Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

HIV/AIDS

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Ulfa Elsanata
01.211.65.46
Pembimbing:
dr. Nurul Aisyah, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RST BHAKTI WIRA TAMTAMA
SEMARANG
2015
1. Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.


HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangka l infeksi. Sel darah put ih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah put ih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan
pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel
mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara
lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing
grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara
evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang
paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah
grup HIV-1.
2. Definisi AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus,
dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain .
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke

dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
3. Epidemiologi
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang
tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada
beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria.
Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur
telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi
(concentrated level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki
tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)

4. Etilogi dan patogenesis


Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili
lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya
nukleoid

yang

berbentuk silindr is dalam virion matur. Virus ini

mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol,
env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting
dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat,
berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi
transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien
untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus
yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh

makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

Gambar Struktur anatomi HIV (TeenAIDS, 2008).


Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Virus ini mempunyai kemampuan untuk

mentransfer

informasi genetik

mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan ganggua n
respon imun yang progresif.
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa
dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama
masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid.
Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun
terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma
menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan

bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level
virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap
infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi
ganas dan menimbulkan penyakit (Zein,2006)

5. Cara penularan

HIV ditularkan melalui :


a. Lewat cairan darah:
Melalui transfusi darah / produk darah yg sudah tercemar HIV
Lewat pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai
bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik
dikalangan pengguna narkotika suntikan
Melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan
lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk
yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial
wajah.
b. Lewat cairan sperma dan cairan vagina :
HIV dapat menular melalui hubungan seks penetratif yang tidak
aman sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan
cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya
cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks
anal.
Hubungan seksual secara anal lebih berisiko menularkan HIV,
karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka
dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke
aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar
risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh.
Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam
vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi.
c. Lewat Air Susu Ibu :
Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV
positif, dan melahirkan lewat vagina; kemudian menyusui bayinya

dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (Mother-to-Child


Transmission).

6. Gejala Klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang d.
Kandidias orofaringeal
d. Herpes simpleks kronis progresif
e. Limfadenopati generalisata
f. Retinitis virus Sitomegalo

Stadium klinis HIV


Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007

Sistem tahapan infeksi HIV AIDS menurut WHO


Perjalanan penyakit :
a. Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi
secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang
tersebut telah tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa
jendela
b. Masa tanpa gejala, yaitu waktu (2-7 tahun) dimana tes darah sudah
menunjukkan adanya antibodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun
pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut
menderita AIDS atau dia tampak sehat
c. Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala
AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 5
tahun dan kemudian meninggal.
7. Pemeriksaan Diagnosis
a. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja).
Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah
infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat
spesifik terhadap envelope dan core .
b. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar
relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein
atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam
campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti

gp120 dan gp41.


Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%.
Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat
antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan
secara serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2.
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping
yaitu dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan
cell sorting

(fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah

menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik


permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang
berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara
otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser.
Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal
elektronik yang

dicatat oleh

instrumen sebagai karakteristik sel

bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun


yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu
atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat
mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah
masing-masing dalam suatu populasi campuran .
Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila
terdapat infeksi oportunistik (tabel di bawah ini) atau limfosit CD4 +
kurang dari 200 sel/mm3.
No
1.
2.
3.
4.
5.

Infeksi Oportunistik yang sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS


Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV Mata (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV
Herpes Simpleks, ulkus kronik (>1 bulan), bronkitis, pneumonitis atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atu ekstraparu

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Isosporiasis, dengan diare kronik (>1 bulan)


Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esofagus
Kanker serviks invasif
Koksidiodomikosis, diseminata atu ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptosporidosis, dengan diare kronik (>1 bulan)
Leukoensefalopati multifokal progresif
Limfoma, Burkitt
Limfoma, imunoblastik
Limfoma, primer pada otak
Mikobakterium avium kompleks atau M. Kansasii, diseminata atau
ekstraparu
Mikobakterium tuberkulosis, paru atau ekstraparu
Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat diidentifikasi,
diseminata atau ekstraparu
Pneumonia Pneumoncystis carinii
Pneumonia rekuren
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting Syndrome

8. Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara
total. Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa
obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini
akibat infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a. Pengobatan

untuk

menekan

replikasi

virus

HIV

dengan

obat

antiretroviral (ARV).
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial
dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga

10

kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian


dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik
amat berkurang.
9. Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn
(Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:


zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)


seperti evafirens dan nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir,


nelvinavir, amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama

karena obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses


memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk
memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya
(terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi
dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi
ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus
dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan
medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang
baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.
(Depkes RI, 2007)
Terapi pada ODHA dewasa
Stadium
Klinis
1
2

Bila tersedia pemeriksaan CD4


Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Jika
tidak
tersedia
pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak diberikan
Bila jumlah total limfosit
<1200

11

Jumlah CD4 200 350/mm3, pertimbangkan


terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil Terapi ARV dimulai tanpa
memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
CD4
Sumber : Depkes RI, 2007
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya
terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4
berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan
disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus
dimulai belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang
berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat
dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi
karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah
dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk
memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO
yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv
dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada
CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi
ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang
paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut
perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV
dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4

12

< 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 <
350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa dan
remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada
keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan
memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak
dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
10. Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV
yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active
AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat
dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi
dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat
sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama
berupa kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di
Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin
(d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan
efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007)

LINI PERTAMA
No.
1.

Nama generik
Zinovudin
(NRTIs)

Formulasi
Tablet:
300mg

Data farmakokinetik
Semua umur

Dosis menurut umur.


<
4
minggu:
4
mg/kg/dosis,
2x/hari
(profilaksis)
minggu 13 tahun: 180
240 mg/m2/dosis, 2x/hari

13

2.

Lamivudin
(NRTIs)

3.

Kombinasi
Tablet: 300
tetap Zinovudin mg (AZT)
plus Lamivudin plus
150
mg (3TC)
Nevirapin
Tablet: 200
(NNRTIs)
mg

4.

Tablet: 150
mg

5.

Efavirenz
(NNRTIs)

600mg

Stavudin,
(NRTIs)

d4T 30 mg

7.

Abacavir

300 mg

dosis maksimal: >13 tahun,


300 mg/dosis, 2x/hari.
Semua umur
< 30 hari< 2 mg/kg/dosis,
2x/hari (profilaksis)
> 30 hari atau <60kg: 4
mg/kg/dosis. 2x/hari.
Dosis
maksimal:
150
mg/dosis, 2x/hari.
Remaja dan dewasa
Dosis maksimal: < 13 tahun
atau
> 60 kg:
1
tablet/dosis, 2x/hari (tidak
untuk berat badan 30 kg)

Semua umur
< 8 tahun: 200
mg/m2
Dua minggu pertama
1x/hari.
Selanjutnya 2x/hari.
> 8 tahun: 120-150
mg/m2,
Dua minggu pertama,
1x/hari
Selanjutnya 2x/hari.
Hanya untuk anak >3 10-15
kg:
200
mg
tahun dan berat >10
1x/sehari.
kg
15 - <20 kg: 250 mg
1x/sehari.
20 - <25 kg: 300 mg
1x/hari
25 - <33 kg: 350 mg
1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg
1x/hari
Dosis maksimal: > 40 kg:
600 mg 1x/hari
Semua umur
< 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30 kg atau lebih : 30
mg/dosis, 2x/hari
Umur > 3 bulan
< 16 tahun atau < 37.5 kg:

14

(NRTIs)

8.

Tenofovir
disoproxil
fumarat
(NRTIs)
Tenofovir
emtricitabin

9.

Tablet: 300
mg

8 mg/kg.dosis, 2x/hari
Dosis maksimal: >16 tahun
atau > 37.5 kg 300
mg/dosis, 2x/hari
Diberikan setiap 24 jam.
Interaksi obat dengan ddl,
tidak lagi dipadukan dengan
ddl.

+ tablet 200
mg/
300
mg

REGIMEN KOMBINASI UNTUK DEWASA


2NRTI + 1NNRTI atau

AZT + 3TC +EFV

AZT + 3TC + NVP

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Tidak dianjurkan regiman berbasis Protease Inhibitor (PI)


PENCEGAHAN
-

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan
penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan


seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini
memungkinkan penularan HIV)

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang
semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya
sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI
sendiri bisa dipertimbangkan.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan
dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Depkes RI 2007
4. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause

16

SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed.
The United States of America: McGraw-Hill
5. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban
Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
2005.
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,
Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2007

17

Anda mungkin juga menyukai