Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

Lemak adalah salah satu sumber zat gizi makro yang dibutuhkan oleh
tubuh. Lemak merupakan suatu senyawa biomolekul, mempunyai sifat umum
larut dalam pelarut-pelarut organik seperti eter, kloroform dan benzen, tetapi tidak
larut dalam air. Lemak dan minyak yang kita kenal dalam makanan sehari-hari
sebagian besar terdiri dari senyawa yang disebut trigliserida atau triasilgliserol.
Senyawa ini merupakan ikatan ester antara asam lemak dan gliserol. Asam lemak
disusun oleh rangkaian karbon dan merupakan unit pembangun yang sifatnya
khas untuk setiap lemak. Ikatan antara karbon yang satu dengan yang lainnya
pada asam lemak dapat berupa ikatan jenuh dan dapat pula berupa ikatan tidak
jenuh (rangkap).
Berdasarkan strukturnya lemak mempunyai wujud cair dan padat. Wujud
padat dan cairnya lemak dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam lemak yang
terdapat di dalamnya. Lemak yang kandungan asam lemaknya terutama asam
lemak tidak jenuh akan bersifat cair pada suhu kamar dan biasanya disebut
sebagai minyak, sedangkan yang kandungan asam lemaknya terutama asam lemak
jenuh akan berbentuk padat.
Titik cair suatu lemak atau minyak dipengaruhi oleh sifat asam lemak
penyusunnya, diantaranya panjang rantai C, jumlah ikatan rangkap, dan bentuk
cis atau trans pada asam lemak tak jenuh. Semakin panjang rantai C-nya maka
titik cair semakin tinggi. Sebaliknya, semakin banyak ikatan rangkap, maka titik
cair semakin rendah. Hal ini disebabkan ikatan rangkap antar molekul asam lemak
tak jenuh tidak lurus sehingga kurang kuat ikatannya. Adapun
bentuk trans menyebabkan titik cair lebih tinggi daripada asam lemak dalam
bentuk cis (Rohman dan Soemantri, 2007)
Asam lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam lemak atau minyak,
terutama dari sumber nabati, dapat mengalami perubahan atau kerusakan, baik
secara fisik atau kimia.5 Penyebab perubahan atau kerusakan ini antara lain
adalah karena proses oksidasi. Minyak yang mengandung asam lemak yang
banyak ikatan rangkapnya dapat teroksidasi secara spontan oleh udara pada suhu

ruang. Oksidasi spontan ini secara langsung akan menurunkan tingkat kejenuhan
minyak, menyebabkan minyak menjadi tengik, dan terasa tidak enak. Proses
terjadinya ketengikan (rancidity) akan dipercepat apabila terdapat logam tertentu
seperti tembaga, seng, timah dan timbal dan apabila mendapat panas atau cahaya
penerangan. Asam lemak juga dapat mengalami perubahan karena dimasak pada
temperatur tinggi. Proses pemasakan pada temperatur tinggi ini menyebabkan
minyak mengalami pirolisis, yaitu suatu reaksi dekomposisi karena panas.
Pirolisis menyebabkan terbentuknya akrolein, yaitu senyawa yang bersifat racun,
dan dapat menyebabkan iritasi dengan bau khas lemak terbakar.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Lemak dan minyak adalah senyawa lipida yang paling banyak di alam.
Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan konsistensi/sifat fisik pada suhu
kamar, yaitu lemak berbentuk padat sedangkan minyak berbentuk cair. Perbedan
titik cair dari lemak disebabkan karena perbedaan jumlah ikatan rangkap, panjang
rantai karbon, bentuk cis atau trans yang terkandung di dalam asam lemak tidak
jenuh (Sartika,2008)
Komponen dasar lemak adalah asam lemak dan gliserol yang diperoleh
dari hasil hidrolisis lemak, minyak maupun senyawa lipid lainnya. Asam lemak
pembentuk lemak dapat dibedakan berdasarkan jumlah atom C (karbon), ada atau
tidaknya ikatan rangkap, jumlah ikatan rangkap serta letak ikatan rangkap.
Berdasarkan struktur kimianya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh
(saturated fatty acid/SFA) yaitu asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap.
Sedangkan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap disebut sebagai asam lemak
tidak jenuh (unsaturated fatty acids), dibedakan menjadi Mono Unsaturated Fatty
Acid (MUFA) memiliki 1 (satu) ikatan rangkap, dan Poly Unsaturated Fatty Acid
(PUFA) dengan 1 atau lebih ikatan rangkap (Sartika, 2008).
Tabel beberapa asam lemak yang terdapat di alam
Atom karbon
12
14
16
18
20
24
16
18
18
18
20

Nama umum
Asam lemak jenuh
Asam laurat
Mirastat
Palmitat
Stearat
Arakhidat
Lignoserat
Asam lemak tidak jenuh
Palmitoleat
Oleat
Linoleat
Linolenat
Arakhidonat

Titik lebur oC
44,2
53,9
63,1
69,6
76,5
86,0
-0,5
13,4
-5
-11
-49,5
(Lehninger, 1982)

Selama ini selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, minyak sawit
diekspor dalam bentuk CPO. Untuk meningkatkan nilai ekonomis ekspor
komoditi ini, CPO perlu diolah menjadi produk lain yang mempunyai nilai
ekonomi lebih tinggi. Peningkatan produksi dan peningkatan nilai ekonomi CPO
melalui konversi menjadi produk yang bernilai ekonomi lebih tinggi, akan
memberikan dampak yang sangat berarti terhadap pendapatan masyarakat
Indonesia pada umumnya dan khususnya petani sawit. Salah satu cara
peningkatan nilai ekonomi minyak kelapa sawit adalah dengan proses hidrolisis
menjadi asam lemak dan gliserol yang bernilai jual lebih tinggi (Setyopratomi,
2012).
Komponen utama CPO adalah trigliserida dengan kandungan sampai 93%.
Kandungan gliserida yang lain dalam CPO adalah digliserida 4,5% dan
monolgliserida 0,9%. Selain itu, CPO juga mengandung pengotor seperti: asam
lemak bebas, dan gum dimana didalamnya terdapat phospolipid dan glikolipid.
Komponen asam lemak bebas utama penyusun CPO adalah palmitat (40-45%)
dan oleat (39-45%) (Herman, S., & Khairat, dalam Setyopratomo 2012).
Seiring dengan berkembangnya teknologi pengolahan pangan, penelitian
mengenai minyak kelapa dapat meningkatkan nilai tambah serta fungsinya yang
sangat essensial. Hasil dari peneliti-an tersebut kini memunculkan suatu produk
yang mempunyai sifat dwi fungsi yakni sebagai minyak goreng berkualitas tinggi
dan sebagai obat anti-mikroba yang potensial. Produk ini mempunyai nilai tambah
yang tinggi, namanya adalah minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil), yang
merupakan minyak makan yang didapat tanpa mengubah sifat fisiko kimia
minyak dengan hanya perlakuan me-kanis tanpa pemakaian panas (Codex
Alimentarius Commission dalam Raharja dan Maya, 2005). Minyak ini hanya
dimurnikan dengan cara pencucian menggunakan air, pengen-dapan, penyaringan
dan sentrifugasi saja. Bahan kimia dan pemanasan tinggi tidak diperbolehkan pada
saat refining (Raharja dan Maya,2005).

Berdasarkan standar APCC (Asian Pasific Coconut Community) bahwa


sifat fisiko kimia minya VCO yaitu,
Parameter
Densitas relative
Indeks bias pada 40OC
Kadar air (%)
Bilangan asam
FFA (%)
Peroksida(meq oksigen/kg)
Warna
Baud dan rasa

Standar APCC
0,915-0,920
1,4480-1,4492
Maks. 0,1-0,5
Maks 0,5
0,5
3
Jernih
Bebas baud an rasa tengik
(Raharja dan Maya, 2005)

Menurut Djatmiko et al dalam Raharja dan Maya (2005), minyak kelapa


termasuk stabil karena asam lemak tidak jenuhnya hanya berkisar antara 6,511,8%. Selain itu, menurut Peat dalam Raharja dan Maya (2005) bahkan setelah
satu tahun pada suhu ruang, minyak kelapa terbukti tidak mengalami ketengikan
walau pun mengandung 9% asam lemak tak jenuh linoleat (omega-6).
Tabel kandungan asam lemak VCO hasil penelitian menurut Raharja dan
Maya, 2005.
Jenis asam lemak
Kadar (g/100g)
Asam lemak jenuh
Laurat
43,836
Mirastat
21,417
Palmitat
11,660
Asam lemak tidak jenuh
Oleat
14,344
Lain-lain (tak terdeteksi)
8,743
Jagung yang mengandung minyak adalah lembaga (germ). Minyak jagung
dapat diekstrak dari hasil proses penggilingan kering maupun basah, proses
penggilingan yang berbeda akan menghasilkan rendemen minyak yang berbeda
pula. Pada penggilingan kering (dry-milled), minyak jagung dapat diekstrak
dengan pengepresan maupun ekstraksi hexan. Tabel karakteristik fisik dari
minyak jagung yaitu :

Karakteristik
Titik padat (oC)
Titik cair (oC)
Berat jenis (kh/l)
Viskositas (cp)
Warna kuning
Warna merah

Ukuran
-20 s/d -10
-16 s/d -11
0,92
15,
20-35
2,5-5,0
(Richana dan suarni, 2008)

Minyak yang telah dipakai menggoreng biasa disebut minyak jelantah.


Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak yang telah rusak.
Minyak yang tinggi kandungan LTJ (Lemak Tak Jenuh)-nya memiliki nilai
tambah hanya pada gorengan pertama saja, sementara yang tinggi ALJ (Asam
Lemak Jenuh)-nya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan rusak juga.
Oleh proses penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi jenuh.
Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap
teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik (Ramdja, Lisa dan
Daniel, 2010).
Asam linoleat (LA, linoleic acid, C18:2-6) dan asam alfa linolenat
(ALA, alpha linolenic acid, C18:3-3) merupakan asam lemak tidak jenuh
majemuk (PUFA, polyunsaturated fatty acid) esensial. Salah satu sumber LA dan
ALA yang potensial adalah kedelai. Kadar ALA dalam minyak kedelai mencapai
70 g/ kg (Patil dkk dalam Estiasih dkk, 2011) atau 6,67 % (Sanibal dan ManciniPilho dalam Estiasih, 2011). Sanibal dan Mancini-Pilho dalam Estiasih (2011)
lebih lanjut menjelaskan bahwa kadar LA dalam minyak kedelai mencapai 55,83
%, akan tetapi minyak ini juga mengandung asam lemak jenuh yang berdampak
negatif terhadap kesehatan sehingga harus dikurangi kadarnya.
Minyak yang telah dipakai menggoreng biasa disebut minyak jelantah.
Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak yang telah rusak.
Minyak yang tinggi kandungan LTJ (Lemak Tak Jenuh)-nya memiliki nilai
tambah hanya pada gorengan pertama saja, sementara yang tinggi ALJ (Asam
Lemak Jenuh)-nya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan rusak juga.
Oleh proses penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi jenuh.
Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap

teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik (Ramdja, Lisa dan
Daniel, 2010).

III.

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan pada praktikum kimia pangan 1 ini adalah
minyak VCO, minyak kelapa sawit komersil, minyak jagung, minyak kedelai,
minyak jelantah, air dan es batu. Sedangkan alat yang digunakan yaitu tabung
reaksi, rak tabung reaksi, beaker glass, dan termometer.
B. Prosedur kerja
Praktikum ini diawali dengan disiapkannya tabung reaksi sebanyak 10
buah. Kemudian setiap dua tabung reaksi diisi 5 ml sampel minyak. Dua
tabung reaksi pertama diisi 5 ml minyak VCO, dua tabung reaksi kedua diisi
5 ml minyak kelapa sawit, dua tabung reaksi ketiga diisi 5 ml minyak jagung,
dua tabung reaksi keempat diisi 5 ml minyak kedelai dan dua tabung reaksi
terakhir diisi 5 ml minyak jelantah. Setelah itu, disiapkan 2 beaker glass 500
ml. Beaker glas pertama diisi air suhu ruang ( 27o C) 250 ml dan beaker
glass kedua disii air (suhu dibawah 5o C) 250 ml dan ditambah es batu untuk
menjaga suhu agar tetap dibawah 5o C.Kemudian ke dalam masing-masing
beaker glass dimasukkan 5 tabung reaksi yang berisi minyak yang berbedabeda dan dibiarkan selama 10 menit kemudian diamati warna, bau, kondisi
cair atau padat dan dibandingkan kondisinya antara yang di beaker glass 1
dengan yang di beaker glass 2. Terakhir hasil pengamatan dibuat tabel.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Pengaruh suhu ruang (270C)

Minyak Jagung

Warna
Kuning muda

Hasil Pengamatan
Bau
Agak berbau khas

Minyak sawit
Minyak VCO
Minyak Kedelai

jernih
Kuning jernih
Jernih bening
Agak kuning

Agak berbau khas


Bau kelapa
Berbau khas

Cair
Cair
Cair

Minyak Jelantah

jernih
Kuning keemasan

Berbau tengik

Cair agak

Jenis Minyak

jernih

Bentuk Akhir
Cair

kental

2. Pengaruh suhu dingin (kurang dari 50C)


Jenis Minyak

Hasil Pengamatan
Bau
Berbau khas

Minyak Jagung

Warna
Kuning muda

Bentuk Akhir
Cair, agak

Minyak sawit

jernih
Kuning jernih

Berbau khas

kental
Cair, agak

Minyak VCO

Putih sedikit

Berbau kelapa

kental
Padat sebagian

Minyak Kedelai

bening
Agak kuning

Berbau khas

kecil cair
Cair, agak

Minyak Jelantah

jernih
Kuning keemasan

Agak berbau

kental
Cair. Kental

jernih

tengik

B. Pembahasan
Pada praktikum kimia pangan tentang pengaruh suhu terhadap minyak,
bahan yang akan digunakan yaitu minyak VCO, minyak kelapa sawit, minyak
jagung, minyak kedelai dan minyak jelantah. Untuk mengetahui pengaruh
suhu terhadap minyak yang pertama dilakukan yaitu menempatkan kelima
sampel minyak tersebut kedalam tabung reaksi. Kemudian tabung reaksi yang
sudah berisi minyak diletakkan kedalam beaker glass berisi air.
Pada praktikum pengaruh suhu terhadap minyak, dilakukan dua perlakuan
suhu. Perlakuan pertama minyak diletakan pada suhu ruang (27C), dan
perlakuan kedua minyak diletakkan pada suhu dingin yaitu suhu dibawah

5C. Selanjutnya parameter yang akan diamati untuk mengetahui pengaruh


suhu yaitu warna, bau dan bentuk akhir.
Minyak merupakan lipida yang berbentuk cair pada suhu ruang. Wujud
cair pada minyak pada suhu ruang dapat disebabkan karena adanya ikatan
rangkap pada asam lemak penyusunnya (asam lemak tidak jenuh) misalnya
asam oleat pada minyak kelapa sawit, dapat pula disebabkan karena asam
lemak penyusun minyak tersebut memiliki rantai C yang pendek atau
menengah misalnya asam butirat dan asam laurat pada minyak kelapa
(Kusnandar, 2010).
Berdasarkan data hasil praktikum, didapatkan bahwa minyak yang berada
pada suhu ruang, seluruh sampel minyak berfase cair. Kondisi tersebut
dikarenakan pada suhu ruang (27C) asam lemak-asam lemak penyusun
minyak yang diuji sebagian besar berada pada suhu diatas titik lelehnya
(Kusnandar,2010). Sedangkan pada perlakuan suhu dibawah 5o C, yang
menunjukkan adanya perbedaan fase secara signifikan hanya minyak VCO.
Pada suhu dibawah 5o C kondisi minyak VCO adalah padat sebagian kecil
cair. Sisanya untuk minyak jagung, minyak kedelai, minyak kelapa sawit dan
minyak jelantah hanya mengalami sedikit perubahan menjadi agak kental.
Perubahan fase menjadi padat yang terjadi pada minyak VCO menurut
Ketaren (1986) Virgin Coconut Oil (VCO) adalah minyak kelapa yang
diproses tanpa menggunakan suhu tinggi dan penambahan zat kimia.
Didalam VCO terkandung asam lemak jenuh rantai menengah (medium chain
fatty acid/MCFA) yang terdiri atas asam laurat, asam kaprat, asam kaprilat,
dan asam miristat. Kualitas VCO ditentukan oleh asam rantai menengah
yang terbesar yaitu asam laurat yang mencapai 45-55% dan juga oleh kadar
air, berat jenis, angka peroksida, dan asam lemak bebas.
Pada praktikum ini ketika diletakkan pada suhu ruang (27oC) VCO
berfase cair, sedangkan pada suhu dingin yaitu suhu dibawah 5oC berubah
fase menjadi padat, hal ini terjadi karena kandungan asam lemak yang
terbesar dari VCO adalah asam laurat yang merupakan asam lemak jenuh
dengan titik leleh yang tinggi sesuai dengan Lehninger (1982) bahwa titik

leleh asam laurat yaitu 44,2oC, maka apabila didinginkan akan


membeku/padat.
Minyak kelapa sawit komersial pada praktikum ini memiliki fase yang
tidak berbeda nyata ketika diletakkan pada beaker glass berisi air suhu ruang
dan pada beaker glass berisi air suhu di bawah 5C yaitu sama-sama berada
pada fase cair, walaupun ketika pada suhu dingin terlihat sedikit lebih
mengental.
Menurut literatur bahwa komponen asam lemak bebas utama penyusun
minyak kelapa sawit adalah palmitat (40-45%) dan oleat (39-45%) (Herman,
S., & Khairat, dalam Setyopratomo 2012). Jika melihat titik lelehnya
berdasarkan tinjauan pustaka asam palmitat memiliki titik leleh 63,1oC dan
asam oleat memiliki titik leleh 13,4oC sehingga seharusnya minyak kelapa
sawit komersil pada suhu dibawah 5oC sudah tidak berwujud cair lagi.
Adanya perubahan fase yang sedikit lebih kental diduga disebabkan karena
pada saat pengujian, air yang ada dalam beaker glass memang bersuhu
dibawah 5C tetapi suhu tersebut belum sepenuhnya membuat suhu minyak
menjadi dingin sampai di bawah titik lelehnya. Selain itu dapat juga terjadi
karena minyak yang digunakan terlalu sedikit sehingga adanya padatan belum
terlihat tetapi sudah mulai agak mengental. Jika dibiarkan terus lebih dari 10
menit pada suhu dingin, mungkin lama-kelamaan minyak tersebut akan
terlihat memadat.
Minyak jagung merupakan minyak yang kaya akan asam lemak tidak
jenuh, yaitu asam linoleat dan linolenat (Dwiputra dkk, 2015). Kandungan
asam lemak jenuh pada minyak jagung relatif rendah, yaitu asam palmitat
11% dan asam stearat 2%. Sebaliknya, kandungan asam lemak tidak
jenuhnya cukup tinggi, terutama asam linoleat yang mencapai 24%,
sedangkan asam linolenat dan arakhidonatnya sangat kecil. Minyak jagung
relatif stabil karena kandungan asam linolenatnya sangat kecil (0,4%) dan
mengandung antioksidan alami yang tinggi. Mutu minyak jagung cukup
tinggi karena distribusi asam lemaknya yang berimbang, terutama oleat dan
linoleat (Ketaren,1986).

Pada suhu ruang (27oC) minyak jagung berfase cair dan begitu pula
ketika berada pada suhu dingin dibawah 5oC minyak jagung berfase cair
walaupun terlihat agak mengental tetapi sebenarnya fase tersebut adalah cair.
Kondisi tersebut sesuai dengan literatur karena kandungan utama minyak
jagung adalah asam lemak tidak jenuh yaitu linoleat dan linolenat. Kedua
asam lemak tersebut memiliki titik leleh yang rendah yaitu linoleat -5oC dan
linolenat -11oC (Lihnenger, 1982). Hal tersebutlah yang menyebabkan
minyak jagung tidak mengalami perubahan fase menjadi padat karena suhu
lingkungannya tidak lebih rendah dari titik leleh kandungan utama minyak
jagung.
Pada suhu ruang (27oC) minyak kedelai berfase cair dan begitu pula
ketika berada pada suhu dingin dibawah 5oC minyak kedelai berfase cair agak
sedikit kental. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Estiasih dkk
(2011), asam lemak yang mendominasi minyak dalam kedelai adalah asam
linoleat. 45,6%, asam palmitat 14,5%, stearat 2,41%, oleat 22,2, linolenat
7,68% dan tidak diketahui 7,48%. Karena kandungan utama minyak kedelai
adalah asam linoleat yang memiliki titik leleh -5o C (Lihnenger,1982) itulah
sebabnya minyak tidak mengalami perubahan fase padat. Kemungkinannya
ketika perendaman suhu rendah dilakukan, suhu lingkungan masih berada
diatas titik leleh minyak jagung sehingga tidak mengalami perubahan fase
menjadi padat.
Pada suhu ruang (27oC) minyak jelantah berfase cair namun ketika
berada pada suhu rendah dibawah 5oC minyak jelantah mengalami perubahan
fase menjadi kental. Karena minyak jelantah ini merupakan sisa dari proses
menggoreng minyak kelapa sawit, sehingga kandungan asam lemak
utamanya adalah asam palmitat. Sesuai dengan literatur bahwa titik leleh dari
asam palmitat 63,1oC sehingga seharusnya minyak jelantah berubah menjadi
padat. Belum berubahnya minyak jelantah menjadi padat diduga karena
waktu perendaman pada suhu dingin terlalu cepat sehingga dari hasil
praktikum baru mengalami proses kekentalan namun belum berubah menjadi
padat. Mungkin ketika perendaman lebih dari 10 menit minyak akan
mengalami perubahan menjadi padat.

Flavor atau bau pada minyak selain dapat terjadi secara alami juga dapat
terjadi karena pembentukan asam-asam yang berantai pendek sebagai hasil
penguraian pada kerusakan minyak atau lemak. Umumnya flavor ini
disebabkan bukan karena komponen minyak seperti pada bau khas minyak
kelapa sawit dikarenakan terdapatnya beta ionone, sedangkan bau khas dari
minyak kelapa ditimbulkan oleh nonil meta keton.
Warna minyak mentah dapat berasal dari warna alamiah, yaitu warna yang
dihasilkan oleh aktivitas biologis tanaman penghasil minyak, maupun warna
yang didapat pada saat diproses untuk mendapatkan minyak dari bahan
bakunya (Ramdja, Lisa dan Daniel, 2010)
Warna minyak dapat dipengaruhi oleh adanya zat-zat yang terkandung
secara alamiah dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak
bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut diantaranya dan
karoten, xanthofil, klorofil dan antosianin. Warna orange atau kuning
disebabkan adanya pigmen karoten yang larut dalam minyak. Sedangkan
warna coklat dapat terbentuk karena aktivitas enzim serta akibat dari adanya
oksidasi yang menandakan penurunan kualitas minyak.
Menurut Ramdja, Lisa dan Daniel (2010) minyak sawit yang bagus tidak
berbau serta berwarna kuning bening dan jernih. Pada praktikum ini warna
dari minyak kelapa sawit baik pada suhu ruang atau suhu dingin sesuai
dengan literatur yaitu kuning jernih. Sedangkan baunya, minyak kelapa sawit
terdapat bau khas. Kondisi tersebut mungkin karena bau dari bahan dasar
minyak tersebut atau mungkin telalu lama dalam menyimpan sebelum
digunakan untuk praktikum sehingga baunya sudah mengalami perubahan.
Menurut Ramdja, Lisa dan Daniel (2010) minyak dari sisa proses
menggoreng berulang-ulang berbau tengik dan berwarna kuning keruh. Pada
praktikum ini warna dari minyak jelantah baik pada suhu ruang maupun suhu
dingin warnanya kuning keemasan jernih, Perbedaan dengan literatur tersebut
diduga karena minyak yang digunakan untuk praktikum ini belum terlalu
sering digunakan untuk menggoreng sehingga warnanya masih tetap seperti
pada awalnya. Untuk baunya sama seperti literatur pada suhu ruang berbau
tengik namun pada suhu dingin baunya sedikit menurun.

Menurut Andi (2005) VCO tidak berwarna atau jernih, tidak mudah tengik
tetapi beraroma khas kelapa dan tahan dua tahun. Pada praktikum ini ketika
direndam pada suhu ruang warna minyak sesuai dengan literatur yaitu jernih
bening begitu juga pada suhu dingin. Untuk baunya pun sesuai dengan
literatur yaitu khas kelapa ketika suhu ruang dan suhu dingin.
Menurut Thoha dan Arfan (2008), warna dari minyak kedelai adalah
kuning keputihan dan aroma yang dihasilkan oleh minyak kacang kedelai
adalah aroma khas dari aroma asam lemak tak jenuh yang terkandung di
dalam minyak kacang kedelai. Pada praktikum ini, warna yang dihasilkan
ketika direndam pada suhu ruang atau suhu dingin sesuai dengan literatur
yaitu kuning putih atau kuning jernih. Begitu pula pada aromanya yang khas
sesuai dengan literatur tersebut.

V.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil praktikum dan pengamatan mengenai pengaruh suhu pada minyak
kelapa sawit, minyak jagung, minyak kedelai, minyak VCO dan minyak jelantah
dapat disimpulkan :
1. Pada suhu ruang (27oC0 seluruh minyak berwujud cair. Pada suhu
dibawah 5oC, hanya minyak VCO saja yang berwujud padat sedangkan
minyak yang lainnya masih cair. Kondisi padat atau cair pada minyak
ditentukan oleh titik lelehnya. Titik leleh minyak ditentukan oleh jenis
asam lemak penyusunnya meliputi panjang rantai karbon, adanya ikatan

rangkap dan adanya bentuk cis atau trans. Semakin panjang rantai karbon
maka titik lelehnya akan semakin tinggi.
2. Warna pada minyak dapat disebabkan karena adanya pigmen dalam
minyak ( karoten, xhantofil, klorofil dan anthosianin). Selain itu
jugadisebabkan karena enzimatis serta oksidasi minyak dan pigmen. Pada
suhu ruang dan suhu dingin minyak VCO memiliki perbedaan dengan
minyak lainnya yaitu jernih bening pada suhu ruang dan putih sedikit
bening pada suhu rendah.
3. Bau dalam minyak bisa teradapat secara alami, juga terjadi akibat adanya
asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak. Pada
praktikum ini minyak jelantah mengalami penurunan bau tengik dan
minyak sawit mengalami peningkatan bau khas.
B. Saran
Setiap praktikan harus terlebih dahulu mempelajari teori dan prosedur
kerja dari praktikum tentang pengaruh suhu terhadap lemak agar lebih
mudah dalam melaksanakan praktikum.

Anda mungkin juga menyukai