Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGEMASAN

ACARA 1
PENGEMASAN TRADISIONAL

Rombongan : II
Kelompok : IV

Penanggung Jawab :
RIZA NUR RAMADHAN (A1M014054)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya kemasan sebenarnya telah dimulai sejak manusia mengenal sistem
penyimpanan bahan makanan. Sistem penyimpanan bahan makanan secara
tradisional diawali dengan memasukkan bahan makanan ke dalam suatu wadah
yang ditemuinya. Pada awalnya kemasan masih terkesan seadanya dan lebih
berfungsi untuk melindungi makanan/barang terhadap pengaruh cuaca atau
proses alam lainnya yang dapat merusaknya. Selain itu, kemasan juga berfungsi
sebagai wadah agar barang mudah dibawa selama dalam perjalanan. Seiring
dengan perkembangan jaman yang semakin kompleks, barulah terjadi
penambahan nilai-nilai fungsional dan peranan kemasan dalam pemasaran mulai
diakui sebagai satu kekuatan utama dalam persaingan pasar.
Bahan kemasan alami ditinjau dari segi keberadaannya, masih banyak
terdapat di daerah-daerah di Indonesia dengan harga yang relatif murah, lagi pula
tidak memberikan dampak yang negatif terhadap pencemaran lingkungan
(ramah lingkungan), malah sebaliknya bahan kemasan ini dapat terurai oleh
bakteri secara alamiah. Akan tetapi bilamana tidak segera ditangani, maka
limbah bahan kemas alami ini dapat pula memberikan dampak negatif yaitu
menimbulkan pencemaran, aroma yang dihasilkan dari proses penguraian
tersebut dapat menghasilkan bau yang tidak sedap.
Berbagai kemasan tradisional yang masih banyak digunakan antara lain

bambu, kayu, dedaunan dan sebagainya. Penggunaan daun sebagai bahan

kemasan tradisional sudah lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia,

selain murah dan praktis cara pemakaiannya, daun ini juga masih mudah

didapat, akan tetapi kemasan daun ini bukan merupakan kemasan yang

bersifat representatif, sehingga pada saat penanganannya harus ekstra hati-

hati.
B. Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan lama simpan dari bahan pangan yang dikemas
dengan kemasan tradisional dengan kemasan moderen.
II. TINJAUN PUSTAKA

Kemasan berasal dari kata kemas yang berarti teratur (terbungkus) rapi;
bersih; rapi; beres; selesai. Pengertian kemasan lainnya merupakan hasil mengemas
atau bungkus pelindung dagangan (niaga). Sedangkan pengertian bungkus dapat
diartikan sebagai kata bantu bilangan untuk benda yang dibalut dengan kertas
(daun, plastik, dan sebagainya); pengertian lainnya barang apa yang dipakai untuk
membalut. Dengan demikian dalam tulisan ini pengertian kemasan adalah sesuatu
(material) dapat berupa daun, kertas, maupun plastik yang digunakan untuk
membungkus makanan (Sabana, 2007).
Pengemasan menurut Sayuti (2015) adalah wadah atau pembungkus yang
dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada
bahan yang dikemas atau dibungkusnya. Menurut Sulchan dan Endang (2007) dari
sisi food safety kemasan makanan bukan sekedar bungkus tetapi juga sebagai
pelindung agar makanan aman dikonsumsi. Kemasan pada makanan juga
mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi
dan informasi. Namun tidak semua kemasan makanan aman bagi makanan yang
dikemasnya. Kemasan yang paling sering kita jumpai saat ini adalah plastik dan
styrofoam.
Fungsi kemasan diantaranya yaitu :
1. Sebagai wadah atau tempat
Yaitu untuk memudahkan penyimpanan produk yang berupa tepung-tepungan,
butiran, cairan dan gas agar tidak berserakan dan memudahkan pekerjaan bila
akan dipindahkan atau diangkut.
2. Sebagai pelindung
Yaitu untuk melindungi lingkungn sekitar produk. Bahan kemas yang akan
dipilih tergantung dari sifat-sifat produk serta kemampuannya untuk
melindungi produk yang akan dikemas.
3. Sebagai penunjang cara penyimpanan dan transport
Produk yang akan dipasarkan biasanya tidak langsung dibawa dari pabrik ke
pengecer, tetapi melalui saluran pemasaran yang agak panjang. Selain itu
beberapa bahan mesti disimpan dahulu, sehingga kemasan harus dibuat
sedemikian rupa agar efisien dalam menggunakan ruangan penyimpanan.
Kemasan harus dibuat selaras dengan kemajuan dalam teknologi dan
transportasi, bentuk dan ukurannya harus cocok dengan kemampuan dan
ukuran alat-alat yang digunakan.
4. Sebagai alat persaingan dalam pemasaran
Dalam memasarkan suatu produk harus dapat menarik perhatian konsumen.
Cara yang menarik yaitu dengan menempelkan sesuatu yang menarik pada
kemasan produk tersebut.
(Susanto dan Budi, 1994)
Beberapa syarat kemasan yaitu :
1. Tidak toksik
2. Harus cocok dengan bahan yang dikemas
3. Sanitasi dan syarat-syarat kesehatan terjamin
4. Dapat mencegah pamalsuan
5. Kemudahan membuka dan menutup
6. Kemudahan dan keamanan dalam mengeluarkan isi
7. Kemudahan dalam pembuangan kemasan bekas
8. Ukuran, bentuk dan berat yang sesuai
9. Penampilan dan pencetakan
10. Biaya rendah
(Susanto dan Budi, 1994)
Yang dimaksud dengan kemasan tradisional adalah kemasan yang terbuat
dari bahan alami umumnya digunakan untuk makanan tradisional, dan biasa
digunakan sejak di pasar tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alam.
Penggunaan bahan-bahan alam pada perkemasan tradisional, memiliki unsur-unsur
khusus yang tidak terdapat pada unsur perkemasan modern yang menggunakan
bahan-bahan buatan (Noviadji, 2014).
Penampilan pada kemasan tradisional terlihat lebih alami mulai dari warna,
tekstur, dan bentuknya. Aroma dari kemasan tradisional memberikan cita rasa dan
bau yang khas yang ditimbulkan dari sifat alamiah bahan alam yang dapat
mempengaruhi produk di dalamnya. Konstruksi kemasan tradisional yang
menggunakan bahan-bahan alam mempunyai kekuatan dan elastisitas tersendiri,
yang tidak dapat dijumpai di bahan-bahan buatan pada kemasan modern (Noviadji,
2014).
Menurut Noviadji (2014) kemasan tradisional antara lain berupa: Daun-
daunan (seperti daun pisang, daun jagung, daun kelapa/enau (aren), daun jambu air
dan daun jati). Ada juga kemasan dari anyaman bambu dan rotan dalam bentuk
silindris maupun kotak seperti besek, keranjang buah dan sebagainya. Selain itu ada
juga kemasan dari kulit atau kelobot jagung, yang juga memiliki keunikan. Menurut
Sayuti, (2015) produk yang dibungkus oleh daun biasanya memilik aroma yang
khas karena daun mengandung polifenol.
Daun yang sering digunakan sebagai pengemas adalah daun pisang, daun
jambu, kulit tongkol jagung (klobot0, daun kelapa, daun jati. Daun pisang paling
banyak digunakan daripada daun lainnya, karena daunnya lebar, mempunyai sifat
fisik yang halus, lemas, mudah dilipat, tidak hancur saat dipanggang ataupun
dikukus. Dilihat dari kandungannya, daun pisang mengandung polifenol yang
sebagian besar dalam bentuk EGCG (Epi Gallo Cathechin Gallat) yang berperan
dalam menghasilkan aroma khas. Kandungan polifenol pada daun dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus dan akan lebih memaksimalkan
proses fermentasi, misal pada pembuatan tempe (Hendrasty, 2013).
Kemasan plastik merupakan kemasan modern, dan kemasan ini lebih sering
dipilih dan digunakan oleh produsen makanan sebagai wadah karena lebih praktis
dan tidak merepotkan. Kelemahan dari kemasan ini adalah bekas dari kemasan
plastik akan menjadi limbah anorganik yang sulit dibusukkan (Sayuti, 2015).
Polipropilen atau PP merupakan plastik berkilat dan jernih dengan sifat p[tik
dan daya rentang yang baik dan tahan sobekan. Walaupun hampir sama dengan
polietilen, polipropilen lebih rumit struktur molekulnya. Jika bergabung, maka akan
membentuk polimer panjang sekitar 200 psi dalam pelarut. Hal ini menyebabkan
polipropilen mempunyai permeabilitas terhadap air, gas dan bau (Hendrasty, 2013).
Polipropilen merupakan polimer dengan berat paling ringan diantara
polimer yang digunakan dan mempunyai densitas 0, 90-0,91 g/cc, mempunyai sifat
kekakuan yang baik dan permukaan transaparan. Dalam bentuk kristal mempunyai
titik leleh 1620C. Ini berarti bahwa polipropilen mempunyai sifat ketahanan
terhadap panas yang baik dan dapat digunakan untuk proses sterilisasi dengan
menggunakan air mendidih dalam kantong yang dapat digunakan sebagai pengemas
dengan tekanan.Walaupun tahan terhadap suhu tinggi, polipropilen tidak dapat
ditutup dengan menggunakan panas karen mempunyai titik cair yang tinggi. Faktor
utama yang membatasi PP digunakan secara luas karena ketahanannya terhadap
suhu terbatas. Polipropilen tidak cukup kuat untuk mempertahankan perubahan
pada suhu yang digunakan untuk menstrerilisasi makanan di dalam retort atau untuk
suhu tinggi dalam oven (Hendrasty, 2013).
Untuk mencegah kerusakan tersebut sering digunakan penambahan etilen
3%-5%. Penambahan etilen lebih besar dari 3% masih baik, akan tetapi apabila
penambahannya melebihi 20% maka akan menyebabkan sangat berkurangnnya
kekuatan produk. Selain itu juga harus dilakukan ko-polimerisasi propilen-etilen.
Kalau tidak dilakukan ko-polimerisasi dengan etilen, maka PP cenderung menjadi
rapuh pada suhu dingin (Hendrasty, 2013).
Menurut Amelia, Endrinaldi dan Edward (2014) lontong merupakan
makanan yang diproduksi oleh industri rumah tangga yang menjadi salah satu menu
favorit untuk sarapan. Lontong banyak dikonsumsi oleh masyarakat mulai dari
kalangan anak-anak hingga dewasa karena rasanya yang enak, mengenyangkan,
murah, dan bergizi. Lontong terbuat dari beras yang kemudian dibentuk dan
dibungkus dengan daun pisang, daun kelapa atau plastik.
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan bahan


Alat : 1. Lontong dengan pembungkus daun pisang
2. Lontong dengan pembungkus plastik
3. Getuk goreng dibungkus besek bambu
4. Getuk goreng dibungkus plastik
Bahan : 1. Label
2. Alat tulis
3. Penutup saji
4. Wadah styrofoam
B. Prosedur Kerja
1. Lontong

Diambil tiga bungkus lontong dari masing-masing jenis kemasan.


Lontong yang digunakan untuk kontrol dibuka bungkusnya.

Masing-masing jenis lontong diletakkan di atas styrofoam dan diberi


label.

Kemudian lontong disimpan pada suhu ruang dan ditutup dengan


tudung saji.

Bahan diamati perbedaan fisik dan sensori maupun adanya gejala


pertumbuhan mikroba pada lontong yang dimati mulai dari hari ke-0
sampai hari ke-3.
2. Getuk Goreng

Ditimbang masing-masing 50 gram getuk goreng kemudian diberi


perlakuan sebagai berikut :
1. Dikemas dengan besek bambu
2. Dikemas dengan kemasan plastik
3. Tanpa dikemas sebagai kontrol

Masing-masing getuk goreng diletakkan diatas styrofoam, kecuali


getuk goreng yang dikemas dengan kemasan besek bambu.
Kemudian diberi label.

Selanjutnya sampel disimpan pada suhu ruang.

Sampel diamati perbedaan fisik dan sensoris maupun adanya gejala


pertumbuhan mikroba pada getuk yang diamati dari hari ke-0 sampai
hari ke-3.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Lontong

Paramater
Perlakuan Hari
Aroma Warna Tekstur Kenampakan
0 1 2 4 1
Lontong kontrol 1 4 2 4 2
daun 2 5 3 5 5
3 5 5 5 5
0 1 1 3 1
Lontong kontrol 1 4 1 3 2
plastik 2 5 2 4 4
3 5 4 5 5
0 1 2 4 1
Lontong dengan 1 2 2 4 3
kemasan daun 2 4 2 5 5
3 5 2 5 5
0 1 1 3 1
Lontong dengan 1 3 1 3 3
kemasan plastik 2 5 1 5 5
3 5 1 5 5

Parameter :
Warna Aroma
1. Putih 1. Sangat khas
2. Putih kehijauan 2. Khas
3. Putih kekuningan 3. Agak khas
4. Kuning 4. Sedikit khas
5. Kuning kecoklatan 5. Tidak khas
Kenampakan Tekstur
1. Tidak berlendir 1. Sangat keras
2. Sedikit berlendir 2. Keras
3. Agak berlendir 3. Agak keras
4. Berlendir 4. Sedikit keras
5. Sangat berlendir 5. Tidak keras
2. Getuk goreng

Parameter
Perlakuan Hari
Aroma Warna Tekstur Kenampakan
0 1 2 4 1
1 2 2 4 1
Getuk kontrol
2 3 3 3 1
3 3 3 3 1
0 1 2 4 1
Getuk pengemas 1 2 3 4 1
plastik 2 4 2 4 2
3 4 1 2 2
0 1 2 4 1
Getuk pengemas 1 2 2 4 1
besek 2 3 2 3 2
3 3 3 3 3
Parameter :
Warna Aroma
1. Coklat kehitaman 1. Sangat khas
2. Coklat 2. Khas
3. Coklat kekuningan 3. Agak khas
4. Kuning kecoklatan 4. Sedikit khas
5. Kuning 5. Tidak khas
Kenampakan Tekstur
1. Tidak berjamur 1. Sangat keras
2. Sedikit berjamur 2. Keras
3. Agak berjamur 3. Agak keras
4. Berjamur 4. Sedikit keras
5. Sangat berjamur 5. Tidak keras
B. Pembahasan
Praktikum acara pengemasan tradisional bertujuan untuk mengetahui
perbedaan lama simpan dari bahan pangan yang dikemas dengan kemasan
tradisional dengan kemasan moderen. Sampel yang digunakan adalah lontong dan
getuk goreng sedangkan pengemas yang digunakan adalah daun pisang, besek
bambu dan plastik Polipropilen (PP). Praktikum ini dilakukan dengan menyimpan
sampel dengan pengemas yang sudah disiapkan kemudian diamati warna, aroma,
kenampakan, dan tekstur dengan waktu pengamatan selama tiga hari.
Berdasarkan data hasil praktikum diketahui bahwa terdapat perbedaan
pengaruh kemasan tradisional dan kemasan moderen terhadap bahan. Secara
keseluruhan aroma dari bahan yang dibungkus dengan kemasan tradisional daun
pisang masih tetap terjaga atau lebih tahan lama dibandingkan bahan yang
dibungkus kemasan moderen. Dapat dibandingkan antara lontong pengemas daun
dengan lontong pengemas plastik bahwa pada hari kedua lontong pengemas plastik
sudah tidak beraroma khas lagi. Hal tersebut menurut Hendrasty (2013), karena
daun pisang mengandung polifenol yang sebagian besar dalam bentuk EGCG (Epi
Gallo Cathechin Gallat) yang berperan dalam menghasilkan aroma khas. Sehingga
membuat lontong yang dikemas daun aromanya lebih awet atau tetap terjaga.
Sama halnya dengan lontong, pada sampel getuk goreng pun, kemasan
tradisional lebih mampu mempertahankan aroma yang dihasilkan oleh sampel.
Meskipun menurut Hendrasty (2013), pengemas bambu (besek) tidak mempunyai
ketahanan terhadap uap air, gas dan panas tetapi bisa melindungi sampel dari
kerusakan oleh cahaya. Berbeda dengan pengemas plastik yang lebih mudah
mengabsorbsi cahaya karena sifatnya yang transparan. Sehingga menurut
Hendrasty (2013), makanan yang terkena pancaran cahaya akan menyebabkan
oksidasi lemak, merusak riboflavin dan mengurangi flavor. Hal tersebutlah yang
menyebabkan getuk goreng dalam kemasan besek aromanya tetap terjaga
dibandingkan getuk goreng dalam kemasan plastik.
Apabila membandingkan antara lontong kontrol (tanpa pengemas) dengan
lontong yang dikemas menunjukkan adanya peranan dari pengemas yaitu untuk
melindungi bahan. Hal tersebut dapat dilihat ketika hari pertama, lontong kontrol
hanya sedikit menghasilkan aroma khas sedangkan lontong yang dikemas agak
lebih khas. Kemudian pada hari berikutnya lontong kontrol sudah tidak beraroma
khas lagi sedangkan lontong yang dikemas masih ada sedikit aroma khas.
Perbedaan terjadi pada bahan getuk goreng, pada hari pertama getuk kontrol
dan getuk goreng yang dikemas masih beraroma khas namun pada hari kedua dan
berikutnya getuk goreng yang dikemas plastik hanya sedikit menghasilkan aroma
khas sedangkan getuk goreng kontol dan getuk goreng yang dikemas besek agak
lebih beraroma khas. Adanya hal tersebut mungkin dikarenakan getuk yang
digunakan pada pengemas plastik sudah mengalami kerusakan atau sudah disimpan
cukup lama sebelum digunakan sehingga aroma yang dihasilkan mulai hilang.
Selanjutnya dari segi warna, pengemas tradisional sangat berpengaruh
terhadap warna bahan terutama pada lontong. Karena pada bahan lontong dikemas
menggunakan daun pisang. Daun pisang mengandung pigmen warna hijau sehingga
ketika lontong direbus memungkinkan terjadinya reaksi yang menyebabkan warna
dari lontong menjadi kehijauan.
Menurut Winarti dkk (2008) efek pemanasan pada sari buah anggur
menyatakan bahwa pemanasan sangat berpengaruh pada stabilitas warna dan dapat
menyebabkan menjadi pucat. Menurunnya stabilitas warna karena suhu yang tinggi
diduga disebabkan karena terjadinya dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon
menjadi kalkon (tidak berwarna). Berdasarkan hal tersebut kemungkinan pigmen
hijau daun pisang juga mengalami dekomposisi sehingga stabilitas warnanya turun
akibatnya lontong menjadi berwarna hijau.
Sementara untuk bahan getuk goreng, adanya perbedaan pengemas
berpengaruh terhadap warna dari bahan. Pada bahan getuk kontrol dan getuk
pengemas besek warna dari hari ke-0 sampai hari ke-2 adalah coklat tetapi setelah
hari ke-3 warnanya coklat kekunigan. Adanya perubahan warna dari coklat menjadi
coklat kekuningan mungkin karena menurut Kateren (2008) bahwa warna kuning
erat kaitannya antara proses absorpsi dan timbulnya warna kuning dalam minyak,
terutama terjadi dalam minyak atau lemak tidak jenuh. Warna ini timbul selama
penyimpanan dan intensitas warna bervariasi dari mulai kuning sampai ungu
kemerah-merahan.
Berbeda dengan bahan yang sebelumnya, bahan yang disimpan dalam
kemasan plastik mengalami perubahan dari hari ke-0 warna coklat, hari ke-1 coklat
kekuningan, hari ke-2 coklat dan terakhir warna coklat kehitaman. Perubahan
warna tersebut mungkin karena perbedaan getuk goreng setiap harinya yang
diamati. Sehingga perubahannya berbeda-beda.
Warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E).
Apabila minyak bersumber dari tanaman hijau, maka zat klorofil yang berwarna
hijau ikut terekstrak bersama minyak. Warna gelap ini terjadi selama proses
pengolahan dan penyimpanan yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Suhu
pemanasan yang terlalu tinggi, pengepresan bahan yang mengandung minyak
dengan tekanan dan suhu yang lebih tinggi, logam Fe, Cu dan Mn akan
menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam minyak (Ketaren, 2008).
Selanjutnya dari segi tekstur, berdasarkan hasil praktikum perbedaan
kemasan antara tradisional dengan moderen cukup berpengaruh. Pada bahan
lontong yan dikemas plastik memilki terkstur agak keras dibandingkan lontong
yang dikemas daun. Hal tersebut terjadi mungkin karena lontong yang dikemas
platik menerima tekanan yang lebih besar sehingga lontong menjadi padat dan
tekstur yang dihasilkan agak keras.
Menurut Hendrasty (2013), pada beberapa makanan perubahan kadar air
mempunyai peranan penting karena akan menyebabkan kekerasan atau kelunakan
makanan. Pengaruh perubahan kandungan kadar air ini ditunjukkan dengan
penyerapan air dan tergantung pada laju perpindahan uap air pengemas. Salah satu
sifat dari pengemas plastik adalah tahan terhadap air sehingga tiadak ada
penyerapan air dari lingkungan yang membuat lontong dalam kemasan plastik tetap
keras.
Untuk bahan yang getuk goreng, justru pengemas tradisional besek yang
menjaga tekstur getuk dari yang sedikit keras saat diamati hari ke-2 dan ke-3 getuk
goreng menjadi agak keras sedangkan getuk goreng yang dikemas plastik saat
diamati hari ke-2 dan ke-3 getuk goreng menjadi keras. Hal tersebut terjadi karena
mungkin besek memilki permeabilitas yang tinggi sehingga kandungan air yang
ada di udara dapat mudah masuk ke dalam getuk goreng menyebabkan getuk
goreng dalam besek tidak lebih keras dibandingkan yang dikemas dengan plastik.
Begitu juga pada getuk goreng kontrol, saat diamati hari ke-2 dan ke-3 tekstur
getuk hanya menjadi agak keras. Hal itu kemungkinan terjadi karena getuk goreng
kontrol disimpan tanpa dikemas sehingga air mudah masuk menyebabkan getuk
goreng kontrol tidak lebih keras dibandingkan yang dikemas dengan plastik.
Terakhir dari segi kenampakan, berdasarkan data hasil praktikum terdapat
perbedaan antara bahan yang dikemas kemasan tradisional dengan kemasan
moderen terutama pada bahan getuk goreng. Getuk goreng yang dikemas dengan
plastik hanya sedikit berjamur dibandingkan getuk yang dikemas besek. Hal
tersebut terjadi karena menurut Sulchan dan Endang, (2007) kemasan plastik
memilki permeabilitas terhadap jenis gas dan uap air lebih rendah bila dibandingkan
kemasan besek.
Karena salah satu penyebab kerusakan yang disebabkan mikrobia menurut
Hendrasty,(2013) adalah aktivitas air. Meningkatnya aktivitas air akan menjadikan
mikroba dapat mudah tumbuh pada makanan. Selain itu oksigen yang cukup juga
dapat menjadi penyebab tumbuhnya mikroba sehingga getuk goreng lebih mudah
menjadi tempat tumbuhnya mikroba karena bentuk dari kemasan besek yang
beronggalah yang menyebabkan udara dan komponen air mudah masuk ke dalam
getuk goreng.
Kemudian untuk bahan lontong, secara keseluruhan bahan mengalami
kerusakan yang ditunjukkan dengan adanya lendir. Lendir tersebut mungkin
dikarenakan adanya mikroba yang mengkontaminasi lontong sehingga membuat
lontong menjadi berlendir. Faktor lainnya mungkin terjadi karena adanya
peeningkatan kadar air pada bahan akibat uap air di lingkungan.
Menurut Henrasty, (2013) bahwa makanan yang mengandung karbohidrat
seperti serealia dan bijian cenderung disukai oleh berbagai jenis kapang dan lontong
berbahan dasar pagi yang megandung banyak karbohidrat. Sehingga kemungkinan
lendir tersebut dihasilkan oleh mikroba yakni kapang.
V. PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa :
Pengemas mempunyai fungsi sebagai pelindung makanan.
Sifat perlindungan pengemas berbeda antara pengemas tradisional dan
pengemas moderen.
Setiap pengemas tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang
ditunjukkan dengan karakteristik sensori bahan baik yang dikemas dengan
daun pisang maupun plastik.
Dari segi aroma, bahan yang dikemas dengan pengemas daun pisang
menghasilkan aroma yang khas dibandingkan pengemas plastik. Begitu juga
dengan kemasan tradisional besek.
Dari segi warna, bahan yang dikemas dengan pengemas tradisional daun
mempengaruhi warna bahan lontong. Namun tidak untuk bahan getuk dan
plastik. Perubahan warna pada getuk terjadi karena adanya reksi kimia.
Dari segi tekstur, bahan lontong yang dikemas plastik lebih mampu
mempertahankan tekstur.
Dari segi kenampakan, bahan yang dikemas plastik secara keseluruhan lebih
mampu menjaga bahan dari mikrobia sehingga memperpanjang umur
simpan.
B. Saran
Sebaiknya praktikum ini dilakukan dengan baik dan benar sesuai
prosedur agar data yang dihasilkan lebih valid lagi. Kemudian sebaiknya
praktikan mengerjakan semua perlakuan atau paling tidak ada penjelasan dari
yang mengerjakan perlakuan lain agar lebih bisa memahami praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Rizki, Endrinaldi dan Zulkarnain Edward. 2014. Identifikasi dan


Penentuan Kadar Boraks dalam Lontong yang Dijual di Pasar Raya
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 3. No. 3 Hal: 457-459
Hendrasty, Henny Krissetiana. 2013. Pengemasan dan Penyimpanan Bahan
Pangan. Yogyakarta : GRAHA ILMU
Ketaren, S. 2008 . Pengantar Teknologi Minyak Dan Lemak Pangan. Cetakan
Pertama. Jakarta : Universitas Indonesia Press
Noviadji, Benny Rahmawan. 2014. Desain Kemasan Tradisional Dalam Konteks
Kekinian. Jurnal Fakultas Desain. Vol. 1 No. 01. Hal: 10-21
Sabana, Setiawan. 2007. Nilai Estetis Pada Kemasan Makanan Tradisional
Yogyakarta. Jurnal Visual Art. Vol. 1 No. 1 Hal : 10-25
Sayuti. 2015. Pengaruh Bahan Kemasan Dan Lama Inkubasi Terhadap Kualitas
Tempe Kacang Gude Sebagai Sumber Belajar Ipa. Jurnal Pendidikan
Biologi. Vol. 6. No 2. Hal : 148-158
Sulchan, Mohammad dan Endang Nur W. 2007. Keamanan Pangan Kemasan
Plastik dan Styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 57. No.
2 Hal : 54-59
Winarti, Sri. 2008. ekstraksi dan Stabilitas Warna Ubi Jalar Ungu (Ipomoea
batatas L.,) Sebagai Pewarna Alami. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 3 No.
1 Hal : 207-214
LAMPIRAN

1. Lampiran foto lontong

Pelabelan bahan lontong Lontong yang sudah diberi label

Bahan lontong yang sudah diberi label Bahan lontong kontrol (tanpa di
(lontong kontrol, lontong daun dan kemas)
lontong plastik)

Bahan lontong pengemas daun pisang Bahan lontong pengemas plastik


Bahan lontong kontrol hari pertama Bahan lontong kontrol hari kedua

Bahan lontong kontrol hari ketiga Bahan lontong daun hari pertama

Bahan lontong daun hari kedua Bahan lontong daun hari ketiga
2. Lampiran foto getuk

Bahan getuk goreng ditimbang 50 Bahan getuk goreng dikemas besek


g
hari pertama
Bahan getuk goreng dikemas besek
hari ke dua
Bahan getuk goreng dikemas besek
untuk diamati hari ke-1, hari ke-2
dan hari ke-3

Anda mungkin juga menyukai