Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan dalam letak alat-alat genital sudah dikenal sejak 2000 tahun SM.
Catatan-catatan yang ditemukan di Mesir mengenai Ratu Cleopatra menyatakan
prolapsus genitalis merupakan satu hal yang gaib pada wanita dan menganjurkan
pengobatannya dengan penyiraman larutan Adstringensia. Dalam hal ilmu
kedokteran Hindu kuno menurut Chakraberty, dijumpai keterangan-keterangan
mengenai kelainan dalam letak alat genital, dipakai istilah Mahati untuk wanita
yang lebar dengan sistokel, rektokel dan laserasi perineum.[1]
Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan
turun dan peranakan terbalik.Prolapsus uteri adalah keadaan yang sangat jarang
terjadi. Frekuensi kejadian prolapsus uteri sendri di Indonesia hanya 1,5% saja.
Kebanyakan terjadi pada usia tua dan pada usia muda. Hal ini disebabkan oleh
kelemahan dari otot dan struktur fascia pada usia yang lebih lanjut. [1]
Menurut penelitian yang dilakukan WHO tentang pola formasi keluarga dan
kesehatan ditemukan kejadian prolapsus uteri lebih tinggi pada wanita yang
mempunyai anak lebih dari tujuh daripada wanita yang mempunyai satu atau dua
anak. Prolapsus uteri lebih berpengaruh pada perempuan di negara-negara
berkembang yang perkawinan dan kelahiran anaknya dimulai pada usia muda dan
saat fertilitasnya masih tinggi. Peneliti WHO menemukan bahwa laporan kasus
prolapsus uteri jumlahnya jauh lebih rendah daripada kasus-kasus yang dapat
dideteksi dalam pemeriksaan medik.[2] Penentuan letak uterus normal dan kelainan

dalam letak alat genital bertambah penting artinya karena diagnosis yang tepat
perlu sekali guna penatalaksanaan yang baik sehingga tidak timbul kembali
penyulit pasca operasi di kemudian hari.[3]
Frekuensi prolapsus uteri di beberapa Negara bagian berlainan, seperti
dilaporkan di klinik dGynecologie et Obstetrique Geneva insidensinya 5,7% pada
periode yang sama di Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India,
dan Jepang kejadiannya tinggi sedangkan pada orang Negro Amerika dan
Indonesia kurang. Pada suku Bantu di Afrika Selatan jarang sekali terjadi.
Penyebabnya terutama adalah melahirkan dan pekerjaan yang menyebabkan
tekanan intraabdominal meningkat serta kelemahan ligamentum-ligamentum
karena hormonal pada usia lanjut. Trauma persalinan dan beratnya uterus
mungkin sebagai penyebab terjadinya kejadian prolapsus uteri.Di Indonesia
prolapsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita
tua dan wanita dengan pekerjaan berat. Djafar Siddik pada penyelidikan selam 2
tahun (1969-1970) memperoleh 63 kasus prolapsus uteri dari 5.372 kasus
ginekologik di Rumah Sakit Dr. Pirngadi di Medan, terbanyak grande multipara
dalam masa menopause dan 31,74% pada wanita petani. Dari 63 kasus tersebut,
69% berumur 40 tahun.Jarang sekali prolapsus uteri dapat ditemukan pada
seorang nullipara.[3]

Anda mungkin juga menyukai