, jika semen berwarna kuning
maka semen tersebut mengandung pigmen riboflavin, sedangkan jika semen
berwarna hijau kekuningan maka semen tersebut mengandung bakteri
pseudomonas aeruginosa. Sedangakan jika semen mengandung gumpalan maka
semen tersebut mengandung nanah, dan jika semen tersebut terdapat warna merah
maka semen tersebut terdapt darah dari ureter, dan jika semn tersebut berwarna
kecoklatan maka semen tersebut terkontaminasi dengn kotoran.
Konsistensi
Jika semen berwarna krem, maka konsentrasi spermanya adalah 1000 juta-2000jt
sel/ml
Jika semen seperti susu encer maka konsentrasi sperma adalah 500-600 jt sl/ml
Dan jika semen tersebut cair berawan dan keruh, maka semen tersebut
berkonsentrasi 100 jt sel/ml.
pH pada sapi dan domba rata-rata 6,8. Sedangkan pada kuda dan babi rata-rat 7,4.
2. Mikroskopik
Jika dilihat dari segi motilitas (persentase sperma yang bergerak lurus kedepan
dalam satu bidang pandangan) sperma yang baik adalah bergerak progesif,
klasifikasi untuk hewannya adalah sebgai berikut
sapi umumnya :

50-80%

kuda umumnya :

48-75%

babi umumnya :

80-90%

domba umumnya :

60-70%

Dan jika dilihat dari gerakan individual maka ada yang progesif, regresif, sirkuler,
fibrasi dan amotil (tidak bergerak). Dan yang bagu adalah progesif yaitu bergerak
kedepan.
Gerakan masa dapat dilihat dari grakan keseluruhan dari sperma dalam semen.
keseluruhan sperma yang baik adalah bergerak berpusar dan diberi nilai (+++).
Sedangkan untuk (++) semen cukup baik, karena menandakan gerakan gelombang
12

cepat dan membentuk pusaran. Jika (+) sama seperti (++) namun gerakan
gelombangnya lambat. Dan jika 0 maka tidak ada gerakan sama sekali.
Apabila dilihat dari morfologinya, semen dengan kualitas tinggi adalah yang
mempunyai sisi abnormal 5-15 %, sedangkan kualitas sedang 10-20 % dan
kualitas rendah lebih dari 30 %. Jika dilihat dari sisi hewannya, abnormalitas
sperma sapi harus kurang 20 %, domba 14 %, sedangkan babi 17 %.
Selain itu semua, juga bisa dilihat viabilitas atau persentase jumlah spermatozoa
yang hidup atau mati dalam 100 spermatozoa. Dalam percobaan dengan
pewarnaan corbolfushin eosin atau eosin negrosin atau formol saline, sperma yang
mati akan menunjukkan warna (biasanya ungu), sedangkan sperma yang hidup
tidak akan menunjukkan warna.

13

III
KESIMPULAN

14

DAFTAR PUSTAKA
Fawcett, Don W. 2002. Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC 423-501.
Junqueira, L. C., Jose Carneiro, Robert O. K. 2007. Histologi Dasar edisi ke-8. Jakarta:
EGC. Hal 419-432.
Partodiharjo, Soebadi. 1980. Pemulia Biakkan Ternak Sapi. PT Gramedia, Jakarta.
Toelihere, Mozes R. 1977. Fisiologi Reproduksi Hewan Ternak. Bandung :Penerbit
Angkasa.
Toelihere, Mozes R. 1977. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung :Penerbit
Angkasa.
Yuwanta, Tri. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta: Kanisius

15

Anda mungkin juga menyukai