Kelompok 2
A. Latar Belakang
Dalam suatu produk kemasan merupakan salah satu factor penting yang dapat
menunjang nilai jual produk tersebut. Lebih dalam lagi kemasan memiliki peranan yang
sangat penting karena dengan kemasan, produk dapat terjaga dan terhindar dari kontaminasi
fisik, kimia maupun biologi. Selain itu didalam kemasan pula produsen dapat memberikan
informasi tentang produk yang dipasarkan sehingga konsumen dapat mengerti tentang
karakteristik suatu produk dengan hanya melihat kemasannya saja. Semua hal tersebut
bertujuan agar produk yang sampai ketangan konsumen memiliki nilai mutu yang
diinginkan dan sesuai dengan harapan konsumen.
Produk pangan yang biasa dikemas dengan bahan pengemas daun umumnya
merupakan makanan-makanan tradisional seperti jajanan-jajanan pasar tradisional yang
masih ada sampai saat ini. Dengan begitu banyaknya pengembangan maupun inovasi
tentang teknologi pengemasan pastilah terdapat alasan mengapa bahan pengemas tradisional
seperti daun masih digunakan oleh masyarakat.
Kemasan menggunakan bahan dasar daun memiliki beberapa kelebihan dan
kelemahan, salah satu kelebihannya adalah harganya yang murah dan mudah di dapat,
namun salah satu kelemahannya adalah kemasan berbahan dasar daun tidak cukup mampu
untuk melindungi produk pangan dari serangan atau kontaminasi fisik, kimia maupun
biologis.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang pengemasan berbahan dasar daun maka
didalam makalah ini akan dikaji tiga jurnal yang berkaitan dengan penggunaan daun sebagai
bahan pengemas untuk beberapa produk pangan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Kemasan berasal dari kata kemas yang berarti teratur (terbungkus) rapi dan bersih.
Pengertian kemasan lainnya merupakan hasil mengemas atau bungkus pelindung dagang
(niaga). Kemasan adalah wadah atau pembungkus, bagi produk pangan, kemasan
mempunyai peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu dan keamanan pangan
serta meningkatkan daya tarik produk. Agar bahan pangan yang akan dikonsumsi bisa
sampai kepada yang membutuhkannya dengan baik dan menarik, maka diperlukan
pengemasan yang tepat. Pengemasan dalam hal ini ditunjukan untuk melindungi bahan
pangan segar maupun bahan pangan olahan dari penyebab kerusakan, baik fisik, kimia,
maupun mekanis (Rini dkk., 2018)..
Beberapa sifat yang penting yang perlu dimiliki oleh kemasan makanan adalah dapat
menyimpan dan mempertahankan bau dan aroma makanan. Tidak dikemas secara
berlebihan sehingga para konsumen tidak dirugikan dan mendapat barang sesuai dengan
nilai uang yang telah dibayar, dapat dengan mudah ditutup atau direseal kembali, dapat
dengan mudah disimpan. dapat dengan mudah dibuka. Telah diberi segel untuk mencegah
pemalsuan dari isi kemasan, dapat dipergunakan di oven microwave, tidak menimbulkan
atau sedikit sekali menimbulkan masalah lingkungan.
Menurut Putra (2010) yang dimaksud dengan kemasan tradisional adalah kemasan
yang terbuat dari bahan alami umumnya digunakan untuk makanan tradisional, dan biasa
digunakan sejak di pasar tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alam. Penggunaan
bahan-bahan alam pada perkemasan tradisional, memiliki unsurunsur khusus yang tidak
terdapat pada unsur perkemasan modern yang menggunakan bahan-bahan buatan.
Berbagai kemasan tradisional yang masih banyak digunakan antara lain bambu,
kayu, dedaunan dan sebagainya. Penggunaan daun sebagai bahan kemasan tradisional sudah
lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia, selain murah dan praktis cara pemakaiannya,
daun ini juga masih mudah didapat, akan tetapi kemasan daun ini bukan merupakan kemasan
yang bersifat representatif, sehingga pada saat penanganannya harus ekstra hati-
hatiKemasan makanan tradisional jenis kemasan yang memanfaatkan bahan botanis (daun-
daunan, misalnya) berfungsi bukan saja sebagai pelindung isinya dari debu atau agar tahan
lama, tapi juga merupakan upaya untuk mengatur, merapikan makanan itu agar mudah dan
praktis, dan dipegang. Ragam pengemasan pangan yang sering dijumpai seperti kemasan
dengan menggunakan daun pisang, kelobot jagung (pelepah daun jagung), daun kelapa/enau
(aren), daun jambu air dan daun jati. Daun digunakan secara luas, bersifat aman dan bio-
degradable, yang biasanya berupa daun pisang, daun jati, daun bambu, daun jagung dan
daun palem. Lebih aman digunakan dalam proses pemanasan dibanding plastik
1. Aren
Aren merupakan tumbuhan pepohonan yang dapat ditemukan di hutan dan
pekarangan rumah. Bagian daun yang digunakan sebagai pembungkus makanan
adalah daun muda atau pucuk daun. Cara penggunaannya sebelum digunakan untuk
membungkus makanan daun kabung dicuci dengan air bersih lalu diusap
menggunakan kain. Bagian tulang daun dibuang terlebih dahulu untuk memudahkan
pembungkusan. Produk makanan yang dibungkus daun kabung adalah kue bongkol.
Daun kabung menyirip dengan panjang daun 320 cm, tangkai daun 91 cm dan lebar
daun 160 cm. Anak daun tersusun beraturan, jumlah anak daun sisi kanan 54, sisi
kiri 54, panjang anak daun 76 cm dan lebar anak daun 5 cm. Kue bongkol yang
dibungkus menggunakan daun kabung dapat bertahan kurang lebih 3-4 hari.
2. Kelapa
Kelapa merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk pepohonan.
Tumbuhan ini dapat ditemukan di kebun dan pekarangan atau halaman rumah. Daun
kelapa yang digunakan sebagai pembungkus makanan adalah bagian daun muda atau
pucuk daun. Hal ini dikarenakan jika sudah dimasak pucuk daun tidak membuat
makanan yang dibungkus berubah warna. Penggunaan daun kelapa sebagai
pembungkus makanan biasanya digunakan untuk jenis makanan yang dimasak
seperti ketupat dan lepet. Daun kelapa muda sebelum dibungkus pada makanan
terlebih dahulu dijemur di bawah sinar matahari, hal ini dilakukan agar daun tersebut
tidak mudah sobek pada saat dibentuk menjadi pembungkus ketupat atau dalam
bahasa lokal sering disebut sarang ketupat. Setelah proses penjemuran tulang daun
kelapa dibuang menggunakan pisau. Daun kelapa dapat dibentuk menjadi bungkus
ketupat dengan lebar daun ± 300 cm dan panjang ± 150 cm. Bungkus ketupat
kemudian diisi dengan beras yang telah dicuci sebanyak setengah dari sarang
ketupat. Ketupat kemudian dimasak kurang lebih selama 8-10 jam pada suhu kurang
lebih 700C agar ketupat masak sempurna. Makanan yang dibungkus menggunakan
daun kelapa dapat bertahan kurang lebih 3-5 hari. Makanan yang dibungkus
menggunakan daun kelapa memiliki aroma yang khas dan dapat menambah
kelezatan makanan. Hal ini dikarenakan daun kelapa tersebut juga ikut dimasak
bersamasama dengan makanannya, sehingga senyawa perasa yang terkandung
dalam daun tersebut dapat diserap oleh makanan.
3. Pisang
Pisang merupakan tumbuhan herba yang dapat ditemukan di kebun dan
pekarangan/halaman rumah. Daun pisang digunakan sebagai pembungkus nasi, kue
bugis, kue kelamai, lemper, kue kimus, tempe, lontong, otak-otak, pepes ikan, lepet,
naga sari dan sate ikan. Daun pisang juga dapat digunakan sebagai alas tapai, empek-
empek, lakso, dan kue ipok-ipok rendang. Penggunaan daun pisang sebagai
pembungkus atau alas makanan dapat ikut dimasak atau dikukus bersama dengan
makanan dapat ditentukan berdasarkan jenis makanannya. Makanan dibungkus
daun pisang lalu dikukus akan memberikan citarasa kelezatan alami dan
menimbulkan bau harum pada makanan. Cara penggunaannya sebelum digunakan
untuk membungkus makanan, terlebih dahulu daun pisang dipanggang di atas bara
api agar tidak mudah sobek dan mudah dilipat, lalu diusap dengan kain hal ini
lakukan pada jenis makanan seperti kue bugis, kue kelamai, lemper, kue kimus,
lepet, dan naga sari. Makanan yang dibungkus daun pisang dapat bertahan kurang
lebih 2-4 hari. Bagian daun yang dipakai sebagai pembungkus atau alas adalah daun
hijau tua karena memiliki serat yang lebih kuat.
Jenis tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai pembungkus
makanan tradisional adalah daun pisang. Hal ini dikarenakan daun pisang dapat
memberikan citarasa pada makanan dan berbentuk lebar sehingga mudah untuk
melakukan pembungkusan pada makanan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa nasi
yang dibungkus menggunakan daun pisang dapat menghasilkan aroma harum
sehingga memberikan citarasa lezat pada nasi tersebut. Selain itu, daun pisang juga
mudah untuk ditemukan karena merupakan salah satu tumbuhan hasil budidaya.
Menurut Mohapatra et al. (2010 dalam Mastuti dan Handayani 2014), secara
tradisional daun pisang dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan dan pemberi
senyawa perasa (flavor) dalam pengolahan bahan pangan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Mastuti dan Handayani (2014) yang
menyatakan bahwa, daun pisang yang paling sering digunakan di Indonesia untuk
membungkus makanan sebelum diolah lebih lanjut adalah dari jenis pisang batu.
Daun pisang ini lebih tebal, menghasilkan aroma harum dan tidak memberikan
perubahan warna pada makanan yang dibungkusnya. Penggunaan daun pisang
sebagai pembungkus makanan selain menambah kelezatan dan aroma pada makanan
juga dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan konsumen. Penggunaan
daun pisang sebagai pembungkus makanan dapat membantu melestarikan
lingkungan. Hal ini karena untuk kebersihan lingkungan daun pisang lebih ramah
lingkungan dikarenakan mudah terurai saat dibuang di alam.
4. Pandan wangi
Pandan merupakan tumbuhan herba yang dapat ditemukan di
pekarangan/halaman rumah. Bagian daun yang digunakan untuk membungkus
makanan adalah daun yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Dalam
penggunaannya sebelum digunakan untuk membungkus makanan, terlebih dahulu
daun pandan wangi dicuci dengan air bersih lalu diusap menggunakan kain. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan kotoran seperti debu yang terdapat pada daun
tersebut. Daun pandan wangi yang digunakan sebagai pembungkus makanan dengan
lebar kurang lebih 4 cm dan panjang ±35 cm. Daun pandan wangi biasanya
digunakan untuk membungkus makanan yang dimasak. Jenis makanan yang
biasanya dibungkus menggunakan daun pandan wangi adalah kue cang, kue sampan,
nasi, kue bongkol, dan lepet. Makanan yang dibungkus menggunakan daun pandan
wangi memiliki bau yang harum, memiliki rasa yang khas dan kualitas makanan
dapat bertahan 2-3 hari. Hal ini dikarenakan daun tersebut juga ikut dimasak bersama
dengan makanannya sehingga kandungan senyawa perasa dalam daun dapat diserap
makanan.
METODE
menarik dalam sampel subjek diperiksa dan hubungan di antara mereka ditentukan. Ini
secara khusus menggunakan desain studi kasus karena fenomena kontemporer berdasarkan
situasi kehidupan nyata dipelajari. Studi ini mengandalkan sumber data primer dan
sekunder, dan mengadopsi prosedur yang melibatkan pengumpulan data dan informasi
tentang: jenis produk yang diproses kemudian dijual atau dikonsumsi; preferensi daun untuk
bahan kemasan alternatif; persepsi permintaan konsumen akan produk; pengetahuan tentang
nilai obat potensial dari daun yang digunakan untuk mengemas makanan jagung; efek
kesehatan yang dirasakan positif atau negatif yang dialami setelah menelan makanan dengan
pengemas daun dan apakah efek kesehatan spesifik disebabkan oleh kemasan daun. Data
wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari jurnal, World Wide Web, dan bahan
literatur lain yang relevan. Penelitian ini dilakukan dari September 2007 hingga Maret 2008.
Karena kerangka sampel tidak tersedia, survei pengenalan dilakukan dan penelitian
difokuskan pada daerah (Dakojom, Susanso, Ayigya, Kejetia, Arena Balap dan Pasar
Sentral) yang paling terkenal untuk produksi dan penjualan paket daun siap saji yang
dikemas. produk tepung jagung di daerah Kumasi Metropolitan. Setelah menjelaskan tujuan
penelitian kepada Produsen dan pengecer, mereka yang memberi persetujuan diberikan
dengan kuesioner sesuai keinginan mereka sendiri untuk mengurangi tingkat non-respons.
Konsumen yang menyetujui produk di sendi ritel juga diberikan dengan kuesioner. Ukuran
sampel 230 dipilih: 70 produsen, 40 pengecer dan 120 konsumen. Setelah pra-pengujian
kuesioner, mereka diberikan kuesioner tertutup. Kuesioner disiapkan dalam bahasa Inggris,
tetapi bahasa lokal, Twi digunakan untuk menerjemahkan dan mengkomunikasikan isi
kuesioner jika diperlukan karena 80% dari produsen dan pengecer lebih nyaman dengan
bahasa lokal. Karena bahasa ibu peneliti yang mengelola kuesioner adalah Twi, kuesioner
for Social Science (SPSS) (SPSS-PC for windows, versi 16). Dalam menganalisis data,
asosiasi statistik digunakan untuk membangun hubungan dan tabel, grafik dan ilustrasi yang
sesuai digunakan.
3.2 Jurnal XXXX
3.2.2 Pengemasan
Distribusi buah dan daun pisang sebagai kemasan utama di dalam wadah plastik
adalah sebagai berikut: pertama, daun pisang diberi perlakuan awal dengan pemanasan
dalam oven pada suhu 80 ° C selama tiga menit untuk menghindari penyebaran jamur dari
daun pisang. Dalam peti buah plastik berukuran 80x60x20 cm, lapisan pertama daun pisang
ditempatkan untuk melindungi lulo dan menghindari kontak dengan permukaan wadah.
Setelah ini, lapisan pertama buah ditempatkan di atas daun pisang. Kemudian, lapisan buah
dan daun pisang ditambahkan hingga melengkapi tiga lapisan lulo. Konfigurasi pengemasan
ini menghasilkan sekitar 220 g daun pisang yang digunakan untuk mengemas 25 kg buah
lulo. Kemudian, dilakukan dua perlakuan: buah lulo dikemas dengan daun pisang (PBL) dan
buah lulo tanpa kemasan (NPBL).
Model orde kedua dihasilkan dari desain eksperimental CCRD, di mana nilai
variabel dependen adalah fungsi dari variabel independen, seperti yang dijelaskan dalam
Persamaan. (1)
Desain ini dipilih karena memungkinkan untuk mendapatkan model yang signifikan
dan prediktif dan menghasilkan respon untuk mengoptimalkan proses (Barros Neto et al.,
2002).
3.2.5 Pengukuran kualitas buah
Berat ditentukan oleh skala elektronik (Precisa Gravimetrics AG, model XT 220 ±
0,0001 g, Dietikon, Swiss). Penurunan berat dihitung sebagai:
Perubahan warna kulit ditentukan oleh colorimeter digital (Konica Minolta, CR-410,
Ramsey, USA), menggunakan koordinat standar CIELAB. Perbedaan total antara setiap
koordinat yang diperoleh dimodelkan sebagai:
Total keasaman titratable (TTA) diperoleh dengan titrasi dengan NaOH (1 N), dalam
sampel jus buah (antara 0,9 dan 1,7 g) dan dinyatakan sebagai persentase asam sitrat.
Di mana, Vf adalah volume akhir NaOH, Vi berarti volume awal NaOH, Wm adalah
berat sampel jus buah dan konstanta 0,64 adalah kesetaraan untuk asam sitrat. Perubahan
TA diperoleh karena,
Di mana i dan f subskrip masing-masing merujuk pada ukuran awal dan akhir.
Sifat tekstur, didefinisikan oleh Barreiro dan Ruiz - Altisent (1996) sebagai keteguhan dan
Young's modulus, dievaluasi dan ditentukan oleh Magness Taylor uji dengan menggunakan
tekstur Analyzer (CT3 Brookfield, model CT3 - 4500, g 0-4500, Middleboro, USA).Rasio
untuk membandingkan perubahan Young's modulus dari baseline didirikan.Young's
modulus rasio antara nilai awal dan akhir ditetapkan sebagai persamaan 8.
Di mana Sf adalah nilai modulus Young terakhir dan Si berada di awal nilai modulus Young.
Paket statistik perangkat lunak STATISTICA 9.0 – 2001 (Statsoft, Tulsa, OK, USA)
digunakan untuk analisis ANOVA (tingkat signifikansi α 0,05). Analisis ANOVA
digunakan untuk menentukan pengaruh faktor dan interaksinya terhadap variabel respons.
Model statistik dengan korespondensinya koefisien korelasi (R2), grafik permukaan rekasi
dan bentuk kurva diperoleh. Model digunakan untuk memperkirakan kondisi penyimpanan
optimal.
3.3 Jurnal XXX
Bahan-bahan (biji minyak biji Afrika, daun, logam lokal, pisau dapur, talenan) yang
digunakan dalam penelitian ini bersumber secara lokal dari pasar di kota metropolis Owerri,
negara bagian Imo, Nigeria. Penelitian dilaksanakan di laboratorium pemrosesan makanan
dari Universitas Teknologi Federal, Owerri. Peralatan yang digunakan diperoleh dari
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Teknologi Federal, Owerri Nigeria.
3.3.2 Persiapan Awal Pembungkus Daun dan biji biji minyak mentah Afrika
Bahan pembungkus seperti daun "okpopia", daun cocoyam dan daun pisang dicuci
dengan air mengalir, daun pisang dikeringkan untuk menghindari robek selama pembungkus
dan untuk lebih mengurangi mikroba. Kacang polong minyak Afrika dihancurkan untuk
mendapatkan benih dan benih disortir secara manual, dicuci untuk menghilangkan biji
busuk, debu dan bahan asing dari biji sehat (Gambar 1).
Sampel ugba diproduksi dengan metode tradisional menurut Njoku dan Okemadu
(1989) seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. Dua kilogram biji biji minyak mentah
Afrika dicuci dengan Air dan kemudian dimasukkan ke dalam panci ditambahkan air lalu
ditutup dan direbus sambil diaduk sesekali selama 45 menit. Pemanasan dihentikan dan biji
dihilangkan dalam batch. Setelah dehulling (pemisahan biji dan kulit), digunakan logam
lokal (disebut nkwoo) yang dirancang untuk mengiris biji biji minyak Afrika. Kemudian
sebuah talenan ditempatkan di meja. Biji kemudian diiris dan dipotong menjadi ukuran yang
diinginkan. Kemudian serpihan (biji parut) dituangkan ke dalam panci tertutup berisi air
mendidih dan diaduk pada interval 5 menit selama 30 menit, kemudian disaring dan di
semprot air untuk mendinginkan.
Kemudian serpihan biji dicuci tiga kali, dikeringkan dari air cuci dan direndam
dalam air suling dalam panci dan ditutup. Serpihan biji direndam selama 10 jam. Pada akhir
seduhan, serpihan-serpihan itu diaduk dengan kuat dan dituangkan ke dalam saringan steril
(yang telah diautoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 16psi) untuk memisahkan serpihan biji.
Kemudian serpihan biji dituangkan ke dalam saringan steril yang dilapisi dengan
daun okpopia yang dipanaskan dan didinginkan ditutupi dengan daun, dan disimpan di
lingkungan yang hangat (37°C, suhu sekitar) untuk memulai fermentasi.
Setelah 5 jam, hasil fermentasi (Plate 2) diambil secara aseptik, ditimbang dan
dibungkus dengan daun steril, sesuai dengan tipe daun dan jumlah daun (dimulai dengan
daun okpopia mulai dari 1-5 lapisan daun yang sama, perlakuan sama dilakukan untuk
keduanya daun cocoyam dan pisang raja). Kemudian dikemas dan dimasukkan ke dalam
panci steril, disimpan pada suhu kamar dan difermentasi selama 3 hari (72 jam) (Plate 3).
Gambar 2: Irisan Fermentasi Biji Minyak Afrika (Pentaclethra macrophylla Benth) Benih
siap untuk dibungkus.
Evaluasi organoleptik dari sampel “Ugba” dibungkus dalam daun yang berbeda
dilakukan untuk penerimaan dan preferensi konsumen oleh 10 panelis (mahasiswa dan staf
dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Federal) Teknologi, Owerri
Nigeria). Panelis mengevaluasi sifat sensorik berdasarkan aroma, rasa, warna, tekstur, dan
penerimaan keseluruhan menggunakan skala hedonis sembilan poin, di mana 9 mewakili
"Sangat suka dan 1 Sangat tidak suka (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985). Sementara itu,
tindakan pencegahan yang diperlukan diambil untuk mencegah sisa rasa selama pengecapan
dengan memastikan panelis membilas mulut mereka dengan air setelah setiap tahap
evaluasi.
Sebelas daun dan tepung jagung yang tersedia diidentifikasi di pasar. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1, tepung jagung termasuk Fante Kenkey (Ntaw), Fante Kenkey
(Dokon Pa), Ga Kenkey, Fomfom, Nsiho, Estew, Kaafa, Nkyekyera, Aboloo, Kenared
Kenkey, dan grafis Osino. Gambar 1 (a-f) Produk diambil sampelnya di wilayah studi.
Permintaan akan produk yang tersedia sangat bervariasi. Fante dan Ga Kenkeys berada di
ujung atas dari spektrum permintaan dengan 86% dan 74% permintaan tinggi (Tabel 2). Jika
kita khawatir tentang item permintaan rata-rata sebesar 80%, konsumen dibagi secara merata
(Tabel 3) ditemukan perempuan dengan 56% dari mereka di atas 46 tahun. Sebagian besar
produsen menikah (86%). Produsen memiliki pendidikan yang relatif rendah dengan 50%
memiliki pendidikan formal no., Dan 44% memiliki pendidikan sekolah dasar / menengah.
Sebagian besar produsen (94%) telah bekerja selama lebih dari 5 tahun; 38% telah
dipekerjakan sebagai produsen selama lebih dari 21 tahun. Produk lazim yang diolah adalah
Semua 40 penjual (Tabel 4) adalah perempuan dengan 38% dari mereka berusia 26-
35 tahun. Proporsi tertinggi (63%) menikah. Tingkat pendidikan penjual relatif rendah
dengan 43% memiliki pendidikan formal 37% dengan sekolah dasar / menengah, 10%
dengan sekolah menengah dan 10% dengan teknis / kejuruan. Tidak ada penjual yang
memiliki pendidikan tinggi. Sebagian besar penjual ditawarkan Fante Kenkey (53%) dan Ga
Kenkey (23%) dengan 40% dari mereka menjual lebih dari 150 bola setiap item per hari.
120 konsumen (Tabel 5) terdiri dari 91 (76%) pria dan 29 (24%) wanita sebagian
besar 25 tahun atau lebih muda (81%). Konsumen relatif berpendidikan tinggi dengan 83%
pendidikan formal. Mungkin sejumlah besar konsumen terlatih tersier adalah cerminan dari
pengambilan sampel Kwame Nkrumah yang dekat dengan daerah tersebut Universitas Sains
dan Teknologi. Produk kemasan daun yang paling umum dibeli adalah Ga Kenkey (54%)
diikuti oleh Fante Kenkey (46%). Sebagian besar konsumen telah memakan bola (66%) dari
Ga atau Fante Kenkey tiga kali dalam seminggu (56%) selama 11-20 tahun (46%).
Permintaan konsumen yang tinggi untuk Fante dan Ga Kenkey berkorelasi dengan produk
yang lazim dibuat oleh produsen (Tabel 3) dan ditawarkan oleh penjual (Tabel 4).
penggunaan daun bahan kemasan, kuesioner lengkap untuk produsen dinilai karena alasan
prevalensi daun sebagai bahan kemasan tepung jagung. Alasan produsen mengutip untuk
pemanfaatan berkelanjutan daun sebagai bahan kemasan termasuk obat melalui infus tepung
jagung dengan fitonutrien bermanfaat yang juga memberikan aroma dan rasa yang berbeda
(61%), biodegradabilitas (17%), ketersediaan (4%) dengan biaya yang relatif rendah (4%)
dan lainnya (14%) (Gambar 2). Alasan yang dikategorikan sebagai "orang lain" mencakup
Karena obat adalah alasan utama untuk preferensi produsen daun dalam tepung
yang ditunjukkan pada Gambar 3, kesepakatan bulat diperoleh dari semua produsen bahwa
cairan residu yang diperoleh dari mendidih Ga Kenkey memiliki tiga penggunaan
etnomedisinal: menyembuhkan demam (61%) dan sakit perut (25%) dan digunakan sebagai
pencahar (7%).
Namun ketika pengetahuan konsumen tentang jenis dan sifat senyawa kimia yang
mungkin larut ke dalam tepung jagung diperiksa, mayoritas (62%) tidak tahu identitas
potensi phytochemical yang mungkin "bermigrasi" dari daun ke tepung jagung (Gambar 4)
. Tanpa memberikan nama atau klasifikasi kimia, 18% menyebutkan pewarna berwarna
sebagai “migran” dari daun ke tepung jagung. Hanya 2% konsumen yang menyatakan
bahwa alkaloid berpotensi meninggalkan konstituen phyto yang kemungkinan akan larut ke
dalam tepung jagung. Kemungkinan 10% menyatakan transfer mikroba dari daun ke tepung
jagung. Lebih lanjut 8% mencatat alasan lain termasuk kemungkinan zat beracun yang tidak
Sebagai antisipasi, sebagian besar produsen (59%) tidak memiliki perhatian yang
jelas atas penggunaan daun untuk mengemas tepung jagung (Tabel 6). Kekhawatiran
sebagian besar penjual (47%) dan konsumen (60%) berfokus pada betapa mudahnya bagi
Ga Kenkey untuk mengeras setelah kehilangan kelembaban. Tidak ada kekhawatiran terkait
pada kadar air untuk Fante Kenkey yang diangkat. Umur simpan yang rendah dari produk
adalah garis perhatian berikutnya untuk penjual (20%) dan konsumen (18%) tetapi bukan
produsen (6%). Produsen (19%) lebih menekankan alasan lain selain penjual (8%) dan
konsumen (5%). Alasan lain terdiri dari preferensi pribadi. Tidak ada penjual yang
menganggap produk tersebut tidak higienis. Sifat produk yang dianggap tidak higienis juga
merupakan area yang paling tidak menjadi perhatian bagi produsen (5%) dan area keempat
Ketika umur simpan yang dirasakan dari Fante dan Ga Kenkeys dinilai melalui
kuesioner yang diisi konsumen (Gambar 5), 69% konsumen menentukan bahwa Fante
Kenkey memiliki masa simpan 6-10 hari sementara 81% menunjukkan bahwa umur simpan
Ga Kenkey adalah 2. -5 hari. Kehidupan rak dari produk tepung jagung yang kurang populer
tidak diperiksa.
untuk kemungkinan keinginan konsumen untuk berubah dari daun ke bahan kemasan
alternatif untuk tepung jagung. Sebanyak 87% sangat tidak setuju dengan penggunaan bahan
alternatif (Gambar 6). Namun, 13% konsumen yang sepakat, menyesalkan kemungkinan
hilangnya rasa dan aroma yang unik dari tepung jagung jika sebuah saklar dibuat dari daun
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Figure 1: Leaves-packaged cornmeals sampled in the market include: (a) zea mays sheath- packaged Ga Kenkey,
(b) peeled musa paradisiaca-packaged Fante Kenkey, (c) thespesia populnea-packaged Nkyekyere, (d) peeled thespesia populnea-
packaged Kaafa, (e) peeled zea mays sheath-packaged Aboloo and (f) musa paradisciaca-packaged sugared Kenkey.
Table 1: Available cornmeals and leaves used for food packaging.
(Name) Leaves
Local
Scientific
Awurede cooking
(Akans)
and anti-whitlow
(Akans), cooking
Abele Baa
(Ga)
1059
J.K. MENSAH et al. / Int. J. Biol. Chem. Sci. 6(3): 1051-1068, 2012
(Akans) cooking
Awurede cooking
(Akans)
Awurede cooking
(Akans)
(Ga)
invalids. populnea
leaves after
cooking
Aboloo Ntentrema Thespesia Anti-diabetic Baked or Baked or
dough. thespesia
populnea
leaves
Awurede cooking.
(Akans)
cooking.
Table 2: Consumer demand for leaf-packaged corn-meal.
(%)
FanteKenkey 86 14 100
GaKenkey 74 26 100
Kaafa 80 20 100
Sex:
Male 0 0
Female 70 100
Age:
15-25 years 1 1
26-35 years 5 7
36-45 years 25 36
Above 46 years 39 56
Marital Status:
Single 3 10
Married 60 86
Divorced 7 4
Educational Background
No Formal Education 35 50
Primary/Middle School 31 44
Secondary 3 4
Technical/Vocational 1 2
Tertiary 0 0
Years of Experience
1-5 years 4 6
6-10 years 15 22
11-15 years 11 16
16-20 years 13 19
Over 21 years 26 38
Fante Kenkey 29 41
Ga Kenkey 27 39
Kaafa 5 7
Nkyekyera 5 7
Others 4 6
Sex:
Male 0 0
Female 40 100
Age:
15-25 years 10 25
26-35 years 15 38
36-45 years 9 22
Above 46 years 6 15
Marital Status:
Single 11 27
Married 25 63
Divorced 4 10
Educational Background
No Formal Education 17 43
Primary/Middle School 15 37
Secondary 4 10
Technical/Vocational 4 10
Tertiary 0 0
10-50 balls 1 3
51-100 balls 12 30
10-150 balls 11 28
Fante Kenkey 21 53
Ga Kenkey 9 23
Kaafa 2 5
Nkyekyera 3 8
Others 5 13
Table 5: Sociodemographic measures of consumers in Kumasi metropolis (N=120).
Sex:
Male 91 76
Female 29 24
Age:
15-25 years 97 81
26-35 years 17 14
36-45 years 5 3
Above 46 years 1 2
Marital Status:
Single 102 85
Married 16 13
Divorced 2 2
Educational Background
No Formal Education 4 3
Primary/Middle School 10 8
Secondary 7 6
Technical/Vocational 0 0
Tertiary 99 83
2-10 years 31 26
11-20 years 55 46
21-30 years 28 23
Over 31 years 6 5
Fante Kenkey 55 46
Ga Kenkey 60 50
Others 5 4
Once a week 15 13
Almost everyday 8 7
1 41 34
2 79 66
Unhygienic 5 0 7
Hardens Easily 11 47 60
No Apparent Concern 59 25 10
Other Reasons 19 8 5
4.1.3 Pembahasan
Perempuan dari segala usia memainkan peran penting dalam produksi dan
penjualan tepung jagung kemasan yang ditunjukkan oleh pengamatan bahwa semua
produsen dan penjual peserta adalah perempuan. Tidak seperti penjualan, produksi
memerlukan beberapa bentuk pelatihan dan pengalaman di lapangan dan jeda
waktu itu mungkin menjelaskan mengapa sebagian besar produsen berusia setengah
baya sementara penjual setidaknya 10 tahun lebih muda. Karena industri tepung
jagung dikemas secara tradisional, sedikit atau tidak ada pendidikan formal yang
diperlukan untuk terlibat dalam kegiatan rangkap produksi dan penjualan.
Karenanya sebagian besar produsen dan penjual yang diwawancarai memiliki
sedikit atau tidak ada pendidikan formal. Produsen secara tradisional melibatkan
anggota keluarga dekat mereka atau keluarga besar yang membantu dalam produksi
skala kecil tepung jagung kemasan (Essuman, 1990). Sementara beberapa produsen
menjual langsung ke konsumen, yang lain memanfaatkan layanan anggota
keluarga. Penjual dan produsen sering hidup dalam komunitas yang sama atau milik
kelompok etnis yang sama. Akibatnya, produksi dan penjualan tepung jagung
kemasan berdasarkan fakta dianggap kegiatan subsisten yang memperkuat ikatan
budaya dan keluarga (Hicks, 2002).
Perpaduan beragam usia, jenis kelamin dan kelompok sosial ekonomi yang
terdiri dari konsumen tepung jagung yang dikemas sesuai dengan daya tarik
utamanya. Sejauh ini Kenkey (Fante dan Ga) adalah produk yang paling disukai,
terhitung 80% dari semua tepung jagung kemasan yang diproses oleh produsen,
76% dari semua produk yang ditawarkan oleh penjual dan 96% dari semua
pembelian oleh konsumen. Setelah dianggap sebagai makanan suatu etnis, Kenkey
sekarang dimakan oleh hampir semua warga Ghana yang berusia muda (25 tahun
atau lebih muda) yang berpendidikan tinggi (lembaga pendidikan tinggi) dan
kebanyakan mengandalkan varietas Ga untuk kalori makanan mereka. Memakan
Kenkey dan tepung jagung kemasan lainnya tidak dipengaruhi oleh status ekonomi
dan pendidikan serta lokasi geografisnya. Daya tarik Kenkey telah go internasional
karena dipersiapkan dan dikemas dalam daun seperti yang dilakukan di Ghana dan
dijual di supermarket di negara-negara yang memiliki sekelompok besar orang
Afrika Barat (Delisle et al., 2010).
Ada pernyataan dari semua produsen bahwa daun musa paradisiaca, kulit
zea mays, dan daun populnea ini tidak beracun maka dari itu memakan fitokimia
yang memiliki efek merusak pada tubuh oleh konsumen jarang terjadi. Meskipun
tidak ada bukti ilmiah yang mendukung catatan keamanan ini, perlu dicatat bahwa
tidak ada hubungan yang pernah diamati atau dilaporkan antara konsumsi tepung
jagung yang dikemas daun dan bahaya kesehatan. Tidak seperti plastik, zat
xenotoxic yang larut termasuk styrene dan bisphenol A dan bahan kimia
pengganggu endokrin lainnya masuk ke makanan (Halden, 2010; Muncke, 2009;
Munche, 2010).
Kemasan daun yang masih menjual tepung jagung menunjukkan tidak ada
perubahan selera dan pilihan konsumen selama ribuan tahun. Terlepas dari persepsi
kualitas rendah kemasan, masih ada penerimaan konsumen yang tinggi dan
permintaan yang besar untuk itu. Faktanya tepung jagung yang dikemas dengan
daun tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang di zaman modern di Ghana dan
bagian lain dunia. Bahkan di era modern di mana makanan sering dikemas dalam
bahan yang menarik perhatian dan satu-satunya perbedaan antara merek yang
bersaing adalah dalam kecanggihan kemasan (PetersTexeira dan Badrie, 2005;
Venter et al., 2011)
Penurunan Berat
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, untuk menyimpan buah pada suhu
kamar (20°C) rata-rata penurunan berat pada 15 hari adalah 8,7% untuk buah NPBL
dan 6,6% untuk buah PBL. Dalam penelitian ini, digunakan penyimpanan suhu
yang sama (pada 13,5°C). Untuk kondisi ini, buah yang disimpan 20 hari
mengalami penurunan berat sebesar 10,9% untuk buah NPBL dan 9,4% untuk buah
PBL. Stres pada pascapanen ini menyebabkan percepatan metabolisme pada buah
yang menghasilkan penurunan berat badan dan kualitas buah yang lebih besar.
Seperti yang ditunjukkan gambar 1, penurunan berat yang lebih rendah untuk
buah disimpan di suhu di atas 13,5°C ditemukan untuk konfigurasi PBL
dibandingkan dengan konfigurasi NPBL. Hal ini mungkin akibat dari karakteristik
daun pisang untuk melindungi buah lulo ke penurunan berat badan yang disebabkan
oleh transpirasi buah. Pada hari-hari pertama penyimpanan, kadar air daun pisang
menurun ("Berat daun pisang") dan kemudian ini mengarah ke kehilangan berat
pada buah lulo karena transpirasi (Forero et al., 2014).
Selain itu, untuk buah yang disimpan pada suhu 7°C, menyebabkan penurunan
berat 2,5% buah NPBL dan 2,6% untuk buah PBL pada 17 hari penyimpanan.
Untuk kasus ini, suhu adalah faktor utama dalam penurunan berat dan di sana tidak
ada perbedaan yang signifikan untuk konfigurasi kedua kemasan.
Perubahan Warna
Awalnya TTA pada semua sampel adalah serupa (P> 0,05). Suhu memiliki efek
penting pada variabel ini. Perbedaan yang signifikan ditemukan antara perlakuan
yang disimpan di 7°C dan 20°C. Model untuk perubahan TTA untuk buah NPBL
(Gbr. 2) telah diperoleh. Model yang dihasilkan dijelaskan pada persamaan 12, di
mana NI adalah jumlah pengaruh.
Ketika pengaruh yang diterima oleh buah meningkat, maka perbedaan antara nilai
awal dan akhir TTA meningkat pula. Ini mungkin disebabkan karena peningkatan
laju pernapasan dan kemudian degradasi cadangan asam organik dalam buah
sebagai hasil dari proses respirasi. Untuk buah PBL, nilai rata-rata adalah 0,672%
dalam perubahan TTA yang diperoleh.
Kekerasan
Nilai rata-rata untuk kekerasan dalam penelitian ini diamati pada tabel 2. Nilai-
nilai kekerasan antara 13 dan 23 N diperoleh untuk lulos yang baru dipanen, antara
4,9 dan 19 N, dan antara 5,4 dan 11,6 N, untuk NPBL dan PBL pada lulos yang
sudah matang. Penurunan suhu penyimpanan dan peningkatan konsentrasi CO2
(dengan menggunakan kemasan) menghasilkan pengurangan aktivitas metabolisme
dan penurunan laju degradasi asam organik dan karenanya, evolusi sifat fisikokimia
dan kualitas seperti warna, kekerasan dan umur simpan (Alam dan Goyal, 2006;
Gwanpua et al., 2012).
Juga, variasi pada parameter ini sesuai dengan anisotropi material. Nilainya
akan tergantung pada kondisi fisiologis buah, waktu pascapanen dan kondisi muat.
Selain itu, nilai kekuatan patah menunjukkan bahwa lulo yang baru dipanen tahan
terhadap beban yang lebih besar daripada lulo di akhir setiap perlakuan.
Modulus Young
Nilai rata-rata dari modulus young atau deformabilitas lulo epidermis dapat
dilihat pada tabel 2. Secara umum, untuk lulos PBL nilai ini lebih tinggi, yang
secara mekanis menyatakan bahwa buah ini akan terdeformasi kecuali dari lulo
NPBL di bawah tekanan yang sama. Kehilangan air adalah salah satu penyebab
utama komersial dan kerusakan fisiologis produk segar, dalam bentuk layu, dan
menurunnya kekakuan, kekenyalan dan kesegaran (Rodov et al., 2010). Kemudian,
lulo PBL akan kehilangan lebih sedikit air dan dapat mengurangi kekakuan. Hasil
untuk NPBL memiliki dispersi yang lebih besar karena perlakuan lebih random atau
acak untuk perawatan ini. Daun pisang selain sebagai pelindung juga menjaga
tekstur di antara lapisan buah.
4.3 Jurnal XXX
4.3.1 Hasil
Berarti dalam kolom yang sama dengan superskrip yang sama tidak berbeda secara
signifikan pada P> 0,05 dan mereka yang berbeda superskrip berbeda secara
signifikan pada P <0,05.
Keterangan :
A-E: Ugba dibungkus dengan daun okpopia mulai dari 1-5 lapisan daun
F-J: Ugba dibungkus dengan daun cocoyam mulai 1-5 lapis daun
K-O: Ugba dibungkus dengan daun pisang mulai dari 1-5 lapis daun
Keterangan :
4.3.2 Pembahasan
Aroma
Aroma sampel "Ugba" sangat mirip satu sama lain dan produk "sedikit disukai"
(skor sekitar 6,0). Aroma sampel yang dibungkus dengan daun pisang dengan tiga
lapis diberi skor tertinggi 6,40, yang diikuti oleh sampel yang memiliki skor rata-
rata 5,90. Peringkat dekat sampel pada aroma bisa disebabkan oleh fakta bahwa
satu campuran digunakan dalam produksi tersebut dan bahan pembungkus tidak
memberikan rasa pada sampel.
Rasa
Nilai untuk rasa sampel "Ugba" yang dibungkus K, B, A, N, dan L diperoleh masing
– masing 6.10, 6.10, 6.10, 6.00 dan 6.00 . Selera dari beberapa sampel secara
signifikan berbeda sementara beberapa tidak berbeda nyata. Meskipun panelis
tampaknya lebih suka sampel K, B, A, mereka menemukan rasa cukup baik.
Tekstur
Tekstur semua sampel secara signifikan berbeda dan “sedikit disukai” (skor sekitar
6,0) dengan sampel “Ugba” yang dibungkus dengan N dan C tertinggi.
Warna
Warna sampel yang dibungkus dalam E memiliki skor rata-rata 8,00 (yaitu sangat
disukai) dan secara signifikan berbeda dari sampel lain. Warna sampel yang
dibungkus G memiliki skor rata-rata terendah 2,90 dan secara signifikan berbeda
dari sampel lain. Secara umum, warna semua sampel baik "sedikit disukai" (skor
sekitar 6,0) atau "cukup disukai ”(skor sekitar 7,0) meskipun ada yang secara
signifikan berbeda sementara ada yang tidak berbeda nyata seperti yang diamati
oleh panelis.
Penerimaan Keseluruhan
Tabel 2 menunjukkan efek dari bahan pembungkus yang berbeda pada komposisi
terdekat dari "Ugba" Samples- difermentasi Biji Kacang Minyak Afrika
(Pentaclethra macrophylla Benth biji).
Kelembaban
Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air sampel berkisar antara 44,33% hingga
52,83%. Komposisi produk yang fermentasinya dibungkus Daun “Okpopia”, daun
cocoyam dan daun pisang memiliki tingkat kelembaban yang berbeda (masing-
masing 44,3%, 52,83%, dan 47,04%). Kadar air biji fermentasi bisa mencapai
hingga 74% selama 5 hari fermentasi (Pierson et al., 1986). Ikediobi, (1981)
melaporkan bahwa perbedaan kadar air ini disebabkan oleh perlakuan pemasakan
dan fermentasi sampel dikenakan. Penurunan kadar air sampel A yang merupakan
Alchornea Laxiflora Benth, daun okpopia menunjukkan kepastian memperpanjang
umur simpan. Selain itu, kisaran kadar air menyiratkan bahwa daun (daun Okpopia)
memiliki potensi penyimpanan yang baik, karena diketahui bahwa aktivitas air dari
produk sangat menentukan kualitas makanan. Kadar air dalam sampel A memiliki
nilai rata-rata terendah 44,33% sedangkan sampel B (daun cocoyam) memiliki
kadar air tertinggi 52,83%. Karena sampel yang sama digunakan, sampel B harus
memiliki lebih banyak kelembaban daripada sampel lain selama periode
pemasakan, atau sampel lain mungkin kehilangan kelembaban selama pemasakan.
Ada perbedaan yang signifikan antara sampel pada P <0,05.
Protein
Nilai kandungan protein dari sampel "Ugba" masing-masing adalah 8,59%, 7,45%,
dan 6,77% untuk sampel A, B dan C. Isi protein berbeda secara signifikan pada P
<0,05, meskipun sampel yang dibungkus dengan daun pisang memiliki persentase
kandungan protein terendah. Mbajunwa (1995) melaporkan bahwa penurunan nilai
protein dapat dikaitkan dengan pencucian protein larut ke dalam air pemrosesan
selama produksi Ugba. Secara umum, kandungan protein dari semua sampel relatif
tinggi karena Biji Kacang Minyak Afrika yang difermentasi merupakan sumber
protein yang baik.
Serat Kasar
Menurut Ihekoronye dan Ngoddy (1985), serat kasar tidak memiliki efek yang
berarti, namun serat kasar adalah komponen makanan yang penting. Serat kasar
terutama terdiri dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti pektin,
hemiselulosa dan selulosa. Nilai kandungan serat kasar berkisar antara 18,5%
hingga 39%. Ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kepercayaan P <0,05.
Sampel B memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi daripada sampel A dan C.
Abu
Kadar abu dari sampel "Ugba" berkisar antara 13% hingga 33% dan ada perbedaan
yang signifikan (P <0,05) di antara sampel. Sampel C memiliki kadar abu yang
lebih tinggi (33%) dari sampel A (18,5%) dan sampel B (13%).
Lemak
Nilai berkisar antara 6,5% hingga 12%. Diamati bahwa kandungan lemak dalam
sampel B dan C (masing-masing daun Cocoyam dan Pisang) lebih tinggi dari pada
sampel A. Kadar lemak yang relatif tinggi bisa tidak diinginkan dalam produk
makanan (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985). Sampel B dan C tidak berbeda secara
signifikan (P> 0,05) dan secara signifikan (P <0,05) berbeda dari sampel A.
Karbohidat
A. Kesimpulan
B. Saran
Astuti, N. P. 2009. Sifat organoleptik tempe kedelai yang dibungkus plastik, daun
pisang, dan daun jati. Karya tulis ilmiah tidak diterbitkan. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Forero, N.M., Sebastian Gutierrez, Javier Rivera, Andres, F.S., dan Carolin, F.S.
2017. Banana leaf as packaging of lulo for different storage temperatures
and the effects on postharvest characteristics. Agronomia Colombiana.
35(1): 107-115.
Kabuo, N.O., Asoegwu, S.N., Nwosu, J.N., Onuegbu, N.C., Akajiaku, L.O., dan
Nwaimo, J.C. 2015. Assessment of leaf-type and number of leaves used in
wrapping on the quality of “UGBA” (fermented pentaclethra macrophyla
benth seed). European Journal of Food Science and Technology. 3(1): 11-
23.
Maflahah. 2012. Desain kemasan makanan tradisional Madura dalam rangka
pengembangan IKM. Agrointek. 6(2): 118-122.
Mastuti TS, Handayani R. 2014. Senyawa kimia penyusun ekstrak ethyl asetat dari
daun pisang batu dan ambon hasil distilasi air [prosiding]. Tangerang
Banten: Universitas Pelita Harapan.
Mensah, J.K, E. Adei, D. Adei dan M.D. Ashie. 2012. Perception of the use of
indigenous leaves as packaging materials in the ready-to-eat cornmeals.
International Journal of Biological and Chemical Sciences. 6(3): 1051-
1068.
Noviadji, Benny Rahmawan. 2014. Desain kemasan tradisional dalam konteks
kekinian. Jurnal Fakultas Desain. 1(1):10-21.
Rini, Yulian Fakhrurrozi, dan Dian Akbarini. 2018. Pemanfaatan daun sebagai
pembungkus makanan tradisional oleh masyarakat Bangka (studi kasus di
Kecamatan Merawang) [skripsi]. Balunjuk: Fakultas Pertanian, Prikanan
dan Biologi. Universitas Bangka Belitung.
Sucipta, dkk. 2017. Pengemasan Pangan: Kajian Pengemasan yang Aman,
Nyaman, Efektif dan Efesien. Bali: Udayana University Press.