Anda di halaman 1dari 10

CHAPTER III

KEBEBASAN DAN DASAR-DASAR KEADILAN

Ada tiga diversitas penyebab kemiskinan, diilustrasikan melalui contoh kasus


keadaan Dinu, Bishano dan Rogini:
1. Dinu mengalami kemiskinan yang dinilai dari kondisi sebenarnya di lingkungan dia
berada (termiskin di lingkungannya) kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi
yang mengutamakan pendapatan (income) dianut oleh kaum egalitarian dengan
prinsipnya justice as equality;
2. Bishano baru mengalami kemiskinan, sehingga menyebabkan ia paling tertekan
dan paling tidak bahagia kemiskinan dipandang dari sisi etika dianut oleh
kaum utilitarian klasik yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan
(pleasure and happiness);
3. Rogini mengalami kemiskinan karena sakit yang diderita (kemiskinan karena faktor
fisik individu) kemiskinan dipandang dari sisi kualitas hidup.
Setidaknya ada dua pokok pembahasan utama yang diangkat oleh Sen dalam Chapter
III, yaitu:
1. Pertanyaan umum mengenai pentingnya basis informasi sebagai dasar untuk
menilai dan mengevaluasi sebuah keputusan; dan
2. Isu-isu strategis tentang kecukupan basis informasi dari teori-teori standar sosialetika dan keadilan, yang meliputi: utilitarianism, libertarianism, dan teori
keadilan Rawls.
Baik teori (pendekatan) utilitarianism, libertarianism, maupun teori keadilan Rawls
digunakan dengan berdasarkan pada basis informasi yang tersedia, baik informasi
dari dalam (inclusion information) maupun informasi dari luar (exclusion
information). Ketiganya tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan secara mutlak
untuk menghadapi sebuah persoalan yang di suatu wilayah. Keberhasilan atau
kegagalan sebuah pendekatan bergantung pada jangkauan dan keterbatasan basis
informasi yang tersedia.

Tiga teori (pendekatan) sosial-etika dan keadilan, yaitu:


1. Utilitarianism
Berasal dari akar kata dalam bahasa Latin utilitas (manfaat), pendekatan
utilitarianism secara prinsip menekankan pada hasil akhir sebuah keputusan atau

kebijakan yang memberikan manfaat, yang diindikasikan melalui terciptanya


kesenangan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang. Secara terminologi,
utilitarianism merupakan suatu paham sosial-etika yang berpendapat bahwa
perbuatan baik adalah perbuatan yang bermanfaat, menguntungkan, dan
mendatangkan kesenangan. Sebaliknya, perbuatan buruk adalah perbuatan yang
tidak bermanfaat, merugikan, dan mendatangkan penderitaan. Utilitarianism
bukan sekadar teori (pendekatan) sosial-etika yang berisi aturan-aturan
(konstitusi) yang hanya mengajarkan perintah dan larangan kepada warganya.
Akan tetapi, utilitarianism lebih menekankan pada pemberian penjelasan logis
mengenai manfaat dan konsekuensi yang dihasilkan dari aturan-aturan tersebut.
Tokoh pencetus utilitarianism adalah Jeremy Bentham (1748-1832), melalui
karyanya An Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1789,
republished pada 1907).
Ada dua aliran utilitarianism, yaitu:
a. Aliran klasik: menekankan pada tercapainya kesenangan, kebahagiaan, dan
kepuasan, bagi sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness theory).
Manusia akan berbuat sedemikian rupa sehingga mendapatkan kebahagiaan
yang sebanyak-banyaknya dan menekan penderitaan serendah-rendahnya;
b. Aliran modern: merevisi aliran klasik, di mana kesenangan dan kebahagiaan
tidak menjadi satu-satunya tolok ukur, tetapi juga mempertimbangkan
pemenuhan hasrat dan pilihan rasional perilaku individu berdasarkan
pengetahuan dan informasi yang dimilikinya.
Komponen utilitarianism ada tiga, yaitu:
a. Konsekuensialism: semua pilihan keputusan harus dinilai dari konsekuensi
yang akan ditimbulkan, apakah sunguh-sungguh terbukti akan mendatangkan
manfaat berupa kesenangan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang
atau tidak.Sebagai ilustrasi, seseorang yang meminum minuman keras tidak
dapat dilarang begitu saja tanpa adanya penjelasan logis mengenai
konsekuensi di balik larangan tersebut. Apabila kemudian terbukti bahwa
meminum minuman keras dapat mendatangkan konsekuensi positif berupa
kesenangan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang, maka
perbuatan tersebut tidak boleh dilarang, tetapi justru malah dianjurkan;
b. Welfarism: sebuah keputusan yang diambil semata-mata didasarkan pada
manfaat kesejahteraan yang dirasakan di permukaan oleh masyarakat,
tanpa memedulikan proses atau peristiwa yang terjadi di baliknya, seperti
adanya perampasan hak dan kebebasan individu. Sebagai ilustrasi, apabila
suatu wilayah berhasil mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka

mereka dianggap berhasil menciptakan kebahagiaan bagi semua warganya,


tanpa memedulikan apakah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut
terjadi perampasan hak-hak atau kebebasan individu terhadap sebagian
warganya;
c. Sum-ranking: sebuah keputusan atau kebijakan yang dihasilkan harus mampu
mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan bagi sebanyak-banyaknya orang
(mengutamakan jangkauan), tanpa memperhatikan distribusi kebahagiaan itu
sendiri. Sebagai ilustrasi, demi untuk mendatangkan manfaat atau
keuntungan yang lebih besar bagi mayoritas pengusaha dan masyarakat, maka
pemerintah dibenarkan untuk menggusur rumah dan tanah masyarakat
minoritas untuk pembangunan sebuah mall.
Kelebihan utilitarianism di antaranya adalah:
a. keputusan yang dibuat selalu berorientasi pada hasil atau konsekuensi (asas
kemanfaatan) bagi tatanan kehidupan sosial, sehingga tindakan yang
dilakukan pun dianggap rasional;
b. memberikan atensi (perhatian) pada terwujudnya kesejahteraan rakyat ketika
memutuskan sebuah tatanan kehidupan sosial beserta hasil-hasilnya.
Sedangkan kelemahan utilitarianism meliputi:
a. pengabaian distribusi utilitas: utilitarianism hanya mementingkan jumlah
kuantitas masyarakat penerima utilitas (manfaat), tanpa memperhatikan
sebaran (distribusi)-nya, sehingga kelompok minoritas akan terpinggirkan oleh
kaum mayoritas dengan alasan kebaikan yang lebih besar;
b. mengabaikan hak-hak individu dan hal-hal pribadi lain yang tidak
mendatangkan manfaat bagi kebahagiaan umum. Mereka sangat membatasi
penggunaan hak-hak dan properti pribadi demi untuk mencapai hasil (tujuan)
kebahagiaan orang banyak, karena mereka percaya bahwa penggunaan hakhak dan properti pribadi yang tidak dibatasi dapat membawa masyarakat
banyak jatuh pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkan, seperti kesakitan,
disabilitas, dan ketidakberuntungan sosial-ekonomi;
c. utilitas tidak dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat
kesejahteraan antar individu karena lebih menitikberatkan pada kondisi
mental (kesenangan dan kebahagiaan) dan perilaku adaptif seseorang. Bagi
sebagian masyarakat marjinal, seperti masyarakat kelas bawah, masyarakat
tradisional yang hidup dalam ketidakpastian, para buruh yang bekerja secara
overload, yang mereka butuhkan bukan hanya sekadar manfaat (kebahagiaan)
saja, melainkan juga beberapa kondisi sosial-ekonomi, seperti pendidikan
dasar, layanan kesehatan dasar, dan keamanan bekerja yang sangat penting.

2. Teori Keadilan Rawls dan Prioritas Kebebasan


Tokoh pencetusnya adalah John Rawls (1921-2002) melalui karyanya A Theory of
Justice (1971).
Cara berpikir Rawls dikenal dengan istilah liberal-egalitarian of social justice.
Menurut Rawls, keadilan adalah kebaikan utama dari hadirnya institusi-institusi
sosial. Akan tetapi, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak boleh
mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan dari masing-masing orang yang
telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Pokok-pokok
pemikiran Rawls di antaranya:
a. keadilan adalah kejujuran (justice as fairness). Rawls berusaha
mempertemukan hak-hak dan karakter masing-masing individu yang berbedabeda untuk dilebur menjadi satu demi terpenuhinya kebutuhan bersama
dalam kehidupan sosial;
b. selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk
terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya
konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Orangorang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui
konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan;
c. posisi asli (original position). Setiap orang di dalam masyarakat berada pada
situasi yang sama dan setara, sehingga tidak ada salah satu pihak tertentu
yang memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan pihak lainnya. Pada keadaan
ini, setiap pihak dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lain secara
seimbang;
d. prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle). Setiap orang memiliki
kebebasan dasar yang sama. Kebebasan dasar yang dimaksud meliputi:
kemerdekaan berpolitik, kebebasan berpendapat dan mengemukakan
ekspresi, kebebasan personal, kebebasan untuk memiliki kekayaan, serta
kebebasan dari tindakan sewenang-wenang;
e. prinsip ketidaksamaan (inequality principle), meliputi:
(i)
prinsip perbedaan (difference principle), yaitu ketidaksamaan sosial dan
ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh manfaat sebesarbesarnya bagi anggota masyarakat yang memiliki ketidakberuntungan
(ii)

paling tinggi;
prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle), yaitu
semua jabatan dan posisi di masyarakat harus dibuka bagi semua orang
dalam keadaan di mana adanya persamaan kesempatan yang adil.

3. Libertarianism Robert Nozick

Teori ini mengkritisi konsep egalitarian Rawls. Bagi kaum libertarianism,


kesetaraan pendapatan atau properti dengan cara mengambil dari si kaya untuk
ditransfer kepada si miskin bukanlah merupakan sebuah keadilan (kontraegaliter). Setiap orang berhak atas kebebasannya masing-masing, yang dalam hal
ini lebih diprioritaskan daripada hak-hak dan nilai-nilai lain. Satu-satunya
distribusi yang adil adalah distribusi yang ditentukan dari pilihan individu masingmasing. Nozick juga memberikan prioritas lebih terhadap kebebasan (liberty)
yang dimiliki setiap individu untuk menjalankan kehidupannya.
Sen mengkritik ketiga pendekatan di atas, yang menurutnya hanya mengedepankan
satu variabel tertentu saja secara dominan untuk merepresentasikan kesejahteraan
di antara individu dengan segala kompleksitas dan diversitasnya. Utilitarian hanya
mengedepankan variabel kebahagiaan atau kesenangan. Rawls sebagai penganut
egalitarian hanya mengedepankan variabel kesetaraan pendapatan (income
equality). Sedangkan libertarianism hanya berfokus pada variabel kebebasan individu
(liberty).
Utilitas, Pendapatan Riil, dan Perbandingan Antar-Individu
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, utilitarian klasik hanya memperhatikan
sisi mental, yaitu tingkat kesenangan atau kebahagiaan orang banyak. Hal ini
merupakan kelemahan utilitarian dalam mengukur tingkat kesejahteraan antarindividu, karena sangat subyektif dan semata-mata mementingkan aspek mental. Hal
ini kemudian dikritik dan diperbarui oleh utilitarian modern, yang lebih memberikan
pilihan (kebebasan) terhadap perilaku individu untuk meraih utilitas atau
kebahagiaannya sendiri. Sen mengkritik keduanya (utilitarian klasik dan modern)
karena memperbandingkan antar-individu hanya berdasarkan kesenangan atau
kebahagiaan, yang merupakan aspek mental yang sangat subyektif serta sulit diamati
dan diukur.
Sementara itu, Rawls menggunakan sebuah asumsi untuk melakukan perbandingan
antar-individu, yaitu kesejahteraan ekonomi (pendapatan riil). Sen mengkritik
pendapat ini, di mana pendapatan riil maupun basis komoditas, (yang oleh penganut
Rawls disebut dengan istilah primary goods dan resources), tidak dapat digunakan
sebagai satu-satunya variabel untuk memperbandingkan antar-individu guna
menjawab kompleksitas dan diversitas manusia. Menurut Sen, ada faktor-faktor lain
yang perlu dipertimbangkan, seperti: usia, gender, keahlian tertentu, disabilitas,
kesakitan yang dapat menjadi pembeda peluang yang dimiliki oleh masing-masing
orang untuk mencapai kualitas kehidupan yang dicita-citakan (well-being).

Kesejahteraan: Diversitas dan Heterogenitas


Pendapatan (income) dan kebutuhan (commodities) merupakan materi mendasar
yang digunakan untk mengukur kesejahteraan. Hal ini tidak salah karena memang
kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kehidupan
seseorang. Namun demikian, setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi tingkat
kebutuhan seseorang, meliputi:
1. Heterogenitas individu, yang dipengaruhi oleh usia, gender, disabilitas, dan
kesakitan. Sebagai ilustrasi, seseorang yang sakit memiliki kebutuhan yang
berbeda dengan orang yang tidak sakit. Begitu pula antara orang yang memiliki
disabilitas dengan orang tanpa disabilitas, dan seterusnya;
2. Diversitas lingkungan hidup, seperti rentang suhu, curah hujan, keadaan cuaca
dan iklim, polusi, dan bencana. Sebagai ilustrasi, seseorang yang hidup dan
tinggal di tempat yang bercuaca panas akan membutuhkan komoditas yang
berbeda dengan mereka yang hidup dan tinggal di tempat dengan cuaca yang
lebih dingin;
3. Variasi kondisi lingkungan sosial, seperti tatanan pendidikan, keadaan kriminalitas
dan tindakan kekerasan di lingkungan sekitar, fasilitas publik. sebagai ilustrasi,
seseorang yang tinggal di wilayah rentan konflik memiliki kebutuhan yang berbeda
dengan mereka yang tinggal di daerah yang lebih kondusif;
4. Perbedaan perspektif relasional. Seseorang yang relatif miskinmemerlukan banyak
kebutuhan untuk bisa tampil percaya diri dan dihargai di tengah-tengah komunitas
masyarakat kaya;
5. Distribusi pendapatan dalam intern keluarga, yang dipengaruhi oleh jumlah
anggota keluarga, gender, usia, dan karakteristik kebutuhan masing-masing
anggota keluarga.
Pendapatan, Sumber Daya, dan Kebebasan
Pendapat yang berlaku umum adalah bahwa kemiskinan hanyalah masalah kurangnya
pendapatanan. Pendapat ini didasarkan pada keterkaitan antara pendapatan dengan
kemampuan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu serta
kelaparan. Namun demikian, ada hal-hal lain selain pendapatan, yg sangat penting
untuk menganalisis kemiskinan.Rawls menyatakan ada tiga indikator untuk mengukur
kesejahteraan atau kemiskinan, meliputi:
1. pendapatan riil;
2. primary goods (means), yaitu barang-barang kebutuhan utama dan resources
(sumber daya), termasuk juga hak-hak dasar (rights), kebebasan bertindak dan
memilih (liberties), kesempatan atas pekerjaan dan segala macam posisi di

masyarakat (opportunities), dan penghormatan lingkungan sosial atas harga diri


(social bases of self-respect);
3. kebebasan yang dihasilkan dari komoditas (properti) yang dimiliki (freedom
generated by commodities).
Kesejahteraan, Kebebasan, dan Kapabilitas
Sen menawarkan kebebasan substantif/aktual (substantive freedom), yaitu suatu
kemampuan atau kapabilitas untuk dapat memilih suatu kehidupan yang bernilai.
Jika utilitarian mengutamakan utilitas, libertarian mengutamakan kebebasan, Rawls
mengutamakan kepemilikan primary goods, maka Sen menyatakan bahwa kapabilitas
seseorang sangat penting untuk diperhatikan. Dalam perspektif kapabilitas,
kepemilikan primary goods dan resources oleh individu tidak bisa dianggap sebagai
alat evaluatif dalam pencapaian kesetaraan atau keadilan. Akan tetapi, kesetaraan
atau keadilan dilihat dari kebebasan substantif yang dimiliki oleh seseorang dalam
menentukan pilihan hidupnya yang paling bernilai. Kebebasan substantif ditunjukkan
melalui karakteristik personal (kapabilitas) untuk mendapatkan berbagai alternatif
(pilihan) dan mengonversikan primary goods dan resources yang ia miliki guna
meraih kefungsiannya dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mencapai kondisi yang
dicita-citakan (well-being).
Kapabilitas merupakan sekumpulan vektor (arah/alternatif) kefungsian yang
menggambarkan kebebasan seseorang untuk menuju kondisi kehidupan yang dicitacitakan (well-being). Sementara kefungsian seseorang menggambarkan peran atau
posisi/kedudukan yang dimiliki dan dilakoni oleh individu tersebut di dalam
lingkungan kehidupannya.
Skema kapabilitas yang ditawarkan oleh Sen dapat digambarkan sebagai berikut:
substantive freedom (real opportunities) capability functionings well-being
Untuk mengevaluasi pendekatan kapabilitas yang ditawarkan Sen, dapat diukur
melalui dua indikator, yaitu:
1. realisasi kefungsian, yaitu realisasi peran atau posisi/kedudukan apa yang
seseorang bisa lakukan secara aktual/substantif dalam kehidupannya; dan
2. seperangkat alternatif kapabilitas yang seseorang miliki (a capability set of
alternative atau real opportunities), yaitu kemampuan dan kebebasan substantif
yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu.
Bobot, Nilai, dan Keputusan Sosial

Sen mengkritik metode pengambilan keputusan sosial oleh kaum utilitarian yang
mengagregasi keinginan (preferensi) individu-individu berdasarkan suara mayoritas
(kebaikan umum), karena: preferensi bersifat ambigu; preferensi tidak memadai
sebagai basis informasi untuk mengetahui karakteristik masyarakat (keberuntungan
dan ketidakberuntungannya); preferensi dibentuk secara sosial; serta pengambilan
keputusan yang cenderung hanya berfokus pada hasil (utilitas) dan mengabaikan
prosedur yang fair.
Kefungsian individual lebih dapat digunakan untuk perbandingan antar-individu
daripada perbandingan utilitas, karena memiliki karakteristik nonmental dan lebih
dapat diamati (diukur). Namun demikian, perbandingan antar-individu dengan
pendekatan kapabilitas ini masih memiliki keberagaman, yang disebabkan oleh:
1. ada begitu banyak kefungsian individu yang berbeda-beda; dan
2. seberapa besar bobot kebebasan substantif, termasuk juga seperangkat
kapabilitas, terhadap pencapaian kefungsian aktual yang dipilih (chosen
functioning vector).
Dalam menilai sebuah keputusan sosial yang akan diambil, tidak bisa hanya
berdasarkan pada partial order, yaitu focal space (fokus variabel) tertentu atau
kefungsian tertentu saja, melainkan harus menyertakan semua variabel yang
mungkin bobot tertentu, sehingga terbentuklah complete order. Complete
order inilah yang selanjutnya menjadi basis informasi dalam pembuatan keputusan
sosial, yang dapat dilakukan melalui dua metode, yakni teknokrasi dan demokrasi.
Sen melengkapi konsep dan pemikiran Rawls dalam hal pengambilan sebuah
keputusan sosial. Pendekatan Rawls menekankan pada primary goods, rights,
liberties and opportunities, income and wealth, serta social basis of self-respect.
Selanjutnya, Sen melengkapinya dengan menambahkan pendekatan kefungsian
(kapabilitas) serta mempertimbangkan basis informasi yang bersumber dari lima
faktor yang meliputi: heterogenitas individu, diversitas lingkungan hidup, variasi
kondisi lingkungan sosial, perbedaan perspektif relasional, dan distribusi pendapatan
dalam intern keluarga. Kesemua variabel dan basis informasi itulah yang dipandang
dapat mempengaruhi pengkonversian primary goods dan resources menjadi sebuah
kapabilitas. Keadilan tidak cukup bertumpu pada equality of primary goods and
resources, namun juga kapabilitas sebagai konversi primary goods dan resources
berdasarkan diversitas dan heterogenitas manusia. Inilah yang menjadi fokus dalam
evaluasi mendasar sebuah kebijakan publik.

Informasi Kapabilitas: Penggunaan Alternatif


Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendapatkan
informasi mengenai kapabilitas, yaitu:
1. Pendekatan langsung (direct approach), yakni dengan cara menguji (memeriksa)
dan membandingkan vektor-vektor kefungsian dan kapabilitas yang ada di
masyarakat. Pendekatan langsung memiliki tiga jenis variasi, yaitu:
a. perbandingan total (total comparison), yakni me-rangking semua vektor yang
mungkin dari sebuah permasalahan sosial, seperti kemiskinan,
ketidaksetaraan, dll;
b. perangkingan sebagian (partial ranking), yakni hanya me-rangking beberapa
vektor, tidak menuntut komplitnya evaluasi rangking dari sebuah
permasalahan sosial; dan
c. perbandingan kapabilitas yang dibedakan (distinguished capability
comparison), yakni memilih kapabilitas tertentu sebagai fokus tanpa melihat
kekomplitan cakupan. Metode ini dapat dijembatani menuju partial ranking,
atau bahkan total comparison, dengan menggunakan skema pembobotan
tertentu.
2. Pendekatan tambahan (supplementary approach), yakni memperbandingkan
antar-individu dalam hal pendapatan dan kapabilitas, dengan didukung berbagai
faktor penentu kapabilitas, seperti: ketersediaan dan jangkauan layanan
kesehatan, bias gender, serta keadaan dan besarnya pengangguran.
3. Pendekatan tak langsung (indirect approach), yakni menggunakan pendapatan
yang disesuaikan (adjusted income). Keuntungan metode ini di antaranya adalah:
a. dalam menguji pendapatan yang sama (ekuivalen), harus dilihat bagaimana
pendapatan tersebut mempengaruhi kapabilitas;
b. pendapatan dipandang sebagai alat untuk mereduksi ketidaksetaraan, bukan
semata-mata sebagai unit untuk mengukur ketidaksetaraan; dan
c. meskipun pendapatan memiliki nilai (ukuran) dan artikulasi yang cukup besar,
namun bla..bla..bla... (tlg tambahono rek dg mengacu ke hal 84 paragraf
kedua, mulai kata Third... utekku wes kececeran).
KESIMPULAN
Ada banyak hal (faktor) yang harus dipertimbangkan dalam menilai dan mengevaluasi
sebuah kebijakan politik atau ekonomi. Ada banyak alternatif pendekatan yang dapat
digunakan, dan semuanya tidaklah mudah.
Berbagai pendekatan, seperti: etika, kesejahteraan ekonomi, dan filosofi politik
untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial, seperti menganalisis dan
mengevaluasi ketertinggalan ataupun pembangunan, memerlukan basis informasi

yang lengkap dan akurat. Sistem evaluasi dan pendekatan yang berbeda akan
menuntut basis informasi yang berbeda pula.
Ada tiga jenis pendekatan sosial-etika dan keadilan yang dipaparkan di sini, yaitu:
utilitarianism, libertarianism, dan teori keadilan Rawls. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri.
Kontribusi positif dari pembahasan ini adalah penggunaan kebebasan substantif
individual untuk mencapai kapabilitas bagi individu tersebut untuk melakukan
sesuatu dan kebebasan untuk mencapai kehidupan yang lebih bernilai. Pendekatan
ini sekaligus mengelaborasi tiga pendekatan yang lain, yaitu: utilitarianism dengan
kebahagiaan manusia-nya, libertarianism yang melibatkan manusia dalam proses
pemilihan dan kebebasan bertindak, serta teori Rawls yang berfokus pada kebebasan
individual serta primary goods and resources yang diperlukan untuk mencapai
kebebasan substantif. Dengan demikian, pendekatan kapabilitas Sen memiliki
cakupan yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai