Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

TETANUS
A. DEFINISI
Tetanus

adalah

gangguan

neurologis

yang

ditandain

dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,


suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps
ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular
(neuromuscular junction) dan saraf otonom.
B. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Kuman yang menghasilkan
toksin berbentuk batang dengan sifat :
1. Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk
seperti pemukul genderang
2. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela
3. Menghasilkan eksotoksin yang kuat
4. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan. Spora yang dihasilkan tidak
berwarna, berbentuk ovale, menyerupai raket tenes atau paha ayam.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran
manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka
terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat
oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan
antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan
selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan
dalam autoklaf pada suhu 249,8 F (121C) selama 10-15 menit. Spora juga
relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.
C. EPIDEMIOLOGI

10

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di


seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta
kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi
ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara
beriklim tropis dan negara berkembang. Penyakit ini umum terjadi di daerah
pertanian, beriklim hangat dan selama musim panas. Penyakit ini dapat terjadi
pada semua kelompok umur dengan case fatality rate yang tinggi (10-80%).
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua.
D. PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya
luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.
Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus
dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi
telinga tengah,pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena
atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan
kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau
jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada
pembedahan.
Sering terjadi komplikasi luka oleh spora Clostridium tetani. Clostridium
tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan port dentrae tampak tenang
tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang
lain (Imanoe G, 2006). Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya
sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah
menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh
toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh (Depkes, 2008).

11

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan


tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam
penyakit ini (Depkes, 2008). Tetanolisin mampu secara lokal merusak
jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.
Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin
melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf:
1. Motor end plate di otot rangka
2. Medula spinalis
3. Otak
4. Pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada
lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf
motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion
menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui
proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra
aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan
enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar
asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin
menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus
otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus
makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan
dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi
kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang
khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

12

Terikatnya

toksin

pada

neuron

bersifat

irreversible.

Pemulihan

membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa


tetanus berdurasi lama.
E. MANIFESTASI KLINIS
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan
tanah, kotoran binatang atau logam berkarat dapat menimbulkan tetanus
(Imanoe, 2006). Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih
pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung
berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat
luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara
tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek
masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian
(Sumarmo et al, 2008). Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis,
yakni :
1. Tetanus Generalisata/Tetanus Umum
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat
luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma
yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar
tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki
pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti
dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot
abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus,
seringkali. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,
hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme
otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan
paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat
terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme
dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan
waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized Tetanus/Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang jarang dimana
manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka.
Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan
neuromuskuler. Gejalanya bersifat ringan dan dapat bertaham sampai
13

berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun


demikian secara umum prognosisnya baik. Hanya sekitar 1% kasus yang
menyebabkan kematian.
3. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal.
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi
setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis
motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal
hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2
hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus Neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Biasanya terjadi dalam
bentuk generalisata. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum
berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.
Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa
inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum
ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi
70%.
F. DERAJAT KEPARAHAN
Terdapat beberapa system pembagian derajat keparahan yang dilaporkan.
Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan system yang paling sering
dipakai.

14

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keparahan oleh Ablett


G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis
sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan
menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi
secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang
yang telah divaksinasi (imunokompeten).
1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain :
a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,
luka dengan nanah atau gigitan binatang?
b. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
c. Apakah pernah menderita gigi berlubang?
d. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan
imunisasi yang terakhir?
e. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
a. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga
sukar untuk membuka mulut.
b. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik
sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut
mulut tertarik keluar dan kebawah.
c. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti:
otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan
yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur.
d. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat.
f. Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk
menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang
menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan.

15

Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat


spasme intermiten.
g. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai
akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot
laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh
toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi
(gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula
menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak;
kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio
alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
a. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka
orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat
dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur
khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang
positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30%
kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari
pasien yang tidak mengalami tetanus.
b. Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
c. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang
normal.
d. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap
sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
e. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.
f. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terusmenerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang
normal yang diamati setelah potensial aksi.
g. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :

16

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut


tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan
kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya
spasme karpopedal.
3. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan
pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
4. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis
media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya
asimetris.
I. KOMPLIKASI
J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
a. Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU,
dimana observasi dan pemantauan kardiopulmober dapat dilakukan
secara terus-menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi
b. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara
parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung
untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
kemungkinan terjadinya aspirasi.
c. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu
intubasi atau trakeostomi.
d. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
e. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa
menekan pusat kortikal. Diazepam digunakan sebagai terapi spasme
tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua tingkatan system saraf
pusat, termasuk bentukan limbic dan reticular. Mungkin dengan
meningkatkan aktifitas GABA.
1) Dosis Dewasa
Spasme Ringan
: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
Spasme Sedang
: 5-10 mg iv apabila perlu
Spasme berat
: 50-100 mg dalam 500 ml D5%, diinfuskan

17

40 mg per jam
2) Dosis Anak
Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau
dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah
8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam.
Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5
mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak
dengan BB 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak
0,3 mg/kgBB/kali.
Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut,
diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari
dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari.
Obat lain yang dapat digunakan untuk menangani spasme otot
diantaranya baclofen, dantrolen, barbirutat dan chlorpromazine.
f. Eksplorasi luka, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan
debridement secara menyeluruh
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Netralisasi dari toksin yang bebas
Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian serum
anti tetanus/HTIG dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG
adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan
dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Antitoksin menurunkan
menetralisasi toksi yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka
yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada
jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia
(TIG/HTIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan
segera dengan dosis 3000-6000 IU intramuscular. Paling baik

18

memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Berikut ini


adalah tabel perbandingan antara ATS dan HTIG

Tabel 2. Perbandingan ATS dan HTIG


b. Menyingkirkan sumber infeksi
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah
menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis 500 mg
tiap 6 jam atau 1 gram tiap 12 jam. Metronidazol efektif untuk
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini
kedua

dapat

diberikan

penisilin

prokain

50.000-100.000

U/kgBB/hari selama 7-10 hari. Penisilin membunuh bentuk vegetatif


C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral
dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10
hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin
berperan

sebagai

agonis

terhadap

tetanospasmin

dengan

menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).


K. Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara
nyata memperbaiki prognosis tetanus. Rata-rata angka kematian akibat
tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan
hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak
faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah

19

masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk.
Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan
luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.
Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis
buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus.
Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis
tetanus menurut sistem skoring Bleck:

Tabel 3. Sistem Skoring Bleck

20

Anda mungkin juga menyukai