Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta adalah sebuah penyakit granulomatosa kronis disebabkan oleh


Mycobacterium leprae, yang terutama menyerang saraf tepi dan kulit.1 Kusta
termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahsa india kustha, dikenal sejak
1400 tahun sebelum masehi. Kata lepra disebut dalam kitab injil, terjemahan dari
bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.
Ternyata bahwa pelbagai deksripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila
dibandingkan dengan penyakit kusta yang kita kenal sekarang.2
WHO telah berupaya untuk mengeliminasi penyakit ini dengan harapan target
prevalensi penderita disetiap negara adalah kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
Target ini secara global di umumkan pada tahun 2000. Jumlah kasus baru Hansen
penyakit menurun dari lebih 750.000 di 2001 sampai 250.000 pada tahun 2007. Pada
2008, tiga negara belum pernah berhasil dalam tujuan eliminasi yaitu Brazil, Nepal,
dan Timor-Leste. Penyakit Hansen endemik di daerah tertentu, dengan 95% kasus
untuk dua dekade terakhir dilaporkan dari 17 negara. Brazil, India, dan Indonesia
mencapai 76% dari semua kasus di seluruh dunia.3
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat,
keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya

pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkannya.4 Kusta dapat disembuhkan, MDT membunuh bakteri dan
menghentikan penyebaran penyakit sehingga penderita dapat menjalani kehidupan
dengan normal, jika terdeteksi dini dan diobati dengan MDT kusta tidak akan
menyebabkan kecacatan.5 Sehinga pengetahuan akan manifestasi klinis yang baik
sangat diperlukan untuk mendiagnosis kusta dan memberikan terapi MDT sehingga
tujuan tersebut dapat dicapai secara masksimal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah M.
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.2
Dalam pengertian lain, lepra dapat juga didefinisikan sebagai infeksi
granulomatosa kronis dan termasuk gejala sisanya, yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang mempengaruhi terutama kulit dan saraf. ( pattrick).

2.2

Epidemiologi
Dalam 12 tahun terakhir (2000-2011), situasi penyakit kusta di Indonesia

tidak mengalami perubahan. Hal ini ditunjukkan dari data pada tabel berikut :

Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta masih


menjadi masalah di Indonesia.

2.3

Etiologi dan faktor resiko

a.

Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae, untuk pertama kali

ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1873. M. Leprae hidup
intraselular dan memiliki afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sel dari
sistem retikulo endotelial. Waktu pembelahannya sangat lama yaitu 2-3 minggu. Di
luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat
bertahan, sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada
suhu 270-300 C. (PDF)
Sumber Penularan.
Sampai saat ini ghanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (athymic nude mouse).

Cara Keluat dari Penjamu (tuan rumah = host)


Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Telah terbukti
bahwa saluran nafas bagian atas dari pasien tipe lepromatosa merupakan sumber
kuman.
Cara Penularan
Kuman kusta memiliki masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat
juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar
dari tubuh pasien dan amsuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini
dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah
minum obat MDT tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain.
Cara Masuk ke Penjamu
Menurut teori cara masuknya kuman ke dalam tubuh adalh melalui saluran
pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit.
Penjamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien
kusta, hal ini disebabkan adanya kekebalan tubuh. M. Leprae termasuk kuman
obligat interselular sehingga sistem kekebalan yang berperan adalah sistem
kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta
faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar (95%) menusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil
yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh
sendiri dan 30% yang menjadi sakit.

2.4

Klasifikasi
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan

histopatologis,2,3 imunologi.3 Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang


terpenting dan paling sederhana.8 Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15 30 menit, sedangkan histopatologik 10 14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan
agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.2
Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk klinis bergantung pada
sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis
ke arah tuberkuloid, sebaliknya jika SIS rendah akan memberikan gambaran
lepromatosa. ( FKUI )
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi
Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi menurut WHO ;2
Tabel 2.1 Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.2
KLASIFIKASI
Ridley & jopling
Madrid
WHO
Puskesmas

ZONA SPEKTRUM KUSTA


TT
BT
BB
BL
LL
Tuberkuloid Borderline
Lepromatosa
Pausibasilar
Multibasilar (MB)
(PB)
Pausibasilar

Multibasilar (MB)

(PB)

Multibasiler berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB.
Sedangkan paulibasiler berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I.

Menurut WHO tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler (LL, BL, BB) pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan
paulibasiler (I, TT, BT) dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT. Bila pada tipe tersebut disertai BTA
positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah
semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan
BTA positif, harus diobati dengan redjimen MDT-MB. (FKUI)
Spektrum kusta memiliki dua tipe yang stabil, yaitu tuberkuloid dan
lepromatosa. Bentuk-bentuk tipe tersebut tidak dapat berubah, pasien tetap dalam
satu bentuk atau bentuk lain sepanjang perjalanan penyakit. Tuberkuloid atau yang
disebut TT, memiliki kekebalan SIS yang tinggi, ditandai dengan lesi yang kurang
dari lima (sering hanya satu) dan organisme yang ditemukan sangat sedikit
(pausibasilar). Pasien memiliki imunitas seluler yang kuat terhadap organisme.
Dalam sejarah banyak pasien kusta TT sembuh secara spontan selama beberapa
tahun. Bentuk lepromatosa disebut juga LL memiliki SIS yang sangat terbatas
terhadap organisme, lesi sangat banyak, dan banyak ditemukan organisme
(multibasilar). 3
Diantara tipe lepromatus dan tuberkuloid terdapat berbagai tipe. Kasus yang
dekat dengan tipe tuberkuloid disebut borderline tuberkuloid (BT), kasus yang dekat
dengan tipe lepromatous yang disebut lepromatous borderline (BL), dan kasus yang
berada di tengah-tengah disebut borderline (BB). Tipe Borderline adalah
karakteristik yang labil, dan dalam perjalanan waktu tipe TT menuju LL, disebut

sebagai proses downgrading.3 Morbus Hansen bisa hanya menyerang saraf saja. Di
Nepal dan India, Morbus Hansen yang murni menyerang saraf ditemukan sebesar
5% dari semua kasus baru Morbus Hansen.3
Tabel 2.4 Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995).2
PB
1.

Lesi kulit
(macula
datar, papul
yang
meninggi,
nous)
2. Kerusakan
saraf
(menyebabka
n hilangnya
sensasi/kelem
ahan otot
yang
dipersarafi
oleh saraf
yang terkena

2.5

1-5 lesi
Hipopigmentasi
Distribusi tidak
simetris
Hilangnya sensasi
yang jelas
Hanya
satu
cabang saraf

MB
-

> 5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Hilangnya sensasi
kurang jelas
Banyak
saraf

cabang

Patogenesis
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,

sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang
berbeda.5
Meskipun cara masuk M. leprae belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa yang tersering melalui kulit yang lecet pada
bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal (secar ainhalasi).

Pengaruh m. leprae terhadap kulit bergantung pada factor imunitas seseorang,


kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.5
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan system imunitas seluler, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman daapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Sedangkan
pada tipe TT kemampuan fungsi system imunitas selular tinggi, sehingga makrofag
mampu menghancurkan kuman. Tetapi setelah kuman difagosit, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatas akan terjadi reaksi
berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitarnya.5
2.6 Gejala Klinis
Lesi awal dan gejala yang muncul
Gejala prodromal sangat jarang dan penyakit ini di identifikasi hingga
munculnya suatu erupsi pada kulit. Manifestasi klinis pertama pada 90% pasien
adalah mati rasa, dan mungkin terjadi beberapa tahun sebelum lesi pada kulit dan
tanda-tanda lainnya di temukan. Awalnya akan terjadi perubahan sensitifitas sensorik
terhadap suhu dan raba ringan, paling sering terjadi di tangan dan kaki. Kehilangan
kemampuan membedakan panas dan dingin terjadi lebih awal daripada sensibilitas
terhadap benda tajam. Gejala tanda-tanda kerusakan pada saraf dan intensitasnya
tergantung pada jenis kusta yang dialami.3

Pasien sering datang dengan gejala gangguan pada saraf: yaitu kelemahan
atau anestesi karena lesi yang menyerang saraf perifer, atau melepuh, terbakar atau
ulkus di tangan dan kaki yang mengalami anestesi. Pada pasien dengan tipe
borderline mungkin tampak reaksi dengan nyeri saraf, tiba-tiba palsy, beberapa lesi
baru pada kulit, nyeri pada mata, atau demam sistemik.1
Lesi yang pertama kali muncul biasanya adalah berkurangnya sensasi sensorik
pada kulit, atau lesi kulit terlihat. Lesi yang awal kali muncul, berdasarkan survei,
merupakan kusta indeterminate, yang paling sering ditemukan pada wajah,
permukaan ekstremitas, pantat atau badan (lihat gambar 2.3). Pada daerah Kulit
kepala, ketiak, lipatan paha dan kulit daerah pinggang cenderung aman dari lesi.
Lesi indeterminate terdiri dari satu atau lebih dengan sedikit hipopigmentasi atau
makula eritematosa, dengan diameter beberapa sentimeter, dengan batas yang tidak
tegas. Pertumbuhan rambut dan fungsi saraf tidak terganggu. Biopsi dapat
menunjukkan infiltrasi perineurovascular, dan bila dilakukan pemeriksaan yang
berkelanjutan akan ditemukan sedikit BTA.1 atau bahkan tidak didapatkan BTA.3

Gambar 2.3 Indeterminate leprosy. Wajah seorang anak Nepal tampak


patch hipopigmentasi dengan central healing.1

Tuberkuloid Leprosy (TT)

Lesi tuberkuloid yang tunggal atau sedikit jumlahnya (lima atau kurang) dan
distribusi yang asimetris.3 Lesi dapat hipopigmentasi atau eritematosa, dan biasanya
kering, bersisik, dan rambut yang rontok1,3 (Gambar 2.4). Lesi khas kusta tuberkuloid
besar, disertai plaque eritematosa dengan batas jelas dengan bagian tepi yang
meninggi dan didapatkan central healing. Predileksi tersering adalah wajah, tungkai,
atau tubuh. Sedangkan bagian yang tidak didapatkan lesi pada kulit kepala, ketiak,
selangkangan, dan perineum.3

Gambar 2.4 Tuberkuloid leprosy 3


Lesi pada kulit yang tampak berupa plak yang mencolok (berbeda warna dengan
kulit sekitarnya), eritematosa, copper coloured atau ungu, tampak peninggian pada
tepi lesi dan hipopigmentasi pada tengah lesi. Eritema mungkin tidak tampak pada
pasien dengan kulit yang lebih gelap. Gangguan sensorik sulit di temukan pada
wajah dikarenakan banyaknya suplai dari ujung saraf sensorik. Jika pemeriksa
melakukan pemeriksaan dengan menggunakan jari, di bagian luar, maka akan teraba
saraf yang menebal di sekitarnya, misalnya nervus ulnaris menebal jika terdapat lesi

di lengan. Umumnya didapatkan efloresensi makula pada lesi, erythematous di kulit


yang cerah dan hipopigmentasi (tidak pernah depigmentasi) di kulit gelap.1

Gambar 2.5 Tuberkuloid leprosy dengan plaque eritematosa

Gambar 2.6 Tuberkuloid leprosy dengan plaque hipopigmentasi


Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi ini menyerupai tipe TT kecuali bahwa lesi lebih kecil dan jumlah lesi yang
lebih banyak (gambar 2.7). Terdapat satelitlesi disekitar makula yang besar dan
plaques.3 gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya

asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
Terdapat lebih sedikit rambut rontok.8

Gambar 2.7 Borderline Tuberkuloid


Mid borderline (BB)
Dalam kusta borderline, lesi kulit banyak (tapi masih dapat dihitung) dan
merah, plak berbentuk tidak teratur. Lesi satelit kecil dapat mengelilingi plak lebih
besar. Tepi lesi susah digolongkan sehingga lebih condong di tipe tuberkuloid.
nerves mungkin menebal dan nyeri, anestesi hanya sedang pada lesi.3
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum
penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai.
Lesi dapat berupa lesi yang infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi
kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi BT dan cenderung simetris. Lesi
sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan

lesi punched out yang merupakan cirri khas tipe ini. Pemeriksaan bakteriologis
ditemukan sejumlah bakteri, reaksi lepromin biasanya negatif, lesi merah dan bentuk
ireguler, lesi satelit kecil meungkin tampak, mungkin terdapat regional adenopathy.8
Borderlinelepromatousleprosy
Dalam kusta tipe borderline lepromatosa, lesi simetris, banyak (terlalu
banyak untuk dihitung), dan mungkin termasuk makula, papula, plak, dan nodul.
Kemudian saraf mulai terkena, nervus yang membesar, nyeri, atau keduanya, dan
biasanya simetris. Hilangnya sensasi dan berkeringat lebih lesi individual adalah
normal. Pasien biasanya tidak menunjukkan gambaran fullblown kusta lepromatosa,
seperti madarosis (hilangnya rambut alis), keratitis, ulserasi hidung, dan leonine
facies.3
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah
sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih
bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada
bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir luarnya, dan
beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa
hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut
lebih cepat muncul dibandigkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat predileksi.8
Lepromatousleprosy
Lesi kusta lepromatous berupa makula yang menyebar dan simetris tersebar ke
seluruh tubuh. Makula tuberkuloid bentuknya besar dan sedikit jumlahnya,
sedangkan makula lepromatosa berbentuk kecil dan banyak. Makula lepromatosa

yang tidak jelas, menunjukkan tidak ada perubahan dalam tekstur kulit, dan samar
dengan kulit di sekitarnya. Ada sedikit anastesi atau mungkin tidak ditemukannya
anastesi pada lesi, tidak ada penebalan saraf, dan tidak didapatkan gangguan
berkeringat. Hilangnya rambut secara lambat namun progesif terjadi pada sepertiga
bagian luar alis, kemudian bulu mata, dan akhirnya, tubuh, namun, rambut kulit
kepala biasanya tidak terkena.3
Infiltrasi lepromatosa dapat dibagi menjadi diffuse, plak, dan nodular
(Gambar 2.8). Jenis diffuse ditandai dengan perkembangan infiltrasi diffuse di wajah,
terutama dahi, madarosis, dan kulit yang mengkilap dan seperti lilin, kadang-kadang
digambarkan seperti tampilan yang dipernis (varnished).3

Gambar 2.8 Lepromatous leprosy3


Infiltrasi dapat bermanifestasi dengan perkembangan nodul yang disebut
lepromas. Nodul awal yang tidak jelas dan paling sering terjadi di bagian acral :
telinga (Gambar 2.9) , alis, hidung, dagu, siku, tangan, pantat, atau lutut. Kerusakan
nervus juga terjadi pada lepromatous kusta, namun berkembang dengan lambat.
Seperti lesi kulit, kerusakan saraf terjadi bilateral simetris, biasanya dalam bentuk
stocking-glove. Ini sering salah didiagnosis sebagai neuropati diabetes di AS.3

Gambar 2.9 Lepromatous leprosy, pembesaran cuping telinga3


Gejala klinis awal berupa kulit (karena kerusakan nervus biasanya tanpa gejala),
tetapi terjadi tanpa disadari oleh pasien, yang sering mengeluhkan gejala klinis yang
lain, di antaranya hidung buntu dan epistaksis, dan edema kaki dan pergelangan kaki
karena peningkatan stasis kapiler dan permeabilitas. Tanda-tanda kulit terdiri dari
makula, berdifusi papula, infi ltration atau nodul, atau keempat-empatnya. Makula
kecil, multiple, eritematosa atau agak hipopigmentasi, dengan tepi kabur dan
permukaan mengkilap (Gambar 2.10).
Papula dan nodul biasanya memiliki warna yang sama dengan kulit normal,
tetapi kadang-kadang eritematosa (Gambar 2.11), dengan distribusi bilateral simetris
pada wajah, lengan, kaki dan pantat, mungkin terdapat di mana saja selain di rambut
kulit kepala, aksila, lipat paha dan perineum (daerah kulit dengan suhu yang tinggi).
Pada lesi tidak didapatkan gangguan pertumbuhan rambut dan sensasi. Lesi mukosa
mulut berupa papules pada bibir dan nodul pada palatum (mungkin terjaadi
perforasi), uvula, lidah dan gusi (Gambar 2.12). Mukosa hidung tampak hiperemi
atau ulserasi dan mudah berdarah, epistaksis umum terjadi (Gambar 2.13) .1

Gambar 2.10 Lepromatous leprosy1

Gambar 2.11 Lepromatous leprosy1

Gambar 2.12 LL, menunjukkan adanya bentukan infiltrasi lepromatous, perhatikan


hancurnya hidung dan infiltrasi dari lidah1

Gambar 2.13 Lepromatous leprosy1


Saraf sensoris yang terpanjang yang akan pertama kali terkena, menyebabkan
mati rasa dan anestesi pada permukaan dorsal tangan dan kaki, dan kemudian pada
permukaan ekstensor lengan dan kaki, dan akhirnya berakhir di tubuh. Infiltrasi saraf
kornea menyebabkan anestesi, yang menjadi predisposisi cedera, infeksi dan
kebutaan jika terdapat lagophthalmos karena terjadi kerusakan saraf wajah. Tangan
dan kaki membengkak dan dapat terjadi edema. Pada radiografi mungkin didapatkan
osteoporosis di falang, kista osteolitik kecil dan fraktur kompresi. Jari-jari terlihat
menjadi bengkok atau pendek (Gambar 2.14). Kuku menjadi tipis dan rapuh.1

Gambar 2.14 Lepromatous leprosy1


Jika pasien tetap tidak diobati maka garis dahi menjadi lebih tebal dan
mengental (facies leonine), alis dan bulu mata menjadi menipis atau hilang

(madarosis), lobus telinga menebal, hidung menjadi cacat, dan dapat terjadi
deformitas hidung karena perforasi pada septum, dan kehilangan tulang hidung
bagian depan.1 Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.8
Gambaran klinis ogan tubuh lain yang dapat diserang yaitu: mata berupa iritis,
iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan. Dan hidung: epistaksis, hidung
pelana. Tulang dan sendi: aborsi, mutilasi, arthritis. Lidah: Ulkus dan nodus.
Larings: suara parau. Testis: ginekomasti, epididimitis akut, orkhitis, atrofi. Kelenjar
limfe : limfadenitis. Rambut: alopesia, madarosis. Ginjal: glumerulonefritis,
Amioloidoisis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.8
Kerusakan pada saraf
Dari ketiga fungsi fisiologis saraf, komponen sensorik adalah yang pertama dan
yang paling parah terkena dampaknya, tapi terkadang didapatkan lesi murni pada
motorik. Disfungsi otonom akan selalu muncul dengan kerusakan saraf yang parah.
Dalam lesi kulit ini terkait dengan hilangnya pertumbuhan rambut, dan kelenjar
sebasea dan sekresi keringat, dan minimnya pembentukan pigmen. Di tungkai akan
menyebabkan statisnya kapiler, sianosis dan kekeringan, yang menyebabkan rentan
terhadap kulit yang pecah-pecah.
Dua penelitian kohort besar dengan pemeriksaan saraf sistematis menunjukkan
bahwa saraf tibialis posterior adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh ulnaris,
median, poplitea lateral dan wajah. Lesi pada nervus ulnaris dan nervus median
biasanya rendah/sedikit, yang menyebabkan pengecilan otot tapi kelemahan fleksor
tidak mendalam, dan anestesi dari dua bagian tangan. Umumnya lesi pada saraf
peroneal menyebabkan kesulitan dalam dorsofleksi dan eversi kaki dan anestesi pada

bagian luar kaki, sebuah kombinasi yang merupakan predisposisi trauma dan ulserasi
plantar. Kerusakan saraf tibialis posterior termasuk hal yang serius karena
menyebabkan kelumpuhan dan kontraktur otot-otot kecil kaki dan anestesi dari
telapak kaki.1
Kuman M.leprae sering menyerang saraf tepi yang terletak superfisial dengan
suhu yang relative dingin. Saraf tepi yang dapat terserang akan menunjukkan
berbagai kelainan yaitu: N. Fasialis (lagoptalmus, mulut, mencong), N. Trigeminus
(anestesi kornea), N. auricularis magnus, N. Radialis (drop wrist), N. Ulnaris
(anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagaian jari IV), N.Medianus
(anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I,II,III dan sebagaian IV), kerusakan
nervus ulnaris dan nervus medianus menyebabkan jari kiting (clow toes) dan tangan
cakar (claw hand), N. peroneus komunis (droop foot). N. tibialis posterior (mati rasa
telapak kaki dan jari kitting (Claw toes).8
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu
diperiksa, yaitu N. fasialis, N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N.
Medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi
memerlukan latihan dan kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe ke arah
lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-

tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,
umumnya deformitas diakbatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris :

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis


Clawing kelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial

N. medianus :

Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, danjari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedau otot lumbrikalis lateral

N. radialis :

Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk


Tangan gantung (wrist drop)
Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea laeralis :

Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis


Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior

Anesthesia telapak kaki


Claw toes
Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis

N. fasialis

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus


Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

N. trigeminus

Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagaian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.
Secara sendiri sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.2
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.2

2.7 Diagnosis
Pemeriksaan Klinis yang lengkap dan lengkap sangat penting dalam
menegakkan diagnosis kusta.
2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan lengkap mengenai riwayat datangnya keluhan8 :
- Menanyakan tentang lesi di kulit :
1. Durasi lesi di kulit : sejak kapan lesi muncul? Bercak yang muncul beberapa
hari yang lalu atau baru tumbuh bukan termasuk penyakit kusta.
2. Perkembangan lesi di kulit : bagaimana mulai terjadinya? Lesi di kulit yang
tiba-tiba muncul bukan penyakit kusta (kecuali reaksi kusta). Kusta biasanya
muncul pelan-pelan
3. Karakteristik lesi kulit : bercak kusta tidak gatal dan biasanya tidak nyeri.
Rambut rontok biasanya ada pada kulit yang terdapat bercak.
4. Keringat : area lesi di kulit biasanya tidak berkeringat
5. Riwayat rekuren : lesi yang hilang timbul atau musiman biasanya bukan
-

kusta
Pertanyaan yang lain :

1. Apakah kulit menjadi lebih kering di sekitar bercak?


2. Apakah tangan dan kaki menjadi lemah?
3. Apakah merasakan hilang rasa raba atau rasa yang abnormal di tangan atau
kaki? Apakah ada masalah ketika memegang, menggerakkan, atau
-

mengangkat benda atau saat aktifitas?


Kelainan yang lain :

Mulai kapan terjadinya, lama keluhan tersebut dan perkembangannya?


-

Riwayat pengobatan :
Pengobatan apa yang telah dilakukan, nama obat yang didapatkan
(menunjukkan kemasan obat), lama pengobatan, apakah obat-obatan
diminuPem teratur atau tidak?

Riwayat alergi obat :


Apakah ada alergi obat, misalnya obat sulfa (Hindari Dapson)

Riwayat Keluarga :
Apakah ada dikeluarga ada tetangga dekat yang memiliki penyakit atau gejala

yang sama?
Jika pasien perempuan :
Menanyakan dnegan detail kapan terakhir menstruasi untuk menyingkirkan

2.7.2

kehamilan bila terjadi reaksi kusta.


Pemeriksaan fisik
Dibawah ini merupakan diagnosis banding antara gambaran klinis,

makteriologik, dan imunologik kusta multibasiler dan juga pauli basiler.


Gambar 2.1 gambaran klinis, makteriologik, dan imunologik kusta
multibasiler (MB)

Gambar 2.2 gambaran klinis, makteriologik, dan imunologik kusta


multibasiler (MB)

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan,


pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan
hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini tercantum pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.4 Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995).2
PB
Lesi kulit (macula datar,
papul yang meninggi,
nous)

MB
-

1-5 lesi
Hipopigmentas
i

> 5 lesi
Distribusi
simetris

lebih

Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena

Distribusi tidak
simetris
Hilangnya
sensasi
yang
jelas

Hilangnya
sensasi
kurang jelas

Hanya
satu
cabang saraf

Banyak cabang saraf

Berikut ini merupakan alur diagnosis kusta menurut ,,,, :

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Jika pada temuan secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dapat mudah dilakukan dengan menggunakan
jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas

dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap raa suhu, yaitu panas dan
dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.(FKUI)
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang
dipertegas dengan pensil tinta ( tanda Gunawan). Gangguan fungsi motoris diperiksa
dengan voluntary muscle test (VMT).
Deformitas primer

yaitu akibat langsung dari granuloma yang terbentuk

sebagai reaksi terhadap kerusakan saraf, umumnya deformitas M. leprae, yang


mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah.
Deformitas sekunder yaitu terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya
deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejalagejala kerusakan saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi
dan adanya nyeri atau tidak.
2.7.3

pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)


Pemeriksaan digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan

pengamatan pengobatan. sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil
tahan asam (BTA), antara lain dnegan Ziehl-Neelsen. Hasil negatif bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae. (FKUI)
Tentukan lesi di kulit yang paling padat oleh kuman, dan menentukan
jumlah tempat yang akan diambil. Jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya,
riset (10 tempat) atau rutin (4-6 tempat) yaitu di kedua cuping telinga tanpa
menghiraukan ada tidaknya lesi, dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang
paling eritema dan infiltrat.
Gambar. Letak pengerokan di telinga dan lesi yang paling eritema

Gambar. Insisi cuping telinga

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik


dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. [erhatikan sifat duh
tersebut apakah cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen, ada darah atau tidak.
Sediaan dari mukosa ini jarang dilakukan karena :
kemungkinan adanya M. Atipik
M. Leprae tidka pernah positif kalau pada kulit negatif
Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif lebih dulu

bila dibandingkan dengan kerokan jaringan kulit


Rasa nyeri saat pemeriksaan

M. Leprae tergolong BTA , akan tampak merah pada sediaan. Terdapat


perbedaan bentuk yaitu solid (batang utuh) yang berarti kuman hidup dan non
solid (fragmented, granular) yang berarti bentukan kuman mati. Dikarenakan
sangat sulit untuk membedakan antara keduanya, sehingga kepadatan BTA (tanpa
membedakan solid atau non solid) dinyatakan dengan indeks bakteri (IB)

dinyatakan dengan nilai 0 hingga +6 menurud Ridley. IB seseorang adalah IB


rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP


2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-tara dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-tara dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-tara dalam 1 LP
6+ bila >1000 BTA rata-tara dalam 1 LP

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibanding dengan


jumlah solid dan nonsolid.
Hasil sediaan :

Solid, bila :
Dindin sel tak putus
Mengambil zat warna secara merata
Panjangn kuman 4-5 kali lebar
Ujung tumpul
Fragmented
Granular (titik-titik tersusun garis atas berkelompok)
Globus ( dapat berbentuk solid, ftagmented , atau granular)
Clump ( granular, membentuk pulau)
Gambar 2.31 Gambar bentuk bakteri9

2.7.4

pemeriksaan histopatologi
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan

saraf yang nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non solid. Pada tipe

lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) , yaitu


suatu daerah langsung di bawh epidermis yang jaringannya tak patologis.
Didapatkan sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur-unsurtersebut. (FKUI)
2.7.5 pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologik kusta didasari oleh terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang terbentuk bersifat
spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM). Kegunaan pemeriksaan ini
adalah membantu diagnosis kusta yang meragukan , karena tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas dan juga dapat menentukan kusta subklinis. Macammacam pemeriksaan serologik kusta :
uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
uji ELISA ( Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
ML dipstick test (mycobacterium leprae dipstick)
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)
(FKUI)
2.8 Diagnosis Banding
Dermatofitois
Tinea cersikolor
Ptiriasis rosea
Ptiriasis alba
Dermatitis seboroik
Psoriasis
2.9

Tatalaksana

Diberikan bedasarkan regimen MDT (multi Drug treatment)


a. MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA +) adalah :
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan.
DDS (diaminodifenil sulfon) 100 mg setiap hari.

Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg


sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
Kombinasi ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan sarat
bakteriskopik harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus
dilanjutkan hingga bakterioskopik negatif. Besar kemungkinan pengobatan kusta
MB ini hanya selama 2-3 tahun. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan rutin
bakterioskopik minimal setiap 3 bulan seklai.
Pemberhentian obat lazim disebut juga RFT (release from treatment) namun harus
dilakukan tindak lanjut tanpa pengobatan dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama 5 tahun, jika negatif dan klinis tidak ada lesi aktif, maka dinyatakan bebas
dari pengamatan (RFC = release from control)
b. MTD untuk paulibasiler ( I, TT, BT, dengan BTA -) adalah :
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
DDS 100 mg tiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, RFT setelah
6-9 bulan. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis tiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan di akhir pengobatan. Pemeriksaan minimal
setahun sekali dalam 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis, jika hasil negatif
dan tidak ada keaktifan baru maka dinyatakan RFC.
Berdasarkan klasifikasi WHO 1997 untuk kepentingan pengobatan , penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup :
PB dengan lesi tunggal
PB dengan lesi 2-5 buah
MB dengan lesi > 5 buah

Untuk standar pengobatan, WHO 1998 memperpendek masa pengobatan untuk


kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, dan PB lesi 2-5 buah 6 dosis dalam
6-9 bulan, dan PB lesi tunggal dengan Rifampisin 600 mg + Ofloksasin 400 mg +
minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal
Untuk MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resistensi dengan DDS
sehingga hanya mendapat klofazimin. Sehingga rejimen yang dibuat adalah
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 18
bulan.
Jika penderita MB menolak klofazimin dapat diberikan ofloksasin 400 mg/hari atau
minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain diberikan rifampisin 600 mg
+ ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.

BAB III
KESIMPULAN
Morbus Hansen merupakan penyakit kronis yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang menakibatkan sebagian
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab
morbus Hansen adalah mycobacterium leprae.
Klasifikasi bentuk bentuk penyakit morbus Hansen yang sering digunakan
dalam

penelitian

adalah

klasifikasi

menurut

ridley

dan

jopling

yang

mengelompokkan penyakit morbus Hansen menjadi tipe indeterminate leprosy,


tuberculoid leprosy, borderline tuberculoid leprosy, mid borderline leprosy,
borderline lepromatous leprosy, lepromatous leprosy.
Diagnosis morbus Hansen didasarkan pada penemuan tanda kardinal yaitu,
bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, ditemukannya kuman tahan asam.

Program MTD dimulai pada tahun 1971 yaitu kelompok studi terapi WHO
secara resmi megeluarkan rekomendasi pengobatan morbus Hansen dengan regimen
kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai regimen MTD-WHO. Regimen ini
terdiri dari kombinasi obat-obat DDS, rifampisin, dan klofazimin.

Anda mungkin juga menyukai