MS Ec RHD + PHT
MS Ec RHD + PHT
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Jenis kelamin
Agama
:
:
:
:
:
:
Tn. E.T.R
26 th
Dok V jln. Agats
Satpam
Laki laki
Kristen Protestan
Suku
No. RM
Tanggal masuk RS
Tanggal keluar RS
:
:
:
:
Flores
38-05-20
16-08-2015
26-08-2015
Tanda vital:
o Tekanan darah
: 160/40 mmHg
o Frekuensi nadi
: 85 x/min
o Frekuensi nafas : 20 x/min
o Suhu tubuh
: 35,5oC
Kepala
: CP (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher
: Pembesaran KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O
Thoraks
o Pulmo :
I
: Simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
P
: Taktil fremitus D=S
P
: Sonor di kedua lapang paru
A
: SN vesikuler/vesikuler, rhonky (-/-) basal paru, wheezing (-/-)
o Cor
:
I
: Ictus cordis terlihat
P
: Ictus cordis teraba 2 jari lateral dari midclavicula sinistra setinggi ICS V
Thrill teraba
P
: Batas jantung kiri ICS V linea axilaris anterior sinistra
Batas jantung kanan ICS V linea parasternal dekstra
A
: BJ I/II iregular, murmur (+) sistolik di katup mitral dan aorta.
Abdomen :
I
: cembung, benjolan (-)
A
: BU (+) normal
P
: nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
P
: tympani
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen Thorax : cor kesan pembesaran jantung (CTR 65%)
b. Pemeriksaan EKG
Diastolic pseudonormal
d. Laboratorium (16/08/2015)
Hb
WBC
PLT
Asam urat
Ureum
Kreatinin
ASTO titer
: 11,7 gr/dL
: 5,8 103/mm2
: 308 103/mm2
: 10,1 mg/dL
: 32 mg/dL
: 0,9 mg/dL
: + 400 iu/mL
E. Diagnosis Kerja:
- RHD Double Valve AR- Msi (reaktivasi)
- Hiperuricemia
F. Terapi
- IVFD RL 1000 cc/24 jam
- Lasix 2x 1 amp IV
- Lisinopril 1 x 5 mg
- Aspirin 2x 500 mg
- Azitromicin 1 x 500 mg
- Bisoprolol 1x5 mg
- Ranitidin 2x 1 ampul
- Paracetamol 3x 500 mg
- Allopurinol 1x 200 mg
- Metilprednisolon 3x 16 mg
Follow Up Ruangan
Hari /
Tanggal
Selasa,
25/07/2015
HP = 10
Catatan
S : tidak ada keluhan
O:
KU : TSR, Kes : CM
TD: 150/40 N: 94 x/m R: 20x/m SB: 36oC
Kepala: CP (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : P> KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler (+/+),
rho (-/-), whe (-/-)
Cor : IC terlihat. IC teraba 2 jari lateral dari
Tindakan
-
Rabu,
26/07/2015
HP = 11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Penyakit Jantung Reumatik
3.1.1
Definisi
Penyakit jantung reumatik adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam reumatik
atau kelainan karditis reumatik.1
Demam Reumatik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang
digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat akibat kuman
Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik. Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan
yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.1
Demam reumatik akut adalah suatu penyakit sistemik akut atau kronik yang dapat
sembuh sendiri, oleh sebab yang jelas, dan menimbulkan cacat pada katup jantung secara
lambat.2
3.1.2
Patogenesis1
Meskipun sampai sekarang ada hal-hal vang belum jelas, tetapi ada penelitian yang
mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien
menunjukkan peninggian titer antistreptoksin O (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNAase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA.
7
Manifestasi Klinis2
Gambaran klinis umumnya dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi 39C
atau artritis yang timbul setelah 2-3 minggu setelah infeksi.
Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan tanda-tanda umum berupa malaise,
astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian dapat berupa atralgia, yaitu nyeri
persendian dengan tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan
gerak. Artritis pada demam reumatik dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian.
Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis), nodul
subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri abdomen.
3.1.4
Diagnosis1
Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada simtom,
gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi
Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi
ASTO dan anti DNA-ase B.
Table 1. 1,2
Gejala Major
o Poliatritis
o Karditis
o Korea
o Nodul subkutaneus
o Eritema marginatum
Gejala Minor
o Klinis: - suhu tinggi
o Sakit sendi (artralgia)
o Riwayat pernah menderita DR/PJR
o LED meningkat
o Didahului
infeksi
Streptococcus
hemolyticus
Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DRPJR didasarkan
atas adanya:
Definisi
8
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri
melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini
menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada
saat diastol.1
3.2.2
Etiologi
Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari
demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain adalah kongenital, deformitas
parasut mitral, vegetasi systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit
amiloid, akibat obat fenfluramin/phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi
annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.1,3,4
3.2.3
Patofisiologi1,5
orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm 2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa
peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Dilatasi
atrium terjadi karena volume atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium untuk
mengosongkan diri secara normal.
bising jantung diastolik yang merupakan petunjuk adanya aliran abnormal melalui lubang
katup yang menyempit. Lebar katup yang kurang dari 1 cm2 menunjukkan kegawatan stenosis
mitralis.
Gambaran klinis bergantung pada gangguan hemodinamik yang terjadi; tetapi biasanya
gejala yang paling dini adalah sesak napas sewaktu bekerja. Perubahan hemodinamik akibat
bekerja yang kurang dapat ditoleransi pada stenosis mitralis, yaitu: (1) Takikardi (denyut
jantung cepat), dan (2) Peningkatan tekanan atrium kiri. Takikardi akan mengurangi lama
diastolic (waktu pengisian ventrikel dari atrium) yang akan mengganggu pengisian ventrikel
sehingga mempersulit pengosongan atrium dan menyebabkan lama pengisian ventrikel
menurun, curah jantung berkurang, dan kongesti paru-paru meningkat. Peningkatan tekanan
atirum kiri sewaktu melakukan kegiatan fisik semakin memperberat kongesti paru-paru; aliran
darah mengalami hambatan sehingga peningkatan tekanan diteruskan ke belakang ke paruparu. Jadi dispnea yang timbul saat melakukan kegiatan fisik terjadi akibat kongesti paruparu. Rasa lemah dan lelah juga merupakan gejala awal yang sering ditemukan akibat curah
jantung yang menetap jumlahnya dan akhirnya berkurang.
Stenosis mitralis stadium akhir berkaitan dengan gagal jantung kanan yang disertai
pembesaran vena sistemik, hepatomegali, edema perifer, dan asites. Gagal jantung kanan dan
dilatasi ventrikel dapat menimbulkan regurgitasi trikuspidalis fungsional.
3.2.4
Stenosis mitral diklasifikasikan menjadi tiga kelas dari ringan hingga berat sesuai
dengan mitral valve area (MVA).
Tabel 2.
Derajat Stenosis
Ringan
Sedang
Berat
3.2.5
Manifestasi Klinis1,3,4
11
Biasanya keluhan utama berupa sesak napas, dapat juga fatigue. Pada stenosis mitral
yang bermakna dapat mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari (dyspnea d effort),
paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas.
Aritmia atrial (irama jantung berdebar) berupa fibrilasi atrium juga menciptakan
kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 30-40%. Kadang-kadang pasien
mengeluh terjadi hemoptisis yang menurut Wood dapat terjadi karena: (1) apopleksi pulmonal
akibat rupturnya vena bronkial yang melebar. (2) sputum dengan bercak darah pada saat
serangan paroksismal nokturnal dispnea,(3) sputum seperti karat {pink frothy) oleh karena
edema paru yang jelas, (4) infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa
bronkus.
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli,
infektif endokarditis atau simtom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti disfagia
dan suara serak.
3.2.6
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik1
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah opening snap dan bising diastol kasar
('diastolic rumble') pada daerah mitral, tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit
bahkan tidak ditemukan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi bila tidak
dilakukan dengan hati-hati. SI mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat
tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke
posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba sebagai thrill.
Pada keadaan di mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup
mitral tidak menimbulkan bunyi SI yang keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2
yang mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising
Temuan lain dapat berupa garis Kerley A serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.
Ekokardiografi Doppler1
12
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk diagnosis
stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografi, kateterisasi jantung merupakan suatu
keharusan dalam diagnosis.
Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari
daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri ('mitral valve area'), struktur
dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta ukuran dari area
mitral dengan cara mengukur 'pressure half time' terutama bila struktur katup
sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan planimetri tidak
dimungkinkan. Selain dari pada itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral
yang sering menyertai stenosis mitral.
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko doppler ditentukan antara lain
oleh gradien transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan pulmonal.
Ekokardiografi Transesofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan tranduser endoskop,
sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur katup, atrium
kiri atau apendiks atrium. Dilakukan bila terdapat keraguan kemungkinan adanya
thrombus.
Kateterisasi
Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan
intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon. Kateterisasi digunakan untuk:
mengukur beda tekanan antara atrium dan ventrikel kiri, menentukan derajat
hipertensi pulmonal, angiografi koroner bila usia penderita 40 th, mengevaluasi
adanya ketidaksesuaian antara klinis dan ekokardiografi.
3.2.7
Penatalaksanaan4
1. Pengelolaan medik
a. Obat-obat untuk mengatasi gangguan akibat adanya obstruksi mekanis:
Beta bloker untuk memperpanjang waktu pengisian diastolik.
Diuretik (furosemid, spironolakton), restriksi garam.
Digitalis (digoxin, -methyl digoxin) bila diperlukan terutama pada Fibrilasi Atrial
yang permanen untuk kontrol denyut jantung (ventricular Rate) dengan target 1NR
2-3.
Antikoagulan (warfarin) bila ditemukan Fibrilasi Atrial
Antiaritmia (amiodaron, sulfas kinidin, beta bloker, ca antagonis); kardioversi
Kontraindikasi:
Bukti obyektif adanya mobile trombus di atrium kiri atau mendekati ke katup
b.
pulmonal)
Intervensi bedah
Bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup.
Indikasi:
Bila ditemukan kontraindikasi untuk dilakukan intervensi non bedah dan terrdapat
class I)
Jenis Intervensi Bedah
Reparasi katup mitral
Penderita secara teknis memungkinkan dilakukan reparasi /Reparasi katup mitral
(komisurotomi, valvulotomy anuloplasti, rekonstruksi korda/muskulus papilaris).
14
Etiologi
Regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 2 macam kelainan
yaitu :
-
Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada penyakit kolagen, aortitis sifilitika,
diseksi aorta
3.3.2
Regurgitasi aorta akut. Berbeda dengan regurgitasi kronik, regurgitasi akut biasanya
timbul secara mendadak dan banyak, sehingga belum sempat terjadi mekanisme
kompensasi yang sempurna. Gejala sesak napas berat akibat tekanan vena pulmonal
yang meningkat secara tiba tiba.
Dari uraian di atas, pada kasus Tn.E, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan sesak
yang memberat 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus pada
saat aktifitas dan istirahat. Pasien hanya dapat berjalan 5 meter, naik tangga (-), pasien
tidur memakai 3 bantal. Demam (+) 3 hari yang lalu. nyeri ulu hati (+), nyeri pada
persendian (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan murmur diastolik katup mitral dan aorta,
JVP 5+2 cmH20. Pada foto thoraks didapatkan kardiomrgali. Pada echokardiografi
didapatkan:
16
sehari. Dosis spironolakton berkisar antara 25-200 mg dengan dosis efektif sehari rata-rata
100 mg.
Pasien juga mendapat antitrombotik berupa Aspirin dosis maintenance 2 x 500mg dan
ranitidine sebagai terapi tambahan yang merupakan suatu histamin antagonis reseptor H2
yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi
asam lambung.
Pada pasien diberikan terapi Azihtromycin sebagai pencegahan sekunder demam
reumatik/penyakit jantung rematik. Dosis azithromycin 1-2 g/hari.
Pasien dirawat selama 11 hari, dipulangkan setelah terjadi perbaikan secara klinis,
dan dianjurkan untuk kembali memeriksakan diri ke poliklinik 5 hari kemudian.
17
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien Tn. E, didiagnosis dengan Rhematoid Heart Disease Double Valve (Reaktivasi)
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai dengan tata laksana yang ada pada
kepustakaan. Hal ini terbukti dengan adanya perbaikan secara klinis pada pasien.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
InternaPublising
2. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI
3. Setiawan, Fachri. 2014. Hubungan Mitral Valve Area (Mva) Dengan Hipertensi
Pulmonal Pada Stenosis Mitral. File Pdf
4. Boestan, Iwan N, dkk. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi Dept/SMF Ilmu Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Surabaya: RSUD Dr. Sutomo
5. Price, Silvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
6. Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
19