Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama
dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung
dari 7 propinsi . Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69 %nya adalah sinusitis.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat
prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit rinosinusitis ini.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.

Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting


karena hal diatas. Awalnya diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu
hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka
dibutuhkan tindakan operasi.

BAB II
STATUS PASIEN
2.1

Identitas
Nama

: Ny. M

Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 44 Tahun

Alamat

: Blang Panyang, Lhokseumawe

Pekerjaan

: IRT

Asal

: Aceh

Agama

: Islam

No. MR

: 42.57.50

TMRS

: 13 Desember 2015

2.2

Anamnesis

1.

Keluhan utama
Hidung tersumbat

2.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat disertai dengan beringus

sejak 1 minggu yang lalu. Ingus tidak diserta dengan keluarnya darah. Pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri di bagian wajah bagian depan. Pasien juga merasakan
nyeri kepala bagian depan. Nyeri biasanya timbul ketika hidung tersumbat, terasa
berputar (-). Pasien juga merasakan badannya demam beberapa hari ini. Demam
terasa naik turun.

3.

Riwayat penyakit dahulu

Tidak memiliki riwayat penyakit serupa sebelumnya.


4.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.

5.

Riwayat Alergi
Alergi obat-obatan dan makanan disangkal.

2.3

Pemeriksaan Fisik

A.
1.
2.
3.

Status Present
Keadaan umum
Kesadaran
Pengukuran Tanda vital
Tekanan Darah
Nadi
Suhu
Respirasi
Berat badan
B. Status Generalis
1. Kulit : Warna
Sianosis

2.

Kepala :

3. Mata :

4.

Telinga :

5.

Hidung :

: Baik
: Compos Mentis
: 120/70 mmHg
: 76 kali/menit
: 36,8 C
: 20 kali/menit
: 61 kg
: sawo matang
: tidak ada

Turgor

: cepat kembali

Bentuk

: normosefali

Rambut

: warna hitam

Tebal/tipis

: tebal

Palpebra
: oedem (-/-)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva
: pucat (-/-)
Sklera
: ikterik (-)
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea
: jernih/jernih
Bentuk
: simetris
Sekret
: tidak ada
Serumen
: minimal
Bentuk
: simetris
Hipertrofi konka : ada
Epistaksis
: tidak ada

6.

Mulut :

7.

Lidah :

8.

Faring :

Sekret
Bentuk
Bibir
Gusi
Bentuk
Pucat/tidak
Tremor/tidak
Kotor/tidak

: purulen
: simetris
: kering
: pembengkakan (-), riwayat berdarah (-)
: normal
: pucat
: tidak tremor
: tidak kotor

Hiperemi

: tidak ada

Edema

: tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)
9.

Tonsil :

Warna
: kemerahan
Pembesaran
: tidak ada
Abses/tidak
: tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)

10.

Leher :
Vena Jugularis, Pulsus

: tidak terlihat

Pembesaran kelenjar

: tidak ada

Kaku kuduk

: tidak ada

Masa

: tidak ada

Tortikolis
11. Toraks
a. Dinding dada/paru :

: tidak ada

Inspeksi
Bentuk

: simetris

Retraksi

: tidak ada

Pergerakan`

: simetris

Palpasi
Fremitus fokal

: simetris

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi
Suara Napas Dasar

: vesikuler di parenkim paru

Suara Napas Tambahan

: Rhonki kering (-/-), Wheezing (-/-)

b. Jantung
Inspeksi
Palpasi

: Iktus kordis tidak terlihat


: Apeks teraba di ICS IV II jari medial linea
midklavikula

sinistra,

intensitas

normal,

pelebaran (-),irama reguler dan thrill (-)


Perkusi
Batas Atas
Batas Kanan
Batas Kiri

: ICS II linea parasternal sinistra


: ICS IV linea parasternal dekstra
: ICS IV 2 jari medial linea midklavikula
sinistra

Auskultasi
Bunyi jantung
Suara Tambahan
12. Abdomen
Inspeksi:
Bentuk
Pergerakan
Palpasi

: M1 > M2, M1 > T1 , A2 >A1,


P2 >P1, A2>P2
: tidak Ada

: normal
: simetris
: nyeri tekan

quadran kanan bawah (-),

rovsing sign (-), psoas sign (-),

2.4

Hati

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Ginjal

: tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Pemeriksaan Penunjang

25-11-2015 (RSUD Cut Meutia)


Hematologi klinik
Pemeriksaan
Hb
LED
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
RDW
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
2.5

Hasil
12,4
5,1 x 106/mm3
8,7 x 103/mm3
41,6
12,7
80
24,0
29,7
178 x 103/mm3

Diagnosis Kerja
Sinusitis maksilaris

2.6

Terapi
Infus RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 amp/ 12 jam
Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam
Inj. Asam tranexamat 1 amp/ 12 jam
Inj. Ketorolac 3% /12 jam

2.7

2.8
1.

Prognosa
Quo ad Vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad Functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad Sanationam

: Dubia ad bonam

Operasi
Keadaan pre operasi

Nilai Normal
12-16 g%
<20 mm/jam
3,8-5,8 x 106/mm3
4-11 x 103/mm3
37 47%
11 15%
76 96
27 32
30 35 %
150 450 x 103/mm3

Pasien wanita usia 44 tahun dengan diangnosa konka hipertrofi +


sinusitis maksilaris. Pasien dijadwalkan untuk dilakukan operasi
terbinektomi dan antrostomi.
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tanda vital preoperatif


Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 90 x/i

RR

: 20 x/i

Temp

: 36,7 C

Saturasi

: 100

Status

: ASA 1

2. Keadaan Intraoperatif

Operasi dilaksanakan pada tanggal 15 November 2015 pukul 11.15


s/d 11.40 WIB. Penatalaksaan anestesi pukul 11.10 WIB
Anestesi umum
Posisi

: supine

Anestesi dengan
Premed

: Atropin 1 ml
Petidin 25 ml

Induksi

: Fentanil 50 g
Tracrium 2,5 ml
Fresofol 160 ml

Maintenance

: N2O : 02 = 3:3 dengan isofluran 2 vol %

Jam (WIB)
11.15

Tekanan darah
120/70

Nadi (x/i)
96

RR (x/i)
18

11.30

120/70

92

18

11.40

120/60

96

16

3. Keadaan pasien pasca operasi


Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Tanda-tanda vital
Tekanan darah

:120/70 mmHg

Nadi

: 88 x/i

RR

: 17 x/i

Temp

: 36,6 oC

Aldrete score
Nilai
Warna
Merah
muda (2)

Pernafasan Sirkulasi

Kesadaran

Dapat
bernafas
dalam dan
batuk (2)

Respon
terhadap
rangsangan
(2)

110/80
mmHg
(2)

Aktivitas

Score

Gerak 4
10
ekstremitas
(2)

10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1
a.

Anestesi Umum
Definisi
Anestesi umum (general anestesia) adalah suatu keadaan tidak sadar yang

bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat
pemberian obat anestesia. Untuk mewujudkan trias anestesi berupa hipnotika,
anestesia/analgesia, dan relaksasi dapat diberikan obat anestesi tunggal maupun
kombinasi.1
b.

Manajemen Anestesi Pre-operatif

3.1.b.1 Penilaian Preoperatif


Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum
pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang
akan dioperasi. Tujuannya adalah :
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun
urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)
kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi.

11

Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan


anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter
anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,
foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin
dalam inform consent.1
1)
Histori taking
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin
rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang
belum terdiagnosis.
2)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan

airway,

jantung,

paru-paru,

dan

system

musculoskeletal.

12

Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga


bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal. Skoring Mallampati:
I.
II.
III.
IV.

Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan


Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.1. Kriteria Mallampati


Klasifikasi status fisik ASA (American Society of Aneshtesiologists)
bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat

13

dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan


menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease
hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi
perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna.
Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan
manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.3
Tabel 3.1 klasifikasi ASA
Kelas I
Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
E
3)

Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi


aktivitas sehari-hari.
Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas
normal.
Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan
maupun tanpa operasi.
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap
dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.
Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan
diambil untuk tujuan donor
Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.
Informed Consent

Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.


Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.
3.1.b.2 Masukan Oral

14

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
3.1.b.3 Terapi Cairan
Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah.
Tabel 3.2 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)4
Berat Badan
Jumlah
10kg pertama
4 mL/kg/jam
10kg berikutnya
+ 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg
+ 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
3.1.b.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

15

Memperlancar induksi anesthesia


Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 3.3 Obat-obat yang dapat digunakan untuk premedikasi


No.
Jenis Obat
Dosis (Dewasa)
1
Sedatif:
Diazepam
5-10 mg
Difenhidramin
1 mg/kgBB
Promethazin
1 mg/kgBB
Midazolam
0,1-0,2 mg/kgBB
2
Analgetik Opiat
Petidin
1-2 mg/kgBB
Morfin
0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil
1-2 g/kgBB
Analgetik non opiat
Disesuaikan
3
Antikholinergik:
Sulfas atropine
0,1 mg/kgBB
4
Antiemetik:
Ondansetron
4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid
10 mg (iv) dewasa
5
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,
diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan
5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi
yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.5

16

3.1.b.5 Persiapan di Kamar Operasi


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
Alat-alat resusitasi (STATICS)
Obat-obat anestesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat dan lain-lainnya.


f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
Pulse Oxymeter dan Capnograf.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 3.4 Komponen STATICS
S
Scope
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T
Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A
Airways
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
T
Tapes
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I
Introducer
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C
Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S
Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

17

c.

Pemilihan Teknik Induksi Anestesi


Pemberian anestesi umum dianggap sempurna apabila memenuhi tiga

keadaan yang diinginkan (Trias of Anesthesia), yaitu6 :


1. Hipnotis (tidur) dan amnesia
2. Analgesia yang cukup sehinnga penderita tidak merasakan nyeri
3. Relaksasi otot yang sempurna
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik
lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik
yang paling aman untuk operasi laparoskopi. Pilihan teknik induksi anestesi yang
dapat digunakan adalah ;
1. Induksi Intravena

Teknik ini menyenangkan bagi pasien dan mudah bagi ahli anestesi. Ini
merupakan teknik pilihan untuk beberapa pasien, tapi harus hati-hati karena dosis
sering berlebihan. Peraturan pertama pada insuksi intravena adalah tidak boleh
digunakan pada pasien dengan jalan pernapasan yang sulit ditangani. Unutk
pasien seperti ini, teknik induksi inhalasi lebih aman, dan pasien harus diintubasi
pada saat pasien masih sadar.
2. Induksi Intramuskuler

Induksi intramuskular dapat menggunakan ketamin,

dengan dosis 6-8

mg/kgbb, induksi terjadi dalam beberapa menit, dalam 10-15 menit dapat
dilakukan tindakan bedah. Pada dosis 8 mg/kgbb, ketamin meningkatkan sekresi
saliva, sehingga memerlukan injeksi atropin (dapat dicampur dengan ketamin).
Penambahan ketamin dapat diberikan secara intravena maupun intramuskular.
Pemberian secara intramuskular bertahan lebih lama dan dimasukkan lebih

18

lambat. Jika ketamin dipakai sebagai anaestesi tunggal, kadang-kadang terdapat


keluhan mimpi buruk dan halusinasi. Halusinasi tersebut dapat dikurangi dengan
pemberian diazepam sebelum atau pada akhir anestesi. Halusinasi tidak akan
terjadi apabila ketamin hanya digunakan untuk induksi dan diikuti oleh anestesi
yang konvensional.
3. Induksi Inhalasi

Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani. Jika
diberikan induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian
akibat hipoksia jika kita tidak mengembangkan paru. Sebaliknya, induksi inhalasi
hanya dapat dilakukan jika jalan napas bersih sehiingga obat anestesi bisa masuk
dan anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika
hal ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anakanak yang takut pada jarum.7
a.

Monitoring durante operasi


Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi

adalah:
-

1)

Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter


Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
b.
Manajemen anestesi post operasi
Recovery dari Regional Anastesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery

dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi

19

sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih
minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah,
nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler
harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
2)

Kriteria Discharge dari PACU (post anesthesia care unit)


Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU

berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah


Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke
Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 3.5 Aldrete Skor8
Obyek
Kriteria
Aktivitas
1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
Respirasi

1. Mampu nafas dalam dan batuk


2. Sesak atau pernafasan terbatas
3. Henti nafas

Tekanan darah

1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah


2. Berubah 20-50% dari pra bedah
3. Berubah > 50% dari pra bedah

Kesadaran

1. Sadar baik dan orientasi baik


2. Sadar setelah dipanggil
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang

Warna kulit

1. Kemerahan
2. Pucat agak suram
3. Sianosis

Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada
nilai 0 pada kriteria penilaian objektif

20

3)

Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi

dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari
rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan
komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera
okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus
dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut.9
c.

Efek Samping6
Untuk sampai kepada anesthesia yang dalam maka akan berakibat

timbulnya efek samping yang tidak diinginkan yaitu:


1.
2.
3.
4.
3.2

a.

Gangguan metabolisme karbohidrat


Depresi fungsi ginjal dan liver
Depresi pada miokard dan sirkulasi dan homeostasis
Depresi pernafasan
Sinusitis
Definisi
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa

sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.10 Bila
yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus
terkena disebut pansinusitis.10
b.
Etiologi
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung
(rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen
walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam.
Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah
kelainan

anatomi

hidung,

hipertrofi

konka,

polip

hidung,

dan

rinitis

21

alergi.Rinosinusitis ini sering bermula dari infeksi virus pada selesma, yang
kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan
penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab
lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan
tumor.11
c.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga


mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista.10
d.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu
diagnosis sinusitis akut

22

Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut,


tapi harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan
perawatan intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan
pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi
yang disebabkan sinusitis.

Imaging
Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa, airfluid level, dan perselubungan.Pada sinusitis maksilaris, dilakukan

pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.


CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis
akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang
mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada pasien yang
asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya

sinusitis.
MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan
lunak yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk

e.

mendiagnosis sinusitis akut


Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah

sebagai berikut:
1.
Sinusitis Akut
a) Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta
gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat

23

pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke
tempat lain15
1) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat15. Pada peradangan aktif sinus
maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada
sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke
alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga 16.
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada15
2) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita. Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan
sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak
dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus

24

medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung15
3) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri
berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang
tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien
biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat
pembengkakan supra orbita.
4) Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan
gejala infeksi sinus lainnya16.
2.
Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. 17 Pada rinoskopi
anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi posterior
tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak
sinus yang sakit, suram atau gelap.
3.

Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,

umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus


dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. Polusi bahan kimia
menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan
tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik, sehingga

25

mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan


sinusitis akut tidak sempurna.
f.
Penatalaksanaan
1. Sinusitis Akut
Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae20. Diberikan terapi medikamentosa
berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni
golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan
oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau
kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi
antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam,
cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan
antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan
atau naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. Terapi
pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada
sekret tertahan oleh sumbatan.
2. Sinusitis Subakut
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa
antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10

26

14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu


dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik. Tindakan dapat
berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy)
sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi
sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis
maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau
sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus
cara Proetz.16
3. Sinusitis Kronis
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik
mencukupi 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai
pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan
evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x
tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan
tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi
maka evaluasi diagnosis. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
Pembedahan
Radikal
a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal

27

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan


membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
g.
Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Mukokel

28

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi
sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan
memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
Komplikasi Intra Kranial
Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat
dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat
sistem sel udara ethmoidalis.
Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat,
sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang
terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid
atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

29

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil15,16

30

BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini, Pasien masuk ke poli THT RSU Cut Meutia datang dengan
keluhan hidung tersumbat disertai dengan beringus sejak 1 minggu yang lalu.
Ingus tidak diserta dengan keluarnya darah. Pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri di bagian wajah bagian depan. Pasien juga merasakan nyeri kepala bagian
depan. Nyeri biasanya timbul ketika hidung tersumbat, terasa berputar (-). Pasien
juga merasakan badannya demam beberapa hari ini. Demam terasa naik turun.
Dari pemeriksaan rhinoskopi didapatkan konka hipertrofi dan sekret purulen. Pada
kasus ini pasien didiagnosa menderita sinusitis kronis dan harus segera dilakukan
operasi turbinektomi dan antrostomi dengan anestesi umum.

Anda mungkin juga menyukai

  • Disentri
    Disentri
    Dokumen29 halaman
    Disentri
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen5 halaman
    Daftar Isi
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Anestesi
    Lapkas Anestesi
    Dokumen33 halaman
    Lapkas Anestesi
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Gizi
    Lapkas Gizi
    Dokumen25 halaman
    Lapkas Gizi
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Ga
    Lapkas Ga
    Dokumen30 halaman
    Lapkas Ga
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Color
    Laporan Kasus Color
    Dokumen41 halaman
    Laporan Kasus Color
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Anak
    Anak
    Dokumen3 halaman
    Anak
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Puisi Habibie
    Puisi Habibie
    Dokumen1 halaman
    Puisi Habibie
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Absens I
    Absens I
    Dokumen1 halaman
    Absens I
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Anestesi Umum Pada Sinusitis
    Anestesi Umum Pada Sinusitis
    Dokumen31 halaman
    Anestesi Umum Pada Sinusitis
    Enki Hendrawan
    100% (1)
  • Lapkas
    Lapkas
    Dokumen35 halaman
    Lapkas
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Prom Kes
    Prom Kes
    Dokumen13 halaman
    Prom Kes
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Anestesi
    Lapkas Anestesi
    Dokumen33 halaman
    Lapkas Anestesi
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Status Neurologi
    Status Neurologi
    Dokumen15 halaman
    Status Neurologi
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Dapus 1
    Dapus 1
    Dokumen2 halaman
    Dapus 1
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Tumor Parotis
    Tumor Parotis
    Dokumen28 halaman
    Tumor Parotis
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustak1
    Daftar Pustak1
    Dokumen4 halaman
    Daftar Pustak1
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Appendiksitis
    Appendiksitis
    Dokumen24 halaman
    Appendiksitis
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • COVER Makalah PD
    COVER Makalah PD
    Dokumen1 halaman
    COVER Makalah PD
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Referat Apendisitis
    Referat Apendisitis
    Dokumen28 halaman
    Referat Apendisitis
    Safitri Qamila
    Belum ada peringkat
  • COVER Makalah PD
    COVER Makalah PD
    Dokumen1 halaman
    COVER Makalah PD
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan Cikuguya
    Pendahuluan Cikuguya
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan Cikuguya
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab II Cikugunya
    Bab II Cikugunya
    Dokumen17 halaman
    Bab II Cikugunya
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat
  • Anemia Aplastik
    Anemia Aplastik
    Dokumen27 halaman
    Anemia Aplastik
    Faisal M
    96% (24)
  • Arthritis Gout
    Arthritis Gout
    Dokumen18 halaman
    Arthritis Gout
    Asairul Hidayat
    100% (2)
  • Pendahuluan Cikuguya
    Pendahuluan Cikuguya
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan Cikuguya
    Enki Hendrawan
    Belum ada peringkat