PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Terapi rumatan metadon adalah sebuah terapi dimana terdapat substitusi yang
mengantikan narkotika jenis heroin yang menggunakan jarum suntik yang berbentuk
cair yang pemakaiannya dilakukan dengan cara diminum (BNN, 2006). Pemberian
metadon tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Metadon biasanya disediakan
pada program pengalihan narkoba, yaitu program yang mengganti heroin yang
dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang lebih aman.
Metadon bukan penyembuh untuk ketergantungan opiat: selama memakai
metadon, penggunanya tetap tergantung pada opiat secara fisik. Tetapi metadon
menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah hidupnya menjadi lebih
stabil dan mengurangi risiko penggunaan narkoba suntikan, dan juga mengurangi
kejahatan yang terkait dengan kecanduan. Dan karena diminum, penggunaan
metadon mengurangi penggunaan jarum suntik bergantian.
Program metadon sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan pertama
adalah untuk membantu pengguna berhenti memakai heroin (detoksifikasi), diganti
dengan takaran metadon yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka waktu
tertentu. Tujuan kedua adalah untuk menyediakan terapi rumatan (pemeliharaan),
yang memberikan metadon secara terus-menerus dengan dosis yang disesuaikan agar
pengguna tidak mengalami gejala putus zat (sakaw).
Menurut beberapa orang yang telah menjalani program terapi rumatan
metadon, bila sudah memakai Metadon, keinginan memakai putaw jadi berkurang.
Kalau dipaksa tetap memakai putauw, malah menjadi hambar, karena ada sistem
blocking yang membuat reaksi putaw tak terjadi (Preston, 2006).
Berdasarkan hasil uji coba Program Terapi Rumatan Metadon memberi
manfaat untuk perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi, hubungan sosial dan
lingkungan, penurunan angka kriminalitas, penurunan depresi dan perbaikan kembali
ke aktivitas sebagai anggota masyarakat (Depkes, 2006).
Diketahui pengguna metadon adalah korban dari ketidaktahuan dan pengaruh
lingkungan yang tidak dapat ditoleransi oleh mental manusia. Diketahui bahwa
selama proses kehidupan yang dijalankan manusia kemungkinan akan terjadi
tekanan-tekanan hidup yang berat, sehingga dapat dipastikan angka prevalensi
gangguan jiwa berat meningkat hingga sembilan jiwa per 1.000 orang dan gangguan
jiwa ringan terjadi kurang lebih 250 jiwa per 1.000 orang. Mengantisipasi hal ini
sangat diperlukan perhatian dari seluruh kalangan dalam hal kesehatan jiwa. (Depkes
RI, 2006)
Kesehatan
merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah
perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi masalah kehidupan, dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya, serta mempunyai sikap positif terhadap
diri sendiri dan orang lain. (Hawari, 2006).
Di Amerika penyakit ini menimpa kurang lebih 1% dari jumlah penduduk
yakni sekitar 2 juta orang Amerika menderita gangguan jiwa setiap tahun. Sedangkan
di Indonesia diperkirakan pada tahun 2010 terdapat 237,6 juta dengan asumsi angka 1
% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 maka jumlah pasien di Indonesia
pada tahun 2012 ini sekitar berjumlah 2.377.600 orang (Januarti, 2008).
Bertambahnya penyandang masalah gangguan mental tidak hanya disebabkan
oeh karena tekanan mental yang dialaminya tetapi juga dapat dipengaruhi oleh faktor
lain seperti pemakaian obat obatan / zat napza. Pengguna NAPZA merupakan suatu
masalah yang memiliki dimensi yang cukup komplek, terkait dengan berbagai segi
kehidupan serta berdampak negatif, baik bagi pengguna, keluarga, masyarakat,
bahkan dapat pula membahayakan masa depan bangsa dan negara.
Aguswan (2005) mengatakan, berdasarkan hasil survey BNN bekerjasama
dengan Puslitkes UI, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada
tahun 2010 sebesar 1,99 persen atau sekitar 3,3 juta orang dari penduduk Indonesia
berumur 10-59 tahun. Pada tahun 2011, angka prevalensi tersebut meningkat menjadi
2,21 persen atau 3,8 juta orang. Dan pada tahun 2015, diproyeksikan akan meningkat
menjadi 2,8 persen atau 5,1-5,6 juta orang.
Pengguna narkoba di Indonesia pada 2011 berjumlah 5 juta orang. Kondisi itu
menyebabkan secara ekonomi negara dirugikan sekitar Rp5 triliun. Sedangkan
jumlah kasus narkoba yang terjadi pada 2010 mencapai 26.000 kasus, sementara itu
untuk 2011, kasus narkoba mencapai 29.000 kasus (Harzuki, 2008).
Sementara untuk Sumatera Utara, pada tahun 2011 jumlah penyalahgunaan
narkotika mencapai 2,2 persen dari 12 juta penduduk. Sedangkan berdasarkan data
kejahatan narkoba yang diungkapkan Polda Sumut dan jajarannya, tahun 2011 ada
2.718 kasus dan 3.736 tersangka. Sedangkan pada tahun 2012 terdapat 2.728 kasus
dan 3.514 tersangka.
Upaya untuk mencegah meningkatnya jumlah pecandu NAPZA sangat
diharapkan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat khusunya keluarga. Peran
keluarga sangat diperlukan Peran keluarga juga disebutkan sebagai salah satu bentuk
dukungan terhadap pencapaian tingkat kesembuhan pasien dan terapi bagi pasien
khusus.
Dukungan keluarga merupakan unsur penting dalam perawatan, khususnya
perawatan pada anak. Oleh karena anak merupakan bagian dari keluarga, maka
perawat harus mampu mengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau konstanta tetap
dalam kehidupan anak (Wong, Perry and Hockenberry, 2002).
Menurut Supartini (2004) dukungan keluarga pada anggota keluarga di rumah
sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan stress, baik bagi pasien maupun
keluarga. Lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stress dan
kecemasan pada anak. Pada anak yang dirawat di rumah sakit akan muncul
yang
sakit
serta
pengalaman
mengikuti
terapi
yang
faktor
seseorang
yang
berperan
dalam
mendorong
untuk
terlibat
dalam
Hasil pre survey yang dilakukan peneliti pada bulan Januari 2013 di Poliklinik
program terapi rumatan meatdon (PTRM) RSUP H. Adam Malik menunjukkan
bahwa rata-rata pengunjung tidak ditemani keluarga dalam pengobatan. Pasien datang
sendiri dengan tidak didampingi keluarga. Ketika diwawancarai pada 4 orang pasien
yang menjalani rumatan metadon meyebutkan bahwa keluarga mereka enggan
mengantarkan mereka untuk melakukan terapi. Ketika ditanya lebih dalam tentang
alasannya para pasien hanya menyebutkan mungkin keluarga mereka marah dan malu
pada apa yang meyebabkan mereka sakit. Memang ditemui ada beberapa pasien
yang didampingi keluarga, tetapi itupun jumlahnya sangat kecil dan kondisi yang
dialami pasien memang pada tingkat gangguan yang lebih tinggi.
Hasil penelitian
keluarga terhadap
kepatuhan berobat pasien program terapi rumatan metadon di RSUP H. Adam Malik
medan hal inilah yang mendorong untuk dilakukannya penelitian ini.
uraian
pada
latar
belakang
diatas
dapat
dirumuskan
keluarga dalam