PENDAHULUAN
yang
meluas
ke
bawah
menuju
coccygeus.
1,2
ditemukan,
merupakan
kombinasi
gejala
dan
tanda
akibat
karakteristik
gangguannya
adalah
nyeri
punggung
bawah,
impotensi,
bersamaan
dengan
disfungsi
bowel
dan
bladder.
1,2,3,4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Tulang belakang terdiri dari 24 tulang yang dapat digerakkan, dinamakan vertebrae.
Terdapat 7 ruas vertebrae segmen cervival, 12 segmen thoracal, 5 segmen lumbal, 4 segmen
sacrum dan 4 segmen coccygeus yang bersatu. Segmen lumbal tulang belakang (terutama
vertebrae Lumbal 5) menyangga berat badan terbesar. 1,3,5
Foramen vertebra adalah cincin tipis tulang vertebra yang terdiri dari bagian corpus,
pediculus, dan lamina. Setiap segmen tulang belakang memiliki karakter yang berbeda.
Foramen vertebra dari kumpulan tiap level vertebra akan membentuk canalis vertebralis,
ruang dimana medulla spinalis berada.
Antara tulang vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis dan facet joint. Diskus
intervertebralis berupa jaringan ikat mirip gel yang mengikat satu tulang vertebra pada tulang
vertebra selanjutnya dan berfungsi sebagai bantalan atau peredam goncangan antar tulang
vertebra. Fungsi ini melindungi vertebra, otak dan struktur lainnya. Adanya diskus
intervertebralis juga memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi.6
Diantara corpus vertebra, terdapat sebuah massa fibrous yang berfungsi sebagai bantalan
absorber yang disebut diskus. Diskus ini tetap berada di tempatnya karena disokong oleh
ligamen-ligamen. Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen yang berbeda: annulus
fibrosus di bagian luar dan nucleus pulposus, massa gelatin di bagian dalam. Mereka
tertambat pada vertebra di bagian atas dan bagian bawah oleh cartilage end plates. Pada
diskus normal, air merupakan komponen penting dari nucleus. Namun, seiring dengan
bertambahnya usia, kandungan air dalam diskus berkurang dan menyebabkan degenerasi
diskus.8 Medula spinalis pada orang dewasa berakhir pada level vertebra antara L1 dan L2
dengan sekumpulan berkas akar saraf lumbal dan sacral dalam kanalis spinalis yang
membentuk cauda equina di bawah medulla spinalis. Akar-akar saraf itu kemudian terpisah
dan keluar dari kanalis spinalis melalui foramina intervertebrale yang sesuai. Cauda equina
terlindung dalam ruang subarakhnoid hingga setinggi vertebra sakralis II. Nyeri dan gejala
lain dapat timbul bila diskus yang rusak menekan ke dalam kanalis spinalis atau radiks saraf.
2.2 PATOFISIOLOGI
Sindrom cauda equina disebabkan oleh penyempitan apapun pada canalis spinalis yang
menekan akar saraf di bawah level medula spinalis. Lesi pada cauda equina bersifat LMN
karena
radiks
yang
terkena
merupakan
bagian
dari
susunan
saraf
perifer.
Cauda Equina Syndrome (CES) merujuk pada kondisi dimana terjadi kompresi secara
bersamaan pada akar saraf lumbosakral dibawah level conus medularis, yang menyebabkan
gejala neuromuskuler dan urogenital. Patofisiologi mekanisme terjadinya CES belum
sepenuhnya dipahami. Akar saraf ini rentan terhadap cedera kompresi atau regangan karena
memiliki epineurinum yang tidak berkembang dengan baik. Jika epineurinum terbentuk
sempurna, seperti pada saraf-saraf perifer, akan dapat melindungi saraf dari tekanan atau
tarikan/regangan. Selain itu sistem mikrovaskuler pada akar saraf cauda equina memiliki area
yang relatif hipovaskuler yang terbentuk oleh kombinasi area anastomosis di sepertiga
proksimal akar saraf. Hal tersebut menimbulkan rasionalisasi anatomik terhadap terjadinya
manifestasi neuroiskemik bersamaan dengan perubahan degenerasi. 9,10,11
Beberapa penyebab sindrom cauda equina telah dilaporkan, meliputi cedera
traumatik, herniasi diskus, stenosis spinalis, neoplasma spinal, schwannoma, ependimoma,
3
kondisi
peradangan,
kondisi
infeksi,
dan
penyebab
iatrogenik.
1. Trauma
Kejadian traumatik yang menyebabkan fraktur dapat menyebabkan kompresi
cauda equina.
Trauma tembus dapat menyebabkan kerusakan atau kompresi cauda equina.
Manipulasi spinal menyebabkan subluksasi akan mengakibatkan munculnya
sindrom cauda.
Kasus yang jarang berupa fraktur insufisiensi sacral telah dilaporkan
menyebabkan sindrom cauda equina.
2. Herniasi diskus
Kejadian sindrom cauda equina yang disebabkan oleh herniasi diskus lumbalis
dilaporkan bervariasi.
90% herniasi diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5 atau L5-S1.
70% kasus herniasi diskus menyebabkan sindrom cauda equina terjadi pada
pasien dengan riwayat low back pain kronis dan 30% berkembang menjadi
sindrom cauda equina sebagai gejala pertama herniasi diskus lumbalis.
Laki-laki usia dekade 4 dan 5 adalah paling rawan terhadap sindrom cauda
equina akibat herniasi diskus.
Sebagian besar kasus sindrom cauda equina yang disebabkan herniasi diskus
melibatkan partikel besar dari materi diskus yang rusak, mengganggu
setidaknya sepertiga diameter canalis spinalis.
Patofisiologi hernia nukleus pulposus banyak faktor meningkatkan resiko terjadinya hernia
diskus, seperti:
1. Gaya hidup seperti merokok, kurang aktivitas dan nutrisi yang tidak adekuat
berontribusi terhadap kondisi diskus.
2. Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan biokimia menyebabkan diskus secara
perlahan-lahan menjadi kering sehingga menyebabkan diskus secara perlahan-lahan
menjadi kering sehingga mempengaruhi kekuatan diskus.
2.3
Diagnosis9,13
Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui:
1. CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem punggung
bawah sebelumnya.
2. Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang
memiliki riwayat nyeri punggung dan ischialgia.
3. progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita
nyeri punggung kronik dan ischialgia.
Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda klinis CES berkembang dalam waktu kurang dari 24
jam.
Glave dan Macfarlane membagi pasien CES dalan dua stadium dalam hubungannya dengan
fungsi urinari: stadium I, CES dengan retensi dan overflow incontinence; stadium II, CES
inkomplit, dengan ciri penurunan sensasi urinari, hilangnya keinginan untuk berkemih
(pengosongan), pancaran urin tidak baik, dan perlu mengejan agar bisa berkemih.15
Anamnesis 3,4,10,16,17
2.4
Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk, dengan nyeri punggung
yang merupakan gejala yang paling menonjol. Bell et al menunjukkan bahwa didapatkan
akurasi diagnostik antara retensi urin, frekuensi urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi
berkemih dan penurunan sensasi perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya
prolaps diskus.
3. Anamnesis yang harus didapatkan dari pasien antara lain:
1. Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa karakteristik yang
mengesankan adanya hal yang berbeda dari strain lumbal pada umumnya. Pasien
mungkin melaporkan adanya trigger yang memperparah, seperti menolehkan
kepala.
2. Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau kronik
3. Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral dan/atau
abnormalitas sensorik
4.
5.
2.5
atau nyeri sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan
radikular. Nyeri lokal biasanya nyeri yang dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus
vertebra. Nyeri radikular umumnya bersifat tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi
radiks saraf dorsal.
Nyeri
radikular
diproyeksikan
dalam
distribusi
dermatomal.
Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya refleks fisiologis.
Refleks yang meningkat merupakan tanda adanya keterlibatan medula spinalis sehingga
diagnosis CES bisa disingkirkan. Nyeri menjalar ke kaki (ischialgia) unilateral atau bilateral
merupakan karakteristik CES, diperburuk dengan manuver valsava. Abnormalitas sensorik
mungkin muncul di area perineal atau ekstremitas bawah. Pemeriksaan raba ringan (light
touch) pada area perineal seharusnya dilakukan. Area yang mengalami anestesi mungkin
menunjukkan
adanya
kerusakan
kulit.
Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan inervasi dari radiks saraf
yang terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES kronik.
Tonus sphincter ani yang menurun atau hilang merupakan karakteristik CES.
Adanya tanda babinski atau tanda-tanda upper motor neuron lainnya menunjukkan diagnosis
selain CES, kemungkinan merupakan kompresi medula spinalis. Penurunan fungsi bladder
dapat
dinilai
secara
empiris
dengan
kateterisasi
urin.
CES harus dipertimbangkan kemungkinannya pada semua pasien yang memiliki keluhan
nyeri punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau bladder.
Disfungsi bladder biasanya merupakan akibat dari kelemahan otot detrussor dan
areflexic bladder; disfungsi ini awalnya menyebabkan retensi urin yang kemudian diikuti
dengan overflow incontinence pada stadium selanjutnya. Pasien yang menderita nyeri
punggung dan inkontinensia urin tetapi hasil pemeriksaan neurologisnya normal seharusnya
diukur volume residual postvoid-nya. Volume residual postvoid yang lebih besar dari 100 mL
menunjukkan adanya overflow incontinence dan memerlukan evaluasi lebih lanjut;
sedangkan volume kurang dari 100 mL menyingkirkan diagnosis CES. Refleks anal, yang
ditimbulkan dengan mengusap kulit lateral anus, normalnya menyebabkan kontraksi refleks
sphincter ani eksterna. Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan untuk menilai tonus
sphincter ani dan sensibilitas jika ditemukan tanda atau gejala CES.
Pemeriksaan Penunjang 3,9
2.6
Diagnosis CES umumnya bisa didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan radiologi dan laboratorium digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dan untuk
menentukan
lokasi
patologik
dan
penyakit
yang
mendasari.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam penelusuran diagnosis CES adalah:
X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi mungkin dapat dilakukan
dalam kasus-kasus cedera akibat trauma atau penelusuran adanya perubahan destruktif pada
vertebra, penyempitan diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis
CT
dengan
atau
tanpa
kontras.
Myelogram
lumbar
diikuti
dengan
CT
nyeri
punggung
bawah
dan
ischialgia.
Penatalaksanaan.
Belum ada bukti yang menunjukkan terapi apa yang paling baik pada CES. Terapi
umumnya
ditujukan
pada
penyebab
yang
mendasari
terjadinya
CES.
-Pembedahan2,4,5,10,12
Pada sebagian kasus, CES merupakan indikasi untuk dilakukan operasi dekompresi
secepatnya; laminektomi yang diikuti dengan retraksi cauda equina secara hati-hati (untuk
menghindari komplikasi meningkatnya gangguan neurologis) dan diskectomy pada penderita
CES yang disebabkan oleh herniasi diskus merupakan tindakan pilihan. Waktu yang tepat
dilakukan tindakan dekompresi belum sepenuhnya disepakati. Umumnya, pasien CES yang
dilakukan operasi dalam 24 jam sejak timbul gejala awal dipercaya akan mencapai perbaikan
neurologis yang lebih baik secara signifikan. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan tidak
ditemukannya perbaikan outcome secara signifikan pada pasien yang dioperasi dalam waktu
24 jam dibandingkan dengan pasien-pasien yang dioperasi dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pembedahan yang dilakukan secara elektif dibandingkan
pembedahan emergensi tidak mengganggu perbaikan neurologis. Meskipun begitu, sebagian
besar peneliti merekomendasikan tindakan operasi dekompresi secepat mungkin setelah
munculnya gejala untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh perbaikan neurologis
komplit.
-Medikamentosa3,4
1.
Agen vasodilator. Beberapa penelitian menunjukkan agen vasodilator memiliki efek
terapeutik yang signifikan terhadap CES. Dalam sebuah penelitiaan eksperimental
menyebutkan bahwa pengobatan sistemik dengan OP-1206 -CD, suatu analog
prostaglandinE1, dapat secara signifikan meningkatkan aliran darah dan menurunkan
hiperalgesia thermal yang diinduksi oleh cedera konstriksi saraf pada tikus.
2.
Agen antiinflamasi. Agen antiinflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif
pada pasien dengan penyebab inflamasi dan sudah banyak digunakan dalam pengobatan nyeri
punggung, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat-obat tersebut memberikan
manfaat yang signifikan. Regimen steroid yang biasa dipakai adalah deksametason dengan
dosis awal 10 mg secara intravena diberikan setiap 6 jam. Deksametason umumnya diberikan
intravena pada dosis 4 sampai 100 mg. NSAID telah terbukti berguna untuk mencegah
kalsifikasi jaringan lunak, osifikasi heterotopik dan perlengketan. Beberapa peneliti juga
menegaskan resiko potensial penggunaan steroid. Pernah dilaporkan bahwa penggunaan agen
antiinflamasi menghambat penyembuhan dan seringkali menimbulkan pembentukan abses.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. 8th ed. Mc.Graw-Hill. New York.
2005;
168-171.
2002
University
Press,
New
York
2009
London:
Remedica.
2005:
39-43.
Jason
Eck.
Cauda
equina
syndrome.
Available
from
syndromes.
CRC
press.
2002.
2010:
22-3.
56
113
15. Gleave JR, Macfarlane R. Cauda equina syndrome: what is the relationship
between timing of surgery and outcome? Br JNeurosurg 2002; 16: 325-328.
16. Tsementzis Sotirios. Differential diagnosis in neurology and neurosurgery.
Thieme.
2000.
210-212
Journal.
fall
2003;
7(4):13-17
18. Evans RW. Neurology and Trauma. 2nd ed. Oxford University Press 2006 : 267
19. Cucurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. New York:
Demos.
2004
20. Tan J. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis:
Mosby. 1998