Anda di halaman 1dari 22

RELASI ISLAM DAN NEGARA

(Wacana Keislaman dan Keindonesiaan)


Oleh: Cecep Supriadi
Hubungan Islam dan Negara selalu menjadi wacana menarik untuk
diperbincangkan. Di Indonesia, perdebatan tentang perlu atau tidak peran Islam
dalam negara sudah dimulai sejak negara belum merdeka. Dalam proses awal
pembentukan negara Indonesia, persoalan paling krusial adalah menyepakati dasar
Negara. Hampir seluruh anggota dari BPUPKI1 (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan), memilih bentuk republik. Namun, setelah melalui
diskusi panjang tentang di mana posisi Islam di dalam kehidupan bernegara, para
pendiri bangsa (the founding father) itu berhasil mencapai kesepakatan bahwa
Negara Republik Indonesia bukanlah sebuah Negara Teokrasi, melainkan Negara
yang di dalamnya Islam dan kehidupan berislam mendapat tempat yang sangat
terhormat dan dilindungi sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 UUD 1945.2
Namun, kesepakatan ini tidak serta merta membuat umat Islam di Indonesia
mendapatkan haknya untuk menjalankan syariat Islam secara sempurna. Wacana
menjadikan Indonesia negara sekuler masih kental terasa. Sepanjang abad ke-20,
umat Islam Indonesia telah berhadapan dengan tantangan serius dari begitu
cepatnya arus modernisasi dan sekularisasi yang telah mengubah beberapa aspek
fundamental dari sistem religio-politik mereka. Di sisi lain, menguatnya pengaruh
Islam dalam medan pendidikan dan wacana publik dan terus munculnya partaipartai politik dan gerakan-gerakan Muslim juga merupakan sebuah fakta.
Dialektika antara sekularisasi dan Islamisasi terus berlanjut menjadi isu utama
dari politik dan masyarakat Indonesia, dan kedua proses itu berlangsung secara
simultan.3
Dalam hal ini, salah satu aktivis liberal Indonesia, Munawar Rahman
menjelaskan bahwa negara harus netral agama maka dari itu perlu ide
sekularisme, liberalisme dan pluralisme mesti berkembang di Indonesia. 4 Dia
mengatakan:
Demokrasi tidak akan mampu berdiri tegak tanpa disangga dengan sekularisme...
Demokasi hanya bisa dikembangkan kalau masyarakatnya liberal,.... liberalisme
adalah strategi paling jitu untuk menghadapi absolutisme dan totalitarianisme
agama. Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan
5
keseimbangan agama.

Di sisi yang lain, upaya penerapan syariah terus berlangsung. Partai politik
yang berideologi Islam mulai banyak memainkan peran dalam pemerintahan.
Menambah keunikan problematika kehidupan berislam dan bernegara di

Peserta Program Kaderisasi Ulama Gontor Angkatan VIII


Anggota BPUPKI itu adalah Dr. Radjiman, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof Supomo,
Moh. Amin, Wongsonegoro, Sartono, R.P Suronao, Dr. Buntaran Martoatmodjo, Ki Bagus
Hadikusumo, H. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar, dan KH. Wahid Hasyim.
2
Ahmad Syafii Maarif, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju,
2002) h.vii-viii
3
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa (Jakarta: Democracy Project, 2012, Edisi
Digital) h.728
4
Budhy Munawar Rahman, Membela Kebebasan Beragama: Perakapan Tentang
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Jakarta: Democracy Project, 2011, Edisi Digital) h.iii
5
Ibid., h.viii
1

Relasi Islam dan Negara | 1

Indonesia. Umat Islam dihadapkan pada sebuah dilema. Berislam dengan


menjalankan Islam secara kffah, meskipun sering kali berseberangan dengan
pemerintah. Atau, bernegara yang baik dengan mentaati setiap peraturan
pemerintah, meskipun sering kali bersebrangan dengan ajaran Islam.
Berangkat dari dilema tersebut, penulis berupaya untuk memaparkan konsep
Islam dan negara, relasi Islam dan negara dalam wacana keindonesiaan, dan
problematika berislam dan bernegara di Indonesia.
Wacana Pemikiran Negara Sekuler
Upaya sekularisasi sebuah negara diawali dengan desakralisasi politik
(desacralization of politics)6, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral. Dalam
artian, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh karena
itu, peran agama terhadap institusi politik harus disingkirkan, karena menurut
mereka ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial. 7 Dengan
demikian, maka segala macam kaitan antara politik dengan agama dalam
masyarakat tidak boleh berlaku, karena dalam masyarakat sekuler tidak seorang
pun memerintah atas otoritas kuasa suci. Dari gagasan ini bisa dipahami, bahwa
kaum sekuler menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan
politik 8 , dengan beralasan pemerintahan agama hanya akan menghalangi
perubahan dan kemajuan.
Smith dalam bukunya Religion and Political Development, membagi
pemikiran tentang hubungan agama dan negara ke dalam tipologi perspektif
organik dan perspektif sekuler. Para pendukung perspektif organik, mengkalim
perlunya kesatuan agama dan negara. Mereka memahami bahwa agama meliputi
seluruh aspek kehidupan. Sedangkan para pendukung sekuler, mengklaim
perlunya pemisahan, dengan tujuan menjaga kemurnian agama.9
Gagasan sekularisasi ini ditolak oleh seluruh ulama Islam, salah satunya
Yusuf Qardhawi. Beliau menegaskan bahwa pengikisan agama dari politik berarti
terkikisnya dari nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang
unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikontrol oleh
unsur-unsur kejahatan. 10 Dengan demikian, maka dengan berhasilnya proyek
sekularisasi yang terjadi nantinya adalah terkikisnya moralitas manusia. Karena
pada umumnya, esensi agama adalah meningkatkan moralitas manusia. Maka
dengan kemenangan sekularisme, moralitas yang menjadi esensi agama ikut
terkikis. Oleh karena itu, dewasa ini kita banyak melihat manusia yang tidak
bermoral walaupun mereka berpendidikan tinggi, golongan ini disebut schooled
and yet uneducated. Dengan demikian, maka penolakan dan pemisahan politik
dari agama menurut beliau merupakan suatu kejahilan.11
6

Khalif Muammar, Dewesternisasi dan Desekularisasi Politik Kontemporer, Majalah


Islamia, 2009, Volume V, Nomor 2, h.100
7
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
h.18
8
Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif
dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal (Jakarta: GIP, 2003) h.13
9
Donal Eugene Smith, Religion and Political Development (Boston: Little, Brown and
Company, 1978) h.85
10
Yusuf Al-Qardhawi, al-Dn wa al-Siyasah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007) h.82
11
Khalif Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi, Majalah Islami, 2005,
Tahun II. Nomor 6, h.99-102

Relasi Islam dan Negara | 2

Pendapat yang sama juga disampaikan Al-Attas yang menyatakan bahwa


agama tidak dapat dipisahkan dari ranah politik (desacralization of politics),
karena agama sangat berperan dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan.
Desakralisasi juga dengan jelas menafikan peranan ulama yang berwibawa dalam
sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah saw sendiri sudah mencontohkan
dirinya sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. 12 Hal ini juga
diikuti oleh para penggantinya, khulafa al-Rasyidin yang semuanya arif dalam
masalah agama. 13 Memisahkan Islam dari politik hanya akan menghalangi
peranan pandangan hidup Islam tersebar di dalam masyarakat. Karena dengan
begitu, maka Agama menjadi urusan pribadi dan bukan publik. 14 Dengan
demikian, maka sekularisme dalam bentuk apapun bertentangan dengan Islam,
baik dari segi akidah maupun syariah.15
Demokrasi tidak dapat dipisahkan dari sekularisme dan liberalisme, karena
eksistensinya sangat bergantung pada kedua filsafat tersebut. Namun, demokrasi
seringkali gagal menciptakan pemerintahan yang adil. Karena tujuan utama
demokrasi bukan menciptakan pemerintahan yang adil, tetapi mewujudkan
pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Setelah dipilih, pemerintah tidak lagi
terikat dengan janji-janji politiknya. Tidak lagi menjadikan keadilan sebagai
prinsip utama pemerintahannya, bahkan tidak ada satu mekanisme yang dapat
memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil adalah untuk kepentingan
rakyat. Malah seringkali kebijakan yang diambil hanya menguntungkan partai
sendiri dan kaum kapitalis yang banyak berjasa terhadap kemenangan partai
tersebut.16
Dalam hal ini, Barat lebih memilih demokrasi ketimbang teokrasi, karena
menurut pandangan mereka teokrasi merupakan sistem yang berdiri di atas
legitimasi yang palsu. Hal ini dikarenakan klaim kesucian dan kebenaran oleh
para pendeta gereja hanya berdasarkan dogma, dan sangat bertentangan dengan
logika dan rasio. Karena pada kenyataannya, tidak ada hubungan dan komunikasi
antara golongan ini dengan Tuhan. Oleh karena itu, klaim bahwa golongan clergy
ini mempunyai kedua kuasa temporal (politik) dan ecclesiastical (kuasa
kerohanian) adalah tidak berasas sama sekali.
Lain halnya dengan Islam, dalam politik Islam tidak mengenal teokrasi
maupun demokrasi, sebagaimana Sayyid Qutub menjelaskan bahwa Islam
menolak sistem teokrasi yang pernah berlaku di Barat pada zaman kegelapan. Hal
ini dikarenakan kuasa Tuhan dalam Islam tidak boleh diwakili oleh satu golongan
yang mengklaim adanya hubungan komunikasi dengan Tuhan. Al-Maududi
mengatakan bahwa Islam berada di tengah-tengah antara keduanya. Maka, akibat
dari pengaruh dan dominasi terminologi Barat, beliau menciptakan nama baru
bagi sistem politik Islam yaitu theodemocracy yaitu campuran dan jalan tengah
antara theocracy dan democracy.17
12

Sir Thomas Arnold, The Caliphate (London: Oxford University Press, 1924) h. 30
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism ..., h.32
14
Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal ..., h.20-21
15
Ugi Suharto, Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Yusuf Qardhawi, Majalah
Islamia, 2005, Tahun II, Nomor IV, h.25
16
Khalif Muammar, Politik Islam ..., h. 97. Lihat juga: Khalif Muammar, Dewesternisasi
dan Desekularisasi ..., h.103
17
Khalif Muammar, Politik Islam. ....., h.101-103
13

Relasi Islam dan Negara | 3

Dalam Islam negara memiliki peran memelihara agama, mengurus negara


dan rakyat, menjaga keamanan dan keselamatan negara. Menjaga keharmonisan
agama-agama lain.18 Negara juga berperan dalam merealisasikan akidah dan nilainilai ajaran Islam. Serta menjalankan peran kekhalifahan. 19 Yang mewujudkan
kesejahteraan dan keamanan. Berbeda dengan sekularisme yang mengabaikan
agama dan memisahkan negara dari aturan agama. Negara hanya ikut mencampuri
urusan agama, jika terdapat hal yang dapat merugikan negara.20
Menurut Ibn Khaldun, agama harus tetap menduduki posisi penting sebagai
kebenaran yang harus diwujudkan pada realitas. Agama merupakan landasan
pembangunan suatu negara sebagai pemersatu dan sumber legitimasi kekuatan
politik yang membuat negara tak terkalahkan. Tanpa agama kesatuan kelompok
hanya akan didasarkan atas rasa kesatuan alamiah yang terbentuk karena
kesamaan suku atau hubungan kekeluargaan.21
Muhammad Imarah menegaskan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus
sistem pemerintahan. Selanjutnya, menjelaskan bahwa dalam aliran sekular
(Barat), terdapat pemisah antara agama dan negara. Sementara Islam,
berpandangan adanya hubungan akidah, syariah, agama dan pemerintahan
(dawlah). Islam bukan risalah spiritual semata-mata. Pemerintahan dalam Islam
berlainan sekali dengan pemahaman dalam pemikiran Barat.22
Definisi Islam dan Negara
Secara etimologi, Islam berasal dari kata salima-yaslamu-salman yang
memiliki arti selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela.23 Berkembang menjadi
aslama-yuslimu-islman artinya tunduk, patuh, menyerahkan diri.24 Dari akar kata
itu terbentuk kata salmun, silmun artinya damai patuh dan menyerahkan diri.
Oleh karena itu, Islam sering diidentikan dengan ketundukan dan menyerahkan
diri seutuhnya terhadap ajaran-ajarannya.25

18

Wan Zahidi Wan Teh, Pelaksanaan Siyasah Syariyyah dalam Pentadbiran Kerajaan.
(Malaysia: Hazrah Enterprize, 2002, cet. I) h.9
19
Hamid Abdul-Majid Quwaysi, Al-Wazfah al-aqdiyah lil-Dawlah al-Islmiyah, Dirasah
Minhajiyah fil-Nazriyah al-Siyasiyah al-Islamiyah (Kairo: Dr al-Tawzi, 1993) h.133
20
Abdul Wahab al-Masiry, Dirst Marifiyah fil-Haarah al-Gharbiyah (Maktabah alSyuruq al-Dawliyah, 2006) h.52
21
Abdurahman Ibn Khaldun, Muqoddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 2003, cet. VIII) h.188
22
Muhammad Imarah, al-Islm wa arurat al-Taghyr (Kuwait: Majalah Arob, 15 Juli
1997, cet. I) h.34
23
Deeb Al-Khudrawi, Qams al-Alf al-Islmiyah (Beirut: Al-Yamma, 2009, cet. III)
h.249. Lihat juga... Ibn Mandzur Al-Ifriqi, Lisan al-Arab Juz 15 (Kuwait: Dr al-Nawdir, 2010)
h.188
24
James Robson, Islam as a Term Journal : The Muslim World Vol. 44. April 1954
(Hartford: Hartford Seminary Foundation, 1954) h.101
25
Majma al-Lughah al-Arobiyah, Al-Mujam al-Wasi (Kairo: Maktabah al-Syurq alDawliyah, 2008, cet. IV) h. 463 :
Seorang pakar tafsir, Muhammad At Thahir bin Asyur (1879-1973 M) telah dengan tegas
menetapkan jenis al defintif pada kata Al Islam itu adalah Alam bil- ghalabah ala majmui aldn al -ladhi ja bihi Muhammad saw (nama sesuatu yang sudah terang menjadi identitas agama
yang dibawa oleh Muhammad saw).
Lihat... Muhammad At Thahir bin Asyur, Tafsir al-Tahrr wa al-Tanwr Juz. III (Tunisia: Al-Dr
At-Tnisiyah, 2008) h.189

Relasi Islam dan Negara | 4

Secara terminologi, Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika
mampu.26 Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia, sejak
manusia digelar ke atas buana ini, dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan
sempurna dalam al-Quran yang suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya
yang terakhir yakni Muhammad bin Abdullah sebagai Rasulullah saw. Yang di
dalamnya memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup
manusia baik spiritual maupun material.27
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, Manna al-Qathan dalam
bukunya al-Hadts wa al-Tsaqfah al-Islmiyah menyebutkan Islam adalah
agama yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah swt yang
bersifat symil yang menyangkup seluruh tatanan akidah, akhlak, syariah dan
sebagainya. 28 Mengatur urusan setiap individu, keluarga, masyarakat, bahkan
mengatur pula urusan negara dan mengatur urusan duniawi dan ukhrawi.
Adapun negara dalam bahasa asing staat (bahasa Belanda), state (bahasa
Inggris) dan Etat (bahasa Prancis) berasal dari bahasa latin yang berarti menaruh
dalam keadaan berdiri; membuat berdiri; menempatkan. 29 Negara dalam bahasa
Arab ditulis Dawlah adalah kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah
tertentu yg diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yg efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.30
Menurut Plato yang dikutip oleh Soehino, negara adalah suatu tubuh yang
senantiasa maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang (individu-individu) yang
timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendiri-sendiri tidak
mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka ragam, yang
menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka
bersama. 31 Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara.
Sedangkan Menurut Thomas Hobbes negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh
orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainya
menjadi alat untuk keamanan dan pelindungan mereka.32 Tanpa negara manusia
akan hidup secara primitif, saling bersaing dan saling mengalahkan.33
Terbentuknya sebuah negara pada esensinya adalah untuk mencapai tujuan
bersama.34 Indonesia misalnya, didirikan dengan tujuan mencapai kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan perdamaian
dunia. 35 Tujuan tersebut termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
26

Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, ahh Muslim Juz I (Beirut: Dr al-Afq al-Jaddah,

tt) h.28
27

Abdul Karim Zaidan, Ull al-Dawah (Bairut: Muassasah ar-Rislah, 2002) h.10
Manna Khalil al-Qathan, al-Hadst wa al-Tsaqfah al-Islmiyah (Riyadh: Kementrian
Pendidikan Kerajaan Arab Saudi, 1401 H/1981M) h.127
29
Samidjo, Ilmu Negara (Bandung: Armico, 1986) h.31
30
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h.999
31
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 1980) h.17
32
Samidjo, Ilmu Negara ..., h.29
33
Franz Oppenheimer, The State: its history and developmnet viewed sosiological. (USA:
Indianapolis, 1998) h.27
34
C.S.T Kansil, Ilmu Negara Umum dan Indonesia (Jakarta: Pradya Paramita, 2001) h.133
35
Pembukaan UUD 1945.
28

Relasi Islam dan Negara | 5

1945. Yang implikasinya tertuang dalam setiap kebijakan pemerintah yang


diarahkan kepada ketercapaian kesejahteraan masyarakat. Senada dengan
pendapat Jacques Maritian yang menyatakan bahwa:
The state is not the supreme incarnation of idea, not a kind of collective superman
... but, The state is an agency entitled to use power and coercion, and made up of
experts or specialists in public order and welfare, an instrument in the service of
36
man...

Kesejahteraan, rasa aman dan damai merupakan tujuan utama pendirian


semua negara. Demi tujuan ini maka negara berhak menggunakan kekuasaan
bahkan paksaan. 37 Dengan demikian cita-cita bersama dapat tercapai. Semua
kesepakatan bersama berbagai macam kelompok terangkum dalam sebuah
konstitusi. Konstitusi terbentuk atas dasar kesepemahaman ideologi politik38 yang
dianut.
Negara mempunyai tujuan untuk menyelenggarakan perlindungan serta
penertiban dan untuk itu diberi hak memonopoli dalam penggunaan kekerasan
fisik secara sah. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, sehingga
dapat memaksakan kekuasannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.39
Konsep Relasi Islam dan Negara
Bagi umat Islam kepatuhan terhadap ajaran Tuhan merupakan suatu
keniscayaan. Tetapi pada waktu yang sama, mereka dihadapkan pada satu
persoalan, yaitu upaya memahami ajaran agama yang sesuai dengan kehendak
Tuhan sekaligus bisa menjawab realita umat. Sebagai konsekuensinya umat Islam
selalu dihadapkan pada tarik menarik antara dua kutub ekstrem berupa wahyu
yang tidak pernah berubah dan realitas sosial yang cenderung berubah. 40
Salah satu ajaran Islam adalah kewajiban berislam secara kffah.41 Berislam
secara kffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik dan benar
36

Jacques Maritain, Man and The State (Chicago: University of Chicago, 1998) h.13
All states involve the reflexive monitoring of aspects of the reproduction of the social
systems subject to their rule...... The state is the final development in the emergence of a series of
ethical communities in the course of social evolution, the others being the family and civil society
Anthony Giddens. The Nation-State and Violence (California: University of Californoa Press.
2008) h.17-20
38
Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma, kepercayaann dan
keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang atas dasar mana dia menentukan
sikapnya terhadap kejadian dan problematika politik yang dihadapinya dan menentukan tingkah
laku politiknya. Lihat ... Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008) h.34
39
Ibid., h.34-36
40
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Magelang: Indonesiatera, 2001, cet. I) h.xi
41
QS. Al-Baqarah: 208
37

Al-Baidhowi di dalam tafsir beliau mengatakan: bahwa masuk kedalam Islam secara
keseluruhan adalah menaati Allah taala dzohir dan batin. Kebalikan dari apa yang dilakukan oleh
orang-orang munafiq yang dzohirnya beriman tetapi hatinya tidak. Masuk kedalam Islam secara

Relasi Islam dan Negara | 6

sesuai dengan tuntunan yang diajarkan. Baik syariat yang mengatur hubungan
manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Maha Pencipta. Yang mengatur
hubungan manusia utuk kebutuhan dirinya sendiri seperti masalah akhlak,
makanan dan minuman, serta cara berpakaian. Termasuk juga syariat yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (mumalah) seperti
masalah sosial kemasyarakatan, perekonomian, pendidikan, politik, pemerintahan,
dan tata cara bernegara.42
Sebagai konsekuensi dari kewajiban berislam adalah diberi ganjaran
kebaikan dunia dan akhirat bagi yang melaksanakan dengan penuh ketaatan. 43
Dan diberi balasan keburukan dunia maupun akhirat bagi mereka yang tidak
secara totalitas dalam menjalankan syariat Islam. Berlandaskan hal ini, tidak ada
kata lain bagi seorang muslim untuk meninggalkan setiap ajaran Islam. Dan tidak
dibenarkan mencari alasan untuk mengambil pilihan tidak melaksanakan
kewajiban tersebut. Karena tidak ada kewajiban yang melebihi batas kemampuan
seorang muslim. Namun, selain kewajiban berislam sebagai seorang warga negara
umat Islam juga diharuskan bernegara dengan baik. Bernegara dalam arti
menjalankan negara dan roda pemerintahan untuk menjaga dan mempertahankan
eksitensinya.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Islam bukanlah semata
sebagai agama melainkan sebagai sistem kehidupan. 44 Islam meliputi pesoalanpersoalan keseluruhan bidang dari kehidupan manusia. Islam adalah orde sosial
yang memuat pokok-pokok dari kehidupan manusia. Namun demikian, saat ini,
Islam dihadapkan pada kenyataan sosial yang terjadi di lingkungan negara-negara
Islam sendiri berkaitan relasi antara agama dan negara.
Nabi saw telah membangun sebuah konsep negara ideal pertama di dunia,
yaitu negara Madinah. 45 Fakta sejarah mencatat tiga momentum penting
pembentukan sebuah negara yang dilakukan oleh Nabi saw. Pertama,
membangun masjid sebagai pusat aktivitas dan pembentukan masyarakat Islam,
keseluruhan juga berarti tidak setengah-setengah dan tidak mencampur adukkan dengan sesuatu
apapun,sedikit ataupun banyak. Beriman kepada Allah,para nabinya dan kitab-kitabnya. Siap
menjadikan Islam standar dari cabang-cabang atas segala sesuatu secara hukum keseluruhan.
Lihat... Nashiruddin Abi Said Abdullah bin Umar al-Baidhowi, Anwr al-Tanzl wa Asrr alTawl: Tafsir al-Baiwi (Beirut: Dr Kutub al-ilmiyyah, 2011) h.114
42
Muhammad Imarah, al-Islam wa arurah al-Taghyr ..., h.32
43
QS. An-Nahl 97


Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.
44
Islam was not simply a body of private religious beliefs, but involved the setting up of an
independent community, with its own system of government, laws, and institutions Lihat... H.A.R
Gibb, Mohammedanism: An Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1962, cet.II)
h.3
45
Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun 1993 disebutkan bahwa dikatakan suatu
Negara bila memiliki tiga unsur yaitu: Rakyat, Wilayah dan Pemerintahan. Lihat... Dede Rosyada
et. All, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2000)
h.45

Relasi Islam dan Negara | 7

sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda


pemerintahan.46
Kedua, menyatukan dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan
Anshar47 dengan ideologi yang sama yaitu akidah Islam dan menjadi asas utama
kekuatan umat Islam. Yang tidak membeda-bedakan suku, ras, dan status sosial.48
Ketiga, membentuk perjanjian damai dengan kelompok non muslim dalam satu
kesepakatan yang disebut Piagam Madinah (Mitsq al-Madnah). 49 Yang
memiliki empat prinsip, yaitu: Islam sebagai faktor pemersatu kaum muslimin,
menumbuhkan nilai solidaritas, jiwa senasib dan sepenanggungan antara kaum
Muslimin, asas persamaan hak dan kewajiban sesama kaum muslimin, dan
menjadikan syariat Islam sebagai dasar hukum negara.50
Piagam ini kemudian dijadikan undang-undang dasar yang disepakati kaum
muslimin dan non muslim, yaitu Yahudi dan Arab Badui yang belum masuk
Islam. Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa Islam telah membentuk sebuah
negara yang memiliki undang-undang yang sempurna. Piagam ini juga menjadi
bukti yang menolak tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam hanya
mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya saja.51
Madinah sebagai sebuah negara Islam membuktikan bahwa tidak ada
pemisahan antara urusan negara dan urusan agama. Sebagaimana yang
disampaikan Duncan B. Macdonald: The mother city of Islam was little town of
Yathrib, called Madinat an-Nabi, the City of the Prophet... Here the first Muslim
State was founded, and the germinal principles of Muslim jurispridence fixed.52
Al-Ghazali mengumpamakan agama dan negara seperti saudara kembar,
serta saling membutuhkan satu sama lain. Sebab itu, keduanya tidak dapat
dipisahkan. Agama adalah pondasi, negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa
pondasi akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan
negara merupakan keharusan bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan
keharusan bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan
bagi tercapainya kesejahteraan dunia dan akhirat.53
Dalam hubungan agama dan negara, agama menduduki posisi penting
sebagai kebenaran yang harus diwujudkan pada realitas dan menjadi landasan
46

Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, Sirh Nabawiyah (Jakarta: Rabbani Press, 2001)
h. 171 Lihat Juga: Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahq al-Makhtm (Jakarta: Rabbani
Press, 2010) h.185
47
Ibnu Ishak berkata: di antara yang dipersaudarakan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq
dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Abdurrahman bin Auf
dengan Sa'ad bin Rabi, Ammar bin Yasir denganhudzaifah bin Yaman, Abu Dzar dengan alMunzir bin Amr, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Bilal bin Raba dengan
Abu Ruwaihah Abdullah bin Abdurrahman al-Khats'ami dan sahabat-sahabat lainnya yang
mencapai 90 orang. Lihat Ahzami Samiun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur'an (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006) h.262
48
Said Ramadhan Al-Buthy, irh Nabawiyah ..., h.176-177. Lihat Juga: Ahzami Samiun
Jazuli. Hijrah dalam Pandangan Al-Qur'an ..., h.261-262
49
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahq al Maktum ..., h.192
50
Said Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah ..., h.182-184
51
Ibid., h.181
52
Duncan B. Macdonald, Developmet of Muslim Theology: Jurisprudence and
Constitutional Theory (New York: Charles Scribners Sons, 1903) h. 67
53
Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Al Iqtishad fil I'tiqad (Beirut: Darul-Kutaiba, 2003)
h.199

Relasi Islam dan Negara | 8

pembangunan suatu negara.54 Agama memiliki empat peran dalam sebuah negara,
yaitu: agama sebagai faktor pemersatu, agama sebagai pendorong keberhasilan
proses politik dan kekuasaan, agama sebagai legitimasi sistem politik, dan agama
sebagai sumber moralitas. 55 Sebagaimana yang diungkapkan Al-Maududi,
syariah tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Syariah adalah
skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan.56
Al-Maududi mengkonsepkan dua tujuan negara dalam Islam. Pertama,
menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kedzaliman
serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Kedua, menegakkan sistem
berkenaan dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat melalui segala daya
dan cara yang dimiliki oleh pemerintah, yakni sistem yang membetuk sudut
terpenting dalam kehidupan Islam, agar negara menyebarkan kebaikan dan
kebajikan serta memerintahkan yang maruf, sebagai tujuan utama kedatangan
Islam ke dunia, dan agar negara memotong akar-akar kejahatan, mencegah
kemungkaran yang merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah.57
Dalam kitab Al-Ahkm al-sulniyyah wa al-wilyah al-dniyyah, AlMawardi menegaskan bahwa negara merupakan instrumen untuk meneruskan
misi kenabian guna memelihara agama dan pengaturan dunia. 58 Pemeliharaan
agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun
berhubungan secara simbiosistik (saling membutuhkan). Keduanya merupakan
dua dimensi dari misi kenabian. Ia memposisikan negara sebagai lembaga politik
dengan sanksi-sanksi kegamaan. Dalam negara tersebut harus ada satu pemimpin
tunggal sebagai penganti Nabi untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama dan
memegang kendali politik, serta membuat kebijakan yang berdasarkan syariat
agama.59
Akhirnya, sebagaimana yang disimpulkan oleh Schacht dalam
Encyclopaedia of the Social Science bahwa Islam tidak hanya sebuah agama,
namun juga merupakan ideologi politik dan hukum yang telah direalisasikan
dalam sebuah kekuasaan terbesar dan meluas di berbagai negara sampai pada hari
ini. Islam menunjukan seluruh kebudayaan yang meliputi agama dan negara yang
bersumber pada konsep negara dan ajaran Islam yang murni.60

54

Abdurrahman Ibn Khaldun, Muqoddimah ..., h.188


Ibid,. Hal 124-127
56
Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2000, cet. I)
55

h.91
57

Abul Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan. Terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung :
Mizan, 1996) h.75-76
58
Imam al-Mawardi, Al-Ahkm al-Sulniyyah wa al-wilyah al-dniyyah, Terj. Abdul
Hayyie dan Kamaluddin Nurdin Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran
Islam,
Jakarta: GIP, 2000, cet. I) h.15
59
Ibid., h.14.
60
Islam however more than a religion, its represents also a political and juristic theory
which has been at least partially realized in one of the greatest oriental world empires and in
numerous separate states extending down to the Moslem states of the present day. Finally, Islam
signifies a cultural whole, encompassing religion and states since the concept of islamic state and
the tenets of islamic civilization derive their authority solely from their foundation in religion.
Joseph Schacht dalam Edwin R.A Seligman et.all, Encyclopaedia of the Social Sciences Vol.VIII
(London: Macmillan Co) h.333

Relasi Islam dan Negara | 9

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam telah


mencontohkan negara Madinah sebagai negara yang membuktikan bahwa relasi
antara Islam dan Negara tidak terpisahkan, serta saling mendukung satu sama
lainnya. Saat ini, Islam membutuhkan negara agar syariah dapat diterapkan secara
sempurna. Sedangkan negara membutuhkan agama, karena agama dapat menjaga
akhlak dan moral. Oleh sebab itu, agama harus menjadi pijakan dalam bernegara.
Relasi Islam dan Negara dalam Pancasila dan UUD 1945
Indonesia sebagai negara yang majemuk dapat menyelesaikan problem yang
amat serius menyangkut hubungan agama dan negara. Banyak negara mencoba
menyelesaikan problem tersebut dengan mengorbankan agama ketika mereka
memilih sekulerisme. Yang berdampak pada merosotnya moral dan akhlak negara
tersebut. Amerika misalnya, meskipun dianggap paling sukses dan sejahtera,
namun tingkat kejahatan dan pemerkosaan, serta tingkat aborsi di sana cukup
tinggi. 61 Atau kasus Turki, alih-alih meniru Barat, rakyat Turki justru
menginginkan kembali Islam sebagai dasar negara.62 Tentunya kasus-kasus yang
terjadi di negara-negara sekular tersebut sangat tidak dikehendaki rakyat
Indonesia.
Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, memberikan posisi yang amat
penting bagi semua agama yang dianut masyarakatnya, dan menuntut dari agama
dan agamawan peranan yang besar dalam membangun bangsa dan negara, sesuai
dengan fungsi agama, yaitu menata urusan manusia guna mencapai kesejahteraan
hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara negara dan
agama. Namun demikian, bukan pula yang berdasarkan pada suatu agama
tertentu, akan tetapi Indonesia merupakan negara kesatuan yang memberikan
kebebasan kepada warga negaranya untuk memiliki suatu keyakinan dan
menganut agama tertentu.63 Pasal 28 E Undang-undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa:
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan
sikap sesuai dnegan hati nuraninya

Di samping dicantumkan secara tegas dalam konstitusi, agama juga


mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Hal ini terlihat jelas bagaimana perhatian negara terhadap pelaksanaan
kehidupan beragama, sebagaimana yang termuat dalam visi Indonesia 2020 yang
tertera pada TAP MPR Nomor VII/ MPR 2001 tentang Visi Indonesia Masa

61

http://www.wonderslist.com/10-countries-highest-rape-crime/ diunggah tgl 10/01/2015


pkl. 08.02 wib dan http://www.nationmaster.com/country-info/stats/Health/Abortions
62
http://www.pewforum.org/2013/04/30/the-worlds-muslims-religion-politics-societybeliefs-about-sharia/ diunggah tgl. 10/10/2015 pkl. 08.25 wib
63
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Agustus 2008 No.19/PUUVI/2008 tentang
Tafsir Resmi UUD 1945 soal hubungan antara Negara dan agama dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia) h.24

Relasi Islam dan Negara | 10

Depan. 64 Pasal 2 Bab IV point 1 TAP MPR tersebut dikemukakan bahwa visi
Indonesia 2020 adalah:
a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, yang bertakwa, berakhlak mulia
sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai
luhur budaya terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku
kesehariannya.
b. Terwujudnya toleransi intern dan antar umat beragama.
c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
Selain menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk suatu
agama tertentu, negara juga mengupayakan agar tidak terjadi adanya penistaan
terhadap agama tertentu. Hal ini diwujudkan dengan adanya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai Undang-undang. Undang-undang ini diawali dengan
adanya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965
Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.65
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang
menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Nilai-nilai Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai
hari ini tetap kokoh menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga tetap
tercantum dalam konstitusi negara kita meskipun beberapa kali mengalami
pergantian dan perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa Pancasila
merupakan konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok
masyarakat Indonesia. Pancasila terbukti mampu memberi kekuatan kepada
bangsa Indonesia, sehingga perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh
komponen bangsa.66
Adapun kerangka berpikir dari keempat alinea Pembukaan UUD 1945
berisikan tentang: Pertama, perihal mutlaknya kemerdekaan dan kebebasan bagi
manusia sebagai pemikul tanggung jawab kekhalifan Allah di muka bumi. Kedua,
perihal tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur. Ketiga, perihal semangat keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa sebagai landasan spiritual-moral seluruh gerak dan perjuangan
bangsa dalam membangun Negara. Keempat, perihal lima prinsip dasar bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang hendak
dibangun.67
Dalam Syarah UUD 1945 Perpektif Islam, dijelaskan bahwa kelima
komponen pancasila sudah sesuai dengan Islam. Pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai landasan spiritual yang direflesikan dalam UUD 1945 yang sejalan
dengan nilai keislaman. Kedua, Kemanusiaan sebagai landasan moral dan etika
bangsa yang direfleksikan dalam Hak Asasi Manusia, yang memandang manusia
sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah swt. Ketiga, Persatuan sebagai
64

https://pdf.mpr.go.id/data/17%20TAP%20MPR%20No%20VII-MPR-2001_205232_2012.pdf. Diunduh pada 08/12/2014. Pkl. 11.26 wib


65
http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.pdf Diunduh pada 08/12/2014. Pkl.
11.30 wib
66
MPR-RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Sekretariat Jendral
MPR RI- 6 Agustus 2012) h.6
67
Masdar Farid Masudi, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam (Jakarta: PT Pustaka
Alvabert, 2013, cet. III) h.5

Relasi Islam dan Negara | 11

landasan sosial bangsa dengan semangat kekeluargaan untuk saling berbagi,


saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan demi mencapai tujuan mulia.
Keempat, Kerakyatan sebagai acuan politik bangsa dan musyawarah untuk
mencapai mufakat sebagai prinsip dasar dalam proses pengambilan keputusan di
antara pihak yang berkepentingan. Dengan musyawarah dapat dipelihara sikap
saling pengertian, saling menghargai, dan menumbuhkan tanggungjawab bersama,
sehingga demokrasi yang sejati dapat terwujud dengan baik dan nyata. Di
samping itu, keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Allah swt. Kelima, Keadilan sebagai tujuan bersama dalam
bernegara yang meliputi semua aspek, seperti keadilan hukum, keadilan ekonomi,
dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat.68
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat relasi yang kuat
dan saling mempengaruhi antara Islam dan Indonesia. Pengamalan ajaran Islam
secara konsekuen berislam- dapat memperkokoh implementasi Ideologi
Pancasila dalam konteks kebangsaan. UUD 1945 dan Pancasila meskipun tidak
mewakili agama tertentu, tetapi meniscayakan agar seluruh rakyat Indonesia
sebagai manusia bertuhan dan beragama, dan wajib mentaati ajaran agamanya.
Hal ini bermakna pula bahwa negara menjamin kemerdekaan rakyatnya untuk
memilih agama sesuai dengan keyakinannya dan mendorong rakyat untuk taat
menjalankan ajaran agamanya, sehingga pengamalan Pancasila menjadi lebih
konkret.
Wacana Keislaman dan Keindonesiaan
Dari beberapa literatur, terdapat tiga paradigma yang cukup populer dalam
wacana relasi agama dan negara, meski dengan berbagai istilah yang beragam.69
Pertama, Perspektif Integralistik. Paradigma integralistik merupakan paham dan
konsep hubungan agama dan negara yang menganggap keduanya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua lembaga yang menyatu.
Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik
dan sekaligus lembaga agama. Paradigma ini melahirkan konsep tentang agamanegara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan
hukum dan prinsip keagamaan.70 Dari sinilah kemudian paradigma integralistik
dikenal juga dengan paham Islam: dn wa dawlah, dengan hukum Islam sebagai
sumber landasan mengatur negara.
Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada
sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu sistem ketatanegaraan Barat. Sistem
ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan Nabi Muhammad saw dan oleh empat khalifah. Para tokoh yang

68

Ibid., h. 143-183
Munawir Sjadzali dan Masykuri Abdillah membagi kategorisasi pemikiran itu menjadi
tiga; Konservatif, Modernis dan Sekuler. Adapun M Din Syamsudin membaginya dalam ke dalam
tiga paradigma, masing-masing adalah. integralistik, simbiotik, dan sekularistik. Baca Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990) h.1-3; begitu pula Masykuri Abdillah,
Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi
(1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999) h.57
70
Husein Muhammad dalam Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren ..., h.89
69

Relasi Islam dan Negara | 12

mengusung paradigma ini antara lain Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridha,
Hasan al-Bana, Hasan al-Turabi, dan Abu al-A'la al-Mawdudi.71
Kedua, Perspektif Sekuleristik. Kata sekuler diambil dari Bahasa Latin
Saeculum yang memiliki dua konotasi yaitu masa (time) dan tempat (location).
Waktu menunjukkan now atau present (sekarang), sedangkan tempat (location)
dinisbatkan kepada dunia (world). Istilah Latin lainnya yang mengandung arti
mirip dengan saeculum adalah mundus. Akan tetapi, kata saeculum biasanya
digunakan untuk menerjemahkan kata Yunani kuno aeon, yang bermakna zaman,
sedangkan mundus digunakan untuk menerjemahkan kata Yunani kuno cosmos,
yang bermakna ruang (space). Disebabkan Bahasa Latin memiliki dua istilah yang
berbeda, yaitu saeculum dan mundus, namun keduanya memiliki makna yang
serupa yaitu dunia, maka menurut Harvey Cox, kata dunia dalam Bahasa Latin
adalah kata yang ambigu.72 Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara
negara dan agama secara diametral.
Dalam negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan
nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan
tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin normanorma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini
memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler
membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka
yakini dan negara tidak intervensi dalam urusan agama. Argumentasi pendukung
paradigma ini adalah tidak ada ayat yang secara tegas mewajibkan pembentukan
pemerintahan dan negara, sekaligus menekankan bahwa pembentukan
pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang diwahyukan Allah kepada Nabi
Muhammad. 73 Beliau hanya Rasul yang membawa risalah agama saja, tidak
termasuk perintah membentuk negara.74
Para tokoh yang mengusung paradigma ini antara lain 'Ali Abdul-Raziq,
Thaha Husein, Muhammad Sa`id Al-Ashmawi, Ziya Gokalp, Sayyid Ahmad
Khan, Ameer Ali, Khuda Bakhsh, Khalifah Abdul Halim, Ghulam Ahmad Parvez,
serta Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid (Indonesia). 75
Ketiga, Perspektif Simbiotik. Konsep ini menolak pendapat bahwa Islam
adalah suatu agama yang memiliki sistem ketatanegaraan. Namun menolak juga
pengertian Barat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha
Pencipta. Pendukung konsep ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat
sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara. 76 Menurut konsep ini, hubungan negara dan agama dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara memerlukan agama, karena
agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

71

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna ..., h.57. Lihat ... Munawir
Sjadzali, Islam..., h.1
72
Syed M. Naquib Al-Attas, Islam and Secularism ..., h.16
73
Ali Abd al-Raziq, al-Islm wa Ul al-Hukmi (Dr al-Hill, 1925, cet. I) h.64-65
74
Abd. Salam Arief, Relasi Agama dan Negara Dalam Perpektif Islam, (Jurnal Hermeneia,
Vol II, No. II Juli-Desember,2003) h.281
75
Tim Kajian Ilmiah Abituren 2007, Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi Syariat
dalam Tatanan Kenegaraan (Kediri, Lirboyo, 2007) h.28-35
76
Munawir Sadzali, Islam, h.1-2

Relasi Islam dan Negara | 13

Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan negara sebagai instrumen


dalam melestarikan dan mengembangkan agama.77
Teori simbiosis membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang
berkembang, lalu agama memberikan justifikasinya. Agama tak harus menjadi
dasar negara. Negara hanya menjadi wilayah yang mandiri. Intervensi agama
adalah dalam wilayah ketika negara dianggap telah menyimpang dari normanorma agama. Husein Muhammad menyebut paradigma simbiotik ini, di satu
pihak bersifat teologis, tetapi pada sisi lain bersifat pragmatik.78
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa
kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah
tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama merupakan dua entitas yang
berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku
dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja
diwarnai oleh hukum agama (syarah).79 Para tokoh yang mengusung paradigma
ini di antaranya Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, serta Muhammad Natsir dan Hasbi
Ash-Shiddieqy (Indonesia).
Berdasarkan tiga paradigma ini, Indonesia berada pada paradigma yang
ketiga, yaitu simbiotik. Faktanya, Indonesia tidak menjadikan Islam sebagai
agama negara dan tidak menjadikan syariah Islam sebagai sumber utama
pembuatan hukum. Juga, tidak menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan
sistem pemerintahan.
Sebuah negara memiliki ideologi politik yang dianut. Indonesia
menggunakan sistem demokrasi. 80 Demokrasi sebagaimana yang didefinisikan
oleh John Locke, seluruh kekuasaan yang secara alami terdapat dalam
masyarakat digunakan untuk membuat hukum dari waktu ke waktu, kemudian
memilih petugas untuk menjalankan hukum-hukum tersebut. 81 Para warga
negara memilih warga yang lain untuk mewakili mereka dalam mengikuti
pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam segala urusan pemerintahan.82
Dengan kata lain adalah menyerahkan kedaulatan dan hak membuat hukum
kepada rakyat yang memberikan perwakilan pada anggota parlemen (DPR).
Dalam sistem demokrasi, yang menjadi tolak ukur disahkannya sebuah hukum
adalah suara mayoritas.83 Dan yang jadi kelemahan dari sistem ini adalah adanya
pertentangan dan pertemuan pendapat dalam masyarakat yang didasarkan pada

77

Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam dalam Ulumul Quran Vol IV. Nomor 2 th 1993 h.6
78
Lihat Husein Muhammad dalam Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren ..., h.94
79
Muhammad al-Mubarak, Ara Ibn Taimiyah f al-Dawlah wa Mdza Tadkhuliha f
Majl al-Iqtidi (Bairut: Dr al-Fikr, tt) h.29
80
Demokrasi terdiri dari dua kata bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos/kratein. Demos
berarti rakyat, sedangkan kratos/kraten berarti kekuasaan atau berkuasa. Dapat diartikan bahwa
demokrasi adalah kekuasaan rakyat, goverment by people. Lihat... Miriam Budiarjo, Ilmu Politik
... h.105
81
John Locke, Second Treatise of Government (Cambridge: Hackett Publishing Company,
1980) h.52
82
Miriam Budiarjo, Ilmu Politik. ..., h.109
83
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan
Kosmopolitan. Pent. Damanhuri (Democracy and The Global Oerder From The Moderd State to
Cosmopolitan Govermance) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. I) h.10-11

Relasi Islam dan Negara | 14

kebenaran relatif bukan kebenaran mutlak, sehingga tidak memiliki pegangan dan
pedoman yang tegas.84
Indonesia memiliki tiga model demokrasi. 85 Pertama, Demokrasi Islam
yang didukung oleh Muhammad Natsir. Model ini berupaya menerima nilai-nilai
politik modern tanpa mengabaikan doktrin-doktrin Islam klasik. Islam sebagai
dasar negara yang sifatnya komprehensif dalam mengatur kehidupan manusia,
membumi, dan cocok untuk segala zaman dan tempat. Dengan karakter seperti ini,
Islam tidak dapat ditundukan di bawah sistem manapun. Karena itu, semua
ideologi yang datang dari luar Islam harus ditolak jika bertentangan dengan ajaran
Islam. Untuk menjaga agar aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku
dan berjalan semestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam
pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara.86
Dalam pandangan Natsir, Islam harus menjadi dasar negara karena dua
alasan, yaitu: Islam adalah agama lengkap dan sempurna yang memberikan
doktrin bersifat global tentang sosial politik dan secara sosiologis, Islam dianut
oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun tetap menjunjung tinggi toleransi
serta menghargai ajaran agama lain.87 Umat Islam yang mayoritas itu memerlukan
suatu landasan yang kokoh bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan
dijadikannya Islam sebagai dasar negara, diharapkan terciptanya cita-cita bersama
baldatun ayyibatun wa robbun ghafr.88
Gagasan Natsir ini masih terus diupayakan sampai hari ini. Meski tidak
disebutkan secara formal dalam undang-undang dasar, secara eksplisit terdapat
pasal-pasal yang mendukung legalisasi hukum Islam, diantaranya pasal 28 E ayat
1 dan Pasal 29. Namun melihat fakta di Indonesia saat ini, umat Islam masih
terkotak-kotakan secara ideologi meskipun menjadi mayoritas. Tidak semua umat
Islam Indonesia memiliki visi dan misi keislamanan yang sama. Sehingga, hal ini
semakin menyulitkan penerapan hukum Islam sebagai dasar negara.
Kedua, Demokrasi Agama yang didukung di antaranya oleh Soeharto89 dan
Amin Rais 90 . Eksponen model ini percaya bahwa Islam tidak secara khusus
menyuruh kaum Muslim untuk mendirikan tipe institusi politik tertentu. Yang
ditekankan Islam adalah mendirikan masyarakat yang sepenuhnya berkomitmen
pada prinsip-prinsip dasar agama seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.
Semua prinsip itu bisa saja terkandung di dalam sistem politik yang tidak secara
khusus dan formal menentukan Islam sebagai dasarnya.
Pondasi dasar model kedua adalah bahwa masyarakat politik haruslah
religius. Agama adalah unsur vital kehidupan komunal. Tanpa agama, negara
84

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2006, cet. I) h.49-50
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di
Indonesia. (Jakarta: Freedom Institute, 2011) h.21
86
Moch. Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) h.436-437
87
Mohammad Natsir, Islam Sebagai Ideologi (Jakarta: Pustaka Aida, 1959) h.166
88
Ibid., h.36
89
Model 2 muncul di era Soeharto ketika ideologi-ideologi politik pelan-pelan kehilangan
peran dalam konteks politik nasional. Kemunculannya sangat ditentukan oleh iklim politik
menjelang akhir 1960-an dan 20 tahun pertama kepemimpinan Soeharto. Lihat.... Ibid., h.18
90
Amien Rais (lahir 1944), salah satu pendukung Model Kedua. Baginya Pancasila itu
seperti karcis yang dipakai kaum Muslim untuk naik bus Indonesia. Tanpa karcis, Muslim
tidak bisa naik bus dan tertinggal. Pendukung Model kedua membenarkan Pancasila tidak berarti
mereka terpaksa menerima represi politik rezim Orde Baru. Lihat.... Ibid., h.21
85

Relasi Islam dan Negara | 15

akan dihancurkan oleh murka Tuhan. Model ini menerima Pancasila dan UUD
1945 dengan alasan bahwa negara harus secara eksplisit mendukung keberadaan
komunitas agama dan menolak ireligiositas (atau ateisme). Dengan komitmen
kuat pada nilai agama-agama, namun menyingkirkan jenis komunitas politik yang
didasarkan pada relativitas moral yang tercermin dalam model sekularisasi
Barat.91
Indonesia lebih mendekati model demokrasi ini. Dalam pasal 29 ayat 1
UUD 1945 Indonesia berdasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa, menandakan
Indonesia adalah negara beragama. Bukan negara tanpa agama. Indonesia pun
memiliki beberapa lembaga keagamaan, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia),
DGI (Dewan Gereja Indonesia), MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia),
PHDP (Parisada Hindu Dharma Pusat), dan WALUBI (Perwakilan Umat Budha
Indonesia) yang berfungsi sebagai pedoman manusia untuk berhubungan dengan
Tuhannya, memberikan dasar berperilaku dalam masyarakatnya, sebagai tempat
memberikan bantuan terhadap pencarian identitas moral, memberikan dan
menjelaskan mengenai tafsir yang terjadi di lingkungan alam maupun keadaan
sosial, dan meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak bergaul dengan baik.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah lembaga-lembaga itu tidak
memiliki kekuatan untuk ikut mengatur negara dan pemerintahan. Pemerintah
seringkali mengabaikan anjuran dan saran dari lembaga-lembaga tersebut. Hal ini
mengindikasikan Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara beragama.
Ketiga, Demokrasi Liberal yang menegaskan bahwa urusan politik harus
dibahas dan dilaksanakan di luar wilayah agama. Di antara pendukung model ini
adalah Nurcholis Madjid92 dan Abdurahman Wahid93. Argumennya adalah bahwa
Islam pertama-tama adalah agama moral. Eksponen model ini menganggap
ucapan Nabi kalian lebih tahu mengenai urusan dunia (antum alamu bi umri
dunykum) sebagai rujukan yang kokoh bagi proyek sekularisasi Islam. Mereka
meyakini bahwa Hadits itu secara eksplisit memberikan nasehat kepada umat
Islam untuk membedakan urusan dunia dengan urusan akhirat. Para pendukung
pada umumnya adalah tokoh Islam yang sangat percaya bahwa agama adalah
sumber nilai-nilai etis transendental bagi kehidupan manusia.
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa Islam pada hakikatnya sejalan dengan
semangat kemanusiaan universal. Namun, pada pelaksanaan ajaran tersebut harus
disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio
kultural masyarakat yang bersangkutan. Konseptualisasi ajaran ini terkait dengan
ruang dan waktu. 94 Baginya negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi,
yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan Islam adalah aspek
91

Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia.... Hal 21


Sejak 1970- an, Nurcholish menyerukan pentingnya sekularisasi bagi kehidupan politik
Muslim di Indonesia. Dia berargumen bahwa sekularisasi politik tidak mengancam Islam,
melainkan menyelamatkan agama dari kepentingan politik sementara dan duniawi. Lihat.... Ibid.,
h.22
93
Abdurahman Wahid bependapat bahwa Negara harus dikelola secara rasional dan
sekular. Fungsi utama agama adalah untuk mencerahkan kehidupan rakyat dengan menyediakan
etika sosial. Dia mengajak kaum Muslim agar mengadopsi pengalaman demokrasi Barat, karena
dengan menerima dan belajar dari Barat, Indonesia bisa membangun sistem pemerintahan yang
lebih solid yang memungkinkan proses politik negeri itu berjalan baik. Lihat.... Ibid., h.23
94
Ahmad A. Sofyan, Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 2003, cet. I) h.84-88
92

Relasi Islam dan Negara | 16

kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Antara Islam dan
negara memang tidak bisa dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus
dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya.95
Nurcholish sangat terobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yang hakiki
bukan semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak
berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan, tetapi Islam sebagai
pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang mampu
melahirkan jiwa yang hanf, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme
masyarakat. Yang pada akhirnya, negara tidak memberlakukan sistem teokrasi
dan juga tidak negara sekular.96
Demokrasi liberal merupakan ideologi politik negara sekuler. artinya para
pendukung demokrasi ini, berupaya menjadikan Indonesia negara sekuler.
Padahal berdasarkan fakta, negara sekuler memiliki banyak problem terutama
masalah kehidupan masyarakatnya. Alih-alih menjadi negara maju dengan
teknologi dan pembangunan besar-besar di bidang industri, negara sekuler
semakin merosot moral dan mental masyarakatnya. Maka tidak heran, jika
ditemukan sebuha negara yang tinggi perekonomiannya, tinggi pula tingkat
kriminal dan pelecehan seksualnya.
Hubungan antara negara dengan agama di Indonesia mencerminkan upaya
untuk terus mencari kompromi atau jalan tengah di antara berbagai kepentingan
ideologis.97 Pancasila akhirnya diterima sebagai jalan kompromi antara kalangan
nasionalis-agamis, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, dengan
kalangan nasionalis-sekular. Di situ negara Indonesia dibayangkan sebagai, dalam
istilah Mukti Ali yang terkenal, bukanlah negara teokratis, dan juga bukan
negara sekular.98 Faktanya di Indonesia, umat Islam masih dapat menjalankan
kebebasan menjalankan syariat Islam, bahkan masih dibebaskan untuk memilih
dan menyatakan sikap sesuai hati nuraninya.99
Umat Islam bebas memilih pendidikan, perekonomian, kesehatan maupun
mode pakaian yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam bidang pendidikan, umat
Islam Indonesia dapat memilih pendidikan Islam ataupun pendidikan umum.
Dalam bidang ekonomi, dapat memilih praktek perekonomian Islam atau
konvensional ribawi. Namun, lain hal dalam bidang hukum pidana, umat Islam
tidak dapat memilih antara hukum Konstitusi atau hukum Islam. Ketiadaan
pilihan hukum Islam dalam perundang-undangan pidana menjadikan umat Islam
tidak dapat menyempurnakan syariat.100 Kesempurnaan pelaksanaan syariat Islam
tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya sokongan negara.101
95

Budhy Munawwar Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam (Jakarta: Democracy Project,


2011, Edisi Digital) h.357
96
Ibid., h.358-367
97
Budhy Munawar Rahman, Membela Kebebasan Beragama. ....., h.xii
98
Ibid., h.xiii
99
Dilindungi UUD 1945 Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal28E Ayat 1: Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
100
Sesuai pasal 29 ayat 2 seharusnya negara pemerintah- memberi ruang pilihan hukum
Islam bagi umat Islam dalam menyelesaikan tindakan pidana. Misalnya: dalam kasus
pembunuhan, dalam Islam terdapat Qishash yang lebih adil dan ahsan. Dalam kasus pernikahan,
salah satu syarat menikah adalah baligh. Namun negara membatasi usia minimal menikah bagi

Relasi Islam dan Negara | 17

Dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara. Nilai-nilai
universal Islam tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara.102
Negara hanya merupakan instrumen, bukan tujuan. Oleh sebab itu, diperlukan
pedoman untuk mengatur negara supaya negara menjadi kuat dan subur serta
menjadi media yang baik untuk mencapai tujuan hidup keselamatan dan
kesejahteraan- manusia yang terhimpun dalam negara tersebut.103
Banyak persoalan yang harus diurai lebih jauh mengenai kompatibilitas dan
tidak kompatibelnya Islam dengan demokrasi. Tetapi, penjajaran Islam dengan
demokrasi secara serta merta adalah merupakan cara pandang yang tidak tepat dan
keliru. Karena Islam merupakan seperangkat ketentuan dan aturan yang terkait
dengan otoritas Allah Swt secara mutlak.104
Melihat fakta saat ini, Indonesia belum menyelesaikan problem kenegaraan
yang cukup mendasar yaitu menyatukan pemikiran masyarakatnya dalam satu visi
dan misi membangun sebuah bangsa. Meskipun, dalam UUD 1945 disebutkan
bahwa Indonesa adalah negara kesatuan, namun nampaknya Indonesia masih
menjadi negara rebutan. Satu kubu ingin menjadikan negara Indonesia menjadi
negara sekuler dengan menjauhkan urusan publik dan politik dari agama. Di lain
kubu, menginginkan Indonesia menjadi bagian dari khilfah islmiyah, serta
mengharamkan demokrasi yang merupakan sistem Barat.
Meski demikan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia memiliki
ikatan yang sangat kuat dengan Islam. Dengan fakta bahwa mayoritas penduduk
Indonesia saat ini adalah muslim, kata-kata kunci dalam undang-undang banyak
menggunakan istilah Islam, dan kerinduaan masyarakat Indonesia akan
kesejahteraan dan kebahagiaan, maka penerapan syariat Islam harus terus
disempurnakan dengan diberlakukannya hukum Islam sebagai hukum positif di
Indonesia.
Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 menjadi dasar hukum di
Indonesia. Menjadi justifikasi kuatnya relasi antara Islam dan Indonesia.
Berdasarkan hal ini, sudah sepatunya umat Islam yang menjadi warga negara
Indonesia berislam dengan kffah, dan bernegara dengan baik. Mengamalkan
setiap aturan dalam Islam (syariat), dan mengikuti setiap peraturan negara
selama tidak bertentangan dengan syariat-. Meski begitu, dalam berislam dan
bernegara, umat Islam selalu dihadapkan dengan tantangan pemikiran yang
berusaha memisahkan Islam dan Negara (sekularisasi). Hal ini perlu dicounter
oleh umat Islam dengan memiliki pandangan alam Islam yang benar (Islamic
Worldview). Pandangan alam ini tidak boleh berubah mengikut zaman dan
kondisi.
perempuan adalah 18 tahun. Sehingga negara bisa mempidanakan seorang muslim yang menikahi
gadis berusia di bawah 18 tahun meskipun telah sah menurut Islam.
101
Ibn Taimiyyah, Al-Siysah al-Syariyyah f Ilh al-Rayi wa al- Riyyah (Beirut: Dr
al- Aflaq al-Jaddah, 1988) h.138
102
Yusril Ihza Mahendra, Modernisasi Islam dan Demokrasi: Padangan Politik
Mohammad Natsir. Islamika No. 3. Januari-Maret 1994.
103
Moch. Natsir, Capita Selecta. ....., h.433
104
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam(Jakarta: Bulan Bintang,
1991) h.126

Relasi Islam dan Negara | 18

Bagi orang Islam yang taat menjalankan ajaran agamanya dan yang sadar
akan tugas dan kewajiban keagamaannya, maka bisa dipastikan menjadikan
syariat atau ajaran Islam sebagai sumber utama dan satu-satunya kebenaran serta
tata nilai hidupnya, baik secara pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dilandasi keyakinan bahwa tata nilai yang berasal dari Tuhan mutlak
kebenarannya untuk mahluk-Nya, maka mereka akan berusaha sekuat tenaga agar
tata nilai kehidupan dari Allah ini menjadi tata nilai kehidupan manusia, termasuk
dalam tataran hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam hal loyalitas, seorang muslim harus meletakkan kecintaan dan
loyalitasnya pada Allah swt. Dalam kondisi apapun, meskipun bertentangan
dengan aturan negara. Artinya, kepentingan (urusan) Islam harus didahulukan dari
kepentingan negara. Karena seorang muslim terikat dengan tanggungjawabnya di
akhirat kelak. Meski begitu, sebagai warga negara mestilah menciptakan
keteraturan negara. Bersama warga lainnya bergotong royong membangun negara,
Sehingga Indonesia menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur.
Wallhu alam bil-owb.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara
Wacana 1999)
Abd al-Raziq, Ali. Al-Islm wa Ul al-Hukmi (Dr al-Hill, 1925, cet. I)
A. Sofyan, Ahmad. Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 2003, cet. I)
Abdullah, Fatimah. Issues in Usul Al Din (Malaysia: IIUM Press 2009)
Alatas, Hussein. The Democracy of Islam (Bandung: W. Van Hoeve Ltd.-The
Hague And Bandung, 1956)
Al-Ifriqi, Ibn Mandzur. Lisn al-Arab Juz 15 (Kuwait: Dr al-Nawadir, 2010)
Al-Khudrawi, Deeb. Qams al-Alfa al-Islmiyah (Beirut: Al-Yamma, 2009)
Al-Masiry, Abdul Wahab. Dirst Marifiyah f al-Harah al-Gharbiyah.
(Maktabah al-Syurq al-Dawliyah, 2006)
Al-Maududi, Abul Ala. Khilfah dan Kerajaan. Terj. Muhammad Al-Baqir
(Bandung : Mizan, 1996)
Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkm al-Sulniyyah wa al-Wilyah al-Dniyyah, Terj.
Abdul Hayyie dan Kamaluddin Nurdin Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Takaran Islam(Jakarta: GIP, 2000, I)
Al-Mubarak, Muhammad. Ara Ibn Taimiyah f al-Dawlah wa Mdza Tadakhuliha
f Majl al-Iqtid (Bairut: Darul-Fikr)
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur Rahman. Ar-Rahq al-Maktum (Jakarta:
Rabbani Press, 2010)
Al-Rassi, Majeed S.. Who Deverse To Be Worshipped (Saudi Arabia: Darussalam
Publishers, 2014)
Arief, Abd. Salam. Relasi Agama dan Negara Dalam Perpektif Islam, Jurnal
Hermeneia. Vol II. No II Juli-Desember 2003
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal: Dialog
Interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal. (Jakarta: GIP, 2003)
Arnold, Sir Thomas. The Caliphate (London: Oxford University Press, 1924)

Relasi Islam dan Negara | 19

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam (Jakarta: Bulan


Bintang, 1991)
Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi
di Indonesia. (Jakarta: Freedom Institute, 2011)
At-Thahir bin Asyur, Muhammad. Tafsr al-Tahrr wa al-Tanwr Juz 3 (Tunisia:
Al-Dr Al-Tunisiyah Lin-Nasyr, 2008)
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia, 2008)
Gibb, H.A.R. Mohammedanism: An Historical Survey (New York: Oxford
University Press, 1962, cet.II)
Giddens, Anthony. The Nation-State and Violence. (California: University of
Californoa Press, 2008)
Held, David. Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan
Kosmopolitan. Pent. Damanhuri (Democracy and The Global Oerder From
The Moderd State to Cosmopolitan Govermance). (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004, cet. I)
Ibn Khaldun, Abdurrahman. Muqoddimah Ibn Khaldn. (Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 2003, cet. I)
Imarah, Muhammad. Al-Islm wa arurat al-Taghyr (Kuwait: Majalah Arabi. 15
Juli 1997, cet. I)
Ihza Mahendra, Yusril. Modernisasi Islam dan Demokrasi: Padangan Politik
Mohammad Natsir. (Islamika No. 3. Januari-Maret 1994)
Jazuli, Ahzami Samiun, Hijrah dalam Pandangan Al-Qur'an. (Jakarta: GIP, 2006)
Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan
Fundamentalis. (Magelang: Indonesiatera, 2001, cet. I)
Kansil, C.S.T. Ilmu Negara Umum dan Indonesia. (Jakarta: Pradya Paramita,
2001)
Khalil al-Qathan, Manna. al-Hadts wa al-Tsaqfah al-Islmiyah (Riyadh:
Kementrian Pendidikan Kerajaan Arab Saudi, 1401/1981)
Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa (Jakarta: Democracy Project, 2012,
Edisi Digital)
Locke, John. Second Treatise of Government. (Cambridge: Hackett Publishing
Company, 1980)
Macdonald, Duncan B. Developmet of Muslim Theology, Jurisprudence and
Constitutional Theory (New York: Charles Scribners Sons, 1903)
Majma al-Lughah al-Arobiyah. Al-Mujam al-Was (Kairo: Maktabah al-Syurq
al-Dawliyah, 2008, cet. IV)
Maritain, Jacques. Man and The State (Chicago: University of Chicago, 1998)
Masdar, Umar. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Masudi, Masdar Farid. Syarah UUD 1945 Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka
Alvabert, 2013, cet. III)
MPR-RI. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Sekretariat
Jendral MPR RI- 6 Agustus 2012)
Muammar, Khalif. Dewesternisasi dan Desekularisasi Politik Kontemporer.
Majalah Islamia. 2009. Volume V. Nomor 2.
. Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi. Majalah
Islamia. 2005. Tahun II. Nomor 6.

Relasi Islam dan Negara | 20

Muhammad Al Ghazali, Abu Hamid. Al-Iqtid f al-I'tiqd (Beirut: Dr alKutaiba, 2003)


Munawar Rahman, Budhy. Membela Kebebasan Beragama: Perakapan Tentang
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Democracy Project.
2011, Edisi Digital)
. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan
Pluralisme. Paradigma Baru Islam di Indonesia. (Jakarta: Democracy
Project, 2011, Edisi Digital)
Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. Islam and Secularism. (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993)
. Prolegomena To The Metaphysics Of Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC 1995)
Natsir, Mohammad. Capita Selecta. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
. Islam Sebagai Ideologi. (Jakarta: Pustaka Aida, 1959)
Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2006, cet. I)
Oppenheimer, Franz. The State: its history and developmnet viewed sosiological.
(USA: Indianapolis, 1998)
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Agustus 2008 No.19/PUUVI/2008
tentang Tafsir Resmi UUD 1945 soal hubungan antara Negara dan agama
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Qardhawi, Yusuf. Al-Dn wa al-Siysah (Kairo: Dr al-Syurq, 2007)
Quwaysi, Hamid Abdul-Majid. Al-Wazfah al-Aqdiyah lil-Dawlah al-Islmiyah
(Kairo: Dr al-Tawz wan-Nasr al-Islmiyah, 1993)
Ramadhan Al-Buthy, Said. Sirah Nabawiyah. (Jakarta: Rabbani Press, 2001)
Robson, James. Islam as a Term Journal : The Muslim World Vol. 44. April
1954. (Hartford: Hartford Seminary Foundation, 1954)
Rosyada, Dede et. All, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani.
(Jakarta: Prenada Media, 2000)
Said Abdullah bin Umar al-Baidhowi, Nashiruddin Abi. Anwr al-Tanzl wa
Asrr al-Tawl: Tafsr al-Baiwi (Dr Kutub al-Ilmiyyah, 2011)
Samidjo. Ilmu Negara (Bandung: Armico, 1986)
Seligman, Edwin R.A. et.all. Encyclopaedia of the Social Sciences Vol.VIII
(London: Macmillan Co)
Smith, Donal Eugene. Religion and Political Development (Boston: Little, Brown
and Company, 1978)
Soehino. Ilmu Negara. (Yogyakarta: Liberty, 1980)
Suaedy, Ahmad (ed.). Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, (Yogyakarta:
LKiS dan P3M, 2000)
Syafii Maarif, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. (Jakarta:
Teraju, 2002)
Syamsuddin, Din. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran
Politik Islam dalam Ulumul Quran Vol IV. Nomor 2 th 1993
Suharto, Ugi. Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Yusuf Qardhawi.
Majalah Islamia. 2005. Tahun II. Nomor IV
Taimiyyah, Ibn. Al-Siysah al-Syariyyah f Ilh al-Rayi wa al-Raiyyah.
(Beirut: Dr al-Aflq al-Jaddah, 1988)
Tim Kajian Ilmiah Abituren 2007. Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi
Syariat dalam Tatanan Kenegaraan (Kediri, Lirboyo, 2007)

Relasi Islam dan Negara | 21

Wan Teh, Wan Zahidi. Pelaksanaan Siyasah Syariyyah dalam Pentadbiran


Kerajaan (Malaysia: Hazrah Enterprize, 2002, cet. I)
Zaidan, Abdul Karim. Ul al-Dawah (Beirut: Muassasah ar-Rislah, 2002)
https://pdf.mpr.go.id/data/17%20TAP%20MPR%20No%20VII-MPR-2001_205232_2012.pdf. Diunduh pada 08/12/2014. Pkl. 11.26
http://www.wonderslist.com/10-countries-highest-rape-crime/ diunggah tgl
10/01/2015 pkl. 08.02
http://www.nationmaster.com/country-info/stats/Health/Abortions diunggah tgl
10/01/2015 pkl. 08.02
http://www.pewforum.org/2013/04/30/the-worlds-muslims-religion-politicssociety-beliefs-about-sharia/ diunggah tgl. 10/10/2015 pkl. 08.25

Relasi Islam dan Negara | 22

Anda mungkin juga menyukai