Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

HERPES ZOOSTER
A. DEFINISI
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi
pada orang tua, yang khas ditandai adanya nyeri unilateral serta timbulnya
lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf
spinal maupun ganglion saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini
merupakan reaktivasi virus varisela-zoster dari infeksi endogen yang telah
menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus.1,3,5,6
Setelah infeksi primer oleh virus varisela zoster atau setelah
mendapatkan vaksinasi dengan virus varisela zoster yang dilemahkan, virus
ini akan berdiam di sel ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion
kranialis. Virus dalam keadaan dormansi atau laten. Pada suatu ketika, virus
dapat bereplikasi dan berjalan turun menyusuri saraf sensoris menuju ke kulit
dan menimbulkan manifestasi berupa herpes zoster. 3,5,6
B. ETIOLOGI
Herpes Zoster disebabkan oleh virus yang sama yang menyebabkan
chickenpox atau varisela dan disebut varicella zoster virus. Varisela zoster
virus merupakan kelompok virus herpes yang berukuran 140-200 nm dan
berinti DNA. Varicella zoster virus dapat menjadi laten di ganglion posterior
susunan saraf tepi dan ganglion kranialis tanpa menimbulkan gejala.
Beberapa tahun atau dekade setelah infeksi primer jika terjadi reaktivasi dari
virus ini akan menyebabkan erupsi yang terlokalisir pada kulit yaitu herpes
zoster.5,6,8,10
VZV mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 subunit protein dan
berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya
berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang bersifat
infeksius.1
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan
organik deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan pH yang tinggi.1

10

Gambar 1. Virus Varicella Zooster


C. EPIDEMIOLOGI
Kejadian herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varicela dan
tidak ada kejadian yang menunjukkan bahwa herpes zoster dapat terjadi
karena kontak dengan penderita varicela atau HZ.5
Kebanyakan kasus terjadi pada usia tua. Lebih dari 66% kasus herpes
zoster terjadi pada usia lebih dari 50 tahun, dan hanya 5% kasus terjadi pada
usia kurang dari 15 tahun. Di antara pasien-pasien yang telah terpapar
chickenpox, kejadian herpes zoster pada ras kulit hitam lebih rendah daripada
ras kulit putih. Insiden pada pria dan wanita sama banyaknya. Hampir 50%
penduduk berusia 80 tahun mengalami herpes zoster. Zoster jarang terjadi
pada anak-anak dan dewasa muda, kecuali pada penderita AIDS, limfoma,
keganasan, defisiensi imun dan orang yang menerima transplantasi ginjal dan
sumsum tulang belakang. Pasien-pasien tersebut mempunyai risiko lebih
tinggi untuk mengalami zoster, terlepas dari faktor usia.5,6,8,9,10
D. PATOGENESIS
Herpes Zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus, virus yang juga
dapat menyebabkan varisela (chickenpox). Setelah infeksi chickenpox, virus
ini dapat menetap dalam badan sel saraf tanpa menimbulkan gejala apapun.
Hal ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Virus dalam keadaan
dorman di cabang ganglion dorsal sampai reaktivasi fokal sepanjang
distribusi ganglion menyebabkan herpes zoster (shingles). Badan sel saraf
pada cabang dorsal, saraf kranialis atau ganglion otonom dapat mengandung
virus VZV laten.6

11

Gambar 2. Proses infeksi virus ke epidermis dan ke saraf sensorik9


Terjadinya reaktivasi biasanya tidak diketahui, namun kemungkinan
dapat dihubungkan dengan penuaan, stres, dan sistem imun yang rusak. Bila
terjadi penurunan imunokompeten, bertahun-tahun kemudian, virus dapat
keluar dari badan sel saraf

kemudian berjalan sepanjang akson saraf

sehingga dapat menyebabkan infeksi viral pada kulit sepanjang saraf yang
terkena. Virus ini dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion sepanjang
saraf yang terkena dan menginfeksi dermatom yang berhubungan dengan
saraf tersebut kemudian menyebabkan kelainan pada kulit. Walaupun
biasanya kelainan kulit ini dapat sembuh dalam 2 sampai 4 minggu, beberapa
pasien mengalami nyeri saraf dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahuntahun, kondisi seperti ini disebut postherpetic neuralgia.5,6
Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan
daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang
ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejalagejala gangguan motorik. 2

12

Gambar 3. Perbedaan infeksi virus pada infeksi primer, periode laten dan
reaktivasi
E. MANIFESTASI KLINIS
Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik
(demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang,
gatal, pegal, dan sebagainya).2 Gejala prodromal herpes zoster biasanya
berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini
terjadi

beberapa hari menjelang keluarnya erupsi. Pada fase prodormal,

keluhan nyeri dan paraestesi berlangsung 2-3 minggu (pada 84% dari kasus) 6.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata
dan hampir selalu unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah
tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah
satu ganglion saraf sensorik.1
Erupsi mulai dengan makulopapula eritematous (24 jam pertama). Dua
belas hingga 48 jam kemudian terbentuk vesikula berisi cairan yang jernih,
kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) yang dapat berubah menjadi
pustula pada hari ke-4.1,2,6 Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan
disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder
sehingga menimbulkan ulkus dengan

penyembuhan berupa sikatriks. 2

Seminggu sampai 10 hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta


ini dapat menetap selama 2-3 minggu.1,6

13

Gambar 4. Gambaran lesi kulit pada Herpes Zooster


Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru
yang tetap timbul belangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga
dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada susunan saraf tepi
jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini
lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut.
Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan
pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus
(dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion
genikulatum).2
Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anakanak (jarang), hanya timbul keluhan ringan dan erupsinya cepat menyembuh.
Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun
krustanya sudah menghilang.1 Daerah yang paling sering terkena infeksi
adalah daerah torakal yaitu lebih dari 50% kasus, daerah trigeminal 10-20%
kasus, dan daerah lumbosakral dan servikal 10-20% kasus, walaupun daerahdaerah lain tidak jarang.1,6 Menurut daerah penyerangannya dikenal :
1. Herpes zoster oftalmika
: menyerang dahi dan sekitar mata.
2. Herpes zoster servikalis
: menyerang pundak dan lengan.
3. Herpes zoster torakalis
: menyerang dada dan perut.
4. Herpes zoster lumbalis
: menyerang bokong dan paha.
5. Hepes zoster sakralis
: menyerang sekitar anus dan genitalis
6. Herpes zoster otikum
: menyerang telinga.
Jika menyerang nervus fasialis dan nervus auditoris dapat menimbulkan
Sindrom Ramsay-Hunt dengan gejala paralysis fasialis (Bell`s Palsy),
tinnitus, vertigo, gangguan lakrimasi, gangguan pendengaran, nistagmus, dan
nausea.1 Bentuk-bentuk lain herpes zoster
14

1. Herpes zoster hemoragika


Vesikula-vesikulanya tampak berwarna merah kehitaman karena berisi
darah.
2. Herpes zoster abortivum
Penyakit berlangsung ringan dalam waktu yang singkat dan erupsinya
hanya berupa eritema dan papula kecil.
3. Herpes zoster generalisata
Kelainan kulit yang unilateral dan segmental disertai kelainan kulit yang
menyebar secara generalisata berupa vesikula dengan umbilikasi. Kasus
ini terutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya
sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma maligna.1
F. PEMERIKSAAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika terdapat gambaran klinis yang
meragukan.
1. Tzanck Smear atau tes Tzanck
Dapat dilakukan pemeriksaan Tzank dengan cara membuat sediaan
hapus yang diwarnai dengan Giemsa. Bahan diambil dengan kerokan di
dasar vesikel akan didapatkan sel datia berinti banyak.1,2
2. Histopatologis
Tampak gambaran vesikula yang bersifat unilokuler, biasanya pada
stratum granulosum, kadang-kadang subepidermal. Terdapat temuan sel
balon yaitu stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan
membesar, juga ada badan inklusi (lipscutz) yang tersebar pada inti sel
epidermis, dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah.10 Pada
dermis terdapat dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit. 2
Ditemukan juga nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel
pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus
ganglion.8,10
3. Mikroskop electron
4. Kultur Virus dari lesi kulit
Dapat juga dilakukan isolasi virus melalui kultur dari cairan vesikel yang
akan memberikan diagnosa pasti.
5. Identifikasi antigen / asam nukleat VZV
6. Pemeriksaan antibodi spesifik (immunoglobulin)
peningkatan antibodi varicella. 9

15

menunjukkan

Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan


Immunofluoresen langsung, PCR dan pemeriksaan imunologis untuk
mendeteksi IgG misalnya dengan enzym immunoassay atau tes agglutinasi3.
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas gejala dan temuan klinis yang khas, yaitu lesi
kulit berupa gerombolan vesikula di atas kulit yang eritematosa, terlokalisir
sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion sensoris. Kulit di antara
gerombolan normal. Pada lesi yang agak lama, vesikel dapat telah berubah
menjadi pustula, atau bula, atau telah mengalami ulserasi meninggalkan
krusta. Usia lesi dalam satu gerombolan adalah sama dan berbeda dengan
gerombolan yang lain. Lesi ini biasanya didahului dengan rasa nyeri atau
panas yang terbatas pada dermatom ganglion sensoris yang terkena. Dari
anamnesa mengenai riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa penderita
pernah mengalami infeksi varisela sebelumnya. Namun terkadang infeksi
varisela ini sifatnya subklinis sehingga tidak disadari oleh pasien.2,6
Secara laboratorik diagnosis dapat ditunjang dengan test Tzanck,
pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron,
serta tes serologik.1

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes simpleks dan herpes zoster sulit dibedakan bila lesi yang terjadi
linear, atau bila lesi zoster kecil dan terlokalisasi pada 1 tempat saja
(tidak sesuai dengan dermatom).2,4,9
2. Varisela (chickenpox)9
3. Dermatitis venenata
4. Impetigo vesikobulosa, lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran
vesikel dan bula yang lebih cepat pecah.9
5. Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah
diagnosis dengan penyakit reumatik maupun dengan angina pektoris,
jika terdapat di daerah setinggi jantung.2 Selain itu, rasa nyeri dalam
stadium pra-erupsi ini juga seringkali dirancukan dengan penyebab rasa
nyeri lainnya seperti pleuritis, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan
sebagainya. 1

16

I. KOMPLIKASI
Komplikasi dari herpes zoster yang bersifat kutaneus antara lain
superinfeksi bacterial, skar, zoster gangrenosum.5 Komplikasi neurologis
yang paling sering adalah postherpetic neuralgia yaitu rasa nyeri yang timbul
pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya
sembuh.2 Bila daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan, akan terjadi
reaktivasi virus. Virus mengalami multiplikasi dan menyebar di dalam
ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada saraf serta terjadi inflamasi yang
berat, dan biasanya disertai neuralgia yang hebat. 1 Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi
nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini
dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster di atas usia 40 tahun.2
Sindrom ramsay hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan
optikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan
pengecapan.2
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV,
keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering
menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.2
Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di
antaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan
neuritis optik.2
Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
penjalaran virus secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem
saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak
awitan munculnya lesi.2 Melalui cabang-cabang intrakranial nervus
trigeminus, VZV dapat masuk ke sistem susunan saraf pusat dan menginfeksi
arteri cerebal, sehingga pasien dapat mengalami sakit kepala dan hemiplegia.
Dengan adanya invasi viral melalui pembuluh darah, maka terapi antiviral
sistemik dapat berguna.6
J. PENATALAKSANAAN
17

Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberikan


analgetik.2 Dapat pula ditambahkan neurotropik : vitamin B1, B6, B12.1 Jika
disertai infeksi sekunder diberikan antibiotik.2
Terapi antiviral merupakan dasar penatalaksanaan herpes zoster. Obat
antiviral menginhibisi replikasi VZV dan mengurangi berat dan durasi herpes
zoster dengan efek samping minimal tetapi tidak dapat mencegah
postherpetic neuralgia.4 Obat yang biasa digunakan adalah asiklovir dan
modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famciclovir. Sebaiknya diberikan
dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul.2
Dosis asiklovir yang dianjurkan adalah 5 x 800 mg sehari dan biasanya
diberikan 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena
konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat
tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru
tidak timbul lagi.2
Isoprinosin sebagai imunostimular tidak berguna karena awitan kerjanya
baru setelah 2-8 minggu, sedangkan masa aktif penyakit kira-kira hanya
seminggu.2
Penatalaksanaan postherpetic neuralgia bersifat kompleks, seringkali
membutuhkan

pendekatan

multidisiplin.

Penelitian-penelitian

klinik

menunjukkan bahwa opioid, antidepresan trisiklik, dan gabapentin dapat


mengurangi beratnya nyeri dan mempercepat penyembuhan postherpetic
neuralgia, baik digunakan sebagai obat tunggal maupun dalam kombinasi
dengan obat lain. Penggunaan lidokain topikal atau capsaicin krim terbukti
bermanfaat pada beberapa pasien. 4,6
Amitriptyline adalah obat terpilih untuk postherpetic neuralgia. Jika
obat-obatan golongan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline digunakan
untuk tujuan analgesik, dosis yang digunakan lebih kecil dari dosis yang
diperlukan untuk efek antidepresan. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan
postherpetic neuralgia, amitriptyline digunakan dalam dosis 25-75mg,
diberikan malam hari sebelum tidur. Penggunaan obat ini harus hati-hati
karena dapat menimbulkan sedasi dan efek antikolinergik dan -adrenergik
yang kurang baik pada jantung, termasuk dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik, yang biasanya terjadi pada pasien dengan usia lanjut. Efek
samping yang kurang baik ini dapat dikurangi dengan penggunaan dosis yang

18

minimal. Penggunaan kortikosteroid sistemik dan capsaicin krim dapat


dipertimbangkan.6
Indikasi pemberian kortikosteroid adalah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang
biasa kami berikan adalah prednison dengan dosis 3x20 mg sehari, setelah
seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi
itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat
antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion.2
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium
vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya
vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres
terbuka, kalau terjadi ulserasi diberikan salep antibiotik.2
K. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit herpes zoster seharusnya mencakup pencegahan
infeksi laten dan pencegahan reaktivasi virus yang laten tersebut. Tetapi
sampai sekarang belum ditemukan cara untuk pencegahan tersebut.1
Hindari kontak lesi pada kulit penderita yang terinfeksi herpes zoster
bila belum pernah menderita varisela atau vaksin varisela. Vaksin varisela
adalah vaksin yang direkomendasikan untuk anak-anak. Vaksin juga dapat
direkomendasikan untuk remaja atau dewasa yang belum pernah terkena
varisela. Vaksinasi pada usia lebih dari 55 tahun terbukti menurunkan
kejadian herpes zoster dan postherpetic neuralgia, sehingga vaksin herpes
zoster disarankan pada dewasa usia lebih dari 60 tahun, serta pada individu
tertentu seperti wanita hamil, orang dengan kelainan imun, dan bayi kurang
dari 12 bulan. 4,5
L. PROGNOSIS
Prognosis herpes zoster secara umum adalah baik.10 Kelainan pada kulit
sembuh dalam waktu 14-21 hari.5 Neuralgia posherpetika dapat menetap
selama bertahun-tahun pada 50% pasien herpes zoster di atas usia 60 tahun,
bila nervus trigeminus terkena.4 Pada herpes zoster oftalmikus prognosis
bergantung pada tindakan perawatan secara dini.2

19

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hartadi, Sumaryo S. 2000. Infeksi Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit.


Editor: Marwali Harahap. Cet 1. Hipokrates:Jakarta.Pp:92-94.

2.

Handoko, R. P. 2007. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Editor: Adhi wijaya. Edisi 5. cetakan 2. Balai Penerbit FK
UI:Jakarta.Pp:110-112.

3.

Straus, S. E., Schmader, K. E., Oxman, M. N. 2008 . Varicella and Herpes


Zoster. In: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seventh Edition.
Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF . United States: The McGrawHill Companies. pp: 1885-1898.

4.

Klaus Wolff and Ricardallen Johnson. 2009. Viral infections of skin and
mucosa. In: Fitzpatricks Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology
Sixth Edition. United States: The McGraw-Hill Companies. pp :837-849.

5.

Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M,
Bets RF. 2007. Recommendations for the Management of Herpes Zoster.
Clin Infect Dis, 44:S126.

6.

Cunningham AL, Breuer J, Dwyer DE, Gronow DW, Helme RD, Litt JC,
Levin MJ. 2008. The prevention and management of herpes zoster. MJA,
188:171176.

7.

Cohen JI. 2013. Herpes Zoster . N Engl J Med, 369:255-63.

20

8.

Srikhrisna K, Prabhat MPV, Balmuri PK, Sudhakar S, Ramaraju D. 2012.


Herpes Zoster: Report of a Treated Case with review Literature. J Indian
ACA Oral Med Radiol, 24(1):51-55.

9.

Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Cetakan 1.


EGC. Jakarta. pp:84-86.

10.

Hagiya H, Kimura M, Miyamoto T, Otsuka F. 2013. Systemic varicellazoster virus infection in two critically ill patients in an intensive care unit.
Virology Journal, 10:225.

21

Anda mungkin juga menyukai