Anda di halaman 1dari 2

Mendambakan Pemimpin Mahasiswa Berkualitas

Unhas memiliki banyak lembaga kemahasiswaan, namun para pemimpinnya belum


memahami arti kepemimpinan sesungguhnya.
Belakangan ini, isu kelembagaan kian hangat menjadi bahan perbincangan di Unhas.
Dimulai dari animo berlembaga yang semakin surut, akibatnya kader dari tahun ke tahun
semakin berkurang. Ditambah lagi kekangan dan intervensi dari pihak birokrat yang semakin
membuat lemahnya kelembagaan mahasiswa di Unhas.
Begitu pula dengan pemimpin para mahasiswa. Dr Muhammad Tamar MPsi seorang dosen
Psikologi telah mengadakan penelitian terkait model kepemimpinan mahasiswa di Unhas.
Mereka tak mengetahui kepemimpinan yang dia jalani sekarang dan nanti, mereka aktif namun
tak mengetahui alasan untuk apa aktif, serta tidak relevan dengan pertumbuhan karirnya,
katanya, Selasa (30/11).
Dengan judul penelitian Metode Pemberdayaan Kepemimpinan Mahasiswa Berbasis
Leadership Identity di Universitas Hasanuddin. Tamar melihat pemimpin mahasiswa Unhas saat
ini belum mengetahui arti dari kepemimpinan mereka.
Penelitian ini menggunakan teori Leadership Identity (LI). Teori ini pertama kali
dikemukan oleh Susan Komives, seorang pakar pendidikan di Amerika Serikat. Dijelaskan cara
seorang individu dalam mengeksplorasi dan mengevaluasi potensi serta nilai kepemimpinan
dalam dirinya. Kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari secara objektif.
Sebanyak 32 orang fungsionaris dan 132 orang responden dari berbagai lembaga
kemahasiswaan di Unhas menjadi objek dalam penelitian ini. Tahap penelitian ini melalui
studi pendahuluan dan depth interview serta focus grup discussion dan kuisioner.
Hasilnya menunjukkan bahwa motivasi mahasiswa untuk menjadi fungsionaris datang dari
dirinya sendiri. Fungsioner juga memiliki niat berpartisipasi dalam organisasi. Namun hal yang
dihadapi adalah motivasi dan niat tidak diiringi dengan pendewasaan diri.
Umumnya proses kepemimpinan mahasiswa Unhas dilakukan melalui proses
pengaderan. Biasanya dilalui sesuai dengan standar masing-masing organisasi. Proses
inilah yang menjadikan mahasiswa seakan menjadi robot, sehingga niat dan motivasi
awalnya baik menghilang.
Hal unik pun ditemukan pada penelitian ini ialah kebanyakan mahasiswa Unhas melakukan
konsultasi kepada seniornya, bukan pada dosen pembina mahasiswa. Dalam teori psikologi hal
ini perkembangan mahasiswa lebih percaya pada teman dari pada orang tua, yang menjadi bukti
penunjukkan eksistensi sebagai remaja dengan membangkang pada otoritas, sehingga
pendamping harus membantu mahasiswa menemukan setiap persoalan yang dihadapi dalam
setiap keputusan yang diambil.
Pada akhirnya proses perkembangan LI belum berkembang pada mahasiswa Unhas. Hal ini
terjadi kesenjangan jarak antara mahasiswa dan pihak birokrat serta pembina kampus. Harus ada
keterbukaan selama pengaderan yang merujuk pada buku putih yang dianut oleh tiap organisasi.
Sebenarnya faktor utama yang memengaruhi LI fungsionaris mahasiswa adalah persepsi diri.
Yakni faktor yang mempengaruhi kepemimpinan, perkembangan diri, lingkup pengaruh,
interaksi dengan orang lain, dan makna kepemimpinan.
Kedepannya Ketua Program Studi Psikologi ini berharap teori ini dapat diterapkan pada
mahasiswa Unhas. Saya berencana ingin mengembangan model pemberdayaan mahasiswa,

berdasarkan teori ini. Jika pimpinan Unhas meminta saya untu mengembangkannya, karena
mahasiswa belum mengetahui arti pememipin sesungguhnya, harap Tamar (30/11).
Akhirnya muncul pertanyaan besar dari penelitian ini. Apakah kader yang semakin krisis
dari lembaga mahasiswa di Unhas bisa disebabkan dari pemimpinnya? Bukankah sebuah
lembaga ditentukan dari seberapa besar pemimpin membawah pengaruh untuk lembaga yang
diembannya.
Wadi Opsima

Anda mungkin juga menyukai