Anda di halaman 1dari 8

PENGARUHPERUBAHANIKLIMTERHADAP

PEMUTIHANKARANG(CORALBLEACHING)DI
PERAIRANTROPIS
Oleh: Laily Agustina Rahmawati
Program Study Ilmu Lingkungan, Sekolah pasca Sarjana UGM
Abstrak
Pemanasan global mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan iklim, dan berdampak
langsung terhadap kenaikan suhu permukaan air laut. Naiknya suhu permukaan air laut mengancam
keberadaan ekosistem terumbu karang, dan memicu terjadinya coral bleaching atau pemutihan
karang. Bleaching merupakan gambaran kondisi yang berkaitan dengan kepadatan rendah simbion
karang dan ganggang kompleks, akibat gangguan simbiosis antara karang host dengan fotosintetik
microalgae endosymbionts (zooxanthellae), sebagai respon terhadap tekanan panas. Kenaikan suhu
direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang sehingga karang lebih rentan terserang penyakit
dan ikut memicu terjadinya bleaching. Kenaikan suhu permukaan air laut diprediksi akan terus
meningkat dari waktu ke waktu. Ini berarti terdapat ancaman besar terhadap kelestarian ekosistem
terumbu karang di masa yang akan datang. Oleh karena itu dilakukan upaya perlindungan atau
konservasi ekosistem terumbu karang, misalnya dengan manajemen Marine Protected Area (MPA).
Namun dalam pelaksanaannya, manajemen MPA yang dilaksanakan pemerintah sering mengalami
kegagalan, antara lain karena alasan keterbatasan dana dan kurangnya keterlibatan masyarakat. Hal
tersebut dapat diatasi dengan menjalin kerjasama dengan pihak swasta untuk menutup kekurangan
biaya konservasi dan melibatkan masyarakat dalam melaksanakan konservasi terumbu karang.
Dengan demikian kelestarian terumbu karang akan tetap terjaga.
Kata Kunci: perubahan iklim, coral bleaching, manajemen Marine Protected Area (MPA)
Pendahuluan
Isu pemanasan global merupakan isu penting di abad 21. Pemanasan global mempunyai
pengaruh besar terhadap perubahan iklim, dan berdampak langsung terhadap kenaikan suhu
permukaan air laut (Keller et al. 2009). Naiknya suhu permukaan air laut mengancam keberadaan
ekosistem terumbu karang, dan memicu terjadinya bleaching atau pemutihan karang (Keller, et al.
2009; Guldberg 2009; Banin et al. 2000; Fit et al 2001; Barton et al 2005; Oxenford 2007).
Antara tahun 1961-2003 telah terjadi kenaikan suhu air laut sebesar 0,1 C (Bindoff 2007 dalam
Keller et al 2009), dan diprediksi seratus tahun yang akan datang (sekitar tahun 2099) suhu
permukaan air laut meningkat hingga 4 C. Padahal kenaikan suhu 1-3 C sudah menyebakan
terumbu karang mengalami bleaching, yang berlanjut kematian massal pada terumbu karang (Keller
et al. 2009). Jika degradasi terumbu karang terus terjadi, maka 30 tahun mendatang terumbu karang

diprediksi akan hilang dari muka bumi (Lydia et al, 2007). Ini berarti, ada ancaman yang sangat besar
terhadap keberlangsungan ekosistem terumbu karang dimasa yang akan datang.
Kerusakan ekosistem terumbu karang berdampak pada penurunan fungsi ekosistem karang
bagi biota laut. Ikan-ikan terumbu karang yang menggantungkan hidupnya pada terumbu karang,
akan kehilangan tempat mencari makan dan berlindung (Keller et al. 2009). Kerusakan terumbu
karang harus dicegah dengan melakukan menejemen pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian
terumbu karang (Keller et al. 2009) yang pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan pihak swasta
maupun dengan melibatkan masyarakat sekitar (Lydia et al, 2007; Camargo et al. 2008).
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim (Climate
Change) terhadap pemutihan karang (Coral Bleaching). Berdasarkan jurnal yang ditulis Keller et al.
2009; Guldberg 2009; Banin et al. 2000; Fit et al 2001; Barton et al 2005; Oxenford 2007, peristiwa
pemutihan karang terkait erat dengan perubahan iklim. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana
proses terjadinya Coral Bleaching, apakah perubahan iklim menjadi satu-satunya faktor penyebab
peristiwa bleaching, atau kah ada faktor lain yang ikut berperan dalam peristiwa tersebut ( Banin et al.
2000; Fit et al. 2001; Keller et al. 2009). Dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya Coral Bleaching (Keller et al. 2009; Lydia et al. 2007; Camargo et al. 2008), mengingat
peran ekosistem terumbu karang sangat penting.
Tulisan ini membahas proses terjadinya Coral Bleaching dan faktor-faktor yang berpengaruh,
terutama pengaruh perubahan iklim. Menurut Keller et al. 2009, perubahan iklim menyebabkan suhu
permukaan air laut dan tingkat keasaman air laut meningkat, sehingga memicu terjadinya Coral
Bleaching. Seperti yang terjadi di perairan Karibia pada akhir musim panas 2005, sebanyak 70,6 %
terumbu karang mengalami bleaching akibat perubahan iklim (Oxenford 2007). Untuk melihat
keterkaitan antara kenaikan suhu air laut dengan terjadinya Coral Bleaching, Barton, 2005,
menggunakan data historis Sea Suface Temperature (SST). Kenaikan suhu permukaan air laut,
menurut Cossins dan Browler 1987 dalam Fitt 2001, dapat menyebakan pemutusan proses enzimatik
dan disfungsi metabolik pada organisme penyusun karang. Dan secara tidak langsung akan
meningkatkan virulensi bakteri penyerang karang, seperti yang diungkapkan Banin et al. 2000,
sehingga memicu terjadinya bleaching.
Tulisan ini juga membahas mengenai ancaman keberlangsungan ekosistem terumbu karang
dimasa mendatang, mengingat suhu permukaan air laut akan terus meningkat karena perubahan
iklim (Keller et al. 2009; Guldberg 2009). Selain itu dibahas pula upaya perlindungan ekosistem
terumbu karang dengan menerapkan manajemen Marine Protected Area (MPA) berdasarkan Keller et
al. 2009. Manajemen MPA dilakukan untuk menekan terjadinya pemutihan karang dan menjaga
keberlangsungan fungsi ekosistem terumbu karang. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan
dapat melibatkan pihak swasta dan masyarakat sekitar (Lydia et al, 2007; Camargo et al. 2008).
Pembahasan
Perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kelestarian terumbu karang (Guldberg
2009, Barton et al. 2005). Habitat seperti terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan iklim,
yang dibuktikan dengan terjadinya pemutihan masal selama 2 dekade (Keller et al. 2009). Perubahan
iklim juga menyebabkan ekosistem laut berubah, seperti meningkatnya suhu permukaan air laut,

meningkatnya keasaman air laut, kenaikan permukaan air laut, mengubah pola sirkulasi,
meningkatnya keparahan badai, dan mengubah influx air tawar. Sejak revolusi industri pH air laut
turun 0,1 unit tiap tahun, dan selama 100 tahun terakhir, permukaan aire laut naik 1 2 mm per
tahun (Keller et al. 2009).
Pemanasan suhu permukaan air laut banyak ditemukan di daerah tropis, terutama dibelahan
bumi bagian utara. Menurut Fit et al. 2001, tercatat pada abad yang lalu, rata-rata kenaikan suhu air
laut antara 0,07 0,5 C tiap dekade. Menurut Keller et al. 2009 telah terjadi kenaikan suhu sebesar
0,1 C pada kedalaman 0-700 meter dibawah permukaan air laut antara tahun 1961 2003. Menurut
Barton et al. 2005 suhu permukaan air laut global meningkat 0,4 0,8 C sejak akhir abad-19 dan
diprediksi akan terus meningkat dimasa mendatang.
Selama 20 tahun, banyak literatur meyakinkan bahwa tingginya suhu permukaan air laut
merupakan penyebab utama terjadinya bleaching (Fit et al. 2001; Keller et al. 2009). Peningkatan
suhu 1 3 C, sering menyebabkan peristiwa pemutihan terumbu karang yang cukup parah yang
berlanjut pada kematian karang yang semakin meluas, kecuali terjadi adaptasi termal atau
aklimatisasi karang (Keller et al. 2009). Menurut Guldberg 2009, program Hotspot di National
Atmospheric Administration secara akurat memprediksi bahwa terumbu karang sudah akan
mengalami pemutihan jika suhu air laut meningkat 1 C di atas suhu jangka panjang air laut pada
musim panas. Lebih dari itu peningkatan suhu air laut sebesar 2 C selama 4 minggu menyebabkan
sebagian besar jenis karang memutih. Jenis karang Arcopora dan Stylopora akan mengalami
bleaching pertamakali jika suhu permukaan air laut naik 1 C, sedang karang yang lain seperti Porites
lebih toleran terhadap kenaikan suhu permuakaan air laut, biasanya lebih dari 1-2 C.
Peningkatan suhu air laut mempengaruhi proses fisiologi organisme dan mempengaruhi
proses-proses ekologi seperti mencari makan, pertumbuhan, penyebaran dan durasi larva, serta pada
rentang geografi spesies. Kenaikan suhu juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang,
selama masih pada batas fisologis mereka. Kenaikan suhu menyebabkan karang lebih rentan
terserang penyakit, seperti penyakit white-band yang ikut memicu terjadinya bleaching (Keller et al.
2009).
Fit et al. 2001 mengatakan bahwa bleaching merupakan gambaran kondisi yang berkaitan
dengan kepadatan rendah simbion karang dan ganggang kompleks, sebagai respon terhadap
tekanan panas. Bleaching didefinisikan hilangnya simbion alga dengan pigmennya atau tidak,
sebagai respon klasik pada simbiosis karang tropis terhadap berbagai tekanan lingkungan termasuk
kenaikan suhu air laut. Fit et al. 2001 mengelompokkan bleaching karang akibat tekanan suhu tinggi
menjadi 3 jenis, yaitu:
1). Physiological bleaching, merupakan peristiwa pemutihan karang yang terjadi akibat gangguan
fisiologis sebagai respon terhadap suhu yang lebih tinggi dari pada suhu normal.
2). Algal-stress bleaching, meliputi disfungsi simbiosis alga pada pencahayaan yang tinggi atau pada
suhu yang tinggi.
3). Animal-stress bleaching, dimana sel-sel koral yang mengandung alga simbiotik terlepas dari lapisan
gastrodermal akibat tekanan suhu tinggi.

Menurut Banin et al. 2000, bleaching terjadi akibat gangguan simbiosis antara karang host
dengan fotosintetik microalgae endosymbionts (zooxanthellae). Gangguan bisa disebabkan karena
bakteri patogen. Misalnya pemutihan karang Oculina patagonica di laut Mediterania disebabkan oleh
bakteri Vibrio shiloi. Ketika suhu air laut naik dan memungkinkan bakteri menjadi virulen.
Banin et al. 2000 membagi tahapan infeksi Vibrio shiloi terhadap karang Oculina patagonica,
menjadi 4 tahap: 1). Adhesi pada permukaan karang, 2). Penetrasi pada jaringan karang, 3). Bakteri
mengganda di dalam jaringan, 4). Produksi toxin. Bakteri yang virulen menginfeksi pada permukaan
karang, kemudian menembus jaringan karang dan menghasilkan material ekstraseluler yang
menghambat fotosintesis algae dan membuat algae memutih kemudian lisis. Suhu yang tinggi
menginduksi berbagai faktor mematikan dalam agen infeksi penyakit, V. shiloi. Pada suhu yang lebih
tinggi, toxin menjadi lebih aktif dan kemampuan menghalangi proses fotosintesis pun menjadi lebih
besar.
Tekanan panas juga menyebabkan kerusakan / gangguan pada jalur enzimatik, yang
menyebabkan disfungsi biokimia dan metabolik. Tingkat tekanan tergantung pada suhu absolut,
panjang penyinaran, dan keberadaan faktor lingkungan lain (salinitas, cahaya, dan pergerakan air)
(Fit et al. 2001).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fit et al. 2001 karang akan mati jika: 1). dihadapkan
pada suhu yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, 2). dihadapkan pada lethal temperature (suhu
yang menyebabkan kematian) meskipun dalam jangka waktu pendek, 3). dihadapkan pada sublethal
temperature dalam waktu paparan yang panjang. Paparan sinar matahari yang panjang dengan suhu
yang tinggi mengakibatkan kepadatan simbion alga, jaringan protein karang, konsentrasi alga
berklorofil, dan abnormalitas histologi mengalami penurunan dari waktu ke waktu seiring dengan
kenaikan suhu.
Coral bleaching menyebabkan hilangnya kehidupan karang dan penurunan fungsi ekosistem
terumbu karang (Barton et al. 2005). Dalam konteks klimatologi, untuk mencegah coral bleaching
dalam skala yang lebih besar dimasa yang akan datang akibat kenaikan suhu, Barton et al. 2005
menggunakan data Sea Surface Temperature (SST). Data ini dapat membantu mengetahui
keterkaitan antara coral bleaching dengan kondisi thermal (suhu). Data SST menyediakan rekaman
suhu secara historis dalam ekosistem terumbu karang dan dapat menunjukkan terjadinya coral
bleaching dan penyimpangan suhu yang terjadi hampir diseluruh dunia pada sepuluh tahun terakhir.
Peristiwa pemutihan karang terparah dan terluas terjadi pada tahun 1997-1998 yang meliputi
42 negara, antara lain: di bagian selatan Jepang, Sri Lanka, India, Indopasifik, kenya, dan dibeberapa
negara tropis lain. Kejadian coral bleaching dalam skala besar terkait dengan tekanan suhu. Ini dapat
dilihat bahwa bleaching terparah terjadi di musim yang paling panas (Fit et al. 2001).
Kenaikan suhu berkaitan dengan peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida dan gas rumah
kaca lainnya di atmosfer (Fit et al. 2001). Konsentrasi karbon yang berlipat ganda di atmosfer,
menyebabkan perubahan besar terhadap lingkungan laut, khususnya pada organisme yang
membangun skeletal (kerangka) dari kalsium karbonat (CaCO3). Perairan menyerap sekitar 1/3
karbon di udara yang dihasilkan oleh aktifitas manusia (Keller et al. 2009). Tingginya kandungan CO2
terlarut dalam air yang lebih dingin, menyebabkan perkembangan terumbu karang di latitudinal

margin menunjukkan respon yang cepat dan dramatis terhadap perubahan pH. Beradasarkan hasil
study yang dilakukan Keller et al. 2009, diketahui bahwa peningkatan keasaman air laut secara
signifikan mengurangi kemampuan terumbu karang untuk membangun kerangkanya, mempengaruhi
pertumbuhan individu karang dan membuat karang lebih rentan terhadap erosi.
Konsep ambang batas termal digunakan untuk membantu memahami peristiwa bleaching dan
membantu meprediksi frekuensi dan intensitas terjadinya bleaching. Ambang batas termal ditetapkan
dengan mengetahui batas suhu masing-masing spesies terumbu karang. Data Hot-Spot yang
menunjukkan secara detail tentang anomali suhu secara global bersamaan dengan indeks Degree
Heating Weeks, yang menunjukkan keterkaitan durasi dan besarnya hot-spot terhadap waktu
bleaching, digunakan sebagai alarm penanda terjadinya bleaching (Fit et al. 2001).
Banyak penelitian telah dilakukan secara hati-hati untuk memantau dan memprediksi dalam
jangka panjang, meyakinkan bahwa ekosistem terumbu karang akan terus menghadapi tantangan
terutama dari peningkatan suhu dan keasamaan air laut. Kelestarian terumbu karang kedepan
diragukan, jika suhu dan keasaman air laut meningkat secara kontinyu hingga pada tingkat yang
belum pernah terjadi sebelumnya (Guldberg 2009). Hingga pada tahun 2090 2099, sebagaimana
prediksi IPPC dalam Keller et al. 2009, akan terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan air laut 1,8
4 C, yang utamanya disebabkan karena peningkatan CO2 di atmosfer.
Oxenford et al. 2007 menyatakan bahwa pada akhir musim panas tahun 2005, terjadi bleaching
masal terumbu karang di perairan Karibia. Rata-rata 70,6 % dari seluruh koloni terumbu karang di
hampir semua habitat dan taxa, mengalami bleaching. Terumbu karang dekat pantai (di kedalaman
< 10 m) terkena dampak bleaching yang lebih berat yaitu dengan rata-rata bleaching sebesar 80,6 %,
jika dibandingkan dengan terumbu karang yang ada di lepas pantai (di kedalaman >15 m) yang
mengalami rata-rata bleaching sebesar 60,5 %. Dari total variasi inter-species, >90% koloni karang
mengalami bleaching. Indikasi bleaching pada terumbu karang akan terus berlangsung selama kurun
waktu tertentu di masa mendatang. Kejadian tersebut menggambarkan episode pemutihan terumbu
karang terparah di Barbados dan tekanan kerentanannya terhadap peristiwa bleaching, yang
berkaitan erat dengan kenaikan suhu permukaan air laut sebagai dampak dari perubahan iklim global.
Ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang yang sangat parah di masa yang akan datang
harus ditekan dengan melakukan upaya perlindungan atau konservasi, misalnya dengan menerapkan
manajemen Marine Protected Area (MPA). Menurut Keller et al. 2009, manajemen Marine Protected
Area (MPA) dilakukan untuk menekan terjadinya pemutihan karang dan menjaga keberlangsungan
fungsi ekosistem terumbu karang. Jaringan MPA secara potensial dianggap merupakan manajemen
efektif untuk konservasi biodiversitas yang ada di laut. Manajemen MPA menggunakan pendekatan
berbasis ekologi untuk menjaga keberlangsungan ekosistem karang dimasa mendatang.
Berdasarkan Keller et al. 2009, ada 4 manajemen pilihan yang diterapkan dalam MPA adalah:
1). Memperbaiki daerah-daerah yang mengalami tekanan, misalnya dengan mengurangi dampak tekanan
berskala lokal maupun regional seperti, pengambilan ikan berlebih, input nutrien ke laut, sedimentasi
dan polusi serta penurunan kualitas air laut
2). Melindungi daerah yang berpotensi untuk bertahan. Ada 2 tipe terumbu karang yang memiliki potensi
bertahan terhadap tekanan, yaitu terumbu karang selamat dari bleaching dan terumbu karang yang

tidak terpapar oleh kenaikan suhu permukaan air laut (karena terletak di daerah yang terekspose
upwelling atau daerah yang memiliki arus yang lebih dingin);
3). Mengembangkan jaringan MPA. Desaign jaringan MPA ditujukan untuk mengatasi dampak perubahan
iklim;
4). Mengintegrasikan perubahan iklim dalam perencanaan, manajemen, dan evaluasi MPA. Penelitian
lebih jauh dibutuhkan untuk mengetahui dampak tingginya konsentrasi CO2 di laut, kemungkinan
aklimatisasi atau evolusi organisme dalam merespon perubahan air laut, dan bagaimana respon
manajemen.
Dalam pelaksanaan manajemen MPA, manager dan ilmuwan harus bekerjasama dengan
stakeholder untuk menangani dampak perubahan iklim, dan respon ekosistem, serta dalam
menentukan manajemen respon yang paling baik yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Dengan
demikian diharapkan coral bleaching dapat ditekan.
Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan manajemen MPA seringkali mengalami kegagalan,
seperti yang diungkap Lydia et al. 2007. Menurut Lydia et al. 2007 banyak MPA yang diterapkan di
negara berkembang mengalami kegagalan karena kekurangan biaya untuk pelaksanaan dan
monitoring konservasi. Investasi dan manajemen swasta dalam MPA menawarkan solusi potensial
dan telah diaplikasikan dengan hasil yang positif di Sugud Island Marine Conservation Area (SIMCA)
di Sabah, Malaysia. Biaya konservasi diambil dari pengunjung daerah wisata dive (selam) Lankayan,
yang masih termasuk dalam wilayah konservasi SIMCA. Dalam pelaksanaannya, sistem manajemen
tersebut telah membangkitkan sumber keuangan yang berkelanjutan untuk menutup biaya
manajemen daerah konservasi, yang secara terpisah dikelola oleh organisasi swasta yang disebut
Reef Guardian. Ketersediaan biaya yang memadai memungkinkan Reef Guardian berinvestasi
dengan memberi pelatihan kepada pegawai, dan menggunakan teknologi untuk mengawasi
pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di area konservasi. Manajemen swasta dapat
mengkonservasi secara efektif biodiversitas yang ada di MPA, dan berjalan dengan sukses di lokasilokasi yang sesuai.
Kegagalan manajemen MPA biasanya juga disebabkan karena kurangnya keterlibatan
masyarakat dalam pelaksanaan konservasi (Camargo at al. 2008). Camargo at al. 2008 memberi
contoh kasus yang terjadi di MPA Cartagena, Colombia, dimana sumberdaya alam di daerah lindung
tersebut mengalami penurunan secara konstan. Penutupan terumbu karang di dalam maupun diluar
MPA juga semakin sedikit, dan menunjukkan telah terjadi degradasi habitat terumbu karang.
Ketidakberhasilan manajemen MPA di Cartagena, Colombia, ternyata disebabkan oleh tingkat
pendapatan yang rendah dan sedikitnya kesempatan masyararakat yang tinggal di dalam maupun di
sekitar kawasan lindung untuk ikut berpartisipasi dalam upaya konservasi, serta lemahnya
komunikasi antara steakholder dengan penguasa. Akibatnya, masalah-masalah yang timbul di area
tersebut adalah masalah-masalah yang terkait erat dengan eksploitasi sumberdaya alam. Masyarakat
tidak mau mematuhi aturan di area konservasi.
Hal di atas menunjukkan bahwa pendirian kawasan lindung adalah perlu, akan tetapi tidak
cukup menjamin tercapainya tujuan konservasi. Mengabaikan peran masyarakat local hanya akan
memperburuk masalah yang terkait dengan sumber daya alam. Keterlibatan masyarakat dalam

pengelolaan ekosistem strategis tampaknya menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan


keefektifan kawasan lindung. Dan strategi partisipatif, seperti co-management, akan memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan MPA (Camargo at al.
2008).
Kesimpulan
Perubahan iklim berpengaruh besar terhadap naiknya suhu permukaan air laut yang
merupakan penyebab utama coral bleaching. Suhu permukaan air laut yang tinggi, menyebabkan
simbiosis antara karang host dan fotosintetik microalgae (zooxantella) terganggu. Naiknya suhu
permukaan air laut juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang, sehingga karang lebih
rentan terserang penyakit dan ikut memicu terjadinya bleaching. Peningkatan suhu permukaan yang
terjadi terus-menerus meberikan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di masa mendatang.
Sehingga upaya perlindungan diperlukan untuk menjaga kelestarian terumbu karang, misalnya
dengan manajemen Marine Protected Area (MPA). Dalam pelaksanaanya, manajemen MPA dapat
melibatkan pihak swasta dan masyarakat supaya upaya konservasi berlangsung secara efektif dan
efisien. Pelibatan pihak swasta dapat membantu mengatasi kekurangan biaya konservasi. Sedang
pelibatan masyarakat dapat menekan terjadinya kerusakan ekosistem karang akibat eksploitasi oleh
masyarakat sekitar.

Referensi
Banin E, Ben-Haim Y, Israely T, Loya Y, Rosenberg E (2000) Effect of The Environtment on The Bacterial
Bleching of Coral. Water, Air, and Soil Pollution 123: 337352
Barton AD, Casey AS (2005) Climatological context for large-scale coral bleaching. Coral Reefs (2005) 24:
536554. DOI 10.1007/s00338-005-0017-1
Camargo C, Maldonado JH, Alvarado E, Snchez RM, Mendoza S, Manrique N, Mogolln A, Osorio JD,
Grajales A, Snchez JA (2008) Community involvement in management for maintaining coral reef
resilience and biodiversity in southern Caribbean marine protected areas. Biodivers Conserv (2009).
DOI 10.1007/s10531-008-9555-5
Fitt WK, Brown BE, Warner ME, Dunne RP (2001) Coral Bleaching: Interpretation of Thermal Tolerance
Limits and Thermal Thresholds in Tropical Corals. Coral Reefs 20: 51-65. DOI
10.1007/s003380100146
Guldberg OH (2009) Climate change and coral reefs: Trojan horse or false prophecy? A response to
Maynard et al, 2008. Coral Reefs 28:569575. DOI 10.1007/s00338-009-0508-6
Keller BD, Gleason DF, McLeod E, Woodley CM, Airame S, Causey BD, Friedlander AM, Dunsmore RG,
Johnson JE, Miller SL, Steneck RS (2009) Climate Change, Coral Reef Ecosystems, and
Management Options for Marine Protected Areas. Environmental Management. DOI 10.1007/s00267009-9346-0
Lydia, Louise, Chung FC (2007) A private management approach to coral reef conservation in Sabah,
Malaysia. Biodivers Conserv (2008). DOI 10.1007/s10531-007-9266-3

Oxenford HA, Roach R, Brathwaite A, Nurse L, Goodridge R, Hinds F, Baldwin K, Finney C (2007)
Quantitative observations of a major coral bleaching event in Barbados, Southeastern Caribbean.
Climatic Change (2008) 87:435449. DOI 10.1007/s10584-007-9311-y

Anda mungkin juga menyukai