Anda di halaman 1dari 46

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa

: Fransisca maria novianty sato

Bagian

: Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Periode

: Periode 14 Desember 2015 27 Februari 2016

Judul

: Dengue Shock Syndrome

Pembimbing

: dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A(K)

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :


Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Jakarta,

Februari 2016

dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A(K)

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor


nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari
asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah
dengue(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue
shock syndrome/DSS ).
Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan merupakanendemi
infeksi dengue, saat ini endemi dengue dilaporkan terjadi di 112 negara diseluruh
dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5milyar penduduk
berisiko menderita infeksi dengue. Setiap tahunnya dilaporkanterjadi 100 juta kasus
demam dengue dan setengah juta kasus demam berdarahdengue terjadi di seluruh
dunia dan 90% penderita demam berdarah dengue iniadalah anak-anak dibawah usia
15 tahun.
Tingkat mortalitas di sebagian besar negara di AsiaTenggara mengalami
penurunan dan saat ini berada dibawah 1%, walaupun dibeberapa negara masih diatas
4% akibat penanganan yang terlambat. Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10
jenis penyakit infeksi akutendemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi
dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium
dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat
memastikandiagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.

BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
Data
Nama
Umur

Pasien
An. DA
6 tahun (7 Januari

Ayah
Tn. EL
38 Tahun

Ibu
Ny. YN
33 tahun

Jenis Kelamin
Alamat

2010)
Perempuan
Laki laki
Perempuan
Kp. Pabuaran RT 09 RW 01 Kelurahan Cimuning Kecamatan

Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan

Islam
Indonesia
SD
-

Mustika Jaya, Kota Bekasi


Islam
Islam
SMA
Wiraswasta
Tidak

SMP
Ibu Rumah Tangga
-

Mendapatkan
No. RM
Tanggal Masuk

08690257
6 Januari 2016

Informasi
-

RS (IGD)

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu dan ayah kandung pasien pada
tanggal 7 Januari 2016 di ruang PICU RSUD Kota Bekasi.
A. Keluhan Utama
Demam sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit.
B. Keluhan Tambahan

Nyeri perut

Muntah

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan rujukan dari RS MH Thamrin dengan diagnosis DSS.
Keluhan saat ini adalah demam selama lima hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam dirasakan sangat tinggi dan naik turun namun tidak diukur dengan
termometer, didapatkan menggigil. Selain demam pasien juga mengeluhkan nyeri
2

pada perut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien juga pernah BAB
hitam 1 kali pada saat 2 hari sebelum masuk rumah sakit, selain itu pasien juga
mengalami mencret, mual dan sempat muntah sebanyak dua kali per hari, serta
nafsu makan yang berkurang. Mimisan, muntah darah, gusi berdarah disangkal
oleh orangtua pasien. Sebelumnya pasien sempat dirawat di RS Aprilia selama
dua hari dengan diagnosis demam typhoid, saat dirawat di RS Aprilia menurut
keterangan orangtua pasien, hasil pemeriksaan laboratorium darah pasien aitu
trombosit mengalami penurunan, pada pemeriksaan pertama sebanyak 270.000
dan pada pemeriksaan berikutnya 220.000, namun karena pasien memaksa
orangtua untuk segera pulang maka pasien keluar dari rumah sakit atas
permintaan sendiri (pulang paksa). 1 hari setelah pasien pulang dari RS Aprilia
nyeri pada perut bertambah dan disertai mual muntah, demam yang dialami
pasien sempat turun namun menurut keterangan keluarga tangan dan kaki pasien
menjadi lebih dingin dari biasanya dan pasien semakin lemas, oleh karena itu
orangtua pasien segera membawa pasien ke RS MH Thamrin dan dirujuk ke
RSUD Kota Bekasi. Didaerah rumah pasien memang ada yang terkena demam
berdarah.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit

Umur

Penyakit

Umur

Penyakit

Umur

Alergi

Seafood

Candidiasis

Jantung

Cacingan

Diare

Ginjal

DBD

Kejang

Darah

Thypoid

Gastritis

Radang paru

Otitis

Herpes

Tuberkulosis

Zooster
Parotis

Operasi

paru
-

Morbili

6 bulan

Pasien memiliki riwayat alergi pada seafood namun tidak memiliki riwayat
alergi lainnya seperti asma ataupun alergi obat. Pasien pernah mengalami diare
beberapa kali namun tidak cukup parah hingga harus dirawat di Rumah Sakit.
Pasien pernah mengalami sakit campak pada usia 6 bulan namun tidak dirawat
sampai dirawat di Rumah Sakit.
3

E. Riwayat Penyakit Keluarga :


Saat ini tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit seperti pasien.
Dalam keluarga juga tidak ada yang pernah mengalami sakit seperti pasien.
F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan

Tidak ditemukan kelainan

Perawatan antenatal

Melakukan

pemeriksaan

tiap bulan ke bidan, TT(+),


USG (+)
Tempat kelahiran

Rumah Bersalin

Penolong persalinan

Bidan

Cara persalinan

Normal

Masa gestasi

40 Minggu
Berat lahir 3000 g

KELAHIRAN

Panjang badan 47 cm
Keadaan bayi

Lingkar kepala tidak ingat


Nilai apgar tidak diketahui
Tidak ada kelainan bawaan

G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi pertama
: 5 bulan
Tengkurap dan berbalik sendiri

: 5 bulan

Duduk

: 7 bulan

Merangkak

: 8 bulan

Berdiri

: 10 bulan

Berjalan

: 11 bulan

Berbicara

: 13 bulan

Gangguan perkembangan

:-

Kesan

: Baik (perkembangan sesuai dengan usia)

H. Riwayat Makanan
4

Umur (bulan)

ASI/PASI

Buah/biscuit

Bubur susu

Nasi tim

0-2

ASI

2-4

ASI

4-6

ASI

6-8

ASI + Susu
formula

8-10

ASI + Susu
formula

10-12

ASI + Susu
formula

Kesan: Pasien mendapatkan ASI sejak lahir hingga usia 6 bulan, dilanjutkan dengan
ASI dan PASI setelah berusia 6 bulan.
I. Riwayat Imunisasi :
Vaksin
Dasar (umur)
Ulangan (umur)
BCG
2 bulan
DPT/DT
2 bulan
4 bulan
6 bulan
POLIO
Lahir
2 bulan
4 bulan
CAMPAK
9 bulan
24 bulan 6 tahun
HEPATITIS B
Lahir
1 bulan
6 bulan
Kesan: Riwayat imunisasi dasar lengkap dan belum pernah mendapat imunisasi
ulangan.
J. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah pribadi, dua tingkat, dinding terbuat dari tembok, atap
terbuat dari genteng, dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan keluarga pasien,
keadaan lingkungan rumah padat, ventilasi, dan pencahayaan baik, sumber air
bersih berasal dari PAM, sumber air minum dari galon. Ibu pasien mengakui
sering menampung air dikamar mandi, namun tidak ada tempat tampungan
genangan di tempat lainnya misalnya di pot. Rumah pasien bersebelahan dengan
usaha limbah pabrik milik keluarga. Menurut keterangan ibu pasien tempat usaha
limbah pabrik cukup bersih karena barang diangkut setiap hari dan setiap
pengangkutan tempat tersebut selalu dibersihkan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di PICU pada tanggal 7 Januari 2016 pukul 12.00.
Status generalis (Anak Perempuan, 6 tahun, BB: 15 kg, TB: 115 cm)
5

a. Keadaan umum

: Tampak sakit berat

b. Tanda Vital

Kesadaran
Frekuensi nadi
Frekuensi pernapasan
Suhu tubuh
Tekanan darah

: Compos mentis
: 142 x/m, lemah
: 57 x/m
: 37,70C
: 93/65 mmHg

c. Data antropometri
Berat badan
: 15 kg
Tinggi badan
: 115 cm
Status gizi berdasarkan Waterlow:

BB/TB % = BB akurat x 100%


BB baku untuk TB aktual
= 15 x 100% = 75% (gizi kurang)
20

d. Kepala
Bentuk
Rambut

: Normocephali, simetris, ubun-ubun sudah menutup


: Rambut hitam, distribusi merata.
Mata
: Edema palpebra +/+, konjungtiva anemis -/-,
air mata +, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL +/

Telinga

+, RCTL +/+
: Normotia, serumen -/-.
Hidung : Bentuk normal, NCH +/+, sekret -/-, konka,
oedem-, hiperemis -, terdapat hematom -

Mulut

: Deformitas (-), bibir kering (+), sianosis perioral (-)


Leher : Bentuk simetris, trakea di tengah, faring
hiperemis -,

tonsil T1-T1, hiperemis -, kripta -,

pembesaran kelenjar getah bening


e. Thorax
Inspeksi

: Pergerakan dinding dada simetris, retraksi +/+, napas

Kusmaul Palpasi
: Gerak napas simetris, vocal fremitus melemah disebelah
kanan
Perkusi
: Redup pada hemithorax kanan
Auskultasi
Pulmo
: Suara napas lemah pada hemithorax kanan, ronki +/+,
wheezing -/Cor
: BJ I dan II reguler, murmur -, gallop
f. Abdomen
Inspeksi
: Perut membuncit, asites
Auskultasi : Bising usus 6x/menit
7

Palpasi

: Supel, turgor kulit baik <1 detik, hepatomegali 2 jari dibawah

costae, nyeri tekan epigastrium (+)


Perkusi
: Shifting dullness +, nyeri ketuk +
g. Kulit
h. Extremitas

: Sawo matang, ptekie (+) pada ekstremitas atas dan bawah


: Akral dingin, sianosis (-), oedem (+), ikterik (-), CRT > 2
detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium tanggal 7 Januari 2016 jam 07.14 (PICU)
Nama Test
Darah Rutin DHF

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
Imunoserologi
CRP Kualitatif
Kimia Klinik

10,6
12,7
38
37

ribu/ul
g/dl
%
ribu/uL

5-10
12-16
40-54
150-400

Fungsi Hati
Protein total
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin
Diabetes

Non-reaktif

Non-reaktif

3,70
1,83
1,87
133
43

g/dL
g/dl
g/dL
U/L
U/L

6,6-8,0
3,5-4,5
1,5-3,0
<37
<41

27
0,73

mg/dl
mg/dl

20-40
0,5-1,3

63

mg/dl

60-110

Natrium (Na)

133

mmol/L

135-145

Kalium (K)

4,4

mmol/L

3,5-5,0

Clorida (Cl)

95

mmol/L

94-111

Glukosa Darah
Sewaktu
Elektrolit

V. RESUME
8

An. DA datang dengan rujukan dari RS MH Thamrin dengan diagnosis


DSS. Keluhan saat ini adalah demam selama lima hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan sangat tinggi dan naik turun namun tidak diukur dengan
termometer, didapatkan menggigil. Selain demam pasien juga mengeluhkan nyeri
pada perut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien juga pernah BAB
hitam 1 kali pada saat 2 hari sebelum masuk rumah sakit, selain itu pasien juga
mengalami mencret, mual dan sempat muntah sebanyak dua kali per hari, serta
nafsu makan yang berkurang. Sebelumnya pasien sempat dirawat di RS Aprilia
selama dua hari dengan diagnosis demam typhoid namun pasien keluar dari
rumah sakit atas permintaan sendiri (pulang paksa). 1 hari setelah pasien pulang
dari RS Aprilia nyeri pada perut bertambah dan disertai mual muntah, demam
yang dialami pasien sempat turun namun menurut keterangan keluarga tangan
dan kaki pasien menjadi lebih dingin dari biasanya dan pasien semakin lemas dan
gelisah atau rewel, oleh karena itu orangtua pasien segera membawa pasien ke
RS MH Thamrin dan dirujuk ke RSUD Kota Bekasi. Didaerah rumah pasien
memang ada yang terkena demam berdarah.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan BB: 15 kg, TB: 115 cm, keadaan
umum tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, frekuensi nadi : 122 x/m,
frekuensi pernapasan : 57 x/m, suhu tubuh : 37,70C, tekanan darah : 102/64
mmHg. Kesan gizi kurang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada mata terdapat
odem palpebra dan konjuntiva anemis, pada perkusi thoraks didapatkan redup
pada hemithoraks kanan, vocal fremitus melemah pada hemithoraks kanan dan
pada auskultasi suara napas melemah pada hemithoraks kanan. Pada inspeksi
abdomen terdapat abdomen yang membuncit, asites dengan shifting dullness (+)
dan nyeri tekan epigastrium (+). Pada esktremitas didapatkan odem pada
ekstremitas atas dan bawah serta didapatkan ptekie pada ekstremitas atas dan
bawah dan CRT > 2 detik.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukosit 10,6 ribu/dl,
trombosit 37.000/L, protein total 3,70 g/dl, albumin 1,83 g/dl, globulin 1,87 g/dl,
SGOT 133 u/L, SGPT 43 u/L dan Na 133 mmol/L.
Riwayat tumbuh kembang pasien sesuai dengan usia, imunisasi dasar
pasien lengkap walaupun belum pernah mendapat imunisasi ulang. Pasien
memiliki alergi makanan laut dan pernah menderita sakit campak pada usia 6
bulan. Dalam keluarga belum pernah ada yang menderita penyakit demam
berdarah. Lingkungan rumah pasien padat penduduk, rumah pasien bersebelahan
9

dengan tempat limbah pabrik, didalam rumah, ibu pasien suka menampung air
didalam bak mandi, Disekitar rumah pasien memang ada yang terkena demam
berdarah.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrome
VII. DIAGNOSIS BANDING

Observasi syok :
o Hipovolemik

Sindrom Syok Dengue

Perdarahan Akut

o Septik
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

NS1

IgG dan IgM Anti Dengue

Pemeriksaan rontgen thorax

IX. PENATALAKSANAAN

O2 nasal kanul 3 lpm

Infus 2 line

IVFD RL 20cc/kgbb = 15x20 = 300 cc dalam 30 menit (loading)


dilanjutkan 15 cc/kgbb/jam = 15x15 = 225 cc(250cc) selama 1 jam =
250x20/ 60 = 83 tpm dan

Koloid gelofusin 10cc/kgbb dalam 1 jam = 10x15 = 150 cc


150x20/60 = 50 tpm

Bila syok teratasi RL 10cc/kg/jam perbaikan lanjut RL 5 cc/kgbb/jam


perbaikan lanjut 3 cc/kgbb/jam

Terapi selanjutnya sesuai kebutuhan cairan/hari

Inj. Ceftriaxone 2 x 350 mg

Inj. Rantin 2x1 ampul

10

X. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP
6 Januari 2016
o Pasien masuk IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan rujukan dari RS
MH Thamrin dengan diagnosis DSS. Keluhan saat ini : demam, nyeri
perut, mual dan muntah, tidak nafsu makan, lemas, tangan dan kaki pasien
teraba dingin oleh orangtua.
o Pemeriksaan fisik :
AVPU : Alert
PAT :
A : tonus, interactivity, look, cry dan speech +
B : nASAL , NCH (-), retraksi (+)
C : sianosis (-), pallor (-), CRT >2 detik
Tanda vital
Tekanan darah : 90/50 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,3
o Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium tanggal 6 Januari 2016 jam 05.05 (IGD)
Nama Test
Darah Rutin DHF

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Leukosit

5,5

ribu/ul

5-10

Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit

16,9
48,7
34

g/dl
%
ribu/ul

12-16
40-54
150-400

Foto Rontgen Thorax RLD (IGD)


Tampak perselubungan homogen dilapangan bawah dekstra
Kesan : efusi pleura dextra

11

Laboratorium tanggal 6 Januari 2016 jam 18.10 (PICU)

Nama Test
Darah Rutin

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Laju Endap Darah


Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Index Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit

3
11,1
5,30
15,6
45,4

Mm
ribu/ul
juta/ul
g/dl
%

0-10
5-10
4-5
12-16
40-54

85,6
29,4
34,3
25

fL
Pg
%
ribu/ul

75-87
24-30
31-37
150-400

o Terapi :
IGD :
Infus RL 20 tpm
Infus Gelofusin 10 tpm
Ranitidin 2x20mg
Imunos 1x1cth
Paracetamol syrup 3x5ml
Ceftriaxone 2x350mg
Pemeriksaan rontgen thoraks RLD dan cek laboratorium H2TL
Melati (instruksi dr. Yanti, Sp.A pukul 06.38) :
Resusitasi cairan RL 150cc
12

Lanjut infus RL 50cc/jam


Jika membaik, gelofusin ditukar dengan RL 30cc/jam infus dua

jalur masing-masing RL 30cc/jam


Terapi lain dari IGD lanjut
Cek darah rutin tiap 8 jam
Pro Picu
Melati (instruksi dr. Yanti, Sp.A pukul 14.) :
Resusitasi cairan RL 300cc secepatnya
Lanjut infus RL 50cc/jam
Infus gelofusin 20 tetes makro
O2 2lt/menit nasal kanul
Pro Picu

7 Januari 2016 (07.00 WIB)


o Keluhan :
Nyeri perut, mual, lemas, agak sesak
o Pemeriksaan fisik :
Tanda vital
Tekanan darah : 93/61 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Pernapasan : 50 x/menit
Suhu : 36,9
Mata : edem palpebra +/+
Thoraks : suara napas melemah pada hemithoraks kanan, ronkhi +/+,
vocal fremitus melemah pada hemithorax kanan
Abdomen : buncit, asites, shifting dullness(+), nyeri epigastrium (+)
Ekstremitas : ptekie pada ekstremitas atas dan bawah, CRT > 2 detik
o Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium tanggal 7 Januari 2016 jam 07.14 (PICU)

Nama Test
Darah Rutin DHF

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
Imunoserologi
CRP Kualitatif
Kimia Klinik

10,6
12,7
38
37

ribu/ul
g/dl
%
ribu/uL

5-10
12-16
40-54
150-400

Fungsi Hati
Protein total
Albumin

Non-reaktif

3,70
1,83

Non-reaktif

g/dL
g/dl

6,6-8,0
3,5-4,5
13

Globulin
SGOT
SGPT
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin
Diabetes

1,87
133
43

g/dL
U/L
U/L

1,5-3,0
<37
<41

27
0,73

mg/dl
mg/dl

20-40
0,5-1,3

Glukosa Darah

63

mg/dl

60-110

Natrium (Na)

133

mmol/L

135-145

Kalium (K)

4,4

mmol/L

3,5-5,0

Clorida (Cl)

95

mmol/L

94-111

Sewaktu
Elektrolit

Laboratorium 7 Januari 2016 jam 16.09 (PICU)


Nama Test
Darah Rutin DHF

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit

10
11,9
35,4
40

ribu/ul
g/dl
%
ribu/uL

5-10
12-16
40-54
150-400

Pemeriksaan Darah Tepi tanggal 7 Januari 2016 (PICU)


Eritrosit
: Normositik normokrom
Ref HE
: 22,7 pg (26-37 pg)
Leukosit
: Kesan jumlah normal, terdapat smudge cell dan limfosit
plasma biru
Blast
Promielosit
Mielosit
Metamielosit
Basofil

: 0%
: 0%
: 0%
: 0%
: 0%

Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit

: 0%
: 3%
: 32%
: 55%
: 10%

Eritrosit berinti/ 100 leukosit


Trombosit

: Kesan jumlah kurang, morfologi sulit dinilai

14

Kesan

: Trombositopenia dan adanya limfosit plasma biru, sesuai


dengan infeksi Dengue

Anjuran

: - Pemantauan hematologi
- Work up DIC : PT, APTT, Fibrinogen, Ddimer

o Terapi :
RL 50cc/jam
Tridex plain 30cc/jam
Gelofusin 15cc/jam
Albapure 20% 50cc
Ceftriaxone 2x350mg
Rantin 2x1 amp

8 Januari 2016
o Keluhan :
Batuk, bengkak dan sesak berkurang, nyeri perut berkurang
o Pemeriksaan fisik :
Tanda vital
Tekanan darah : 102/68
Nadi : 122 x/menit
Pernapasan : 47x/menit
Suhu: 36,3
Mata : edem palpebra +/+ (membaik)
Thoraks : suara napas melemah pada hemithoraks kanan, ronkhi +/+,

vocal fremitus melemah pada hemithorax kanan


Abdomen : buncit, asites (membaik), shifting dullness(+) membaik,

nyeri epigastrium (+)


Ekstremitas : ptekie pada ekstremitas atas dan bawah, CRT < 2 detik
o Pemeriksaan penunjang
Nama Test
Darah Rutin DHF

Hasil

Leukosit
6,9
Hemoglobin
11
Hematokrit
32,5
Trombosit
110
o Terapi :
RL 50cc/jam
Tridex plain 30cc/jam
Gelofusin 15 cc/jam
Ceftriaxone 2x350mg
Rantin 2x1 amp
Pindah bangsal melati

Unit

Nilai Rujukan

ribu/ul
g/dl
%
ribu/uL

5-10
12-16
40-54
150-400

15

10 Januari 2016
o Keluhan :
Batuk
o Pemeriksaan fisik :
Tanda vital
Tekanan darah : 110/70
Nadi : 128 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,3
Mata : dalam batas normal
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : rash convalescent
o Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium tanggal 10 Januari 2016 jam 08.06

Nama Test
Darah Rutin DHF

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit

4,9
11,0
31,4
252

ribu/ul
g/dl
%
ribu/uL

5-10
12-16
40-54
150-400

o Terapi :
KaEn 3A 10 tetes makro
Ceftriaxone 2x350mg
Rantin 2x1 amp
Acc pulang oleh dr. Charles, Sp.A (13.17 WIB)

16

BAB III
ANALISIS KASUS
Berdasarkan kriteria diagnosis demam berdarah dengue menurut WHO tahun 2009
demam berdarah dengue dapat ditegakkan apabila didapatkan minimal 2 kriteria klinis
dan 1 kriteria laboratorium. Adapun kriteria klinis dari demam berdarah dengue
berupa :
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama dua sampai tujuh hari. Demam terjadi akibat reaksi antigen antibodi
yang memicu keluarnya mediator inflamasi terutama IL-1, IFN-gamma, TNFalfa, IL-2 dan histamin, dimana IL1, TNF-alfa dan IFN gamma dikenal
sebagai pirogen endogen yang dapat menimbulkan demam dimana IL-1
bekerja langsung pada pusat termoregulator sedangkan TNF-alfa dan IFNgamma bekerja untuk merangsang pelepasan IL-1. IL-1 dapat merubah asam
arakidonat menjadi prostaglandin-E2, selanjutnya PGE2 akan berdifusi ke
hipothalamus atau berekasi dengan cold sensitive neurons dengan hasil akhir
peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem saraf
simpatis untuk menahan panas (vasokonstriksi) dan memproduksi panas

dengan menggigil pada pasien didapatkan demam dengan menggigil


Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan : uji tourniquet positif,
ptekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,
17

hematemesis dan melena sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue,


kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh
RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Selain itu
juga

terdapat

teori

yang

menghubungkan

trombositopenia

dengan

meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa


hidup trombosit diduga akibat meningkatnya restruksi trombosit pada

pasien didapatkan manifestasi perdarahan berupa ptekie dan BAB hitam.


Terjadi pembesaran hati pembesaran hati pada demam berdarah
diakibatkan oleh kerja berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan
untuk menghasilkan albumin, selain itu sel-sel hepar terutama sel kupffer
mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi hati, penurunan jumlah albumin juga dapat
diakibatkan oleh aktivitas IL-1 pada pasien didapatkan pembesaran hati
dimana hati teraba sampai 2 jari dibawah arcus costae, akibat pembesaran hati
ini juga pasien mengeluhkan mual dan kadang disertai muntah yang

menyebabkan pasien juga tidak mau makan.


Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi (kurang dari 20 mmHg), hipotensi sampai tidak
terukur, kaki dan tangan dingin kulit lembab, capillary refill time memanjang
(lebih dari dua detik) dan tampak gelisah pada demam berdarah dengue
terjadi pembentukan kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag sehingga
virus akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga terjadi
plasma leakage yang berkepanjangan dan dapat mengakibatkan keadaan syok.
Pada tahap awal syok, terjadi mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah normal sehingga menyebabkan takikardi dan vasokontriksi
18

perifer dengan penurunan perfusi pada kulit yang menyebabkan akral menjadi
dingin dan memanjangnya capilary refill time, pada keadaan syok juga terjadi
penurunan cardiac output yang menyebabkan hipotensi pada pasien
didapatkan tekanan darah yang rendah, nadi yang cepat dan lemah, kaki dan
tangan yang dingin serta CRT > 2 detik terutama pada 2 hari pertama dirawat
di rumah sakit.
Adapun kriteria laboratorium berupa :
Trombositopenia (kadar trombosit kurang dari atau sama dengan 100.000u/uL)

menyebabkan manifestasi perdarahan


Terjadi kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang
ditandai dengan peningkatan hematokrit lebih dari atau sama dengan 20% dari
standar, penurunan hematokrit lebih dari atau sama dengan 20% setelah
mendapat

terapi

cairan,

terjadi

efusi

pleura/pericardial,

asites

dan

hipoproteinemia terbentuknya kompleks virus-antigen-antibodi (virus


antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen, mengakibatkan pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular, pada
pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). pada pasien
ini terdapat kenaikan hematokrit, asites, edema pada palpebra dan efusi pleura
serta sempat masuk kedalam fase syok.

19

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
(WHO, 2009). Penyakit DBD adalah penyakit yang ditandai dengan : (1) demam
tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari; (2) perdarahan (ptekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epsitaksis,
ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri)
termasuk uji tourniquet positif; (3) trombositopenia (jumlah trombosit kurang
dari 100.000/uL); (4) hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih dari 20%);
dan (5) disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes
2005). Dengue Syok Syndrome (DSS) sebagai manifestasi klinis Demam
Berdarah Dengue (DBD) dengan ditandai syok yang dapat mengancam
kehidupan penderita.
B. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.
Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit
dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina.
Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan

20

Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)
Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana
transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi
peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.
Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968
menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus
dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (2832C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup
untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak
sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk
setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal
Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun.
C. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa
21

keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3


merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat.
D. Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD
berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai Antibody Dependent Enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Gambar 1.
Patofisiologi
Syok pada
DBD

22

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma
ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat
penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk
sehingga dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan

oleh

RES

(reticulo

endothelial

system)

sehingga

terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet


faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi
trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
23

jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.

Gambar 2. Patofisiologi Perdarahan Pada DBD


E. Manifestasi Klinis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit demam berdarah dengue
yaitu :
1. Fase Demam
Fase demam berlangsung 2 sampai 7 hari. Suhu tubuh saat demam
berkisar 39-40 derajat celcius. Pada fase demam akut biasanya disertai
dengan warna kemerahan pada wajah, eritema pada kulit, rasa nyeri pada
24

sleuruh tubuh dan sakit kepala. Beberapa pasien juga mengeluhkan kesulitan
untuk menelan, nyeri tenggorokan, nyeri pada daerah epigastrium dan nyeri
pada sekitar bola mata. Pasien sering mengeluh tidak nafsu makan, mual dan
muntah.
2. Fase Kritis
Suhu tubuh pada fase kritis menurun sekitar 37,5 sampai 38 derajat
celcius atau justru berada dibawahnya, umumnya terjadi pada hari ketiga
sampai kelima demam. Pada fase kritis terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma. Fase kritis berlangsung antara
24-48 jam, apabila tidak terjadi kebocoran plasma, maka kondisi pasien ajan
membaik, tetapi jika terjadi kebocoran plasma maka keadaan pasien akan
memburuk. Kebocoran plasma yang berkepanjangan dan keterlambatan
terapi dapat menyebabkan syok. Pada fase ini pasien harus dirawat dirumah
sakit karea memerlukan pengawasan ketat.
3. Fase Penyembuhan
Pasien yang telah melewati fase kritis, terjadi proses penyerapan
kembali cairan yag berlebih pada rongga tubuh dalam waktu 2 sampai 3 hari
dan secara bertahap kondisi pasien secara keseluruhan akan membaik.

25

Gambar 3. Pola Penyakit DBD


Pada pemeriksaan fisik bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan
adalah adalah ptekie (uji tourniquet / Rumple leede positif), kulit mudah memar
dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan
darah. Kebanyakan kasus, ptekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas,
aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan
saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar
dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan.
Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit
namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.
Sindrom Syok Dengue (SSD) biasa terjadi pada saat atau segera setelah
suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat
letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit
dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi < 20
mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah
mendekati stadium akhir. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup
dan kembalinya nafsu makan.
Untuk membedakan dengan demam dengue, pada demam dengue tidak
dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran
plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.
F. Pemeriksaan Penunjang
26

Pemeriksaan laboratorium untuk memastikan infeksi virus dengue dapat


dilakukan dengan cara mendeteksi virus dengue, asam nukleat virus, antigen atau
antibodi atau kombinasi dari teknik tersebut. Setelah onset dari penyakit, virus
dapat dideteksi di serum, plasma, sirkulasi darah dan jaringan lain dalam 4
sampai 5 hari. Pada stadium awal penyakit, isolasi virus, pemeriksaan asam
nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya infeksi.
Pada saat akhir fase akut infeksi, pemeriksaan serologi merupakan pilihan untuk
mendiagnosis.
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda pada setiap individu tergantung
kekebalan imunnya. Pada saat infeksi dengue terjadi pada orang yang belum
pernah terinfeksi oleh flavivirus atau diimunisasi vaksin flavivirus, pasien
tersebut akan menimulkan respon antibodi primer yang ditandai dengan kenaikan
secara lambat suatu antibodi tertentu. Antibodi IgM adalah imunoglobulin yang
akan pertama kali muncul. Antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien pada hari ke 3
sampai 5 dari onset penyakit, dan meningkat sampai 80% pda hari ke 5 dan
meningkat hingga 99% pada hari ke 10. igM dapat tetap terdeteksi sampai dua
minggu setelah onset gejala dan secara perlahan menurun sampai tidak dapat
terdeteksi lagi selama 2 sampai 3 bulan. Serum anti-dengue IGG biasanya
terdeteksi pada jumlah yang sedikit pada akhir dari minggu pertama sakit dan
meningkat secara perlahan dan akan tetap terdeketsi sampai beberapa bulan atau
seumur hidup.
Pada infeksi dengue sekunder, titer antibodi meningkat secara cepat dan
bereaksi untuk melawan flavivirus. Imunoglobin yang dominan adalah IgG yang
terdeteksi dalam jumlah yang tinggi walaupun pada fase akut dan bertahan

27

hingga kurang lebih 10 bulan. Pada tahap penyembuhan awal, jumlah IgM lebih
rendah pada infeksi sekuder dibandingkan pada infeksi primer dan dalam
beberapa kasus tidak dapat dideteksi tergantung dari jenis pemeriksaan yang
dilakukan. Untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder, rasio
antibodi IgM / IgG sekarang lebih umum digunakan dibandingkan dengan
haemagglutination inhibition test.
Gambar 4. Metode Diagnostik DBD WHO 2009
Pada pemeriksaan laboratorium trombositopeni dan hemokonsentrasi
merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah
trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering
terjadi

sebelum

atau

bersamaan

dengan

perubahan

nilai

hematokrit.

Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari


peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau
oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,
limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum
suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan.
Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga
terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.
Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama
sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya
penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan
bilateral.
G. Diagnosis
Berdasarkan kriteria diagnosis demam berdarah dengue WHO 2009 maka
diagnosis demam berdarah dengue dapat ditegakkan jika didapatkan minimal dua
kriteria klinis dan satu kriteria laboratorium.
Kriteria Klinis :
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama dua sampai tujuh hari.

28

Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan : uji tourniquet


positif, ptekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis,

perdarahan gusi, hematemesis dan melena.


Terjadi pembesaran hati.
Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi (kurang dari 20 mmHg), hipotensi sampai
tidak terukur, kaki dan tangan dingin kulit lembab, capillary refill time

memanjang (lebih dari dua detik) dan tampak gelisah.


Kriteria Laboratorium
Trombositopenia (kadar trombosit kurang dari atau sama dengan

100.000u/uL).
Terjadi kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,
yang ditandai dengan peningkatan hematokrit lebih dari atau sama
dengan 20% dari standar, penurunan hematokrit lebih dari atau sama
dengan

20%

setelah

mendapat

terapi

cairan,

terjadi

efusi

pleura/pericardial, asites dan hipoproteinemia.


Demam berdarah dengue dibagi menjadi 4 derajat dan pada tiap derajat
telah terjadi trombositopenia dan hemokonsentrasi, yaitu :
I. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satu nya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet positif.
II. Derajat II : seperti derajat I, disertai pendarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
III. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab serta anak gelisah.
IV. Derajat IV : syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

29

Gambar 5. Kriteria Dengue


H. Penatalaksanaan
Pada fase demam penatalaksanaan bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat
diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadangkadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat
mengurangi lama demam pada DBD. Antibiotik yang biasa diberikan adalah
paracetamol dengan dosis 10mg/kgg/kali minum. Rasa haus dan keadaan
dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis
minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit.
Paracetamol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg)
Tablet (1tab=500mg)
< 1 tahun
60
1/8
1-3 tahun
60-125
1/8 1/4
4-6 tahun
125-250
-
7-12 tahun
250-500
-1
Tabel 1. Dosis Paracetamol
Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah
Umur (tahun)

keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB
30

dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan
disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik
diberikan antikonvulsif selama demam. Untuk pemberian cairan rumatan dapat
menggunakan formula dari Holiday Segar dengan rincian sebagai berikut :
Berat Badan (kg)
Rumatan
10 kg
100cc/kgbb
10-20kg
1000cc/kg + 50cc/kg
>20kg
1500cc/kg + 20cc/kg
Setiap derajat C kenaikan temperature cairan yang diberikan
ditambah 12% dari jumlah cairan rumatan
Tabel 2. Cairan Rumatan
Pada fase demam

pengawasan khusus yang diperlukan meliputi

pengawasan tanda-tanda vital, keluhan mual dan muntah, nyeri abdomen, terjadi
akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya pelebaran hati lebih dari sama
dengan 2cm dan perdaraha yang timbul.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
Pengawasan khusus yang diperlukan pada fase kritis meliputi pengawasan
tingkat kesadaran, tanda-tanda vital, intake dan output cairan, nyeri abdomen,
tanda akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya pelebaran hari lebih dari sama
dengan 2 cm dan perdarahan yang timbul. Pada fase ini dapat terjadi efusi pleura
dan asites. Pada pasien yang mengalami DSS harus segera mendapatkan terapi
oksigen dan infus untuk mengganti kekuranan cairan yang disebabkan oleh
kebocoran plasma darah.
Cairan intravena diperlukan apabila anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral dan
31

apabila nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jenis


cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan koloid. Contoh cairan
kristaloid adalah : larutan ringer laktat (RL), aarutan ringer asetat (RA), larutan
garam faali (NaCl), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa
5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam
faali (D5/1/2LGF), untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak
boleh larutan yang mengandung dekstran. Contoh cairan koloid adalah :Dekstran
40, plasma dan albumin.
Pada penderita DSS dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB. Pengobatan awal cairan intravena
larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal
30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal
dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri
cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop
pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB.
Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat
perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan,
maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang
sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. Pemeriksaan
hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma.
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik
dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg
BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang
terjadi selama 24-48 jam. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit
telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau
lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,
cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap
diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
32

ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian


cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema
paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. Terapi oksigen 2 liter per menit harus
selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi
makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Monitoring yang dilakukan pada pasien DBD ditujukan untuk menilai hasil
pengobatan. Monitoring yang dilakukan berupa :
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15 - 30

menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.


Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis

pasien stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis, pada pengobatan syok, kita harus yakin benar
bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan
baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah
melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat
diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap
harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada
umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian
dopamine perlu dipertimbangkan.
Pasien dapat dipulang apabila tampak perbaikan secara klinis, tidak

demam selama 24 jam tanpa antipiretik, idak dijumpai distres pernafasan


(disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis), hematokrit stabil, jumlah trombosit
cenderung naik > 50.000/pl, tiga hari setelah syok teratasi dan nafsu makan
membaik.

33

Gambar 6. Tatalaksana Tersangka DBD Depkes


34

Gambar 7. Tatalaksana DBD Depkes


35

36

Gambar 8. Tatalaksana DBD Depkes


Gambar 9. Tatalaksana DSS Depkes

37

Gambar 10. Terapi cairan DBD Derajat I/II


Gambar 11. Terapi cairan DBD Derajat III

38

Gambar 12. Terapi cairan DBD Derajat IV


Gambar 13. Tatalaksana DBD WHO 2009

39

Gambar 14. Tatalaksana DBD WHO 2009

40

41

Gambar 15. Terapi Cairan DBD WHO 2009

42

Gambar 16. Terapi Cairan DSS WHO 2009


I. Pencegahan
43

Menurut WHO (1997) deteksi dini gejala DBD dapat mengurangi


penyebaran penyakit DBB melalui pemeriksaan laboratorium dan tanda adanya
demam tinggi disertai ruam pada kulit. Vaksin untuk DBD sampai saat ini belum
tersedia sehingga dilakukan tindakan pencegahan berupa pengendalian vektor
nyamuk Aedes sp. Ada beberapa cara yang dianjurkan WHO untuk mengurangi
terjadinya kasus DBD seperti penggunaan alat pelindung diri, penggunaan
insektisida aerosol, jaga sanitasi air, pengurangan sampah di sekitar wilayah
rumah ataupun di dalam rumah.
Depkes sendiri telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan
dalam pengendalian penyakit DBD yaitu menemukan kasus secepatnya dan
mengobati

sesuai

protap,

memutuskan

mata

rantai

penularan

dengan

pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik jentiknya), kemitraan dalam


wadah POKJANAL DBD (Kelompok Kerja Operasional DBD), pemberdayaan
masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN 3M Plus) dan
peningkatan

profesionalisme

pelaksana

program

(Direktorat

Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2008). Kegiatan yang paling


utama dalam menanggulangi peningkatan kasus adalah program Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M+.

DAFTAR PUSTAKA
44

1. Setiawati S. Analisis Faktor-Faktor Resiko Terjadinya Dengue Shock Syndrome


(DSS) Pada Anak Dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUP
Persahabatan dan RS Budhi Asih Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia. 2011.
2. Depkes. Konsensus Demam Berdarah. Available at : www.depkes.go.id. Accessed
on : 15th January 2015.
3. WHO (2009) Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control New Edition. France: WHO.
4. Darmowandowo W. Infeksi Virus Dengue. Divisi Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya. Juli. 2006.
5.

Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Sari Pediatri, Vol.
4, No. 4, Maret 2003: 156 162.

6. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Infeksi Virus Dengue.
IDAI. 2005.
7. IDAI. Buku Ajar Infeksi Pediatri Tropis. Infeksi Virus Dengue. Badan Penerbit
IDAI; Jakarta. 2010.

45

Anda mungkin juga menyukai