PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Cytomegalovirus merupakan virus dari famili Herpetoviridae subfamili
berukuran sedang yang mengandung double stranded DNA. Nukleokapsid
berukuran garis tengah 110 nm, simetri kubikal dan memiliki 162 kapsomer.
Selubung virus mengandung lipoprotein dan mempunyai diameter antara 150 nm
dan 200 nm (Drew, 2004; Soedarto, 2010).
2.2 Epidemiologi
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas dan terjadi endemik tanpa
tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan
keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, hasil
pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat
kurang lebih 1% setiap tahun. Di negara berkembang, lebih dari 80-90%
masyarakat terinfeksi oleh CMV (Griffiths, 2004). Lisyani dalam observasi
selama setahun pada tahun 2004, mendapatkan dari 395 penderita tanpa keluhan
yang memeriksakan diri untuk antibodi anti-CMV, 344 menunjukkan hasil
pemeriksaan IgG (imunoglobulin G) seropositif, 7 dari 344 penderita tersebut juga
disertai IgM positif, dan 3 penderita hanya menunjukkan hasil IgM positif. Total
seluruhnya 347 orang atau 87,8% menunjukkan seropositif. Hasil observasi ini
menyokong pendapat bahwa sangat banyak masyarakat kita yang terinfeksi oleh
CMV, dan sebagian besar sudah berjalan kronik dengan hanya IgG seropositif,
tanpa menyadari bahwa hal tersebut telah terjadi (Budipardigdo, 2007).
Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal
yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi
luas di antara populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,23%, ada
pula sebesar 0,7-4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari
seluruh kehamilan. Ogilvie melaporkan bahwa penularan seperti ini terjadi kirakira pada 1 dari 3 kasus wanita hamil. Infeksi fetus in utero yang terjadi ketika ibu
menginfeksi ke beberapa organ lain sekaligus. Risiko infeksi CMV paling tinggi
terjadi bila sel CD4 kurang dari 100 (Karger, 2001).
2.4 Transmisi CMV
Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa sangat kecil.
Virus ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada orang lain melalui
kontak langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur, atau ASI. CMV ditularkan
secara seksual dan dapat menyebar melalui organ-organ transplantasi dan transfusi
darah (Karger, 2001).
Orang yang terinfeksi CMV dapat menularkan virus. Anak-anak kecil sering
menularkan CMV selama berbulan-bulan setelah mereka pertama terinfeksi.
Walaupun orang tua dari anak-anak yang terinfeksi dapat ikut terinfeksi dari anakanak mereka, CMV tidak menyebar dengan mudah (Karger, 2001).
Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari pemberian
ASI biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi. Namun, infeksi
CMV setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi lahir prematur atau
BBLR. Oleh karena itu, ibu bayi tersebut harus berkonsultasi dengan penyedia
layanan kesehatan tentang pemberian ASI (Karger, 2001).
2.4.1 Transmisi CMV selama Kehamilan
Di Amerika Serikat, sekitar 30-50% wanita tidak pernah terinfeksi CMV. Sekitar
1-4 dari setiap 100 wanita yang belum pernah terinfeksi CMV mengalami infeksi
(pertama) primer CMV selama kehamilan. Sekitar sepertiga dari wanita (33 dari
setiap 100) yang terinfeksi CMV untuk pertama kalinya selama kehamilan akan
meneruskan infeksi pada bayi mereka (Karger, 2001).
Di Amerika Serikat, sekitar 50-80% wanita telah terinfeksi CMV pada usia 40
tahun. Jika seorang wanita terinfeksi CMV sebelum hamil, risiko menularkan
virus ke janinnya sekitar 1 dalam 100. Pada wanita hamil, dua transmisi yang
paling umum untuk CMV melalui hubungan seksual dan melalui kontak dengan
urin dan air liur anak-anak muda dengan infeksi CMV (Karger, 2001).
2.4.2 Penularan CMV ke Bayi sebelum Lahir
Penularan/transmisi CMV berlangsung secara horisontal, vertikal, dan hubungan
seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui infeksi droplet dan kontak dengan air
ludah dan air seni. Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses
infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena
transmisi transplasental selama kehamilan dan diperkirakan 0,5%-2,5% dari
populasi neonatal. Di masa peripartum, infeksi CMV timbul akibat pemaparan
terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan
transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi diperkirakan 3-5% (Prawirohardjo,
2010). Transmisi selama kehamilan trimester I memiliki resiko sebesar 36%,
sedangkan pada trimester III resiko penularan meningkat menjadi 77,6%
(Lazzarotto et al, 2011).
2.5 Patogenesis Infeksi Cytomegalovirus
CMV adalah virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vitro dan in vivo.
Efek patologis infeksi CMV adalah sel yang membesar dengan badan inklusi virus
(viral inclusion bodies). Sel yang terkena sitomegali juga terlihat pada infeksi
yang disebabkan oleh Betaherpesvirinae lain. Secara mikroskopis, sebutan bagi
sel ini adalah mata burung hantu. Walaupun merupakan suatu dasar diagnosis,
tampilan histologis seperti ini hanya ada sedikit atau tidak ada pada organ
terinfeksi (Akhter & Wills, 2010).
paru, saluran cerna, hati, kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak
atau sistem syaraf pusat. Virus dapat ditemukan dalam saliva, air mata, darah,
urin, semen, sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh.
Ekskresi yang paling umum ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama,
sehingga bahaya penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV
pada infeksi kongenital sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama
(Budipardigdo, 2007).
Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten, meskipun
tanpa menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi DNA virus dan
pembentukan kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-sel terinfeksi CMV
dapat berfusi satu dengan yang lain, membentuk satu sel besar dengan nukleus
yang banyak. Endothelial giant cells (multinucleated cells) dapat dijumpai dalam
sirkulasi selama infeksi CMV menyebar. Sel berinti ganda yang membesar ini
sangat berarti untuk menunjukkan replikasi virus, yaitu apabila mengandung
inklusi intranukleus berukuran besar seperti mata burung hantu (owl eye)
(Budipardigdo, 2007).
Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi virus
yang telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik
(imunokompeten), infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi, namun
penyakit dapat menjadi berat bila individu berada dalam keadaan immature
(belum
matang),
immunosuppressed
(respons
imun
tertekan)
atau
Respons imun terhadap infeksi CMV sama seperti infeksi virus pada umumnya,
bersifat kompleks meliputi respons imun seluler maupun humoral. Kontrol yang
cepat dan segera pada infeksi akut dilakukan oleh sistem imun yang diperantarai
oleh sel NK (natural killer), sel T CD8+ dan dengan bantuan sel T CD4+. Sel NK,
anggota limfosit nonT-nonB yang beredar dalam sirkulasi darah dan jaringan,
merupakan komponen nonspesifik dari sistem imun bawaan, akan mengenali sel
inang yang terinfeksi virus, kemudian menghancurkan sel tersebut dengan cara
lisis proteolitik. Pada awal infeksi akut, dalam respons imun spesifik, antigen
virus diproses oleh makrofag antigen presenting cells (APC), dipresentasikan ke
sel limfosit T CD4+ (T helper) yang memproduksi sitokin dan memicu proliferasi
klon tunggal sel T sitotoksik atau sitolitik (CD8+) yang tersensitasi. Sel T CD8+
yang teraktivasi kemudian secara spesifik akan menghancurkan sel inang yang
mengekspresikan antigen virus yang berikatan dengan major histocompatibility
complex (MHC) atau human leucocyte antigen (HLA) kelas I di permukaan sel.
MHC atau HLA kelas I dijumpai pada hampir semua sel berinti. Respons imun ini
ditargetkan terhadap bermacam antigen seperti protein IE1, IE2, gB dan pp 65. Sel
T-CD4+ spesifik juga memegang peran penting di dalam mengontrol infeksi virus
dengan cara melepaskan interferon ( IFN- ) yang kemudian mengaktifkan
makrofag sebagai fagosit. Imunitas yang diperantarai sel ini memegang peran
utama untuk menekan aktivitas virus yang menetap secara laten (Budipardigdo,
2007).
Respons imun humoral terbentuk karena fragmen antigen yang berikatan dengan
molekul MHC kelas II dipresentasikan oleh APC kepada limfosit T-CD4+.
Produksi sitokin terpacu untuk mengaktifkan sel B, kemudian sel B berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi atau
imunoglobulin. IgM muncul pertama kali, setelah itu dengan mutasi somatik yang
terjadi pada limfosit B yang terstimulasi antigen, maka akan terjadi isotype
switching dan terbentuk isotype immunoglobulin yang lain seperti IgG, IgA, IgE,
dan IgD. Antibodi yang terbentuk pada awalnya memiliki kekuatan mengikat
antigen yang masih lemah, selanjutnya terjadi affinity maturation terhadap
sebagian dari sel B, sehingga menghasilkan antibodi yang mampu mengikat
10
antigen dengan kuat. Kekuatan ikatan antibodi terhadap antigen ini disebut highaffinity dan high avidity. Antibodi IgG adalah yang paling utama melakukan
neutralisasi dan eliminasi terhadap CMV yang beredar dalam sirkulasi. IgG
tersebut adalah antibody anti-gB (anti-glikoprotein B) yang merupakan antibodi
terhadap antigen paling imunogenik dari amplop CMV (Budipardigdo, 2007).
CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu
menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5
1% dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil
dapat menyebar melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta,
menuju ke fetus baik pada infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi
rekuren endogen, yang mungkin akan menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan
jaringan prenatal yang serius. Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada
reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat
terjadi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun
infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang
lebih berat (Dwindra, 2009).
Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1 minggu
sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons humoral.
Respons imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada umur fetus 22
minggu. Aktivasi dan diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi, meskipun kemampuan
untuk menghasilkan IFN- masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa
peran sel T CD4+ spesifik dengan frekuensi yang tinggi pada neonatus
memungkinkan terjadi stimulasi terhadap imunitas seluler, sehingga infeksi CMV
kongenital bersifat asimtomatik. Respons imun humoral dimulai pada 911
minggu kehamilan, namun kadar antibodi dalam sirkulasi tetap rendah sampai
pertengahan kehamilan, kecuali terdapat virus dalam titer tinggi dan ada
perkembangan reseptor antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi
meningkat dengan predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat
menembus plasenta masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang
terdeteksi pada darah tali pusat neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut
11
diproduksi oleh fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari ibu.
Pada reaktivasi, antibodi anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya terjadi defek
imunitas yang diperantarai sel dengan penurunan jumlah sel NK dan T CD8+
(Budipardigdo, 2007).
2.6 Manifestasi Klinis dan Komplikasi
1. Manifestasi Klinis Secara Umum
Pada populasi dewasa normal, CMV bersifat dormant (tidak aktif) dalam
tubuh. CMV hanya
bermanifestasi
jika kekebalan
tubuh orang
enam
minggu. Antara tiga dan dua belas minggu setelah terinfeksi beberapa
pasien mungkin mengalami demam, kelelahan umum dan kelenjar
bengkak. Pasien dengan risiko tinggi dapat mengembangkan pneumonia
dan batuk. Komplikasi infeksi CMV dijabarkan sebagai berikut (Kauser,
2010):
a. Cytomegalovirus pneumonia didefinisikan sebagai tanda-tanda dan
gejala penyakit paru dalam kombinasi dengan deteksi CMV dalam
cairan
bronchoalveolar atau jaringan paru-paru. Tingkat tertinggi pneumonia
CMV serta keparahan terbesar terjadi antara penerima transplantasi
paru-paru yang berisiko.
b. Cytomegalovirus hepatitis didefinisikan sebagai bilirubin tinggi dan
atau tingkat enzim hati dalam kombinasi dengan deteksi CMV tanpa
adanya penyebab lain untuk hepatitis. Hepatitis telah sering diamati
pada pasien dengan infeksi CMV primer dan mononukleosis. Tingkat
12
13
pada
sistem
saraf
pusat
(SSP)
antara
lain:
14
kerusakan lebih lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%, dengan usia
rata-rata perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia 2-70
bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi virus
dalam telinga bagian dalam.
d. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum
meningkat. Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar, kolestasis
obstruktif yang akan menetap selama masa anak. Inclusian dijumpai
pada sel kupffer dan epitel saluran empedu.
Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-30%.
Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan intravaskuler
koagulopati atau infeksi bakteri sekunder (Kim, 2010).
15
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Diagnosis Infeksi CMV
1. Diagnosis Klinis
a. Riwayat Klinis
CMV adalah virus herpes double-stranded DNA. Tingkat seropositif
CMV meningkat dengan usia. Lokasi geografis, kelas sosial ekonomi
dan bekerja pameran faktor lain juga mempengaruhi risiko infeksi.
Infeksi CMV membutuhkan kontak dekat melalui air liur, urin dan
cairan tubuh lainnya. Kemungkinan rute transmisi adalah kontak
seksual, transplantasi organ, transmisi transplasenta, penularan
melalui ASI dan transfusi darah (jarang) (Marino et al, 2010).
Reaktivasi primer atau infeksi berulang dapat terjadi selama
kehamilan dan dapat menyebabkan infeksi CMV kongenital. Infeksi
transplasental
intrauterin,
intrakranial,
dapat
gangguan
mengakibatkan
pendengaran
mikrosefali,
pembatasan
pertumbuhan
sensorineural,
hidrosefalus,
kalsifikasi
hepatosplenomegali,
sepsis
dengan
gejala
apnea,
bradikardia,
16
tanpa
gejala,
tetapi
nyata
bisa
sebagai
gambar
96%. Sampel urine dapat didinginkan (4) tetapi tidak boleh beku
dan disimpan pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam
urin setelah 7 hari pendinginan, kemudian menurun menjadi 50%
setelah 1 bulan (Kim, 2010).
Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan atau
anti-CMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi, tes
serologis tidak dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru
lahir. Hal ini dikarenakan deteksi IgG anti-CMV pada bayi baru lahir
mencerminkan
antibodi
yang
diperoleh
dari
ibu
melalui
mengandung
prediktor
gejala
infeksi
congenital.
sonografi
oligohidroamnios,
janin
pembatasan
yang
dilaporkan
pertumbuhan
termasuk
intrauterin,
Toxoplasmosis
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
i. First half of pregnancy : dapat menyebabkan malformation
pada CNS, mikrosefali, hidrosefalus dan kematian perinatal.
18
Rubella
a)
adalah
CHD
(PDA,
VSD
dan
PT),
katarak,
c.
Herpes
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
i. HSV-1
Vesikel-vesikel di sekitar mulut, acute ginggivostomatitis.
Infeksi
HSV-1 primer dapat menyebabkan follicular congjungtivitis
dengan kemosis, edema dan ulks kornea. Herpes labialis dan
dendritic corneal ulcers paling sering merupakan manifestasi
infeksi
HSV-1
rekuren.
Pada
keadaan
parah
dapat
memediasi
langkah
untuk
monofosforilasi
untuk
intravena
membawa
perkembangan
atau
stabilisasi
22
terapi
penyakit
aktif.
Terapi
oral
dengan
valgansiklovir
kontrol
penyakit
Cytomegalovirus
pada
pasien
23
24
25
Hindari melakukan transfusi kepada bayi baru lahir dari ibu yang seronegatif
dengan darah donor dengan seropositif CMV. Hindari transplantasi jaringan organ
dari donor seropositif CMV kepada resipien yang seronegatif. Jika hal ini tidak
dapat dihindari, maka pemberian IG hiperimun atau pemberian antivirus
profilaktik mungkin menolong (Chin, 2000).
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar yang dapat dilakukan antara
lain (Chin, 2000) :
1.
Laporan
kepada
instansi
kesehatan
setempat:
Lakukan
tindakan
Isolasi:
tidak
dilakukan.
4.
5.
6.
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi
endemik tanpa tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada
populasi dengan keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang
dewasa, menunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi
CMV. Kejadian infeksi CMV pada Ibu hamil sangat tinggi dan menyebabkan
kelainan congenital pada janin. Diagnosis dini dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang penting untuk menentukan status infeksi dan
terapi untuk pencegahan mortalitas dan morbiditas.
4.2 Saran
a. Perlunya sosialisasi pencegahan infeksi TORCH termasuk di dalamnya
infeksi CMV untuk mengurangi risiko kelainan congenital pada janin
b. Perlunya tindakan skrining infeksi TORCH yang tersebar luas dan
terjangkau di sarana pelayanan kesehatan
27
DAFTAR PUSTAKA
Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus. eMedicine Infectious
Disease. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/215702overview. Diakses 1 Juni 2014.
Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus
Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas Diponegoro:
Semarang
Chin, J. 2000. Infeksi Sitomegalovirus. Dalam: Manual Pemberantasan Penyakit
Menular. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. h.143-4
Dwindra M. 2009. Infeksi Cytomegalovirus. Universitas Riau : Riau
Firman F, Wirakusumah,. 2009. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) Kongenital dan
Permasalahannya. Diakses tanggal 30 Mei 2014. Diunduh dari:
http://www.fmrshs.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=65:infeksi-Cytomegalovirus-cmvkongenital-dan permasalahannya&catid=39:artikel&Itemid=57
Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical Virology.
Washington: ASM Press. h.433-55
Karger, Freiburg. 2001. Cytomegalovirus (CMV). Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/cmv/transmission.html. Diakses pada 30 Mei 2014
Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean
Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20.
Lazzarotto T, Guerra B, Gabrielli L, Lanari M, Landini MP. 2011. Update on
Prevention, Diagnosis, and Management Cytomegalovirus Infection During
Pregnancy. European Society of Clinical Microbiology and Infectious
Disease. 17: 1285-1293.
Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez, et al. 2010.
Viral
Infections
and
Pregnancy.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview. Diakses pada 30
Mei 2014
28
29