Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Demam reumatik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik nonsupuratif dengan


proses delayed autoimun pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses
reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama
jantung, sendi dan sistem saraf pusat.
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral. Penyebab stenosis mitral
paling sering adalah demam rematik, kemudian dapat juga disebabkan oleh gangguan katup
kongenital, kalsifikasi anular katup yang masif, ataupun penyakit sistemik lainnya seperti
karsinoid, SLE, arthritis rematik, dan mukopolisakaridosis. Kurang lebih 60% pasien dengan
katup mitral rematik tidak memberikan riwayat adanya demam rematik. Hampir 50% dari
karditis rematik akut belum memberikan dampak signifikan pada katup. Kira-kira 25% dari
seluruh penyakit jantung rematik menyebabkan stenosis mitral, 40% kombinasi antara
stenosis mitral dan regurgitasi mitral. Kurang lebih 38% dari seluruh stenosis mitral adalah
multivalvuler, 35% melibatkan katup aorta dan 6% melibatkan katup trikuspidal. Katup
pulmonal jarang terkena. Dua pertiga dari seluruh kasus rematik adalah wanita. Interval waktu
terjadinya kerusakan katup akibat demam rematik bervariasi dari beberapa tahun sampai lebih
dari 20 tahun.3

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Jenis kelamin
Agama

:
:
:
:
:
:

Tn. E.T.R
26 th
Dok V jln. Agats
Satpam
Laki laki
Kristen Protestan

Suku
No. RM
Tanggal masuk RS
Tanggal keluar RS

:
:
:
:

Flores
38-05-20
16-08-2015
26-08-2015

B. Anamnesis (Tanggal 16/08/2015)


1. Keluhan Utama
Sesak yang memberat 1 hari sebelum masuk rumah sakit
2. RPS
Pasien datang ke RSUD Dok II dengan keluhan sesak yang memberat 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus pada saat aktifitas dan
istirahat. Pasien hanya dapat berjalan 5 meter, naik tangga (-), pasien tidur memakai
3 bantal. Demam (+) 3 hari yang lalu. batuk (-), nyeri ulu hati (+), nyeri pada
persendian (+), makan/minum (+/+), BAK/BAB (+/+).
3. RPD
Riwayat Hipertensi (-), DM (-), riwayat pengobatan TB (-), asma (-), alergi (-).
Riwayat sakit tenggorokkan 2 minggu yang lalu dan 1 bulan yang lalu.
4. RPK
Tidak di temukan keluarga yang mengalami keluhan serupa

C. Pemeriksaan Fisik (24/08/2015)


Keadaan umum:
o Tampak sakit sedang
o Berat badan : 70 Kg
Kesadaran:
o Compos mentis
o GCS E4M6V5
2

Tanda vital:
o Tekanan darah
: 160/40 mmHg
o Frekuensi nadi
: 85 x/min
o Frekuensi nafas : 20 x/min
o Suhu tubuh
: 35,5oC
Kepala
: CP (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher
: Pembesaran KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O
Thoraks
o Pulmo :
I
: Simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
P
: Taktil fremitus D=S
P
: Sonor di kedua lapang paru
A
: SN vesikuler/vesikuler, rhonky (-/-) basal paru, wheezing (-/-)
o Cor
:
I
: Ictus cordis terlihat
P
: Ictus cordis teraba 2 jari lateral dari midclavicula sinistra setinggi ICS V
Thrill teraba
P
: Batas jantung kiri ICS V linea axilaris anterior sinistra
Batas jantung kanan ICS V linea parasternal dekstra
A
: BJ I/II iregular, murmur (+) sistolik di katup mitral dan aorta.
Abdomen :
I
: cembung, benjolan (-)
A
: BU (+) normal
P
: nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
P
: tympani
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen Thorax : cor kesan pembesaran jantung (CTR 65%)

b. Pemeriksaan EKG

c. Pemeriksaan Ekokardiografi (21/08/2015)


AR berat, MR Moderat, MS Ringan
LA- LV dilatasi
EF normal
4

Diastolic pseudonormal

d. Laboratorium (16/08/2015)
Hb
WBC
PLT
Asam urat
Ureum
Kreatinin
ASTO titer

: 11,7 gr/dL
: 5,8 103/mm2
: 308 103/mm2
: 10,1 mg/dL
: 32 mg/dL
: 0,9 mg/dL
: + 400 iu/mL

E. Diagnosis Kerja:
- RHD Double Valve AR- Msi (reaktivasi)
- Hiperuricemia
F. Terapi
- IVFD RL 1000 cc/24 jam
- Lasix 2x 1 amp IV
- Lisinopril 1 x 5 mg
- Aspirin 2x 500 mg
- Azitromicin 1 x 500 mg
- Bisoprolol 1x5 mg
- Ranitidin 2x 1 ampul
- Paracetamol 3x 500 mg
- Allopurinol 1x 200 mg
- Metilprednisolon 3x 16 mg

Follow Up Ruangan
Hari /
Tanggal
Selasa,
25/07/2015
HP = 10

Catatan
S : tidak ada keluhan
O:
KU : TSR, Kes : CM
TD: 150/40 N: 94 x/m R: 20x/m SB: 36oC
Kepala: CP (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : P> KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler (+/+),
rho (-/-), whe (-/-)
Cor : IC terlihat. IC teraba 2 jari lateral dari

Tindakan
-

IVFD RL 1000 cc/24 jam


Lasix 2x 1 amp IV
Lisinopril 1 x 5 mg
Aspirin 2x 500 mg
Azitromicin 1 x 500 mg
Bisoprolol 1x5 mg
Ranitidin 2x 1 ampul
Paracetamol 3x 500 mg
Allopurinol 1x 200 mg
Metilprednisolon 3x 16 mg

midclavicula S setinggi ICS V, thrill teraba.


Batas jantung kiri ICS V linea axillaris
5

anterior S, batas jantung kanan ICS V


parasternal D, batas jantung atas ICS II
parasternal S. BJ I/II regular, murmur (+)
katub aorta, mitralis. Gallop (-)
Abdomen: cembung, BU (+) normal. Supel,

Rabu,
26/07/2015
HP = 11

NT (-), Hepar/lien tidak teraba. timpani.


Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi baik, BAB/BAK baik
A: - RHD Double Valve AR-Msi (Reaktivasi)
S : tidak ada keluhan
O:
KU : TSR, Kes : CM
TD: 130/40 N: 88 x/m R: 20x/m SB: 36,2oC
Kepala: CP (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : P> KGB (-), JVP 5 + 2 cm H2O
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler (+/+),

IVFD RL 1000 cc/24 jam


Lasix 1 x 1 tab
Spironolakton 1x25 mg
Lisinopril 1 x 5 mg
Aspirin 2x 500 mg
Bisoprolol 1x5 mg
Ranitidin 2x 1 tab
Metilprednisolon 2 x 16 mg

rho (-/-), whe (-/-)


Cor : IC terlihat. IC teraba 2 jari lateral dari
midclavicula S setinggi ICS V, thrill teraba.
Batas jantung kiri ICS V linea axillaris
anterior S, batas jantung kanan ICS V
parasternal D, batas jantung atas ICS II
parasternal S. BJ I/II regular, murmur (+)
katub aorta, mitralis. Gallop (-)
Abdomen: cembung, BU (+) normal. Supel,
NT (-), Hepar/lien tidak teraba. timpani.
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi baik, BAB/BAK baik
A: - RHD Double Valve AR-Msi (Reaktivasi)

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Penyakit Jantung Reumatik
3.1.1
Definisi
Penyakit jantung reumatik adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam reumatik
atau kelainan karditis reumatik.1
Demam Reumatik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang
digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat akibat kuman
Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik. Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan
yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.1
Demam reumatik akut adalah suatu penyakit sistemik akut atau kronik yang dapat
sembuh sendiri, oleh sebab yang jelas, dan menimbulkan cacat pada katup jantung secara
lambat.2
3.1.2

Patogenesis1

Meskipun sampai sekarang ada hal-hal vang belum jelas, tetapi ada penelitian yang
mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien
menunjukkan peninggian titer antistreptoksin O (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNAase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA.
7

Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan


utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya responsi
umum dari "host" dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Risiko untuk kambuh
sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus adalah 50-60%.
3.1.3

Manifestasi Klinis2

Gambaran klinis umumnya dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi 39C
atau artritis yang timbul setelah 2-3 minggu setelah infeksi.
Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan tanda-tanda umum berupa malaise,
astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian dapat berupa atralgia, yaitu nyeri
persendian dengan tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan
gerak. Artritis pada demam reumatik dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian.
Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis), nodul
subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri abdomen.
3.1.4

Diagnosis1

Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada simtom,
gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi
Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi
ASTO dan anti DNA-ase B.
Table 1. 1,2
Gejala Major
o Poliatritis
o Karditis
o Korea
o Nodul subkutaneus
o Eritema marginatum

Gejala Minor
o Klinis: - suhu tinggi
o Sakit sendi (artralgia)
o Riwayat pernah menderita DR/PJR
o LED meningkat
o Didahului
infeksi
Streptococcus

hemolyticus
Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DRPJR didasarkan
atas adanya:

Dua gejala mayor atau


Satu gejala mayor dengan dua gejala minor

3.2 Stenosis Mitral


3.2.1

Definisi
8

Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri
melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini
menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada
saat diastol.1
3.2.2

Etiologi

Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari
demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain adalah kongenital, deformitas
parasut mitral, vegetasi systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit
amiloid, akibat obat fenfluramin/phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi
annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.1,3,4
3.2.3

Patofisiologi1,5

Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran

4-6 cm 2. Bila area

orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm 2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa
peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Dilatasi
atrium terjadi karena volume atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium untuk
mengosongkan diri secara normal.

Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri


dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah
paru, akibatnya terjadi kongesti paru-paru, mulai
dari kongesti vena yang ringan sampai edema
interstisial yang kadang-kadang disertai transudasi
cairan ke dalam alveoli.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada stenosis mitral akibat
kenaikan tekanan atrium kiri. Terjadi peningkatan
tekanan arteria pulmonalis akibat peningkatan
kronis resistensi vena pulmonalis karena perbedaan
tekanan yang memadai untuk mendorong darah
melalui pembuluh paru-paru. Namun demikian,
hipertensi pulmonalis meningkatkan resistensi
ejeksi ventrikel kanan menuju arteria pulmonalis
yang berujung pada hipertrofi otot ventrikel kanan.
Terjadi perubahan struktur berupa hipertrofi
lapisan media dan penebalan lapisan intima pada
pembuluh darah paru (dinding arteri kecil dan arteriola) yang bertujuan melindungi kapiler
paru-paru terhadap tekanan ventrikel kanan dan aliran darah paru yang meninggi, yang
berakibat pada penyempitan lumen pembuluh dan peningkatan resistensi pembuluh paru.
Konstriksi arteriolar ini (atau hipertensi pulmonal reaktif) jelas meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis. Tekanan pulmonalis dapat meningkat progresif sampai setinggi tekanan sistemik.
Ventrikel kanan tidak dapat memenuhi tugas sebagai pompa bertekanan tinggi untuk
jangka waktu yang lama yang akhirnya tidak dapat berfungsi lagi sebagai pompa. Kegagalan
ventrikel kanan dipantulkan ke belakang ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan kongesti
pada vena sistemik dan edema perifer. Gagal jantung kanan dapat disertai oleh regurgitasi
fungsional katup trikuspidalis akibat pembesaran ventrikel kanan.
Sesudah beberapa tahun, lesi stenosis mitralis akan memperkecil lubang katup. Gejalagejala secara khas muncul saat lubang katup mengecil sampai sekitar 50% dari ukuran
normal. Saat lubang katup sudah menyempit, maka tekanan atrium kiri akan naik untuk
mempertahankan pengisian ventrikel dan curah jantung; akibatnya, tekanan vena pulmonalis
akan meningkat sehingga menimbulkan dispnea. Pada tahap awal biasanya dapat didengar
10

bising jantung diastolik yang merupakan petunjuk adanya aliran abnormal melalui lubang
katup yang menyempit. Lebar katup yang kurang dari 1 cm2 menunjukkan kegawatan stenosis
mitralis.
Gambaran klinis bergantung pada gangguan hemodinamik yang terjadi; tetapi biasanya
gejala yang paling dini adalah sesak napas sewaktu bekerja. Perubahan hemodinamik akibat
bekerja yang kurang dapat ditoleransi pada stenosis mitralis, yaitu: (1) Takikardi (denyut
jantung cepat), dan (2) Peningkatan tekanan atrium kiri. Takikardi akan mengurangi lama
diastolic (waktu pengisian ventrikel dari atrium) yang akan mengganggu pengisian ventrikel
sehingga mempersulit pengosongan atrium dan menyebabkan lama pengisian ventrikel
menurun, curah jantung berkurang, dan kongesti paru-paru meningkat. Peningkatan tekanan
atirum kiri sewaktu melakukan kegiatan fisik semakin memperberat kongesti paru-paru; aliran
darah mengalami hambatan sehingga peningkatan tekanan diteruskan ke belakang ke paruparu. Jadi dispnea yang timbul saat melakukan kegiatan fisik terjadi akibat kongesti paruparu. Rasa lemah dan lelah juga merupakan gejala awal yang sering ditemukan akibat curah
jantung yang menetap jumlahnya dan akhirnya berkurang.
Stenosis mitralis stadium akhir berkaitan dengan gagal jantung kanan yang disertai
pembesaran vena sistemik, hepatomegali, edema perifer, dan asites. Gagal jantung kanan dan
dilatasi ventrikel dapat menimbulkan regurgitasi trikuspidalis fungsional.

3.2.4

Klasifikasi stenosis mitral3

Stenosis mitral diklasifikasikan menjadi tiga kelas dari ringan hingga berat sesuai
dengan mitral valve area (MVA).
Tabel 2.
Derajat Stenosis
Ringan
Sedang
Berat
3.2.5

Mitral Valve Area (MVA) dalam cm2


> 1.5 cm2
>1 dan < 1.5 cm2
< 1 cm2

Manifestasi Klinis1,3,4
11

Biasanya keluhan utama berupa sesak napas, dapat juga fatigue. Pada stenosis mitral
yang bermakna dapat mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari (dyspnea d effort),
paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas.
Aritmia atrial (irama jantung berdebar) berupa fibrilasi atrium juga menciptakan
kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 30-40%. Kadang-kadang pasien
mengeluh terjadi hemoptisis yang menurut Wood dapat terjadi karena: (1) apopleksi pulmonal
akibat rupturnya vena bronkial yang melebar. (2) sputum dengan bercak darah pada saat
serangan paroksismal nokturnal dispnea,(3) sputum seperti karat {pink frothy) oleh karena
edema paru yang jelas, (4) infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa
bronkus.
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli,
infektif endokarditis atau simtom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti disfagia
dan suara serak.
3.2.6
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik1
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah opening snap dan bising diastol kasar
('diastolic rumble') pada daerah mitral, tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit
bahkan tidak ditemukan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi bila tidak
dilakukan dengan hati-hati. SI mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat
tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke
posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba sebagai thrill.
Pada keadaan di mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup
mitral tidak menimbulkan bunyi SI yang keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2
yang mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising

diastol pada mitral.


Pemeriksaan Foto Toraks1,4
Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta pembesaran
arteri pulmonalis, atrium dan ventrikel kanan pada stenosis mitralis berat, (terdapat
hubungan yang bermakna antara besarnya ukuran pembuluh darah dan resistensi
vaskular pulmonal). Edema intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien
dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg, pada 70% bila tekanan atrium kiri >20 mmHg.

Temuan lain dapat berupa garis Kerley A serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.
Ekokardiografi Doppler1

12

Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk diagnosis
stenosis mitral. Sebelum era ekokardiografi, kateterisasi jantung merupakan suatu
keharusan dalam diagnosis.
Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari
daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri ('mitral valve area'), struktur
dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta ukuran dari area
mitral dengan cara mengukur 'pressure half time' terutama bila struktur katup
sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan planimetri tidak
dimungkinkan. Selain dari pada itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral
yang sering menyertai stenosis mitral.
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan eko doppler ditentukan antara lain

oleh gradien transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan pulmonal.
Ekokardiografi Transesofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan tranduser endoskop,
sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur katup, atrium
kiri atau apendiks atrium. Dilakukan bila terdapat keraguan kemungkinan adanya

thrombus.
Kateterisasi
Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk suatu prosedur pengobatan
intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon. Kateterisasi digunakan untuk:
mengukur beda tekanan antara atrium dan ventrikel kiri, menentukan derajat
hipertensi pulmonal, angiografi koroner bila usia penderita 40 th, mengevaluasi
adanya ketidaksesuaian antara klinis dan ekokardiografi.

3.2.7
Penatalaksanaan4
1. Pengelolaan medik
a. Obat-obat untuk mengatasi gangguan akibat adanya obstruksi mekanis:
Beta bloker untuk memperpanjang waktu pengisian diastolik.
Diuretik (furosemid, spironolakton), restriksi garam.
Digitalis (digoxin, -methyl digoxin) bila diperlukan terutama pada Fibrilasi Atrial
yang permanen untuk kontrol denyut jantung (ventricular Rate) dengan target 1NR

2-3.
Antikoagulan (warfarin) bila ditemukan Fibrilasi Atrial
Antiaritmia (amiodaron, sulfas kinidin, beta bloker, ca antagonis); kardioversi

elektrik bila diperlukan untuk Fibrilasi Atrial yang persisten.


b. Obat-obat pencegahan sekunder demam reumatik.
Benzathin benzylpenicillin 1.200.000 u bila BB> 30 kg dan 600 000 u bila BB <
30 kg IM, setiap 3-4 minggu
13

Phenoxymethyl penicillin (Penicillin V) 2 x 250 mg


Erythromycin bila alergi penicillin 2 x 250 mg
c. Terapi terhadap anemia, infeksi, hemoptysis; hindari aktivitas yang berat.
2. Pengelolaan intervensi
a. Intervensi non bedah: Valvotomy (percutaneous Balloon Mitral Valvuloplasty (BMV)
disebut juga Percutaneus Transluminal Mitral Commisurotomy (PTMC))
Indikasi:
Pasien simtomatik (NYHA fungsional kelas II. Ill atau IV), MS sedang atau berat
(MVA < I 5 cm2) dan morfologi katup menguntungkan untuk PTMC tanpa adanya

trombus di atrium kiri atau MR berat.


Pasien asimtomatik dengan MS sedang atau berat (MVA < 1.5 cm 2) dan morfologi
katup menguntungkan untuk PTMC dengan hipertensi pulmonal (PASP >50
mmHg saat istirahat atau 60 mmHg saat aktivitas) tanpa adanya trombus di atrium

kiri atau MR sedang-berat.


Pasien dengan NYHA fungsional kelas III-IV, MS sedang atau berat (MVA < 1.5
cm2) dan kalsifikasi katup nonpliable yang risiko tinggi untuk pembedahan tanpa
adanya trombus di atrium kiri atau MR.

Kontraindikasi:

Bukti obyektif adanya mobile trombus di atrium kiri atau mendekati ke katup

mitral, melekat di septum


Regurgitasi mitral derajat III atau lebih
Endokarditis infektif
TR berat (relatif)
Nilai skor Wilkins katup mitral > 10 (relatif)
Waktu yang tepat untuk dilakukan intervensi non bedah
Indikasi tradisional: intervensi dilakukan setelah terapi medik optimal
Indikasi terbaru: intervensi dilakukan lebih awal untuk mencegah akibat jangka
panjang yang Irreversibel dari obstruksi (dilatasi atrial kiri, AF, dan hipertensi

b.

pulmonal)
Intervensi bedah
Bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup.
Indikasi:
Bila ditemukan kontraindikasi untuk dilakukan intervensi non bedah dan terrdapat

keterampilan atau pengalaman bedah yang baik.


MS sedang-berat, simtomatik, dan PTMC tidak tersedia (ACC-AHA guidelines

class I)
Jenis Intervensi Bedah
Reparasi katup mitral
Penderita secara teknis memungkinkan dilakukan reparasi /Reparasi katup mitral
(komisurotomi, valvulotomy anuloplasti, rekonstruksi korda/muskulus papilaris).
14

Penggantian katup mitral


Operasi ganti katup dilakukan pada penderita yang secara teknis tidak memungkin
dilakukan reparasi. Katup mitral buatan terdiri dari dua jenis yaitu katup mitral
mekanik dan bioprostesa.

3.3 Aorta Regurgitasi


3.3.1

Etiologi

Regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 2 macam kelainan
yaitu :
-

Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada penyakit kolagen, aortitis sifilitika,
diseksi aorta

Penyakit katup artifisial seperti penyakit jantung reumatik, endokarditis bakterialis,


aorta artificial congenital, ventricular septal defec (VSD), ruptur traumatik, aortic left
ventricular tunnel

Genetik seperti sindrom marfan, mukopolisakaridosis

3.3.2

Patofisiologi Aorta Regurgitasi


Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada regurgitasi aorta,

bertujuan untuk mempertahankan curah jantung disertai peninggian tekanan artifisial


ventrikel kiri. Pada saat aktivitas, denyut jantung dan resistensi vaskular perifer
menurun sehingga curah jantung bisa terpenuhi.
Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary wedge pressure, arteri
pulmonal, ventrikel kanan dan atrium kanan meningkat sedangkan curah jantung
menurun pada waktu istirahat.
3.3.3

Gejala Klinis Aorta Regurgitasi

Ada dua macam gambaran klinis regurgitasi yang berbeda yaitu :


Regurgitasi aorta kronik. Biasanya terjadi akibat proses kronik seperti penyakit
jantung reumatik, sehingga artifisial kardiovaskular sempat melakukan mekanisme
kompensasi. Tapi bila kegagalan ventrikel sudah muncul, timbulah keluhan sesak napas
pada waktu melakukan aktivitas dan sekali kali timbul artificial nocturnal dyspnea.
15

Regurgitasi aorta akut. Berbeda dengan regurgitasi kronik, regurgitasi akut biasanya
timbul secara mendadak dan banyak, sehingga belum sempat terjadi mekanisme
kompensasi yang sempurna. Gejala sesak napas berat akibat tekanan vena pulmonal
yang meningkat secara tiba tiba.

Dari uraian di atas, pada kasus Tn.E, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan sesak
yang memberat 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus pada
saat aktifitas dan istirahat. Pasien hanya dapat berjalan 5 meter, naik tangga (-), pasien
tidur memakai 3 bantal. Demam (+) 3 hari yang lalu. nyeri ulu hati (+), nyeri pada
persendian (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan murmur diastolik katup mitral dan aorta,
JVP 5+2 cmH20. Pada foto thoraks didapatkan kardiomrgali. Pada echokardiografi
didapatkan:

Katup: AR berat, MR Moderat, MS Ringan


LA- LV dilatasi
EF normal
Diastolic pseudonormal

sehingga didapatkan diagnosis pasti RHD Double Valve (Reaktivasi).


Dasar terapi yang diberikan kepada pasien Tn.E Untuk terapi awal pasien diberikan
Lisinopril yang merupakan obat penghambat ACE untuk menunda atau mencegah terjadinya
gagal jantung, dan juga untuk mengurangi resiko infark miokard, dan kematian mendadak
serta mengurangi mortalitas dan gejala-gejala gagal jantung, meningkatkan kapasitas
fungsional, dan mengurangi hospitalisasi. Dosis awal lisinopril 2,5 mg/hari dengan dosis
pemeliharaan 5-20 mg/hari.
Pada pasien ini diberikan terapi diuretic berupa furosemid yang merupakan diuretic
kuat untuk mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
alir balik vena, dan tekanan pengisian ventrikrel (preload). Bekerja pada ansa Henle
asendens bagian epitel tebal dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na +/K+/2Cl-.
Diuretic ini menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam urat plasma. Sehingga
diberikan pula spironolakton yang merupakan diuretic hemat kalium-antagonis aldosteron
untuk mengurangi pengeluaran K atau Mg oleh ginjal dan/ memperkuat respons dieresis
terhadap orang lain. Dosis furosemid 20-80 mg IV, 2-3 x sehari atau 20-40 mg oral 1-2 x

16

sehari. Dosis spironolakton berkisar antara 25-200 mg dengan dosis efektif sehari rata-rata
100 mg.
Pasien juga mendapat antitrombotik berupa Aspirin dosis maintenance 2 x 500mg dan
ranitidine sebagai terapi tambahan yang merupakan suatu histamin antagonis reseptor H2
yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi
asam lambung.
Pada pasien diberikan terapi Azihtromycin sebagai pencegahan sekunder demam
reumatik/penyakit jantung rematik. Dosis azithromycin 1-2 g/hari.
Pasien dirawat selama 11 hari, dipulangkan setelah terjadi perbaikan secara klinis,
dan dianjurkan untuk kembali memeriksakan diri ke poliklinik 5 hari kemudian.

17

BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien Tn. E, didiagnosis dengan Rhematoid Heart Disease Double Valve (Reaktivasi)
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai dengan tata laksana yang ada pada
kepustakaan. Hal ini terbukti dengan adanya perbaikan secara klinis pada pasien.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
InternaPublising
2. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI
3. Setiawan, Fachri. 2014. Hubungan Mitral Valve Area (Mva) Dengan Hipertensi
Pulmonal Pada Stenosis Mitral. File Pdf
4. Boestan, Iwan N, dkk. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi Dept/SMF Ilmu Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Surabaya: RSUD Dr. Sutomo
5. Price, Silvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
6. Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

19

Anda mungkin juga menyukai