Anda di halaman 1dari 13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Virus Hepatitis B (VHB)
3.1.1 Sejarah
Penyakit kuning (jaundice) dikenal sejak abad ke V sebelum Masehi di
Babilonia, yang kemudian ditulis oleh Hipocrates dalam De Morbus Internis,
Hipocrates menyatakan

bahwa penyakit kuning ini menular

sehingga ia

menamakannya sebagai icterus infectiosa. Pada tahun 1963 ditemukannya antigen


yang berasal dari bagian luar VHB dan hingga sekarang dikenal sebagai HBsAg.
Pada tahun 1970 Dane dkk pertama kali mendapatkan pertama kalinya di bawah
mikroskop elektron partikel HBsAg dan partikel VHB utuh yang dinamakan partikal
Dane. Dan pada tahun 1971 ditemukan sistem antigen-antibodi baru pada penderita
hepatitis dengan Au-antigen positif, yang dikenal dengan HBcAg dan anti-HBc
(Hepatitis B core Antigen dan anti Hepatitis B core). Tahun 1972, ditemukannya
antigen spesifik pada serum dengan Au-antigen positif yang disebut sebagai eantigen (Sherlock, 1993).
3.1.2 Petanda Serologik
4 Kelompok petanda serologik, yaitu : HBsAg dan Anti-HBs, HBcAg dan AntiHBc, HBeAg dan Anti-HBe, serta DNA polimerase dan DNA VHB .
HBsAg, disintesis di dalam retikulum endoplasmik sitoplasma sel hati kemudian
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah penderita, merupakan petunjuk paling dini
adanya infeksi VHB akut yang sedang berlangsung. Biasanya timbul pada periode
inkubasi (6-10 minggu setelah infeksi VHB) dan 2-8 minggu sebelum timbulnya
gejala klinik. Bila HBsAg tetap terdeteksi sampai 6 bulan atau lebih maka disebut
sebagai infeksi VHB persisten atau penderita akan menjadi pengidap (carrier).
Sedangkan Anti-HBs adalah imunitas humoral yang timbul setelah kontak dengan
HBsAg, setelah sembuh dari infeksi VHB atau setelah vaksinasi hepatitis B yang
menunjukkan sudah terjadi kekebalan terhadap infeksi VHB (Craig, 1990).

19

HBcAg, merupakan protein yang tidak larut sehingga dalam keadaan biasa tak
dapat dideteksi dalam serum. HBcAg membawa serta DNA VHB dan DNA
polimerase. Terdapatnya HBcAg dalam inti sel hati merupakan petunjuk terjadinya
replikasi VHB yang aktif. Anti-HBc, timbul antara 2-20 minggu setelah infeksi VHB
yang menunjukkan adanya antibodi humoral terhadap HBcAg baik fase akut maupun
kronis yang diikuti dengan kesembuhan. Bila IgM anti-HBc menetap lebih dari 6
bulan, merupakan petunjuk adanya replikasi virus yang masih aktif dan sebagai
petanda terjadinya hepatitis kronik (Craig, 1990).
HBeAg, merupakan komponen nukleokapsid seperti halnya HBcAg tetapi
mempunyai determinan antigenik yang berbeda serta dapat dideteksi dalam serum.
HBeAg muncul setelah kurang lebih satu minggu setelah timbulnya HBsAg, sebelum
ada tanda-tanda kerusakan hati secara biokimiawi dan biasanya menghilang dalam
waktu 2 minggu sedangkan HBsAg tetap terdeteksi. HBeAg biasanya ditemukan
bersamaan dengan titer tinggi HBsAg, DNA VHB dan DNA polimerase positif.
Karena HBeAg berada dalam nukleokapsid, bila terdeteksi berarti menunjukkan
bahwa partikel Dane yang tersebar banyak di dalam tubuh dan menggambarkan
bahwa penderita dalam keadaan yang sangat infeksius. Apabila ditemukan HBsAg
dan HBeAg yang positif, maka menunjukkan 1.000.000 kali lebih infeksius dari pada
HBsAg dengan anti-HBe positif. Anti-HBe akan terdeteksi bila HBeAg menghilang,
dan akan muncul bila pada penderita hepatitis B infeksinya sembuh spontan (Craig,
1990).
3.1.2 Epidemiologi
WHO memperkirakan infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta
orang atau 5% dari jumlah penduduk dunia, dan prevalensi pengidap hepatitis B
tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh propinsi Indonesia
dengan prevalensi sebesar 0,6%. Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan
jumlah sampel 10.391 menunjukkan persentase HBsAg positif 9,4%. Sedangkan
angka penularan secara vertikal dari ibu pengidap VHB kepada bayinya cukup tinggi.
Berdasarkan penelitian beberapa rumah sakit di Indonesia, prevalensi HBsAg pada
ibu hamil berkisar 2,1-5,2% (Kemenkes RI, 2012).

20

3.1.3 Penularan (Merri, 2001)


3.1.3.1 Sumber Infeksi
a.

Darah
Hati dan darah merupakan organ yang mengandung HBsAg dengan
konsentrasi tertinggi dibandingkan dengan organ lain.

b.

Semen, sekret vagina, dan darah menstruasi

c.

Air liur dan sekret nasofaring


Partikel HBsAg dapat ditemukan pada bagian tersebut setelah 3 minggu
gejala klinik yang timbul menghilang sebelum HBsAg dalan serum menjadi
negatif. Walaupun dalam bagian tersebut daya infeksinya rendah namun tetap
dapat terjadi resiko penularan.

d.

Urine
Dapat ditemukan sejumlah kecil partikel HBsAg namun belum dapat
dibuktikan secara pasti apakah urine menjadi sumber infeksi.

e.

Tinja dan sekresi usus


Saat ini HBsAg dianggap tidak ada pada tinja, aspirat lambung, dan
duodenum tetapi dapat ditemukan pada cairan empedu dan cairan pankreas.

f.

Air Susu Ibu (ASI)


Belum pernah dilaporkan ASI sebagai sumber infeksi VHB oleh karena
HBsAg yang ditemukan dalam ASI bukan partikel Dane yang utuh tetapi
berbentuk sferis. Dalam ASI sel leukosit terutama limfosit menghasilkan SIgA
dan interferon yang dapat mengeliminir VHB.

3.1.3.2 Faktor Risiko Infeksi


Secara garis besar dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
a.

Kelompok yang mudah terkena infeksi VHB


a) Pernah mendapatkan tindakan transfusi darah atau tindakan parenteral yang
lain, seperti : tato, tindik, imunisasi masal yang menggunakan satu jarum
dan lain- lain
b) Sering berganti-ganti pasangan seksual dan pada homoseksual
c) Petugas medis, seperti : dokter, petugas laboratorium, petugas kamar bedah,

21

dan lain-lain.
d) Penyalahgunaan obat-obatan suntik
e) Ada anggota keluarga yang menderita infeksi VHB
f)

Status sosial ekonomi yang rendah dan higienis kurang

g) Tinggal di daerah endemisitas yang tinggi


b.

Kelompok yang mudah mengalami timbulnya persistensi


a) Penderita dengan defisiensi imunologi
b) Bayi dan anak yang tinggal di daerah endemis
c) Genetik
d) Ras

c.

Kelompok yang mudah mengalami exposure dan persistensi


a) Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif
b) Penderita yang mendapat hemodialisa secara rutin
c) Penderita yang mendapat transfusi rutin seperti hemofilia atau leukimia

3.1.3.3 Penularan Infeksi VHB


Penularan infeksi VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu (Merri, 2001) :
a.

Penularan secara horizontal


i.

Penularan perkutan : melalui tusukan jarum atau benda lain yang


tercemar oleh bahan infeksius dari VHB, seperti :suntikan, transfusi
darah, tato, tindik, tindakan bedah, dan lain-lain.

ii. Penularan melalui selaput lendir atau mukosa yaitu melalui : mulut
misalnya dengan sikat gigi atau hubungan seks per oral dan hubungan
seksual terutama pada multi partner dan homoseksual.
b.

Penularan secara vertikal


Merupakan penularan yang terjadi dari seorang ibu hamil yang menderita
hepatitis

akut

atau

pengidap

persisten

VHB

kepada

bayi

yang

dikandungnya/dilahirkannya.
Penularan VHB vertikal dapat dibagi lagi menjadi :
i.

Penularan VHB in-utero, yaitu penularan yang terjadi ketika bayi masih
di dalam uterus. Mekanisme ini masih belum bisa diketahui secara pasti

22

karena salah satu fungsi dari palsenta adalah proteksi terhadap bateri
atau virus. Barier ini rupanya tidak begitu efektif karena apabila terjadi
robekan pada plasenta atau terganggunya barier plasenta menyebabkan
darah ibu dengan partikel Dane masuk ke dalam sirkulasi bayi akibat
kontraksi uterus dan pecahnya villi plasenta karena kontraksi uterus.
VHB diperkirakan masuk ke dalam peredaran darah bayi lebih dari 1
minggu sebelum terjadinya persalinan yang memungkinkan VHB telah
mengdakan replikasi di dalam sel hati sehingga mengakibatkan
tingginya jumlah partikel VHB. Bayi dikatakan mengalami infeksi inutero apabila dalam 1 bulan post partum (yang merupakan masa
inkubasi terpendek dari infeksi VHB) sudah menunjukkan HBsAg
positif.
ii. Penularan perinatal, yaitu penularan yang terjadi pada saat persalinan.
Penularan perinatal ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti
bagaimana mekanismenya, berikut beberapa teori yang menjelaskan
kemungkinan terjadinya penularan ini, yaitu :
a) Melalui lesi kulit bayi pada saat persalinan
b) Melalui air ketuban yang tertelan oleh bayi
c) Melalui darah ibu yang tertelan oleh bayi
d) Melalui konjungtiva mata bayi atau selaput lendir yang lain
iii. Penularan post natal yaitu penularan yang terjadi setelah bayi lahir
misalnya melalui ASI yang diduga tercemar oleh VHB lewat luka kecil
dalam mulut bayi. Namun berdasarkan hal tersebut penularan pada
masa post natal tidak begitu besar apalagi bayi telah di vaksinasi atau
mendapat imunoglobulin hepatitis B segera setelah lahir.

23

3.1.4 Manifestasi Klinis Virus Hepatitis B


A. Asimtomatik
Pada fase ini tidak menunjukkan gejala klinik yang khas. Penderita tampak sehat
hanya saja didarahnya terdapat HBsAg positif. Apabila juga didapat HBeAg didalam
tubuhnya

maka

pengidap

ini tergolong infeksius

karena HBeAg positif

menggambarkan proses replikasi yang masih aktif bekerja (Sherlock, 1993).


B. Hepatitis B Akut
a) Masa inkubasi
Masa antara penularan infeksi dengan terjadinya gejala yang lamanya berkisar
antara 28-225 hari atau rata-rata 75 hari(Sherlock, 1993).
b) Fase pra-ikterik
Waktu antara timbulnya gejala pertama dengan timbulnya ikterus. Keluhan awal
adalah lemas, malas, anoreksia, mual, muntah, panas, dan rasa tidak enak daerah
perut kanan atas(Sherlock, 1993).
c) Fase ikterik
Ikterus timbul sekitar 1-3 minggu tetapi dapat pula terjadi beberapa hari atau
bahkan sampai 6 bulan. Ikterik berakhir antara 2-6 minggu.Pada pemeriksaan fisik
hepar dan lien akan teraba membesar dan menetap selama beberapa waktu setelah
ikterus hilang(Sherlock, 1993).
d) Fase penyembuhan
Fase antara hilangnya ikterus sampai kesembuhan dari hepatitis. Pada
pemeriksaan laboratorium HBsAg, HBeAg, dan DNA VHB akan menghilang. AntiHBc akan mulai timbul disertai IgM anti-HBc meningkat sedangkan IgG anti-HBc
timbul dan kemudian menetap(Sherlock, 1993).
C. Hepatitis B Kronis
Keluhan yang seringkali muncul pada fase ini adalah mudah lelah, nafsu makan
menurun, dan berat badan turun, terkadang terdapat panas subfebril(Sherlock, 1993)..

24

3.1.5 Diagnosis Hepatitis B


a.

Gejala klinis
Umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas, namun adanya anamnesis yang
mendalam akan membantu tegaknya diagnosis, seperti tinggal di daerah endemis
atau ada anggota keluarga yang sakit Hepatitis B (Merri, 2001).

b.

Pemeriksaan laboratorium
SGPT dan SGOT akan meningkat, yang menunjukkan terjadi kerusakan dan
nekrosis sel hati. Pada kerusakan hepatosit gamma GT dan bilirubin juga akan
meningkat(Merri, 2001).

c.

Petanda serologik Hepatitis B (Merri, 2001).


Petanda infeksi : HBsAg adalah sebagai tanda infeksi dan bila dalam 6 bulan
tidak hilang berarti menjadi kronis.
Petanda replikasi : untuk mengetahui adanya replikasi virus yaitu HBeAg dan
DNA VHB.
Petanda untuk infeksi akut atau kronis : IgM anti-HBc yang menunjukkan
adanya kerusakan hati pada hepatitis akut.

d.

Pemeriksaan penunjang (Merri, 2001).


USG : akan tampak pembesaran hati

3.1.6 Pengaruh Kehamilan terhadap infeksi akut VHB


Pada ibu hamil normal sering terlihat tanda-tanda seperti yang kita dapatkan
pada penderita sirosis hati misalnya spider angioma dan eritema palmaris, hal ini
wajar karena pada kehamilan estrogen akan meningkat (Sherlock, 1993).
Selama kehamilan dalam batas normal maka fungsi hati tidak akan terganggu.
Pada tes laboratorium faal hati sering didapatkan nilainya yang berubah pada
kehamilan trimester III hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya volume
plasma darah sehingga terjadi hemodilusi yang digambarkan dengan menurunnya
protein total, albumin, gamma globulin dan asam urat. Plasenta yang berkembang
menghasilkan alkali fosfatase sehingga kadar alkali fosfatase meningkat dalam darah
(Sherlock, 1993).

25

3.1.7 Pengaruh infeksi VHB terhadap Kehamilan dan Janin


Infeksi VHB dalam kehamilan sering menimbulkan abortus, partus prematurus
dan kematian janin dalam kandungan. Hal ini terutama bila terjadi dehidrasi atau
efek sistemik yang berat. Dan juga diperkirakan bahwa kenaikan kadar asam empedu
dan asam lemak bebas bersama dengan timbulnya ikterus dapat meningkatkan tonus
otot uterus dan memulai persalinan (Merri, 2001).
Namun pada out come bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi VHB sama
dengan bayi yang dilahirkan dari ibu yang tidak terinfeksi. Pada umumnya yang
menjadi permasalahan di sini adalah penularan vertikalnya saja. Bila Ibu hamil
terinfeksi VHB pada kehamilan trimester I dan II maka penularan vertikalnya kurang
dari 10% namun bila infeksi VHB terjadi pada kehamilan trimester III maka
penularan vertikal akan semakin meningkat menjadi lebih tinggi yaitu 76% (Merri,
2001).
Infeksi akut VHB pada kehamilan trimester III sering berkembang menjadi atau
menyebabkan hepatitis fulminan dan persalinan prematur sedangkan pada persalinan
dapat menyebabkan perdarahan post partum terutama bila terjadi gangguan fungsi
hati, karena akan mengakibatkan perpanjangan waktu protrombin dan waktu aktivasi
parsial tromboplastin yang dapat menyebabkan kecenderungan perdarahan, terutama
perdarahan post partum (Merri, 2001).
3.1.8 Penatalaksanaan infeksi VHB pada Kehamilan dan Persalinan
3.1.8.1 Penanganan untuk Ibu
Pada awalnya dilakukan pemeriksaan skrining petanda serologis pada semua
wanita hamil untuk mengetahui ibu tersebut mengidap VHB atau tidak. Apabila
didapatkan HBsAg positif maka akan dilanjutkan pemeriksaan tambahan HBeAg,
anti-HBe dan transaminase serum untuk mengetahui virulensi VHB serta stadium
klinis ibu tersebut yaitu sedang terinfeksi akut atau hanya sebagai pengidap saja
(Duff, 1998).
Dalam penangan ibu dengan hepatitis akut pada kehamilan adalah sama dengan
wanita hamil pada umunya yaitu cukup istirahat, diet tinggi protein dan karbohidrat.
Untuk aktivitas fisiknya juga tidak terlalu dibatasi dan tidak diharuskan tirah baring.

26

Keadaan ini juga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, namun perlu diberi
penjelasan tentang keadaannya, di mana seharusnya melahirkan dan adanya
penanganan khusus bagi ibu maupun bayi yang akan dilahirkan (Duff, 1998).
Sedangkan terhadap persalinannya, terjadinya hepatitis B pada kehamilan
bukanlah menjadi indikasi untuk melakukan abortus atau terminasi kehamilan.
Dengan pengobatan konservatif, kehamilan dipertahankan se-aterm mungkin.
Sampai saat ini peran seksio sesarea kontroversial, karena menurut Lee (1989) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa bayi yang dilahirkan pervaginam dari ibu HBsAg
positif dan hanya diberi vaksinasi 39% akan terinfeksi, sedangkan yang dilahirkan
perabdominam 33% akan terinfeksi. Apabila diberi HBIg selain vaksinasi maka 20%
akan terinfeksi untuk yang lahir pervaginam dan 14% bila perabdominam. Perbedaan
tersebut ternyata tidak bermakna sehingga tindakan bedah seksio sesarea dilakukan
hanya apabila ada indikasi obstetri saja. Sedangkan ibu dengan HBsAg positif
apabila akan melahirkan dengan pervaginam maka hendaknya dibuat agar trauma
seminimal mungkin pada jalan lahirnya (Merri, 2001).
Tentang menyusui masih terdapat beberapa pendapat yang berbeda, meskupin
demikian kadar HBsAg dalam ASI rendah, dan belum dapat dibuktikan penularan
VHB melalui jalan ini. Kadar antigen pada ASI adalah rendah dan penularan melalui
mulut kurang efisien dibandingkan dengan parenteral, maka bahaya dari menyusui
tidaklah seberapa tinggi. Ibu dengan HBsAg diperbolehkan menyusui, terkecuali
terdapat luka pada puting susunya maka tidak diperbolehkan untuk menyusui (Merri,
2001).

27

3.1.8.2 Penanganan pada Bayi


VAKSIN HEPATITIS B
Vaksin Hepatitis B (Hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi Hep B merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayi Error:
Reference source not found.

Jadwal imunisasi Hepatitis B Error: Reference source not found


Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah
lahir, mengingat palingt tidak 3,9 % ibu hamil menghidap hepatitis B aktif
dengan resiko penularan kepada bayinya sebesar 45 %.
Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi
HepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapatkan respon imun
optimal, interval imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik
5 bulan. Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
Jadwal dan dosis HepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HBsAg
ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HBsAg yang tidak
diketahui , (2) Ibu HBsAg positif atau (3) Ibu HBsAg negatif.
Kementrian kesehatan mulai tahubn 2005 memberikan vaksin HepB-0
monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi

DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB

diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian


dan meningkatkan cakupan HepB-3 yang masih rendah.

Pemberian vaksinasi Hepatitis B saat bayi lahir , tergantung status HBsAg ibu
Error: Reference source not found
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, HepB-1 harus
diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1
bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan
ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif
maka ditambahan Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi
berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin HepB-1
dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir

28

Ulangan Imunisasi Hepatitis B Error: Reference source not found


Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap
anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar
3x pada masa bayi. Pada umur 5 tahun, 90,7 % diantaranya masih memiliki
titer antibody antiHBs protektif (kadar anti HBs > 10 ug/ml). Mengingat
pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi
di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada
usia 5 tahun tidak diperlukan. Idealnya , pada usia 5 tahun ini dilakukan
pemeriksaan kadar anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi HepB dengan
jadwal 3 kali pemberian (catch-up vaccination).

Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat
menularkan hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi
disesuaikan oleh status HBsAg sebagaiman tertera table 3.1 berikut ini Error:
Reference source not found:

29

3.1.9 Prognosis infeksi VHB pada Kehamilan


Prognosis infeksi VHB tergantung dari berat ringannya penyakit dan komplikasikomplikasi yang terjadi. Infeksi VHB pada penderita tanpa menimbulkan gejala
klinis dan juga tidak ada penyakit lain sebagai penyerta maka prognosisnya baik.
Tetapi apabila didapatkan penyakit-penyakit lain seperti penyakit jantung, diabetes
melitus, dan anemia maka akan memperburuk keadaan penderita. Infeksi VHB akut
juga akan memberikan prognosis yang buruk apabila terjadi hepatitis fulminan
(Merri, 2001).

30

Prognosis untuk bayi tergantung dari komplikasi yang terjadi misalnya kelahiran
prematur. Disamping itu juga tergantung dari pengelolaan khusus untuk persalinan
dan post natal yang mencegah penularan vertikal dari ibu. Bila bayi tertular saat
neonatus maka 90% dari bayi yang tertular VHB ini akan menjadi pengidap VHB
kronik dan 40% diantaranya akan meninggal karena sirosis hati atau kanker hati
primer saat berusia 40 tahun. Apabila yang terinfeksi bayi perempuan maka infeksi
VHB akan diteruskan ke generasi berikutnya dan bayi yang mengalami infeksi
vertikal ini juga merupakan fokus infeksius untuk penyebaran horizontal (Merri,
2001).

31

Anda mungkin juga menyukai