PSIKOLOGI PENDIDIKAN
TENTANG TAWURAN ATAU PERKELAHIAN ANTAR PELAJAR
Oleh :
Alwan Rosyadi (14050524076)
Perkelahian Pelajar
Perkelahian antarpelajar yang lebih dikenal dengan istilah tawuran (bahasa jawa)
merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang. Tawuran berbeda dengan perkelahian
satu lawan satu. Pada umumnya tawuran diawalioleh adanya konflik antara dua orang pelajar
atau beberapa orang yang berlainan sekolah. Adanya rasa solidaritas kelompok di dalam
sekolah masing-masing, membuatnya meluas menjadi konflik pelajar antarsekolah. Motivasi
atau alasan peserta tawuran biasanya juga berbeda-beda. Ada yang ingin menunjukkan
keberanian di depan kawan-kawan dan ada juga yang cuma ikut-ikutan.
Perkelahian antar pelajar termasuk jenis kenakalan remaja yang pada umumnya terjadi di
kota-kota besar sebagai akibat kompleknya kehidupan di kota besar. Demikian juga tawuran
yang terjadi antar kelompok/etnis/warga yang akhir-akhir ini sering muncul. Tujuan
perkelahian bukan untuk mencapai nilai yang positif, melainkan sekedar untuk balas dendam
atau pamer kekuatan/unjuk kemampuan.
pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan
perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku
etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget,
yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya
berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya,
dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka
bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi
dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan
dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral
dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,
walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang
berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang
di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan
keempat dalam perkembangan moral.
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari
tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus
dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini
membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Dilihat dari kasus tersebut sudah jelas bahwa dalam perkembangan moral seorang
pelajar tidak sesuai dengan anak yang berpendidikan, ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya, apabila moral seseorang rendah
maka seseorang tersebut akan berperilaku yang tidak sewajarnya/menyimpang, hal
tersebutlah yang akan mengakibatkan seperti contoh kasus di atas.
Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam
lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep
kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan
dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata-skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya - dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat
seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang
menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan
bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui
tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan
teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak
untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan
semakin canggih seiring pertambahan usia:
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan
tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget
berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial
penting dalam enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan
berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan
dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan
bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan
pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai
duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu
yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda
(permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan
belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk
mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal
kreativitas.
urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang
secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori
Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari
tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam
tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan
kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan
semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan
muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan
keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata
dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di
permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami
tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka
kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring
pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak
memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak
hidup pun memiliki perasaan.
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam
sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Decenteringanak
mulai
mempertimbangkan
beberapa
aspek
dari
suatu
permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi
menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil
yang tinggi.
kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh
Ujang.
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus
berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan
nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada
"gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas
(saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara
fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia
tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan
penalaran dari tahap operasional konkrit.
Dalam kasus perkelahian antar pelajar tersebut merupakan periode yang terakhir
yaitu operasional formal. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan
nilai. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga
ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan
penalaran dari tahap operasional konkrit.
tahap menurut Erikson. Tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu jadwal
kronologis yang ketat. Erikson berpendapat bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya
sendiri. Erikson membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego pada masing-masing
tahap yaitu:
1. Kepercayaan Dasar vs. Kecurigaan Dasar
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan
ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap
makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu
berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi
berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan
orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi
mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam itu
harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar.
Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat
dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua
yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan dan
kehangatan. Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang
pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan
kemungkinan di masa mendatang. Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan
yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat. Tahap
pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi
akan kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya
atau pengakuan atas dirinya. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan
terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara
berlebih-lebihan atau idolisme.
2. Otonomi vs. Perasaan Malu dan Keragu-Raguan
Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam
melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam
diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya
rasa kehilangan kontrol diri dapat menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang
bersifat menetap. Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak
belajar dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak secara
bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah
kemampuan
untuk
membuat
pilihan-pilihan
bebas,
memutuskan,
melatih
tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan hukum daripada
semangatnya, mengutamakan hukuman daripada belas kasih.
3. Inisiatif vs. Kesalahan
Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas
penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju
dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan. Tujuan adalah nilai yang menonjol
pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain,
dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta
eksperimen dengan alat permainannya. Masa bermain ini bercirikan ritualisasi
dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian,
meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan
batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaam bersalah.
Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah ritualisme impersonasi sepanjang
hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang
sejati.
4. Kerajinan vs. Inferioritas
Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol imjinasinya yang sangat kaya, dan
mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa
mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas
yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua. Nilai kompetensi muncul
pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan menerjunkan diri pada
pekerjaan dan penyelesaian tugas, yang pada akhirnya mengembangkan kecakapan
kerja. Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja
secara metodis. Penyimpangan ritualismenya dimasa depan adalah formalisme,
berwujud pengulangan, formalitas yang tidak berarti.
5. Identitas vs. Kekacauan Identitas
Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu perasaan tentang
identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk
memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat
menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika
orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia
di masa yang akan datang. Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas
ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki
kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam
melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta
menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang
dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas
psikososial seseorang. Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di
satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis dilain pihak,
maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan
penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan
peranan atau kekacauan identitas. Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya
mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu
identitas yang stabil atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Kesetiaan adalah
pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat kontinyu.
Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen adalah ritualisasi ideologi. Penyimpangan
ritualisasinya adalah totalisme.
6. Keintiman vs. Isolasi
Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan
orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas
membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak menngadakan hubungan seksual,
dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan.
Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi. Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif
yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta. Penyimpangan
ritualismenya adalah elitisme.
7. Generativitas vs. Stagnasi
Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide
serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang.
Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur
dan mengalami stagnasi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini. Ritualisasi
dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua,
produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai
ideal kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini adalah autoritisme.
8. Integritas vs. Keputusasaan
Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas
paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah
memelihara benda, produk, ide, orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan
keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Lawan integritas adalah keputusasaan
tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan
historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian. Kebijaksanaan adalah nilai
yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap
kehidupan yang terakhir ini. Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral, ini
tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya,
Erikson mengusulkan sapientisme.
Dalam teori Erikson ini kasus yang mengenai tentang tawuran antar pelajar itu
termasuk pada tahapan tentang identitas vs kekacauan identitas, individu mulai merasakan
suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun
siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini
bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika
orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia di masa
yang akan datang. Mungkin para pelajar belum mengetahui dirinya sendiri pada masa itu dia
memiliki perilaku yang sesuai apa tidak pada usianya saat itu. Daya penggerak batin dalam
rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada
tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan
ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan
sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan.