Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH TEKNOLOGI PENGEMASAN

Kelompok 2

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam suatu produk kemasan merupakan salah satu factor penting yang dapat
menunjang nilai jual produk tersebut. Lebih dalam lagi kemasan memiliki peranan yang
sangat penting karena dengan kemasan, produk dapat terjaga dan terhindar dari kontaminasi
fisik, kimia maupun biologi. Selain itu didalam kemasan pula produsen dapat memberikan
informasi tentang produk yang dipasarkan sehingga konsumen dapat mengerti tentang
karakteristik suatu produk dengan hanya melihat kemasannya saja. Semua hal tersebut
bertujuan agar produk yang sampai ketangan konsumen memiliki nilai mutu yang
diinginkan dan sesuai dengan harapan konsumen.

Melihat begitu pentingnya sebuah kemasan dari suatu produk, pengembangan


tentang teknologi pengemasan berkembang pesat beberapa tahun belakangan ini. Ada
beberapa factor yang membuat pesatnya perkembangan teknologi pengemasan antara lain
adalah perubahan pola hidup masyarakat yang semakin dinamis, kemajuan IPTEK sehingga
dapat menghasilkan kemasan yang lebih aman, praktis, inovatif, efisien, efektif dan ramah
lingkungan.

Dari sekian banyak pengembangan teknologi pengemasan yang ada di masyarakat


luas juga masih tertadap banyak kemasan tradisional yang masih digunakan sampai
sekarang. Salah satu contoh kemasan tradisional yang masih banyak ditemukan di
masyarakat adalah kemasan dengan bahan dasar daun.

Produk pangan yang biasa dikemas dengan bahan pengemas daun umumnya
merupakan makanan-makanan tradisional seperti jajanan-jajanan pasar tradisional yang
masih ada sampai saat ini. Dengan begitu banyaknya pengembangan maupun inovasi
tentang teknologi pengemasan pastilah terdapat alasan mengapa bahan pengemas tradisional
seperti daun masih digunakan oleh masyarakat.
Kemasan menggunakan bahan dasar daun memiliki beberapa kelebihan dan
kelemahan, salah satu kelebihannya adalah harganya yang murah dan mudah di dapat,
namun salah satu kelemahannya adalah kemasan berbahan dasar daun tidak cukup mampu
untuk melindungi produk pangan dari serangan atau kontaminasi fisik, kimia maupun
biologis.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang pengemasan berbahan dasar daun maka
didalam makalah ini akan dikaji tiga jurnal yang berkaitan dengan penggunaan daun sebagai
bahan pengemas untuk beberapa produk pangan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penggunakaan daun lokal sebagai pengemas makanan di berbagai daerah


?
2. Apa saja kelebihan dan kekurangan pengemasan dengan menggunakana daun di
Ghana ?
3. Bagaiman pengaruh perbedaan bahan pembungkus dan jumlah daun terhadap
komposisi langsung Pentaclethra macrophylla Benth yang difermentasi ?
4. Apakah daun pisang dapat menjadi alternatif pengemas alami pada lulo yang dapat
mengurangi kerusakan mekanis karena perlakuan dan menjaga kualitas lulo terhadap
masa simpan ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana cara penggunakaan daun lokal sebagai pengemas


makanan di berbagai daerah
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pengemasan dengan menggunakana
daun di Ghana
3. Untuk mengetahu pengaruh perbedaan bahan pembungkus dan jumlah daun
terhadap komposisi langsung Pentaclethra macrophylla Benth yang difermentasi
4. Untuk mengetahui apakah daun pisang dapat menjadi alternatif pengemas alami
pada lulo yang dapat mengurangi kerusakan mekanis karena perlakuan dan menjaga
kualitas lulo terhadap masa simpan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kemasan berasal dari kata kemas yang berarti teratur (terbungkus) rapi dan bersih.
Pengertian kemasan lainnya merupakan hasil mengemas atau bungkus pelindung dagang
(niaga). Kemasan adalah wadah atau pembungkus, bagi produk pangan, kemasan
mempunyai peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu dan keamanan pangan
serta meningkatkan daya tarik produk. Agar bahan pangan yang akan dikonsumsi bisa
sampai kepada yang membutuhkannya dengan baik dan menarik, maka diperlukan
pengemasan yang tepat. Pengemasan dalam hal ini ditunjukan untuk melindungi bahan
pangan segar maupun bahan pangan olahan dari penyebab kerusakan, baik fisik, kimia,
maupun mekanis (Rini dkk., 2018)..

Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang


menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual, dan dipakai. Adanya
wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan,
melindungi produk yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran serta
gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran) (Sucipta, dkk., 2017). Di samping itu
pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar
mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan
distribusi. Dari segi promosi wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau
daya tarik pembeli. Karena itu bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan
dalam perencanaannya. Kemasan, diartikan secara umum adalah bagian terluar yang
membungkus suatu produk dengan tujuan untuk melindungi produk dari cuaca, guncangan
dan benturan-benturan, terhadap benda lain.

Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang


menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual, dan dipakai. Adanya
wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan,
melindungi produk yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran serta
gangguan fisik (gesekan, benturan,getaran). Di samping itu pengemasan berfungsi untuk
menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk-bentuk
yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Dari segi promosi
wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Karena itu
bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya
(Sucipta, dkk., 2017).

Budaya kemasan sebenarnya telah dimulai sejak manusia mengenal sistem


penyimpanan bahan makanan. Sistem penyimpanan bahan makanan secara tradisional
diawali dengan memasukkan bahan makanan ke dalam suatu wadah yang ditemuinya. Pada
awalnya kemasan masih terkesan seadanya dan lebih berfungsi untuk melindungi
makanan/barang terhadap pengaruh cuaca atau proses alam lainnya yang dapat merusaknya.
Selain itu, kemasan juga berfungsi sebagai wadah agar barang mudah dibawa selama dalam
perjalanan. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin kompleks, barulah terjadi
penambahan nilai-nilai fungsional dan peranan kemasan dalam pemasaran mulai diakui
sebagai satu kekuatan utama dalam persaingan pasar (Rini dkk., 2018).

Kemasan pangan sangat diperlukan dalam dunia foodservice, karena beragam


makanan yang akan dijual ke konsumen terlebih dahulu ditempatkan dalam wadah atau
kemasan. Selain untuk menjaga penampilan dan kualitas makanan, wadah kemasan pangan
juga dapat meningkatkan nilai jual dan sebagai media promosi. Konsumen tidak hanya sadar
untuk memilih bahan baku yang aman dan sehat pada menu yang ditawarkan di setiap
restoran atau kafe yang mereka kunjungi, namun kemasan pangan yang mengusung go green
dan aman juga turut diperhatikan untuk menempatkan makanan dan minuman yang mereka
pesan. Dengan timbulnya kepedulian konsumen terhadap keamanan kemasan pangan
tersebut, menuntut pelaku usaha restoran, kafe dan usaha lainnya yang bergerak di
duniafoodservice harus menyediakan dan menggunakan kemasan yang aman, go green, dan
sesuai standar kemasan pangan yang baik dan aman dari pemerintah. Demi mengakomodir
hadirnya kemasan pangan yang food grade, pemerintah melalui lembaga terkait seperti
Kementerian Perindustrian membuat peraturan mengenai standar kemasan pangan,
keamanan mutu dan gizi pangan pada kemasan, dan kewajiban pencantuman Logo Tara
Pangan dan Kode Daur Ulang (Sucipta, dkk., 2017).

Beberapa sifat yang penting yang perlu dimiliki oleh kemasan makanan adalah dapat
menyimpan dan mempertahankan bau dan aroma makanan. Tidak dikemas secara
berlebihan sehingga para konsumen tidak dirugikan dan mendapat barang sesuai dengan
nilai uang yang telah dibayar, dapat dengan mudah ditutup atau direseal kembali, dapat
dengan mudah disimpan. dapat dengan mudah dibuka. Telah diberi segel untuk mencegah
pemalsuan dari isi kemasan, dapat dipergunakan di oven microwave, tidak menimbulkan
atau sedikit sekali menimbulkan masalah lingkungan.

Menurut Putra (2010) yang dimaksud dengan kemasan tradisional adalah kemasan
yang terbuat dari bahan alami umumnya digunakan untuk makanan tradisional, dan biasa
digunakan sejak di pasar tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alam. Penggunaan
bahan-bahan alam pada perkemasan tradisional, memiliki unsurunsur khusus yang tidak
terdapat pada unsur perkemasan modern yang menggunakan bahan-bahan buatan.

Berbagai kemasan tradisional yang masih banyak digunakan antara lain bambu,
kayu, dedaunan dan sebagainya. Penggunaan daun sebagai bahan kemasan tradisional sudah
lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia, selain murah dan praktis cara pemakaiannya,
daun ini juga masih mudah didapat, akan tetapi kemasan daun ini bukan merupakan kemasan
yang bersifat representatif, sehingga pada saat penanganannya harus ekstra hati-
hatiKemasan makanan tradisional jenis kemasan yang memanfaatkan bahan botanis (daun-
daunan, misalnya) berfungsi bukan saja sebagai pelindung isinya dari debu atau agar tahan
lama, tapi juga merupakan upaya untuk mengatur, merapikan makanan itu agar mudah dan
praktis, dan dipegang. Ragam pengemasan pangan yang sering dijumpai seperti kemasan
dengan menggunakan daun pisang, kelobot jagung (pelepah daun jagung), daun kelapa/enau
(aren), daun jambu air dan daun jati. Daun digunakan secara luas, bersifat aman dan bio-
degradable, yang biasanya berupa daun pisang, daun jati, daun bambu, daun jagung dan
daun palem. Lebih aman digunakan dalam proses pemanasan dibanding plastik

Pemanfaatan bahan alami seperti daun sebagai pembungkus makanan memberikan


dampak positif bagi lingkungan dan konsumen karena merupakan bahan yang tidak
mengandung bahan kimia berbahaya atau beracun, mudah ditemukan, mudah dilipat dan
memberi aroma sedap pada makanan (Astuti 2009). Menggunakan daun sebagai
pembungkus makanan adalah salah satu upaya untuk mempercantik penampilan makanan,
serta menambah aroma khas dan kelezatan makanan (Diyah 2013). Menurut Maflahah
(2012), jenis daun yang sering dijumpai sebagai pembungkus makanan tradisional yaitu
menggunakan daun pisang, kelobot jagung (pelepah daun jagung), daun kelapa/aren, daun
jambu air, dan daun jati.

Adapun pengetahuan tentang jenis tumbuhan yang daunnya digunakan sebagai


pembungkus makanan tradisional menurut Rini, dkk. (2018) dapat dideskripsikan sebagai
berikut :

1. Aren
Aren merupakan tumbuhan pepohonan yang dapat ditemukan di hutan dan
pekarangan rumah. Bagian daun yang digunakan sebagai pembungkus makanan
adalah daun muda atau pucuk daun. Cara penggunaannya sebelum digunakan untuk
membungkus makanan daun kabung dicuci dengan air bersih lalu diusap
menggunakan kain. Bagian tulang daun dibuang terlebih dahulu untuk memudahkan
pembungkusan. Produk makanan yang dibungkus daun kabung adalah kue bongkol.
Daun kabung menyirip dengan panjang daun 320 cm, tangkai daun 91 cm dan lebar
daun 160 cm. Anak daun tersusun beraturan, jumlah anak daun sisi kanan 54, sisi
kiri 54, panjang anak daun 76 cm dan lebar anak daun 5 cm. Kue bongkol yang
dibungkus menggunakan daun kabung dapat bertahan kurang lebih 3-4 hari.
2. Kelapa
Kelapa merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk pepohonan.
Tumbuhan ini dapat ditemukan di kebun dan pekarangan atau halaman rumah. Daun
kelapa yang digunakan sebagai pembungkus makanan adalah bagian daun muda atau
pucuk daun. Hal ini dikarenakan jika sudah dimasak pucuk daun tidak membuat
makanan yang dibungkus berubah warna. Penggunaan daun kelapa sebagai
pembungkus makanan biasanya digunakan untuk jenis makanan yang dimasak
seperti ketupat dan lepet. Daun kelapa muda sebelum dibungkus pada makanan
terlebih dahulu dijemur di bawah sinar matahari, hal ini dilakukan agar daun tersebut
tidak mudah sobek pada saat dibentuk menjadi pembungkus ketupat atau dalam
bahasa lokal sering disebut sarang ketupat. Setelah proses penjemuran tulang daun
kelapa dibuang menggunakan pisau. Daun kelapa dapat dibentuk menjadi bungkus
ketupat dengan lebar daun ± 300 cm dan panjang ± 150 cm. Bungkus ketupat
kemudian diisi dengan beras yang telah dicuci sebanyak setengah dari sarang
ketupat. Ketupat kemudian dimasak kurang lebih selama 8-10 jam pada suhu kurang
lebih 700C agar ketupat masak sempurna. Makanan yang dibungkus menggunakan
daun kelapa dapat bertahan kurang lebih 3-5 hari. Makanan yang dibungkus
menggunakan daun kelapa memiliki aroma yang khas dan dapat menambah
kelezatan makanan. Hal ini dikarenakan daun kelapa tersebut juga ikut dimasak
bersamasama dengan makanannya, sehingga senyawa perasa yang terkandung
dalam daun tersebut dapat diserap oleh makanan.
3. Pisang
Pisang merupakan tumbuhan herba yang dapat ditemukan di kebun dan
pekarangan/halaman rumah. Daun pisang digunakan sebagai pembungkus nasi, kue
bugis, kue kelamai, lemper, kue kimus, tempe, lontong, otak-otak, pepes ikan, lepet,
naga sari dan sate ikan. Daun pisang juga dapat digunakan sebagai alas tapai, empek-
empek, lakso, dan kue ipok-ipok rendang. Penggunaan daun pisang sebagai
pembungkus atau alas makanan dapat ikut dimasak atau dikukus bersama dengan
makanan dapat ditentukan berdasarkan jenis makanannya. Makanan dibungkus
daun pisang lalu dikukus akan memberikan citarasa kelezatan alami dan
menimbulkan bau harum pada makanan. Cara penggunaannya sebelum digunakan
untuk membungkus makanan, terlebih dahulu daun pisang dipanggang di atas bara
api agar tidak mudah sobek dan mudah dilipat, lalu diusap dengan kain hal ini
lakukan pada jenis makanan seperti kue bugis, kue kelamai, lemper, kue kimus,
lepet, dan naga sari. Makanan yang dibungkus daun pisang dapat bertahan kurang
lebih 2-4 hari. Bagian daun yang dipakai sebagai pembungkus atau alas adalah daun
hijau tua karena memiliki serat yang lebih kuat.
Jenis tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai pembungkus
makanan tradisional adalah daun pisang. Hal ini dikarenakan daun pisang dapat
memberikan citarasa pada makanan dan berbentuk lebar sehingga mudah untuk
melakukan pembungkusan pada makanan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa nasi
yang dibungkus menggunakan daun pisang dapat menghasilkan aroma harum
sehingga memberikan citarasa lezat pada nasi tersebut. Selain itu, daun pisang juga
mudah untuk ditemukan karena merupakan salah satu tumbuhan hasil budidaya.
Menurut Mohapatra et al. (2010 dalam Mastuti dan Handayani 2014), secara
tradisional daun pisang dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan dan pemberi
senyawa perasa (flavor) dalam pengolahan bahan pangan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Mastuti dan Handayani (2014) yang
menyatakan bahwa, daun pisang yang paling sering digunakan di Indonesia untuk
membungkus makanan sebelum diolah lebih lanjut adalah dari jenis pisang batu.
Daun pisang ini lebih tebal, menghasilkan aroma harum dan tidak memberikan
perubahan warna pada makanan yang dibungkusnya. Penggunaan daun pisang
sebagai pembungkus makanan selain menambah kelezatan dan aroma pada makanan
juga dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan konsumen. Penggunaan
daun pisang sebagai pembungkus makanan dapat membantu melestarikan
lingkungan. Hal ini karena untuk kebersihan lingkungan daun pisang lebih ramah
lingkungan dikarenakan mudah terurai saat dibuang di alam.
4. Pandan wangi
Pandan merupakan tumbuhan herba yang dapat ditemukan di
pekarangan/halaman rumah. Bagian daun yang digunakan untuk membungkus
makanan adalah daun yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Dalam
penggunaannya sebelum digunakan untuk membungkus makanan, terlebih dahulu
daun pandan wangi dicuci dengan air bersih lalu diusap menggunakan kain. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan kotoran seperti debu yang terdapat pada daun
tersebut. Daun pandan wangi yang digunakan sebagai pembungkus makanan dengan
lebar kurang lebih 4 cm dan panjang ±35 cm. Daun pandan wangi biasanya
digunakan untuk membungkus makanan yang dimasak. Jenis makanan yang
biasanya dibungkus menggunakan daun pandan wangi adalah kue cang, kue sampan,
nasi, kue bongkol, dan lepet. Makanan yang dibungkus menggunakan daun pandan
wangi memiliki bau yang harum, memiliki rasa yang khas dan kualitas makanan
dapat bertahan 2-3 hari. Hal ini dikarenakan daun tersebut juga ikut dimasak bersama
dengan makanannya sehingga kandungan senyawa perasa dalam daun dapat diserap
makanan.

Jenis tumbuhan yang daunnya digunakan sebagai pembungkus makanan tradisional


yang dikenali dan dimanfaatkan oleh masyarakat sangat penting untuk dibudidayakan.
Proses budidaya yang perlu dilakukan oleh masyarakat sangat sederhana yakni dengan
menanam disekitar rumah dan di pinggiran kebun. Budidaya tumbuhan yang daunnya
digunakan sebagai pembungkus makanan tradisional merupakan upaya yang diharapkan
dapat melestarikan sumber plasma nutfah khususnya tumbuhan yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi (Rini dkk., 2018).
BAB III

METODE

3.1 Jurnal XXXX

3.1.1 Metode survei

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional di mana variabel yang

menarik dalam sampel subjek diperiksa dan hubungan di antara mereka ditentukan. Ini

secara khusus menggunakan desain studi kasus karena fenomena kontemporer berdasarkan

situasi kehidupan nyata dipelajari. Studi ini mengandalkan sumber data primer dan

sekunder, dan mengadopsi prosedur yang melibatkan pengumpulan data dan informasi

tentang: jenis produk yang diproses kemudian dijual atau dikonsumsi; preferensi daun untuk

bahan kemasan alternatif; persepsi permintaan konsumen akan produk; pengetahuan tentang

nilai obat potensial dari daun yang digunakan untuk mengemas makanan jagung; efek

kesehatan yang dirasakan positif atau negatif yang dialami setelah menelan makanan dengan

pengemas daun dan apakah efek kesehatan spesifik disebabkan oleh kemasan daun. Data

dari sumber primer dikumpulkan berdasarkan kuesioner terstruktur, observasi dan

wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari jurnal, World Wide Web, dan bahan

literatur lain yang relevan. Penelitian ini dilakukan dari September 2007 hingga Maret 2008.

I. Area survei dan ukuran sampel

Karena kerangka sampel tidak tersedia, survei pengenalan dilakukan dan penelitian

difokuskan pada daerah (Dakojom, Susanso, Ayigya, Kejetia, Arena Balap dan Pasar

Sentral) yang paling terkenal untuk produksi dan penjualan paket daun siap saji yang

dikemas. produk tepung jagung di daerah Kumasi Metropolitan. Setelah menjelaskan tujuan
penelitian kepada Produsen dan pengecer, mereka yang memberi persetujuan diberikan

dengan kuesioner sesuai keinginan mereka sendiri untuk mengurangi tingkat non-respons.

Konsumen yang menyetujui produk di sendi ritel juga diberikan dengan kuesioner. Ukuran

sampel 230 dipilih: 70 produsen, 40 pengecer dan 120 konsumen. Setelah pra-pengujian

kuesioner, mereka diberikan kuesioner tertutup. Kuesioner disiapkan dalam bahasa Inggris,

tetapi bahasa lokal, Twi digunakan untuk menerjemahkan dan mengkomunikasikan isi

kuesioner jika diperlukan karena 80% dari produsen dan pengecer lebih nyaman dengan

bahasa lokal. Karena bahasa ibu peneliti yang mengelola kuesioner adalah Twi, kuesioner

dapat dengan mudah diartikan.

II. Analisis statistik

Sifat penelitian mengharuskan kombinasi teknik kualitatif dan kuantitatif untuk

menganalisis data. Kuisioner dianalisis menggunakan perangkat lunak Statistical Package

for Social Science (SPSS) (SPSS-PC for windows, versi 16). Dalam menganalisis data,

asosiasi statistik digunakan untuk membangun hubungan dan tabel, grafik dan ilustrasi yang

sesuai digunakan.
3.2 Jurnal XXXX

3.2.1 Bahan buah, akuisisi dan seleksi

Varietas lulo yang digunakan dipercobaan ditanam di San Bernardo, Cundinamarca,


Kolombia. Sebanyak 500 kg lulo dibawa ke laboratorium segera setelah panen.
Keseragaman warna, ukuran dan tidak adanya luka dan bau adalah kriteria yang
dipertimbangkan untuk pemilihan buah. Daun pisang dipanen pada hari yang sama dengan
panen buah lulo. Untuk memilih daun pisang, keseragaman warna dan tidak adanya
kerusakan radiasi dan serangan hama dipertimbangkan. Data karakterisasi awal sebagai
berikut: ketegasan: 18 ± 7,07 N, total padatan terlarut: 7,14 ± 0,68%, berat: 120 ± 40 g,
keadaan saat panen (menurut Corpoica, 2001): antara 3 dan 4 (25-50%) permukaan
berwarna kuning).

3.2.2 Pengemasan

Distribusi buah dan daun pisang sebagai kemasan utama di dalam wadah plastik
adalah sebagai berikut: pertama, daun pisang diberi perlakuan awal dengan pemanasan
dalam oven pada suhu 80 ° C selama tiga menit untuk menghindari penyebaran jamur dari
daun pisang. Dalam peti buah plastik berukuran 80x60x20 cm, lapisan pertama daun pisang
ditempatkan untuk melindungi lulo dan menghindari kontak dengan permukaan wadah.
Setelah ini, lapisan pertama buah ditempatkan di atas daun pisang. Kemudian, lapisan buah
dan daun pisang ditambahkan hingga melengkapi tiga lapisan lulo. Konfigurasi pengemasan
ini menghasilkan sekitar 220 g daun pisang yang digunakan untuk mengemas 25 kg buah
lulo. Kemudian, dilakukan dua perlakuan: buah lulo dikemas dengan daun pisang (PBL) dan
buah lulo tanpa kemasan (NPBL).

3.2.3 Kondisi penyimpanan

Sebelum penyimpanan, sampel mengalami perlakuan untuk mensimulasikan kondisi


yang sering menjadi bagian dari proses pascapanen. Buah yang dipesan dalam keranjang
dapat mengalami kerusakan mekanis selama 5, 10, 15, 20 atau 25 kali (tergantung pada
perawatan). Pemukulan dilakukan dengan menjatuhkan keranjang dari ketinggian 80 cm
dari tanah. Kemudian, wadah disimpan pada suhu 7 ° C (RH 90 ± 5%), 10,25 ° C (RH 85 ±
5%), 13,5 ° C (RH 60 ± 5%), 16,75 ° C (RH 50 ± 5%) dan 20 ° C (RH 40 ± 10%).

3.2.4 Desain eksperimental

Penelitian ini didasarkan pada desain eksperimental rotasional komposit pusat


(CCRD) dengan dua faktor independen (atau variabel): suhu (antara 7 dan 20 ° C) dan
jumlah perlakuan yang diberikan (NI) (antara 5 dan 25). Desain ini membantu membentuk
perencanaan faktorial 2k (k = 2 variabel independen) dengan tiga titik pusat (level 0), empat
poin faktorial (level ± 1) dan empat titik aksial (level ± α). Singkatnya, 11 percobaan
eksperimental dikemas dengan daun pisang (PBL) dan 11 percobaan tanpa kemasan (NPBL)
(Tab. 1). Nilai α sama dengan 1,4142 digunakan sesuai dengan α ≈ (2k)1/4.

Model orde kedua dihasilkan dari desain eksperimental CCRD, di mana nilai
variabel dependen adalah fungsi dari variabel independen, seperti yang dijelaskan dalam
Persamaan. (1)

Desain ini dipilih karena memungkinkan untuk mendapatkan model yang signifikan
dan prediktif dan menghasilkan respon untuk mengoptimalkan proses (Barros Neto et al.,
2002).
3.2.5 Pengukuran kualitas buah

Parameter kualitas buah dievaluasi di laboratorium pascapanen Departemen Teknik


Sipil dan Pertanian di Universidad Nacional de Colombia, segera setelah panen, buah lulo
diamati. Empat lulo (repetisi) untuk setiap perlakuan dipantau, kecuali untuk tes tekstur, di
mana dua puluh lulo di awal dan dua puluh di akhir setiap perlakuan dievaluasi.

Berat ditentukan oleh skala elektronik (Precisa Gravimetrics AG, model XT 220 ±
0,0001 g, Dietikon, Swiss). Penurunan berat dihitung sebagai:

Di mana WL adalah penurunan berat yang dinyatakan sebagai persentase, W0 adalah


berat awal pada setiap lulo, dan Wi adalah berat lulo selama satu hari.

Perubahan warna kulit ditentukan oleh colorimeter digital (Konica Minolta, CR-410,
Ramsey, USA), menggunakan koordinat standar CIELAB. Perbedaan total antara setiap
koordinat yang diperoleh dimodelkan sebagai:

Total keasaman titratable (TTA) diperoleh dengan titrasi dengan NaOH (1 N), dalam
sampel jus buah (antara 0,9 dan 1,7 g) dan dinyatakan sebagai persentase asam sitrat.

Di mana, Vf adalah volume akhir NaOH, Vi berarti volume awal NaOH, Wm adalah
berat sampel jus buah dan konstanta 0,64 adalah kesetaraan untuk asam sitrat. Perubahan
TA diperoleh karena,
Di mana i dan f subskrip masing-masing merujuk pada ukuran awal dan akhir.

Sifat tekstur, didefinisikan oleh Barreiro dan Ruiz - Altisent (1996) sebagai keteguhan dan
Young's modulus, dievaluasi dan ditentukan oleh Magness Taylor uji dengan menggunakan
tekstur Analyzer (CT3 Brookfield, model CT3 - 4500, g 0-4500, Middleboro, USA).Rasio
untuk membandingkan perubahan Young's modulus dari baseline didirikan.Young's
modulus rasio antara nilai awal dan akhir ditetapkan sebagai persamaan 8.

Di mana Sf adalah nilai modulus Young terakhir dan Si berada di awal nilai modulus Young.

3.2.6 ANALISIS STATISTIK

Paket statistik perangkat lunak STATISTICA 9.0 – 2001 (Statsoft, Tulsa, OK, USA)
digunakan untuk analisis ANOVA (tingkat signifikansi α 0,05). Analisis ANOVA
digunakan untuk menentukan pengaruh faktor dan interaksinya terhadap variabel respons.
Model statistik dengan korespondensinya koefisien korelasi (R2), grafik permukaan rekasi
dan bentuk kurva diperoleh. Model digunakan untuk memperkirakan kondisi penyimpanan
optimal.
3.3 Jurnal XXX

Bahan-bahan (biji minyak biji Afrika, daun, logam lokal, pisau dapur, talenan) yang
digunakan dalam penelitian ini bersumber secara lokal dari pasar di kota metropolis Owerri,
negara bagian Imo, Nigeria. Penelitian dilaksanakan di laboratorium pemrosesan makanan
dari Universitas Teknologi Federal, Owerri. Peralatan yang digunakan diperoleh dari
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Teknologi Federal, Owerri Nigeria.

3.3.1 Identifikasi dan Pengumpulan Bahan Pembungkus

Bahan pembungkus / pengemas menggunakan daun cocoyam (Xanthosoma


saggitifolium; ede uhie), daun pisang raja (Musa paradisiaca), daun Alchornea laxiflora
Benth - “daun okpopia] yang digunakan dalam penelitian ini diidentifikasi dan dikumpulkan
di Komunitas Umuchulu di Ngor Okpala LGA, Owerri, Negara Bagian Imo, Nigeria.

3.3.2 Persiapan Awal Pembungkus Daun dan biji biji minyak mentah Afrika

Bahan pembungkus seperti daun "okpopia", daun cocoyam dan daun pisang dicuci
dengan air mengalir, daun pisang dikeringkan untuk menghindari robek selama pembungkus
dan untuk lebih mengurangi mikroba. Kacang polong minyak Afrika dihancurkan untuk
mendapatkan benih dan benih disortir secara manual, dicuci untuk menghilangkan biji
busuk, debu dan bahan asing dari biji sehat (Gambar 1).

3.3.3 Produksi Biji Kacang Minyak Afrika Fermentasi (Ugba)

Sampel ugba diproduksi dengan metode tradisional menurut Njoku dan Okemadu
(1989) seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Dua kilogram biji biji minyak mentah
Afrika dicuci dengan Air dan kemudian dimasukkan ke dalam panci ditambahkan air lalu
ditutup dan direbus sambil diaduk sesekali selama 45 menit. Pemanasan dihentikan dan biji
dihilangkan dalam batch. Setelah dehulling (pemisahan biji dan kulit), digunakan logam
lokal (disebut nkwoo) yang dirancang untuk mengiris biji biji minyak Afrika. Kemudian
sebuah talenan ditempatkan di meja. Biji kemudian diiris dan dipotong menjadi ukuran yang
diinginkan. Kemudian serpihan (biji parut) dituangkan ke dalam panci tertutup berisi air
mendidih dan diaduk pada interval 5 menit selama 30 menit, kemudian disaring dan di
semprot air untuk mendinginkan.
Kemudian serpihan biji dicuci tiga kali, dikeringkan dari air cuci dan direndam
dalam air suling dalam panci dan ditutup. Serpihan biji direndam selama 10 jam. Pada akhir
seduhan, serpihan-serpihan itu diaduk dengan kuat dan dituangkan ke dalam saringan steril
(yang telah diautoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 16psi) untuk memisahkan serpihan biji.

Kemudian serpihan biji dituangkan ke dalam saringan steril yang dilapisi dengan
daun okpopia yang dipanaskan dan didinginkan ditutupi dengan daun, dan disimpan di
lingkungan yang hangat (37°C, suhu sekitar) untuk memulai fermentasi.

Setelah 5 jam, hasil fermentasi (Plate 2) diambil secara aseptik, ditimbang dan
dibungkus dengan daun steril, sesuai dengan tipe daun dan jumlah daun (dimulai dengan
daun okpopia mulai dari 1-5 lapisan daun yang sama, perlakuan sama dilakukan untuk
keduanya daun cocoyam dan pisang raja). Kemudian dikemas dan dimasukkan ke dalam
panci steril, disimpan pada suhu kamar dan difermentasi selama 3 hari (72 jam) (Plate 3).

Tabel.1: Diagram Alir yang menunjukkan produksi “Ugba” (Fermentasi Pentaclethra


macrophylla, biji Benth) (Njoku dan Okemadu, 1989).
Gambar 1: Biji Kacang Biji Minyak Afrika Mentah (Pentaclethra macrophylla Benth)

Gambar 2: Irisan Fermentasi Biji Minyak Afrika (Pentaclethra macrophylla Benth) Benih
siap untuk dibungkus.

Gambar 3: Bungkus irisan biji minyak Afrika yang difermentasi.

3.3.4 Evaluasi Sensorik

Evaluasi organoleptik dari sampel “Ugba” dibungkus dalam daun yang berbeda
dilakukan untuk penerimaan dan preferensi konsumen oleh 10 panelis (mahasiswa dan staf
dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Federal) Teknologi, Owerri
Nigeria). Panelis mengevaluasi sifat sensorik berdasarkan aroma, rasa, warna, tekstur, dan
penerimaan keseluruhan menggunakan skala hedonis sembilan poin, di mana 9 mewakili
"Sangat suka dan 1 Sangat tidak suka (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985). Sementara itu,
tindakan pencegahan yang diperlukan diambil untuk mencegah sisa rasa selama pengecapan
dengan memastikan panelis membilas mulut mereka dengan air setelah setiap tahap
evaluasi.

3.3.5 Analisis Perkiraan Produk

Komposisi terdekat ditentukan sesuai dengan metode standar Asosiasi Kimiawan


Analitik Resmi (A. O. A. C., 1990). Sampel dianalisis untuk asam lemak, serat kasar, protein
kasar, kelembaban, abu dan karbohidrat.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jurnal XXX


4.1.2 Hasil

Sebelas daun dan tepung jagung yang tersedia diidentifikasi di pasar. Seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 1, tepung jagung termasuk Fante Kenkey (Ntaw), Fante Kenkey

(Dokon Pa), Ga Kenkey, Fomfom, Nsiho, Estew, Kaafa, Nkyekyera, Aboloo, Kenared

Kenkey, dan grafis Osino. Gambar 1 (a-f) Produk diambil sampelnya di wilayah studi.

Permintaan akan produk yang tersedia sangat bervariasi. Fante dan Ga Kenkeys berada di

ujung atas dari spektrum permintaan dengan 86% dan 74% permintaan tinggi (Tabel 2). Jika

kita khawatir tentang item permintaan rata-rata sebesar 80%, konsumen dibagi secara merata

antara permintaan rata-rata (50%) dan rendah (50%).

Semua kuesioner diperiksa untuk demografi, semua 70 produsen yang diwawancarai

(Tabel 3) ditemukan perempuan dengan 56% dari mereka di atas 46 tahun. Sebagian besar

produsen menikah (86%). Produsen memiliki pendidikan yang relatif rendah dengan 50%

memiliki pendidikan formal no., Dan 44% memiliki pendidikan sekolah dasar / menengah.

Sebagian besar produsen (94%) telah bekerja selama lebih dari 5 tahun; 38% telah

dipekerjakan sebagai produsen selama lebih dari 21 tahun. Produk lazim yang diolah adalah

Fante Kenkey (41%) dan Ga Kenkey (39%).

Semua 40 penjual (Tabel 4) adalah perempuan dengan 38% dari mereka berusia 26-

35 tahun. Proporsi tertinggi (63%) menikah. Tingkat pendidikan penjual relatif rendah

dengan 43% memiliki pendidikan formal 37% dengan sekolah dasar / menengah, 10%

dengan sekolah menengah dan 10% dengan teknis / kejuruan. Tidak ada penjual yang
memiliki pendidikan tinggi. Sebagian besar penjual ditawarkan Fante Kenkey (53%) dan Ga

Kenkey (23%) dengan 40% dari mereka menjual lebih dari 150 bola setiap item per hari.

120 konsumen (Tabel 5) terdiri dari 91 (76%) pria dan 29 (24%) wanita sebagian

besar 25 tahun atau lebih muda (81%). Konsumen relatif berpendidikan tinggi dengan 83%

pendidikan tersier, 6% sekolah menengah, 8% sekolah dasar / menengah, dan 3%

pendidikan formal. Mungkin sejumlah besar konsumen terlatih tersier adalah cerminan dari

pengambilan sampel Kwame Nkrumah yang dekat dengan daerah tersebut Universitas Sains

dan Teknologi. Produk kemasan daun yang paling umum dibeli adalah Ga Kenkey (54%)

diikuti oleh Fante Kenkey (46%). Sebagian besar konsumen telah memakan bola (66%) dari

Ga atau Fante Kenkey tiga kali dalam seminggu (56%) selama 11-20 tahun (46%).

Permintaan konsumen yang tinggi untuk Fante dan Ga Kenkey berkorelasi dengan produk

yang lazim dibuat oleh produsen (Tabel 3) dan ditawarkan oleh penjual (Tabel 4).

Karena demografi saja mungkin tidak sepenuhnya menjelaskan kelanjutan

penggunaan daun bahan kemasan, kuesioner lengkap untuk produsen dinilai karena alasan

prevalensi daun sebagai bahan kemasan tepung jagung. Alasan produsen mengutip untuk

pemanfaatan berkelanjutan daun sebagai bahan kemasan termasuk obat melalui infus tepung

jagung dengan fitonutrien bermanfaat yang juga memberikan aroma dan rasa yang berbeda

(61%), biodegradabilitas (17%), ketersediaan (4%) dengan biaya yang relatif rendah (4%)

dan lainnya (14%) (Gambar 2). Alasan yang dikategorikan sebagai "orang lain" mencakup

persepsi produsen tentang kurangnya toksisitas, keterbaruan dan preferensi pribadi.

Karena obat adalah alasan utama untuk preferensi produsen daun dalam tepung

jagung kemasan, produsen menyelesaikan kuesioner diperiksa lebih lanjut untuk


penggunaan etnomedisinal dari segala bentuk tepung jagung yang dikemas daun. Seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 3, kesepakatan bulat diperoleh dari semua produsen bahwa

cairan residu yang diperoleh dari mendidih Ga Kenkey memiliki tiga penggunaan

etnomedisinal: menyembuhkan demam (61%) dan sakit perut (25%) dan digunakan sebagai

pencahar (7%).

Namun ketika pengetahuan konsumen tentang jenis dan sifat senyawa kimia yang

mungkin larut ke dalam tepung jagung diperiksa, mayoritas (62%) tidak tahu identitas

potensi phytochemical yang mungkin "bermigrasi" dari daun ke tepung jagung (Gambar 4)

. Tanpa memberikan nama atau klasifikasi kimia, 18% menyebutkan pewarna berwarna

sebagai “migran” dari daun ke tepung jagung. Hanya 2% konsumen yang menyatakan

bahwa alkaloid berpotensi meninggalkan konstituen phyto yang kemungkinan akan larut ke

dalam tepung jagung. Kemungkinan 10% menyatakan transfer mikroba dari daun ke tepung

jagung. Lebih lanjut 8% mencatat alasan lain termasuk kemungkinan zat beracun yang tidak

diketahui di daun yang masuk ke tepung jagung.

Sebagai antisipasi, sebagian besar produsen (59%) tidak memiliki perhatian yang

jelas atas penggunaan daun untuk mengemas tepung jagung (Tabel 6). Kekhawatiran

sebagian besar penjual (47%) dan konsumen (60%) berfokus pada betapa mudahnya bagi

Ga Kenkey untuk mengeras setelah kehilangan kelembaban. Tidak ada kekhawatiran terkait

pada kadar air untuk Fante Kenkey yang diangkat. Umur simpan yang rendah dari produk

adalah garis perhatian berikutnya untuk penjual (20%) dan konsumen (18%) tetapi bukan

produsen (6%). Produsen (19%) lebih menekankan alasan lain selain penjual (8%) dan

konsumen (5%). Alasan lain terdiri dari preferensi pribadi. Tidak ada penjual yang

menganggap produk tersebut tidak higienis. Sifat produk yang dianggap tidak higienis juga
merupakan area yang paling tidak menjadi perhatian bagi produsen (5%) dan area keempat

yang menjadi perhatian konsumen (7%).

Ketika umur simpan yang dirasakan dari Fante dan Ga Kenkeys dinilai melalui

kuesioner yang diisi konsumen (Gambar 5), 69% konsumen menentukan bahwa Fante

Kenkey memiliki masa simpan 6-10 hari sementara 81% menunjukkan bahwa umur simpan

Ga Kenkey adalah 2. -5 hari. Kehidupan rak dari produk tepung jagung yang kurang populer

tidak diperiksa.

Mengingat keprihatinan konsumen (Tabel 6), kuesioner yang lengkap diperiksa

untuk kemungkinan keinginan konsumen untuk berubah dari daun ke bahan kemasan

alternatif untuk tepung jagung. Sebanyak 87% sangat tidak setuju dengan penggunaan bahan

alternatif (Gambar 6). Namun, 13% konsumen yang sepakat, menyesalkan kemungkinan

hilangnya rasa dan aroma yang unik dari tepung jagung jika sebuah saklar dibuat dari daun

ke bahan kemasan lain seperti polietile

(a) (b)
(c) (d)

(e) (f)

Figure 1: Leaves-packaged cornmeals sampled in the market include: (a) zea mays sheath- packaged Ga Kenkey,

(b) peeled musa paradisiaca-packaged Fante Kenkey, (c) thespesia populnea-packaged Nkyekyere, (d) peeled thespesia populnea-

packaged Kaafa, (e) peeled zea mays sheath-packaged Aboloo and (f) musa paradisciaca-packaged sugared Kenkey.
Table 1: Available cornmeals and leaves used for food packaging.

Product Leaves for Wrapping Medicinal Uses of Type Remarks

(Name) Leaves

Local

Scientific

Fante Dried Musa Anticancer, Cooked, Wrapped in

Kenkey Plantain, paradisiaca hepatoprotection, fermented dried musa

(Ntaw) Brodei anti-helmintic, and maize dough. paradisiaca

habai or antimicrobial leaves before

Awurede cooking

(Akans)

Fante Akoronko Sterculia Anti-diarrhea, Cooked, Wrapped in

Kenkey (Fante) tragacanta anti-dysentery, fermented sterculia

(Dokon Pa) anti-arthritis, anti- maize dough. tragacanta

rheumatism, anti- leaves before

edema, anti-gout cooking

and anti-whitlow

Ga kenkey Dried Corn Zea mays Analgesic, anti- Cooked, Wrapped in

sheath, inflammatory and fermented dried zea mays

Abro habai anti- cholesterol maize dough. sheath before

(Akans), cooking

Abele Baa

(Ga)

Fomfom Fresh Musa Anticancer, Cooked, Wrapped in

Plantain, paradisiaca hepatoprotection, fermented toasted fresh

Brodei anti-helmintic, and dehulled musa


habai or antimicrobial maize dough. paradisiaca

1059
J.K. MENSAH et al. / Int. J. Biol. Chem. Sci. 6(3): 1051-1068, 2012

Awurede leaves after

(Akans) cooking

Nsiho Fresh Musa Anticancer, Cooked, Wrapped in

Plantain, paradisiaca hepatoprotection, fermented fresh musa

Brodei anti-helmintic, and dehusked paradisiaca

habai or antimicrobial maize dough. leaves before

Awurede cooking

(Akans)

Estew Dried Musa Anticancer, Cooked, Wrapped in

Plantain, paradisiaca hepatoprotection, fermented dried musa

Brodei anti-helmintic, and maize dough. paradisiaca

habai or antimicrobial leaves after

Awurede cooking

(Akans)

Nkyekyera Dry Corn Zea mays Analgesic, anti- Cooked, Wrapped in

sheath, inflammatory and soaked and dried zea mays

Abro habai anti- cholesterol polished maize sheath before

(Akans), with cooking

Abele Baa groundnut

(Ga)

Kaafa Ntentrema Thespesia Anti-diabetic Light maize Wrapped in

populnea activity product for thespesia

invalids. populnea

leaves after

cooking
Aboloo Ntentrema Thespesia Anti-diabetic Baked or Baked or

populnea activity steamed maize steamed in

dough. thespesia

populnea

leaves

Sugared Dried Musa Anticancer, Cooked, Wrapped in

Kenkey Plantain, paradisiaca hepatoprotection, unfermented dried musa

Brodei anthelmintic, and maize dough paradisiaca

habai or antimicrobial with sugar. leaves before

Awurede cooking.

(Akans)

Osinographic Aworom Marantochloa Anti-diarrhea Cooked, Wrapped in

cuspidata unfermented marantochloa

maize dough cuspidata

with sugar. leaves before

cooking.
Table 2: Consumer demand for leaf-packaged corn-meal.

Name of Product Consumer Demand Total (%)

(%)

High Average Low

FanteKenkey 86 14 100

GaKenkey 74 26 100

Kaafa 80 20 100

Sugared Kenkey 50 50 100

Table 3: Sociodemographic measures of leaves packaged products producers in the

Kumasi metropolis (N=70).

Sociodemographic Frequency Percentage

Sex:

Male 0 0

Female 70 100

Age:

15-25 years 1 1

26-35 years 5 7

36-45 years 25 36

Above 46 years 39 56

Marital Status:

Single 3 10

Married 60 86

Divorced 7 4

Educational Background
No Formal Education 35 50

Primary/Middle School 31 44

Secondary 3 4

Technical/Vocational 1 2

Tertiary 0 0

Years of Experience

1-5 years 4 6

6-10 years 15 22

11-15 years 11 16

16-20 years 13 19

Over 21 years 26 38

Name of Product Processed

Fante Kenkey 29 41

Ga Kenkey 27 39

Kaafa 5 7

Nkyekyera 5 7

Others 4 6

Table 4: Sociodemographic measures of leaves packaged product sellers in the

Kumasi metropolis (N=40).

Sociodemographic Frequency Percentage

Sex:

Male 0 0

Female 40 100

Age:

15-25 years 10 25
26-35 years 15 38

36-45 years 9 22

Above 46 years 6 15

Marital Status:

Single 11 27

Married 25 63

Divorced 4 10

Educational Background

No Formal Education 17 43

Primary/Middle School 15 37

Secondary 4 10

Technical/Vocational 4 10

Tertiary 0 0

Number of Balls Purchased per Day

10-50 balls 1 3

51-100 balls 12 30

10-150 balls 11 28

Above 150 balls 16 40

Name of Product Processed

Fante Kenkey 21 53

Ga Kenkey 9 23

Kaafa 2 5

Nkyekyera 3 8

Others 5 13
Table 5: Sociodemographic measures of consumers in Kumasi metropolis (N=120).

Sociodemographic Frequency Percentage

Sex:

Male 91 76

Female 29 24

Age:

15-25 years 97 81

26-35 years 17 14

36-45 years 5 3

Above 46 years 1 2

Marital Status:

Single 102 85

Married 16 13

Divorced 2 2

Educational Background

No Formal Education 4 3

Primary/Middle School 10 8

Secondary 7 6

Technical/Vocational 0 0

Tertiary 99 83

Years of Leaf-packaged Product Consumption

2-10 years 31 26

11-20 years 55 46

21-30 years 28 23
Over 31 years 6 5

Leaf-packaged Product Mostly Eaten

Fante Kenkey 55 46

Ga Kenkey 60 50

Others 5 4

Product Consumption Rate

Once a week 15 13

About thrice a week 67 56

About five times a week 30 25

Almost everyday 8 7

Number of Balls Taken

1 41 34

2 79 66

Table 6: Producers’, sellers’ and consumers’ concerns.

Producers (%) Sellers (%) Consumers (%)

Unhygienic 5 0 7

Short Shelf Life 6 20 18

Hardens Easily 11 47 60

No Apparent Concern 59 25 10

Other Reasons 19 8 5
4.1.3 Pembahasan

Perempuan dari segala usia memainkan peran penting dalam produksi dan
penjualan tepung jagung kemasan yang ditunjukkan oleh pengamatan bahwa semua
produsen dan penjual peserta adalah perempuan. Tidak seperti penjualan, produksi
memerlukan beberapa bentuk pelatihan dan pengalaman di lapangan dan jeda
waktu itu mungkin menjelaskan mengapa sebagian besar produsen berusia setengah
baya sementara penjual setidaknya 10 tahun lebih muda. Karena industri tepung
jagung dikemas secara tradisional, sedikit atau tidak ada pendidikan formal yang
diperlukan untuk terlibat dalam kegiatan rangkap produksi dan penjualan.
Karenanya sebagian besar produsen dan penjual yang diwawancarai memiliki
sedikit atau tidak ada pendidikan formal. Produsen secara tradisional melibatkan
anggota keluarga dekat mereka atau keluarga besar yang membantu dalam produksi
skala kecil tepung jagung kemasan (Essuman, 1990). Sementara beberapa produsen
menjual langsung ke konsumen, yang lain memanfaatkan layanan anggota
keluarga. Penjual dan produsen sering hidup dalam komunitas yang sama atau milik
kelompok etnis yang sama. Akibatnya, produksi dan penjualan tepung jagung
kemasan berdasarkan fakta dianggap kegiatan subsisten yang memperkuat ikatan
budaya dan keluarga (Hicks, 2002).

Perpaduan beragam usia, jenis kelamin dan kelompok sosial ekonomi yang
terdiri dari konsumen tepung jagung yang dikemas sesuai dengan daya tarik
utamanya. Sejauh ini Kenkey (Fante dan Ga) adalah produk yang paling disukai,
terhitung 80% dari semua tepung jagung kemasan yang diproses oleh produsen,
76% dari semua produk yang ditawarkan oleh penjual dan 96% dari semua
pembelian oleh konsumen. Setelah dianggap sebagai makanan suatu etnis, Kenkey
sekarang dimakan oleh hampir semua warga Ghana yang berusia muda (25 tahun
atau lebih muda) yang berpendidikan tinggi (lembaga pendidikan tinggi) dan
kebanyakan mengandalkan varietas Ga untuk kalori makanan mereka. Memakan
Kenkey dan tepung jagung kemasan lainnya tidak dipengaruhi oleh status ekonomi
dan pendidikan serta lokasi geografisnya. Daya tarik Kenkey telah go internasional
karena dipersiapkan dan dikemas dalam daun seperti yang dilakukan di Ghana dan
dijual di supermarket di negara-negara yang memiliki sekelompok besar orang
Afrika Barat (Delisle et al., 2010).

Pada akhirnya, kesuksesan yang berkelanjutan dari setiap bahan


pengemasan tergantung pada biaya relatif terhadap sifat dan kinerjanya. Daun
sudah tersedia dan relatif murah. Produsen setuju bahwa ketersediaan daun dengan
biaya yang relatif rendah merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
prevalensinya sebagai bahan kemasan untuk tepung jagung. Sebagai hasil dari biaya
pengemasan yang rendah, produsen masih dapat mempertahankan profitabilitas
dengan menjual tepung jagung dengan harga yang terjangkau. Akibatnya, makanan
jagung yang dikemas daun adalah salah satu sumber utama kalori makanan yang
paling murah bagi kebanyakan warga Ghana.

Sebagai bahan pengemas, kekuatan, sifat penghalang dan impermeabilitas


musa paradisiacal, zea mays, dan daun populnea ini rendah dibandingkan dengan
plastik. Meskipun demikian, daun memiliki fungsi utama dari setiap bahan
pengemasan yaitu memberikan penahanan, perlindungan dan pengawetan tepung
jagung. Setiap kemasan daun menyimpan produk tepung jagung dalam kondisi
yang baik untuk umur simpannya. Daun mencegah kerusakan tepung jagung oleh
serangan mikroba atau serangga dan menjaga kualitas dan nilai gizi makanan yang
dikemas selama sekitar 2-10 hari tanpa pendinginan dan tanpa pengawet sintetis
tambahan (Essuman, 1990). Secara fisik, daun membantu menjaga kadar air,
mencegah kontaminasi ulang dan akibat degradasi atau pembusukan makanan yang
pernah dimasak seperti yang ditunjukkan oleh kadar air yang relatif tinggi dan umur
simpan yang lebih lama dari Fante Kenkey. Sangat mungkin bahwa daun bertindak
sebagai bahan kemasan aktif melalui migrasi beberapa fitokonstituen yang aktif
secara biologis, termasuk pengumpul oksigen dan antimikroba yang memiliki
kapasitas untuk menghambat proses pertumbuhan oksidatif dan mikroba yang
berdampak buruk pada kualitas makanan seperti rasa, warna dan berkurangnya nilai
gizi. Umur simpan Ga Kenkey yang relatif rendah sebagian disebabkan oleh
pemisahan fisik antara penutup kelopak zea mays yang bersebelahan. Kesenjangan
fisik yang dibuat memungkinkan hilangnya kelembaban dan menyediakan akses
mikroba yang mudah ke tepung jagung.

Ada pernyataan dari semua produsen bahwa daun musa paradisiaca, kulit
zea mays, dan daun populnea ini tidak beracun maka dari itu memakan fitokimia
yang memiliki efek merusak pada tubuh oleh konsumen jarang terjadi. Meskipun
tidak ada bukti ilmiah yang mendukung catatan keamanan ini, perlu dicatat bahwa
tidak ada hubungan yang pernah diamati atau dilaporkan antara konsumsi tepung
jagung yang dikemas daun dan bahaya kesehatan. Tidak seperti plastik, zat
xenotoxic yang larut termasuk styrene dan bisphenol A dan bahan kimia
pengganggu endokrin lainnya masuk ke makanan (Halden, 2010; Muncke, 2009;
Munche, 2010).

Sementara daun lebih menarik untuk diteliti kemasannya daripada


fitokimianya, perlu dicatat bahwa hasil penelitian mendukung pernyataan 61% dari
produsen bahwa daun menambah nilai obat pada tepung jagung kemasan. Daun
musa paradisiaca mengandung alkaloid, tanin, dan kelas fitokimia polifenol yang
luas menunjukkan sifat antikanker yang mencegah kanker pada manusia (Milder et
al., 2005); hepatoproteksi pada tikus (Dikshit et al., 2011); aktivitas obat cacing
terhadap nematoda pada ternak (Hussein et al., 2010) dan aktivitas antimikroba
terhadap patogen Staphylococcus dan spesies Pseudomonas in vitro (Alisi et al.,
2008; Ahmad dan Beg, 2001). Fitokimia hadir dalam kulit zea mays yang termasuk
polifenol, anthocyanin, lutein dan zeaxanthins, tanin telah terbukti menunjukkan
efek obat tahan sakit dan antiinflamasi pada tikus Wistar jantan (Owoyele et al.,
2010). Minyak kulit zea mays dilaporkan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL
plasma melalui perubahan metabolisme kolesterol hepatik pada marmut
(Ramjiganeshet et al., 2000). Phytoconstituents dari sterculiatragacantha termasuk
alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida dan saponin dan praktik pengobatan tradisional
di seluruh Afrika Barat tergantung pada bioaktivitas fitokimia yang meliputi
pengobatan diare, disentri, artritis, rematik, edema, asam urat dan garam. , 2011).

Fitokimia hadir dalam daun populesia ini termasuk lupenol, lupenone, b-


sistosterol, acacetin, quercetin, vanillic, syringic, melilotic, dan asam ferulik dan
keluarga umum tannin, flavonoids dan triterpenoid menunjukkan aktivitas
antidiabetes terhadap tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin. Marantochloa
cuspidate digunakan dalam pengobatan tradisional Afrika Barat sebagai obat anti
diare (Abbiw, 1990). Yang menarik, cairan residu dari rebusan Ga Kenkey
digunakan dalam pengobatan tradisional Ghana untuk pengobatan demam dan diare
(Yartey di al., 1993). Beberapa peserta menegaskan bahwa efek obat potensial akan
hilang jika peralihan dari daun musa paradisiaca dan kelopak jagung ke kemasan
plastik dibuat untuk tepung jagung.

Kemutakhiran daun sebagai bahan kemasan, menyediakan dua fungsi


tambahan: kenyamanan dan penjualan. Pencarian konsumen untuk kenyamanan
sebagian dipenuhi oleh pengemasan dan oleh atribut siap makan yang menyiratkan
lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk tugas-tugas dapur dan memasak rumah
tangga. Konsumen hanya perlu melepas daun dan tepung jagung siap dimakan.
Mungkin kenyamanannya berkontribusi pada pengamatan bahwa sebagian besar
konsumen Ghana makan setidaknya 144 bola Ga atau Fante Kenkey per tahun baik
di luar rumah atau di rumah.

Kemasan daun yang masih menjual tepung jagung menunjukkan tidak ada
perubahan selera dan pilihan konsumen selama ribuan tahun. Terlepas dari persepsi
kualitas rendah kemasan, masih ada penerimaan konsumen yang tinggi dan
permintaan yang besar untuk itu. Faktanya tepung jagung yang dikemas dengan
daun tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang di zaman modern di Ghana dan
bagian lain dunia. Bahkan di era modern di mana makanan sering dikemas dalam
bahan yang menarik perhatian dan satu-satunya perbedaan antara merek yang
bersaing adalah dalam kecanggihan kemasan (PetersTexeira dan Badrie, 2005;
Venter et al., 2011)

Kelemahan daun sebagai kemasan bahan untuk produk tepung jagung


adalah kurangnya tampilan informasi kandungan nutrisi pada produk. Kemasan-
kemasan itu hambar tanpa tampilan nama, tidak ada label nutrisi, dan tidak ada
instruksi untuk penggunaan dan penyimpanan konsumen (Essuman, 1990; Dimura
dan Skuras, 2005; Nanacarrow et al., 1998). Tetapi sebagai salah satu sumber utama
kalori makanan, konsumen telah mengidentifikasi dengan tepung jagung sebagai
produk yang kaya akan karbohidrat bertepung rendah (Amoa dan Muller, 1976).
Konsumen juga telah belajar, melalui pengalaman, tentang jenis produk tepung
jagung yang dibungkus dalam setiap kemasan daun spesifik.

Pertimbangan dari dedaunan adalah ramah lingkungan karena lebih mudah


terurai dibandingkan bahan kemasan alternatif termasuk plastik yang mungkin jauh
dari persepsi kebersihan di bawah standar (Adejumo dan Ola, 2008) yang mengarah
umur simpan rendah. Terlepas dari kelemahan ini, sebagian besar konsumen
menolak perubahan pada bahan kemasan alternatif untuk tepung jagung siap makan
yang mengarah pada saran bahwa mungkin kebiasaan kebiasaan makanan budaya
mungkin memainkan peran dalam prevalensi daun sebagai bahan kemasan.
Kebiasaan diet, terutama yang berakar budaya, kadang-kadang tahan terhadap
perubahan (Walle et al., 1997). Apakah keberlanjutan penggunaan daun sebagai
bahan pengemas tepung jagung siap saji di Ghana sebagian disebabkan oleh
keengganan budaya untuk berubah atau karena alasan alternatif tambahan belum
dijelaskan oleh penelitian lebih lanjut.

Industri makanan telah membuat langkah signifikan dalam inovasi


pengemasan yang didorong terutama oleh permintaan dan preferensi konsumen.
Tetapi penggunaan daun secara historis untuk mengemas produk tepung jagung
siap saji di Ghana belum mengalami perubahan signifikan. Daun musa
paradisciaca, sterculia tragacanta, marantochloa cuspidata, zea mays huskin dan
thespesia populnea tidak beracun, memiliki kualitas obat, tersedia dengan biaya
yang relatif murah dan ramah lingkungan. Namun, tepung jagung yang dikemas
memiliki umur simpan yang pendek dan tingkat higienitas di bawah standar.
Namun demikian, konsumen masih lebih suka daun musa paradisciaca, sterculia
tragacanta, marantochloa cuspidate, zea mays huskin dan thespesia populnea
sebagai bahan kemasan untuk makanan siap saji jagung.
4.2 Jurnal XXX
4.2.1 Penurunan Berat
NPBL.
4.2.2 Kekerasan

GAMBAR 2. A. Permukaan respon untuk perubahan TTA; B. Kurva kontur


untuk perubahan TTA; C. Pelacakan nilai TTA selama waktu penyimpanan
untuk buah PBL dan D. buah NPBL, pada NI = 15 kali perlakuan (nilai NI
pusat).
TABEL 2. Hasil kekuatan maksimum (ketegasan) dan modul modulus
Young (kekakuan) untuk buah PBL dan untuk buah NPBL.

4.2.3 Modulus Young

GAMBAR 3. Kurva kontur untuk karakterisasi tekstur epidermis untuk


PBL lulos. A. Prediksi nilai akhir dari kekuatan putus maksimum
(ketegasan) dari epidermis lulo; B. Prediksi rasio modulus Young (tanpa
dimensi).
4.2.4 Pembahasan

Penurunan Berat

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, untuk menyimpan buah pada suhu
kamar (20°C) rata-rata penurunan berat pada 15 hari adalah 8,7% untuk buah NPBL
dan 6,6% untuk buah PBL. Dalam penelitian ini, digunakan penyimpanan suhu
yang sama (pada 13,5°C). Untuk kondisi ini, buah yang disimpan 20 hari
mengalami penurunan berat sebesar 10,9% untuk buah NPBL dan 9,4% untuk buah
PBL. Stres pada pascapanen ini menyebabkan percepatan metabolisme pada buah
yang menghasilkan penurunan berat badan dan kualitas buah yang lebih besar.

Seperti yang ditunjukkan gambar 1, penurunan berat yang lebih rendah untuk
buah disimpan di suhu di atas 13,5°C ditemukan untuk konfigurasi PBL
dibandingkan dengan konfigurasi NPBL. Hal ini mungkin akibat dari karakteristik
daun pisang untuk melindungi buah lulo ke penurunan berat badan yang disebabkan
oleh transpirasi buah. Pada hari-hari pertama penyimpanan, kadar air daun pisang
menurun ("Berat daun pisang") dan kemudian ini mengarah ke kehilangan berat
pada buah lulo karena transpirasi (Forero et al., 2014).

Selain itu, untuk buah yang disimpan pada suhu 7°C, menyebabkan penurunan
berat 2,5% buah NPBL dan 2,6% untuk buah PBL pada 17 hari penyimpanan.
Untuk kasus ini, suhu adalah faktor utama dalam penurunan berat dan di sana tidak
ada perbedaan yang signifikan untuk konfigurasi kedua kemasan.

Perubahan Warna

Model untuk menggambarkan perubahan dengan variabel L * a * b * tidak


diperoleh untuk buah NPBL (untuk semua faktor P> 0,05). Namun, untuk buah
PBL diperoleh model persamaan 9, 10 dan 11:
Di mana T adalah suhu penyimpanan. Untuk ketiga model, faktor suhu (kuadrat)
berbeda nyata. Perubahan b* mewakili perubahan warna biru-kuning. Variabel ini
dapat mengetahui peningkatan karakteristik lulo berupa rona oranye, dan dalam
kasus buah ini digunakan sebagai variabel untuk melihat perubahan dalam
penampilan eksternal buah saat dipanen dan disimpan.

Kombinasi suhu penyimpanan dan pengemasan memainkan peran penting dalam


degradasi pigmen di buah lulo. Kombinasi ini dapat memperlambat perubahan
warna sebagai hasil dari proses pematangan (Salinas et al., 2010). Pengemasan
selain melindungi buah juga mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk lulo,
yang akibatnya terjadi penundaan untuk rona kuning-oranye yang khas dari lulo
yang masak.

Total Keasaman Titratable (TTA)

Awalnya TTA pada semua sampel adalah serupa (P> 0,05). Suhu memiliki efek
penting pada variabel ini. Perbedaan yang signifikan ditemukan antara perlakuan
yang disimpan di 7°C dan 20°C. Model untuk perubahan TTA untuk buah NPBL
(Gbr. 2) telah diperoleh. Model yang dihasilkan dijelaskan pada persamaan 12, di
mana NI adalah jumlah pengaruh.

Ketika pengaruh yang diterima oleh buah meningkat, maka perbedaan antara nilai
awal dan akhir TTA meningkat pula. Ini mungkin disebabkan karena peningkatan
laju pernapasan dan kemudian degradasi cadangan asam organik dalam buah
sebagai hasil dari proses respirasi. Untuk buah PBL, nilai rata-rata adalah 0,672%
dalam perubahan TTA yang diperoleh.

Kekerasan

Nilai rata-rata untuk kekerasan dalam penelitian ini diamati pada tabel 2. Nilai-
nilai kekerasan antara 13 dan 23 N diperoleh untuk lulos yang baru dipanen, antara
4,9 dan 19 N, dan antara 5,4 dan 11,6 N, untuk NPBL dan PBL pada lulos yang
sudah matang. Penurunan suhu penyimpanan dan peningkatan konsentrasi CO2
(dengan menggunakan kemasan) menghasilkan pengurangan aktivitas metabolisme
dan penurunan laju degradasi asam organik dan karenanya, evolusi sifat fisikokimia
dan kualitas seperti warna, kekerasan dan umur simpan (Alam dan Goyal, 2006;
Gwanpua et al., 2012).

Juga, variasi pada parameter ini sesuai dengan anisotropi material. Nilainya
akan tergantung pada kondisi fisiologis buah, waktu pascapanen dan kondisi muat.
Selain itu, nilai kekuatan patah menunjukkan bahwa lulo yang baru dipanen tahan
terhadap beban yang lebih besar daripada lulo di akhir setiap perlakuan.

Modulus Young

Nilai rata-rata dari modulus young atau deformabilitas lulo epidermis dapat
dilihat pada tabel 2. Secara umum, untuk lulos PBL nilai ini lebih tinggi, yang
secara mekanis menyatakan bahwa buah ini akan terdeformasi kecuali dari lulo
NPBL di bawah tekanan yang sama. Kehilangan air adalah salah satu penyebab
utama komersial dan kerusakan fisiologis produk segar, dalam bentuk layu, dan
menurunnya kekakuan, kekenyalan dan kesegaran (Rodov et al., 2010). Kemudian,
lulo PBL akan kehilangan lebih sedikit air dan dapat mengurangi kekakuan. Hasil
untuk NPBL memiliki dispersi yang lebih besar karena perlakuan lebih random atau
acak untuk perawatan ini. Daun pisang selain sebagai pelindung juga menjaga
tekstur di antara lapisan buah.
4.3 Jurnal XXX
4.3.1 Hasil

Tabel 1: Nilai Rata-rata dari sifat organoleptik "Ugba" (Fermentasi Pentaclethra


macrophylla Benth seeds) sampel dibungkus dengan bahan yang berbeda.

Berarti dalam kolom yang sama dengan superskrip yang sama tidak berbeda secara
signifikan pada P> 0,05 dan mereka yang berbeda superskrip berbeda secara
signifikan pada P <0,05.

Keterangan :

A-E: Ugba dibungkus dengan daun okpopia mulai dari 1-5 lapisan daun

F-J: Ugba dibungkus dengan daun cocoyam mulai 1-5 lapis daun

K-O: Ugba dibungkus dengan daun pisang mulai dari 1-5 lapis daun

Tabel 2: Efek dari Bahan Pembungkus pada Komposisi Proksimat "Ugba"


(Fermentasi Pentaclethra macrophylla Benth seeds)
Berarti dalam kolom yang sama dengan superskrip yang sama tidak berbeda secara
signifikan pada P> 0,05 dan mereka yang berbeda superskrip berbeda secara
signifikan pada P <0,05.

Keterangan :

A-Lima lapis daun okpopia

B-Tiga lapis daun cocoyam

C-Tiga lapis daun pisang raja

4.3.2 Pembahasan

Evaluasi sensorik dari Biji Kacang Minyak Afrika yang difermentasi

Tabel 1 menunjukkan efek bahan pembungkus yang berbeda pada sifat


organoleptik Sampel "Ugba" - Biji Kacang Minyak Afrika yang difermentasi
(Pentaclethra macrophylla, biji Benth).

Aroma

Aroma sampel "Ugba" sangat mirip satu sama lain dan produk "sedikit disukai"
(skor sekitar 6,0). Aroma sampel yang dibungkus dengan daun pisang dengan tiga
lapis diberi skor tertinggi 6,40, yang diikuti oleh sampel yang memiliki skor rata-
rata 5,90. Peringkat dekat sampel pada aroma bisa disebabkan oleh fakta bahwa
satu campuran digunakan dalam produksi tersebut dan bahan pembungkus tidak
memberikan rasa pada sampel.

Rasa

Nilai untuk rasa sampel "Ugba" yang dibungkus K, B, A, N, dan L diperoleh masing
– masing 6.10, 6.10, 6.10, 6.00 dan 6.00 . Selera dari beberapa sampel secara
signifikan berbeda sementara beberapa tidak berbeda nyata. Meskipun panelis
tampaknya lebih suka sampel K, B, A, mereka menemukan rasa cukup baik.
Tekstur

Tekstur semua sampel secara signifikan berbeda dan “sedikit disukai” (skor sekitar
6,0) dengan sampel “Ugba” yang dibungkus dengan N dan C tertinggi.

Warna

Warna sampel yang dibungkus dalam E memiliki skor rata-rata 8,00 (yaitu sangat
disukai) dan secara signifikan berbeda dari sampel lain. Warna sampel yang
dibungkus G memiliki skor rata-rata terendah 2,90 dan secara signifikan berbeda
dari sampel lain. Secara umum, warna semua sampel baik "sedikit disukai" (skor
sekitar 6,0) atau "cukup disukai ”(skor sekitar 7,0) meskipun ada yang secara
signifikan berbeda sementara ada yang tidak berbeda nyata seperti yang diamati
oleh panelis.

Penerimaan Keseluruhan

Penerimaan keseluruhan dari semua sampel menunjukkan bahwa sampel yang


dibungkus dengan N dan C diberi peringkat tertinggi (skor 6,6 sekitar 7,0) dan
secara signifikan berbeda dari sampel lain yang "sedikit disukai" (Skor sekitar 6,0).
Dengan demikian, umumnya “Ugba” yang dibungkus dengan N paling baik
diterima di semua parameter sensori yang diuji kecuali dalam aroma.

Komposisi Perkiraan Biji Kacang Minyak Afrika yang difermentasi

Tabel 2 menunjukkan efek dari bahan pembungkus yang berbeda pada komposisi
terdekat dari "Ugba" Samples- difermentasi Biji Kacang Minyak Afrika
(Pentaclethra macrophylla Benth biji).

Kelembaban

Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air sampel berkisar antara 44,33% hingga
52,83%. Komposisi produk yang fermentasinya dibungkus Daun “Okpopia”, daun
cocoyam dan daun pisang memiliki tingkat kelembaban yang berbeda (masing-
masing 44,3%, 52,83%, dan 47,04%). Kadar air biji fermentasi bisa mencapai
hingga 74% selama 5 hari fermentasi (Pierson et al., 1986). Ikediobi, (1981)
melaporkan bahwa perbedaan kadar air ini disebabkan oleh perlakuan pemasakan
dan fermentasi sampel dikenakan. Penurunan kadar air sampel A yang merupakan
Alchornea Laxiflora Benth, daun okpopia menunjukkan kepastian memperpanjang
umur simpan. Selain itu, kisaran kadar air menyiratkan bahwa daun (daun Okpopia)
memiliki potensi penyimpanan yang baik, karena diketahui bahwa aktivitas air dari
produk sangat menentukan kualitas makanan. Kadar air dalam sampel A memiliki
nilai rata-rata terendah 44,33% sedangkan sampel B (daun cocoyam) memiliki
kadar air tertinggi 52,83%. Karena sampel yang sama digunakan, sampel B harus
memiliki lebih banyak kelembaban daripada sampel lain selama periode
pemasakan, atau sampel lain mungkin kehilangan kelembaban selama pemasakan.
Ada perbedaan yang signifikan antara sampel pada P <0,05.

Protein

Nilai kandungan protein dari sampel "Ugba" masing-masing adalah 8,59%, 7,45%,
dan 6,77% untuk sampel A, B dan C. Isi protein berbeda secara signifikan pada P
<0,05, meskipun sampel yang dibungkus dengan daun pisang memiliki persentase
kandungan protein terendah. Mbajunwa (1995) melaporkan bahwa penurunan nilai
protein dapat dikaitkan dengan pencucian protein larut ke dalam air pemrosesan
selama produksi Ugba. Secara umum, kandungan protein dari semua sampel relatif
tinggi karena Biji Kacang Minyak Afrika yang difermentasi merupakan sumber
protein yang baik.

Serat Kasar

Menurut Ihekoronye dan Ngoddy (1985), serat kasar tidak memiliki efek yang
berarti, namun serat kasar adalah komponen makanan yang penting. Serat kasar
terutama terdiri dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti pektin,
hemiselulosa dan selulosa. Nilai kandungan serat kasar berkisar antara 18,5%
hingga 39%. Ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kepercayaan P <0,05.
Sampel B memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi daripada sampel A dan C.

Abu
Kadar abu dari sampel "Ugba" berkisar antara 13% hingga 33% dan ada perbedaan
yang signifikan (P <0,05) di antara sampel. Sampel C memiliki kadar abu yang
lebih tinggi (33%) dari sampel A (18,5%) dan sampel B (13%).

Lemak

Nilai berkisar antara 6,5% hingga 12%. Diamati bahwa kandungan lemak dalam
sampel B dan C (masing-masing daun Cocoyam dan Pisang) lebih tinggi dari pada
sampel A. Kadar lemak yang relatif tinggi bisa tidak diinginkan dalam produk
makanan (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985). Sampel B dan C tidak berbeda secara
signifikan (P> 0,05) dan secara signifikan (P <0,05) berbeda dari sampel A.

Karbohidat

Karbohidrat memasok sumber energi yang dimetabolisme dengan cepat dan


membantu metabolisme lemak. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai karbohidrat
untuk "Ugba" berkisar antara 35,23% hingga 44,57%. Sampel A memiliki nilai
tertinggi dari sampel B dan C dan ada perbedaan yang signifikan (P <0,05) antara
sampel.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam jurnal Perceptions of The Use of Indigenous Leaves as


Packaging Materials in The Ready-To-Eat Cornmeals, kesimpulan yang
bisa didapat ialah industri makanan telah membuat langkah signifikan
dalam inovasi pengemasan yang didorong oleh permintaan dan preferensi
konsumen. Tetapi penggunaan daun secara historis untuk mengemas produk
tepung jagung siap saji di Ghana belum mengalami perubahan signifikan.
Daun musa paradisciaca, Sterculia tragacanta, Marantochloa cuspidata,
Zea mays huskin dan Thespesia populnea tidak beracun, memiliki kualitas
obat, tersedia dengan biaya yang relatif murah dan ramah lingkungan.
Tetapi, tepung jagung yang dikemas memiliki umur simpan yang pendek
dan tingkat higienitas di bawah standar. Namun demikian, konsumen masih
lebih suka penggunaan daun sebagai bahan kemasan untuk makanan jagung
yang siap saji.
Kesimpulan dari jurnal Assessment of Leaf Type and Number of
Leaves Used In Wrapping on the Quality of Ugba Fermented Pentaclethra
Macro adalah karakteristik organoleptik dari sampel "Ugba" menunjukkan
bahwa sampel yang dibungkus dengan daun Alchornea laxiflora Benth
(okpopia) adalah yang terbaik di hampir semua parameter yang diuji
termasuk penerimaan keseluruhan menurut panelis. Analisis proksimat
menunjukkan bahwa secara umum, bahan pembungkus yang berbeda dan
jumlah daun yang digunakan tidak mempengaruhi komposisi langsung
Pentaclethra macrophylla Benth yang difermentasi (Kacang Minyak Afrika
yang difermentasi, “Ugba”) karena sedikit variasi disebabkan oleh
perbedaan jumlah daun yang digunakan. . Daun Okpopia (sampel E, yaitu
lima jumlah daun Okpopia) memiliki kualitas pembungkus dan nilai gizi
yang lebih tinggi.
Dalam penelitian ini, Banana Leaf as Packaging of Lulo for
Different Storage Temperatures and The Effects on Postharvest
Characteristics, daun pisang sebagai kemasan utama mengurangi kerusakan
yang disebabkan oleh perlakuan. Akibatnya, diperoleh kurang deformasi
dan kerusakan mekanis untuk pengemasan lulos di bawah konfigurasi ini.
Kemasan konfigurasi terdiri dari lulos yang dikemas dengan daun pisang
dalam peti plastik berukuran 80 × 60 × 20 cm merupakan alternatif yang
mudah karena dapat menjaga kualitas buah lulo lebih lama waktu
penyimpanannya. Untuk konfigurasi PBL dari tiga lapisan buah, suhu di
bawah 13,5°C dan pukulan tidak lebih dari 15 disarankan. Secara analog
untuk buah NPBL, perlakuan di bawah 10 disarankan.
Namun, untuk menghindari degradasi warna dan perubahan pada
Nilai TA kerusakan mekanis tidak disarankan. Pengaruh perlakuan terhadap
buah pada nilai TA dan pigmen telah diverifikasi. Mengenai kondisi suhu,
saat penyimpanan suhu 7°C dapat dipastikan, penggunaan daun pisang tidak
diperlukan untuk mengurangi penurunan berat. Namun, untuk penelitian
yang akan datang, penggunaan konfigurasi kemasan untuk melindungi buah
dari kerusakan yang disebabkan oleh pendinginan penyimpanan suhu
rendah akan lebih berkembang. Untuk tes lebih lanjut, cobalah kemasan
jenis ini dengan buah tropis lainnya. Juga, analisis interaksi penyimpanan
buah dengan pemodelan matematika akan diperlukan.

B. Saran

1. Apabila makanan dikemas dengan daun perhatikan kebersihan daun


yang digunakan agar tidak mengkontaminasi makanan.
2. Pengemasan dengan daun hanya diperuntukan makanan yang masa
simpannya relatif sebentar, dalam melakukan pengemasan perlu
memperhatikan karakteristik produk
3. Sebaiknya diadakan peningkatkan produksi daun Okpopia dan
penggunaan lima jumlah daun Okpopia (daun Alchornea laxiflora
Benth) untuk membungkus Biji Minyak Afrika yang difermentasi,
“Ugba” karena dapat menjaga kualitas tetap tinggi dan sifat
organoleptiknya.
4. Penggunaan dauan pisang sebagai pengemas makanan ataupun buah
tropis harus disesuaikan dengan jenis buahnya.
5. Penelitian lebih lanjut dapat mengidentifikasi penggunaan daun pisang
sebagai alternative pengemas makanan yang alami.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, N. P. 2009. Sifat organoleptik tempe kedelai yang dibungkus plastik, daun
pisang, dan daun jati. Karya tulis ilmiah tidak diterbitkan. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Forero, N.M., Sebastian Gutierrez, Javier Rivera, Andres, F.S., dan Carolin, F.S.
2017. Banana leaf as packaging of lulo for different storage temperatures
and the effects on postharvest characteristics. Agronomia Colombiana.
35(1): 107-115.
Kabuo, N.O., Asoegwu, S.N., Nwosu, J.N., Onuegbu, N.C., Akajiaku, L.O., dan
Nwaimo, J.C. 2015. Assessment of leaf-type and number of leaves used in
wrapping on the quality of “UGBA” (fermented pentaclethra macrophyla
benth seed). European Journal of Food Science and Technology. 3(1): 11-
23.
Maflahah. 2012. Desain kemasan makanan tradisional Madura dalam rangka
pengembangan IKM. Agrointek. 6(2): 118-122.
Mastuti TS, Handayani R. 2014. Senyawa kimia penyusun ekstrak ethyl asetat dari
daun pisang batu dan ambon hasil distilasi air [prosiding]. Tangerang
Banten: Universitas Pelita Harapan.
Mensah, J.K, E. Adei, D. Adei dan M.D. Ashie. 2012. Perception of the use of
indigenous leaves as packaging materials in the ready-to-eat cornmeals.
International Journal of Biological and Chemical Sciences. 6(3): 1051-
1068.
Noviadji, Benny Rahmawan. 2014. Desain kemasan tradisional dalam konteks
kekinian. Jurnal Fakultas Desain. 1(1):10-21.
Rini, Yulian Fakhrurrozi, dan Dian Akbarini. 2018. Pemanfaatan daun sebagai
pembungkus makanan tradisional oleh masyarakat Bangka (studi kasus di
Kecamatan Merawang) [skripsi]. Balunjuk: Fakultas Pertanian, Prikanan
dan Biologi. Universitas Bangka Belitung.
Sucipta, dkk. 2017. Pengemasan Pangan: Kajian Pengemasan yang Aman,
Nyaman, Efektif dan Efesien. Bali: Udayana University Press.

Anda mungkin juga menyukai