Anda di halaman 1dari 9

Nama

NIM
Mata Ujian
Tanggal
Nomor

:
:
:
:
:

Handa Meru Erio Rakihara


20151030025
Filsafat Ilmu & Etika Bisnis Islami
20-11-2015
3 (Tiga)

Tanda Tangan

3.

Pelayanan kesehatan adalah pengunaan faslitas pelayanan kesehatan yang


disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan oleh petugas/ tenaga
ataupun bentuk kegiatan-kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut
(Azwar, 1996). Pelayanan kesehatan sebagai produk jasa memiliki keunikan dengan ciri
utama:
1. Adanya sifat ketidakpastian (uncertainty) terkait waktu, tempat urgensi dan
biaya.
2. Adanya ketidakseimbangan informasi (asymetry of information) antara provider
dengan pengguna jasa.
3. Adanya manfaat atau risiko kerugian bagi orang lain (Ilyas, 2006).
Adapun syarat pokok suatu pelayanan kesehatan dapat dikatakan baik menurut
Azwar (1996) haruslah :
1.
2.
3.
4.
5.

Tersedia dan berkesinambungan (available and continuous).


Dapat diterima dan wajar (acceptable and appropriate).
Mudah dicapai (accessible).
Mudah dijangkau (affordable).
Bermutu (quality).

Selain kebutuhan diatas juga dibutuhkan unsur spiritual (Agama). Dimana selain
sebasebagai ihtiar untuk meminta kesembuhan juga sebagai pendekatan diri kepada
Allah yang mana kita ketahui bahwa sesungguhnya semua yang ada di dunia ini
semuanya akan kembali ke sisi-Nya. Strateginya adalah Hubungan pembeli dan
penjual : Kemitraan (Partnership), Transaksi dokter dengan pasien : Keadilan,
kemitraan dua pihak saling memerlukan, dan Nilai ekonomi tidak boleh lebih tinggi dari
nilai moral.
Dalam pelayanan spiritual harapkan mampu untuk hadir secara fisik
maupun psikis dimanifestasikan dalam mendengarkan dengan aktif, sikap
empati melalui komunikasi terapeutik (Taylor, 2002) dan memfasilitasi

ibadah

praktis

(Baldacchino

2002),

membantu

pasien

untuk

menginterospeksi diri (Taylor,2005), merujuk kepada rohaniwan jika pasien


membutuhkan (Courtney Seller & Haag 1998, Halm et al 2002, Baldacchino,
2006). Adapun kriteria hasil yang ingin dicapai adalah ditemukannya
kemampuan pasien dalam bersyukur, kedamaian atau ketenangan dan
tergalinya mekanisme koping yang efektif untuk mengatasi rintangan hidup
(Kozier, 2004).

Daftar Pustaka
1. Azwar, A., 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Penerbit Binarupa Aksara.
Jakarta.
2. Baldacchino DR. 2006. Nursing Competencies for spiritual care. Journal of
Clinical Nursing.
3. Taylor, E J. 2002. Spiritual Care. Nursing Theory, Reseach and practise.
Prentice Hall.
4. Kozier, Barbara, 2004, Fundamentals of Nursing: Concepts, process, and
practice, Seventh Edition, Pearson, New Jersey.

Nama
NIM
Mata Ujian
Tanggal
Nomor

:
:
:
:
:

Handa Meru Erio Rakihara


20151030025
Filsafat Ilmu & Etika Bisnis Islami
20-11-2015
2 (Dua)

Tanda Tangan

2.
Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Semua
orang ingin dilayani dan mendapatkan kedudukan yang sama dalam pelayanan
kesehatan. Dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 dan Pasal 34
menyatakan negara menjamin setiap warga negara mendapatkan hidup sejahtera, tempat
tinggal, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, namun sering terjadi
dikotomi dalam upaya pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan yang baik hanya
diberikan bagi kalangan masyarakat yang mampu sedangkan masyarakat yang kurang
mampu tidak mendapatkan perlakuan yang adil dan proporsional (Info Askes, 2010).
Salah

satu

upaya

pemerintah

untuk

mengimplementasikan

kebutuhan

masyarakat akan pelayanan kesehatan yang telah diamanatkan dalam Undang Undang
Dasar 1945 adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan
undang-undang yang mengatur jaminan atau perlindungan sosial untuk seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak diselenggarakan oleh
beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. Dalam undang-undang ini, jenis
program jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Jaminan kesehatan diberikan pada
seluruh warga negara yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh
pemerintah (Info Askes, 2010).
Tetapi dengan adanya jaminan sosial tidak menyelesaikan masalah yang mana
program tersebut tidak tepat sasaran sehingga masyarakat miskin msih banyak yang
tidak bisa menerima pelayanan kesehatan. Dengan adanya perkembangan inovasi
wirausaha sosial yang mana nantinya dapat di terima kalangan menengah kebawah
dengan pelayanan medis terjangkau oleh masyarakat miskin yang memiliki kualitas
yang baik.
Mengelola sebuah LSM seharusnya juga ditunjang dengan modal kewirausahaan
(entrepreneurship). Hanya saja, berbeda dengan organisasi privat yang bertujuan

mencari keuntungan (organisasi profit), maka di organisasi nir laba dikenal istilah social
entrepreneurship

atau

kewirausahaan

sosial.

Secara

umum

pengertian

dari

kewirausahaan adalah upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk memanfaatkan


potensi lingkungan yang ada yang kemudian dapat memiliki nilai tambah melalui
berbagai proses atau tahapan pengelolaan sehingga dapat bermanfaat bagi lingkungan.
Sedangkan representasi kata sosial adalah masyarakat dan lingkungan manusia. Oleh
karena itu, jika kedua kata tersebut digabungkan maka akan menjadi sebuah konsepsi
besar yang memiliki konsekuensi yang besar pula.
Bornstein (2007) mengemukakan bahwa William Drayton, pendiri Ashoka
Fellow,

menjelaskan

kewirausahaan

sosial

melibatkan

person

yang

disebut

sociopreuneur yaitu suatu usaha yang dilakukan dengan metodologi tertentu dengan
pertama mengenali adanya kemacetan atau kemandegan dalam kehidupan masyarakat
yang kemudian menyediakan jalan keluar dari kemacetan atau kemandegan itu. Ia
menemukan apa yang tidak berfungsi, memecahkan masalah dengan mengubah
sistemnya, menyebarluaskan pemecahannya, dan meyakinkan seluruh masyarakat untuk
berani melakukan perubahan. Wirausaha sosial adalah seseorang yang memiliki gagasan
baru, keahlian, dan visi mengimplementasikan pembaruan sosial yang luas di bidang
kepedulian sosial.
Kegiatan kewirausahaan sosial dapat meliputi kegiatan:
a) yang tidak bertujuan mencari keuntungan (laba) untuk dinikmati pendiri atau
perorangan.
b) melakukan bisnis untuk tujuan sosial.
c) campuran dari kedua tujuan itu, yakni tidak untuk mencari keuntungan
pribadi atau berorientasi pada laba, namun untuk tujuan sosial yang
manfaatnya bisa dirasakan melalui perubahan sosial.
Pada dasarnya kewirausahaan sosial memiliki makna "kepeloporan" dan
"kemandirian" dalam pelaksanaan program dan pengumpulan dana. Yang paling perlu
sebelum sampai ke tahapan ini adalah menata organisasi terutama untuk membangun
kepercayaan (building trust).
Konsep kewirausahaan sosial berada dalam tataran penggerakan sebuah
organisasi atau lembaga yang teknis prosedurnya sama dengan kewirausahaan biasa,
namun, dalam tataran kebermanfaatan (benefit). Dalam segi pemecahan masalah sosial
yang ada di masyarakat, kewirausahaan sosial memiliki metodologi baku, seperti

misalnya menggunakan teori community development untuk memberi solusi masalah


sosial, lalu pergi meninggalkan sasaran yang dibantu agar bisa mandiri. Mengutip
kembali dari pernyataan William Drayton (Bornstein, 2007), wirausaha sosial tidak puas
hanya memberi "ikan" atau mengajarkan cara "memancing ikan". Ia tidak akan diam
hingga "industri perikanan" pun berubah.
Strategi yang dapat dilakukan yaitu antara lain :
-

Rekrut tenaga medik sebagai relawan dengan ketulusan hati untuk


mengabdikan kepakarannya menolong masyarakat miskin yang sakit.

Mencari dana pada para dermawan yang cenderung jumlahnya meningkat


(Infaq, Sodakoh, Zakat dll.)

Mereka berprinsip merasa nikmat dalam berinfaq dll. apabila yang


didanai ada kegiatan untuk kesejahteraan masyarakat yang dilakukan secara
profesional.

Penggunaan alat diagnostik dan terapi konvensional (inspeksi, palpasi,


perkusi & auskultasi, otoskopi, rinoskopi, opthalmoskopi yang sederhana
dengan menajamkan ketajaman indera, serta dilakukan dengan komunikasi
efektif).

Pemeriksaan medik profesional tidak berarti harus pakai teknologi dan


instrumen elektronik canggih.

Ketepatan diagnosis tidak dengan alat elektromedik canggih demikian pula


akurasi terapi.

Last but not least : berdoa memohon ridha dan barokah Allah

Sedangkan untuk promosi kepada pasien, Minta Dokter (Spesialis) terkenal untuk
satu minggu sekali sukarela (Amal Akhirat) praktek di balai pengobatan tersebut. Dan
menjelaskan faktor yang mempengaruhi kesembuhan tidak hanya terhadap dokter tetapi
Daya tahan tubuh pasien sendiri (Sistem Imun), Kemantapan hati pasien (Komunikasi
Efektif), Obat-obat dokter (Membantu),dan Ijin Allah.

Daftar Pustaka

5. PT. Askes Indonesia, 2010. Buletin Bulanan Info Askes Edisi Agustus 2010,
Jakarta
6. Baron, A.E., Byrne, D., & Bornstein, R.N. (2007). Social Psychology (7th ed).
USA: Pearson Education, Inc

Nama
NIM
Mata Ujian
Tanggal
Nomor

:
:
:
:
:

Handa Meru Erio Rakihara


20151030025
Filsafat Ilmu & Etika Bisnis Islami
20-11-2015
1 (Satu)

Tanda Tangan

1.
Setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran tidak lepas
dari 3 bidang norma atau kaidah yang menjadi pegangan, dan juga yang menjadi tolak
ukur untuk menentukan seorang dokter atau dokter gigi tersebut bersalah atau tidak
dalam berpraktik. Namun, setiap dokter atau dokter gigi terikat pula oleh norma atau
kaidah sebagai individu, sebagai warga masyarakat dan sebagai anggota profesi maupun
sebagai individu dan profesi melakukan praktik kedokteran.
Tidak dapat disangkali lagi bahwa dengan berlakunya undang-undang praktik
kedokteran maka apa yang menjadi norma atau kaidah-kaidah bagi setiap dokter atau
dokter gigi baik sebagai individu maupun sebagai organisasi profesi. Sebagai individu
pengemban ilmu pengetahuan kedokteran dalam penerapannya maupun sebagai
individu dalam pergaulan masyarakat di bidang praktik kedokteran telah diatur dan
telah diberlakukan.
Undang-undang praktik kedokteran mengatur tentang profesi dan etika
kedokteran dan kedokteran gigi pada pasal 1 angka 11, pasal 8, pasal 68 dan sebagainya,
mengatur disiplin keilmuan kedokteran dan kedokteran gigi antara lain Bab VIII, pasal
55 sampai dengan 70, pasal 44, 45, 46, dan 48 dan sebagainya. Dan yang mengatur
mengenai hukum kedokteran dan kedokteran gigi antara lain Bab X, Bab VI, Bab VII
dan sebagainya dalam undang-undang praktik kedokteran.
Norma atau kaidah etika menjadi lingkup dokter dan dokter gigi baik sebagai
individu dalam profesi dan sebagai penyelenggaraan profesi dalam praktik kedokteran.
Seorang dokter atau dokter gigi harus taat pada norma etika baik dia tidak berpraktik
maupun juga saat melakukan praktik kedokteran. Seorang dokter dan dokter gigi tidak
memiliki STR, SIP, pemalsuan ijazah, pengguna obat terlarang dan sebagainya, secara
etika sebagai anggota profesi tetap dianggap melanggar etika dan dapat diproses oleh
organisasi profesinya. Sedangkan untuk norma disiplin kedokteran, hal ini sangat terkait
dengan dilakukan dalam praktik kedokteran. Penerapan dan penegakan norma-norma

disiplin baru dapat dikatakan aktif bila dilakukan dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran. Seorang dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki STR atau SIP,
pemalsuan ijazah, pengguna obat-obat terlarang dan sebagainya, bila diterapkan dan
terjadi pada penyelenggaraan praktik kedokteran, maka tidak saja norma etika, tetapi
norma-norma disiplin juga berlaku dan dapat dikenakan, karena dianggap prilaku dokter
itu berpengaruh terhadap praktik kedokteran yang dilakukannya.
Begitu pula pada norma hukum yang mengatur terhadap dokter dan dokter gigi
secara individu untuk pergaulan dalam masyarakat tetapi adapula norma hukum dalam
pergaulan pada penyelenggaraan praktik kedokteran. Jadi pada norma hukum mengatur
dokter dan dokter gigi baik diluar praktik kedokteran maupun didalam melaksanakan
praktik kedokteran.
Wilayah norma etika terdiri dari wilayah norma etika dokter dan dokter gigi
secara individu berprilaku sebagai anggota profesi dan wilayah norma etika dalam
melaksanakan praktik kedokteran. Wilayah norma disiplin dapat dikenakan terhadap
dokter atau dokter gigi yang berprilaku dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
karena diluar praktik kedokteran hanya ada pada wilayah norma etika dan hokum.
Untuk wilayah norma hukum baik dokter atau dokter gigi sebagai individu dalam
pergaulan dalam masyarakat maupun juga dokter atau dokter gigi yang melaksanakan
praktik kedokteran.
Persamaan dan perbedaan antara disiplin, etika, dan hukum pada profesi kedokteran
Persamaan

Disiplin & Etika Profesi Kedokteran Hukun Profesi Kedokteran


1. Alat untuk mengatur tertibnya 1. Alat untuk mengatur tertibnya
hidup bermasyarakat

hidup bermasyarakat

2. Objeknya tingkah laku manusia

2. Objeknya tingkah laku manusia

3. Mengandung hak dan kewajiban 3. Mengandung hak dan kewajiban


anggota masyarakat agar tidak saling anggota
merugikan.
4.

Menggugah

masyarakat

agar

tidak

saling merugikan.
kesadaran

bersikap manusiawi

untuk 4. Menggugah kesadaran untuk


bersikap manusiawi

5. Sumbernya hasil pemikiran para 5. Sumbernya hasil pemikiran para


pakar dan pengalaman senior

pakar dan pengalaman senior

(Etika disusun oleh pengalaman (Hukum

disusun

oleh

yang

senior)
Perbedaan

1.

Berlaku

memiliki kekuasaan)
untuk

lingkungan 1. Berlaku untuk umum

professional

2. Disusun oleh badan pemerintah /

2. Disusun berdasarkan kesepakatan kekuasaan


anggota profesi

3. Tercantum secara rinci dalam

3. Tidak seluruhnya tertulis

kitab

UU

dan

lembaran/berita

4. Pelanggaran diselesaikan oleh negara


majelis kehormatan etik

4. Pelanggaran diselesaikan melalui

5. Sanksi pelanggaran tuntunan

pengadilan

6. Penyelesaian pelanggaran tidak 5. Sanksi pelanggaran tuntutan


selalu disertai bukti fisik

6.

Penyelesaian

pelanggaran

memerlukan bukti fisik

Daftar Pustaka
7. Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
8. Konsil kedokteran Indonesia, Kemitraan dalam Hubungan Dokter, Pasien,
Jakarta 2006.
9. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006 tentang
Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter Dan Dokter
Gigi oleh MKDKI dan MKDKI Propinsi.
10. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/Kep/VIII/2006
tentang Pedoman Penegaan Disiplin Profesi Kedokteran.
11. Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga

Universitas, Press, Surabaya, 1984.

Anda mungkin juga menyukai