Anda di halaman 1dari 6

PERAN PERBANKAN SYARIAH

DALAM MENGGERAKKAN SEKTOR RIIL1


Oleh : Adiwarman A. Karim2
Pengantar
Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No.
7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank
syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia mulai memberikan perhatian lebih
serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999 membentuk
satuan kerja khusus yang menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim
Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei
2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia per Agustus
2003 lalu.
Perubahan ini menyebabkan persaingan yang semakin tinggi antar bank syariah. Untuk
itu bank-bank tersebut merubah strateginya agar mampu bersaing dengan bank lain. Sampai
dengan Desember 2004, pemain dalam industri perbankan syariah terdiri dari 3 bank umum
syariah (BUS) dan 15 unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) dengan
89 BPRS. Peningkatan jumlah bank syariah ini merupakan suatu fenomena pertumbuhan
unorganik dari industri perbankan syariah di Indonesia (Tabel 1). Pertumbuhan bank syariah
pada tahun 2004 (12 bulan), hampir menyamai pertumbuhan perbankan syariah selama 12
tahun (1992 2003). Pertumbuhan jaringan perbankan syariah ini semakin memperluas
jangkauan pelayanan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan layanan perbankan yang
sesuai dengan prinsip syariah.

1.

Tabel 1. Pertumbuhan Perbankan Syariah

Sumber : Islamic Banking Outlook 2005, KARIM Business Consulting

Perbankan Syariah dan Sektor Riil

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional & Temu Ilmiah Nasional IV FoSSEI, FoKEI BEM Fakultas Ekonomi
Universitas Mataram, 12-15 Februari 2005.
2 President Direktur KARIM Business Consulting

KARIM Business Consulting 2005

Peranan perbankan syariah dalam pengembangan sektor riil dapat dilihat dari skema yang dikembangkan dalam
pembiayaan bank syariah dan kontribusi nyata yang disumbangkan oleh perbankan syariah sebagai lembaga
intermediasi keuangan. Dilihat dari skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah hanya menyalurkan
pembiayaannya untuk sektor riil. Dinamika bisnis yang terjadi pada sektor riil akan terefleksi langsung pada kegiatan
perbankan syariah. Dalam menyalurkan pembiayaannya, perbankan syariah menggunakan akad-akad yang secara garis
besar dalam dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) akad yang didasarkan atas Teori Pertukaran (Natural Certainty
Contract-NCC) yaitu murabahah, salam, istishna, ijarah, dan ijarah mumtahiya bit tamlik; (2)akad yang didasarkan atas
Teori Percampuran (Natural Uncertainty Contract-NUC) yaitu mudharabah dan musyarakah. Ksemua akad yang ada
selalu terkait dengan sektor riil. Pertumbuhan sektor finansial sekedar mengikuti pertumbuhan sektor riil.
Pembiayaan dengan akad murabahah, salam, ijarah hanya dapat disalurkan bila ada barang atau jasa (sektor riil) yang
dibiayai. Bahkan pembiayaan dengan akad musyarakah / mudarabah, bukan saja disalurkan untuk membiayai sektor
riil, namun juga terbentuk perfect correlation antara cost of capital dengan return on capital. Hal ini jelas sangat
berbeda dengan perbankan konvensional yang banyak menyalurkan kredit bukan ke sektor riil yaitu untuk spekulasi di
pasar uang.
Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana perbankan konvensional. Sebaliknya,
perbankan syariah adalah real sector based banking. Transaksi di sektor riil melibatkan ayn dan dayn, sehingga teori
pertukaran merupakan pilar penting. Kalaupun transaksi nya melibatkan dayn dan dayn, maka dayn tersebut haruslah
merupakan bukti kepemilikan atas ayn. Memang dalam telaah rincinya ada beberapa perkecualian seperti yang telah
dijelaskan, namun bila ditilik syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama tersebut, kalaupun masih ada yang ingin
melakukannya, maka syarat tersebut telah meminimalkan insentif para spekulan yang ingin mengambil keuntungan dari
transaksi dayn dengan dayn.
Dengan semakin kompleksnya transaksi perbankan, maka diperlukan keahlian untuk mendisain akad yang sesuai
syariah. Dilakukannya seluruh fungsi perbankan oleh satu institusi mengakibatkan diperlukan beberapa akad fikih
untuk satu transaksi perbankan modern. Keadaannya tentu saja berlainan ketika salah satu fungsi perbankan dilakukan
oleh seorang individu seperti di jaman Rasulullah saw, sehingga hanya diperlukan satu akad fikih untuk satu transaksi.
Dalam kitab-kitab fikih, jual beli murabahah dilakukan oleh dua pihak yaitu penjual dan pembeli; sedangkan dalam
praktek perbankan melibatkan tiga pihak yaitu supplier sebagai penjual pertama, bank sebagai pembeli pertama dan
sebagai penjual kedua, dan nasabah sebagai pembeli kedua. Jadi sebenarnya yang diterapkan di perbankan syariah
adalah al murabih yurabih (pembeli yang menjual barang). Pada jual beli pertama yaitu antara supplier dan bank,
pembayaran dilakukan secara tunai, sedangkan pada jual beli kedua yaitu antara bank dan nasabah, pembayaran
dilakukan secara cicilan.
Tabel 2 : Skema Akad Bank Syariah
Waad

Tabarru
Not for profit transaction

Tijarah
For profit transaction

Natural Certainty Contracts


Natural Uncertainty Contracts

Akad

1.Qard
2.Wadiah
3.Wakalah
4.Kafalah
5.Rahn
6.Hibah
7.Waqf

1. Murabahah
2. Salam
3. Istishna
4. Ijarah

1. Musyarakah
(wujuh, inan, abdan, muwafadhah, mudharabah)

2. Muzaraah
3. Musaqah
4. Mukhabarah

Teori Pertukaran

Sumber : Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan, Adiwarman AK (2004)


Teori
Begitu pula dengan akad ijarah. Yang terjadi adalah
al Percampuran
muajjir yuajjir (penyewa yang menyewakan). Pada ijarah
pertama yaitu antara yang menyewakan dengan bank, pembayaran dilakukan secara lump-sum, sedangkan pada ijarah
kedua yaitu antara bank dan nasabah, pembayaran dilakukan secara bulanan. Dalam akad mudharabah pun yang terjadi
adalah al mudharib yudharib (bank sebagai mudharib, memudharabahkan kepada nasabah). Posisi bank sebagai
intermediary ternyata menimbulkan kebutuhan untuk mendisain akad dengan mengkombinasikan beberapa akad fikih
dalam satu kegiatan pembiayaan syariah.

KARIM Business Consulting 2005

Dalam prakteknya, bank sebagai penghimpun dana masyarakat berhubungan dengan banyak pemilik dana. Bank
sebagai penyalur dana juga berhubungan dengan banyak nasabah. Sehingga terciptalah pola hubungan many to one,
one to many. Pola hubungan ini mendorong bank untuk semakin cerdas dalam mendisain akad dengan juga
memperhitungkan sumber dana yang digunakannya.
Peranan perbankan syariah dalam pengembangan sektor riil juga dapat dilihat dari indikator fungsi intermediasi yang
dilakukan oleh bank syariah, yang dapat dilihat dari indikator FDR (Financing to Deposit Ratio). Dari indikator Kinerja
Perbankan Konvensional dan perbankan syariah terlihat bahwa bank syariah mempunyai kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan bank konvensional. Rasio FDR bank syariah pada bulan Agustus 2004 (102,07%) mempunyai
kemampuan intermediasi kurang lebih dua kali lipat dibandingkan LDR bank konvensional (47,9 %.).
Tabel 3 : Kinerja Perbankan Konvensional

Sumber : Laporan Bulanan Ekonomi, Moneter, dan Perbankan September 2004, Bank Indonesia (www.bi.go.id)
Selain indikator fungsi intermediasi tersebut, maka peranan perbankan syariah dalam yang terkait dalam sektor riil juga
dapat diamati saat masa krisis di tahun 1997-1998. Sistem perbankan syariah telah membuktikan dirinya sebagai suatu
sistem yang tangguh melewati krisis ekonomi di Indonesia. Banyak keunggulan yang dimilikinya sehingga dapat
bertahan menghadapi keadaan yang sangat sulit bagi dunia perbankan. Di antara keunggulannya adalah pertumbuhan
perbankan yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi riil. Dalam teori ekonomi makro hal ini dapat dilihat dari rasio
financial deepening (rasio kredit terhadap GDP).
Dalam teori manajemen perbankan, keterkaitan pertumbuhan sektor riil dengan sektor perbankan dicerminkan dengan
tidak adanya keadaan negative spread pada perbankan syariah. Padahal negative spread-lah salah satu momok utama
yang dihadapi oleh perbankan konvensional.
Tabel 4 : Sumber Dana, Pembiayaan, dan FDR Perbankan Syariah

Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Agustus 2004, Bank Indonesia (www.bi.go.id)


Bagi perbankan konvensional rasio ini adalah 71,05% (1997), 57,80% (1998), dan 33,07% (September 1999). Lihatlah
betapa labilnya rasio ini yang juga dapat diartikan bahwa sebagian besar kredit perbankan konvensional tidak
mempunyai dampak terhadap pertumbuhan sektor riil yang diukur dengan GDP. Penurunan jumlah kredit dalam jumlah
yang sangat besar ternyata tidak berpengaruh banyak terhadap GDP. Ini dapat diartikan pula bahwa sejumlah besar
kredit perbankan konvensional digunakan untuk spekulasi di pasar uang, atau paling tidak dapat dikatakan, tidak
digunakan untuk mendorong pertumbuhan sektor riil. Bandingkan dengan rasio yang sama pada perbankan syariah
yaitu 0.07% (1997), 0,05% (1998), 0,06% (September 1999), yang relatif stabil.

KARIM Business Consulting 2005

Tabel 5 : Financial Deepening (Tingkat Monetasi)


Financial Deepening = Kredit/GDP
1997
1998
1999
0.07%
0.05%
0.06%
71.05%
57.80%
33.07%
71.12%
57.85%
33.13%

TAH U N
Bank Syariah
Bank Konvensional
T O TAL
Sumber: Mulya Siregar, 2000

Nah, dalam pengelolaan inilah ditemui berbagai problematika yang harus dicermati dan terus disempurnakan.
Terutama karena harapan masyarakat yang begitu besar terhadap bank syariah. Dalam persepsi masyarakat bank
syariah mestilah bank yang paling ideal dan paling sempurna, karena bukankah Islam adalah ajaran yang sempurna.
Padahal bank syariah bukanlah Islam itu sendiri, ia sekedar bank yang berusaha menerapkan konsep syariah menurut
kemampuan perkembangannya.
Bila masyarakat menganggap bank syariah yang ada telah sempurna,
sesungguhnyalah bank syariah masih jauh dari sempurna. Apalagi dengan pengalamannya yang masih sangat minim
untuk ukuran sebuah bank di Indonesia.

Tantangan : Overheating Perbankan Syariah


Ibarat mobil yang dipacu dalam kecepatan tinggi, bank syariah memulai debutnya di awal 2004 ini dengan kecepatan
tinggi. Layaknya sebuah mobil, gejala kepanasan mesin (over-heating) juga dialami perekonomian. Dalam konteks
ekonomi makro, over-heating ditandai dengan laju inflasi yang cepat melebihi laju pertumbuhan ekonomi, sehingga
secara riil pertumbuhan malah mengalami pertumbuhan negatif. Dalam konteks bank syariah, over-heating ditandai
dengan pertumbuhan yang cepat, naiknya pembiayaan bermasalah, dan turunnya bagi hasil kepada nasabah dana pihak
ketiga. Pada tingkat yang parah over-heating mempunyai dampak seperti terjangkit penyakit demam berdarah; panas
tinggi, diikuti dengan pendarahan (bleeding).
Dalam konteks perbankan konvensional, bleeding terjadi ketika pendapatan bunga lebih kecil daripada biaya bunga.
Sedangkan dalam konteks perbankan syariah, bleeding terjadi ketika pendapatan pembiayaan lebih kecil daripada biaya
overhead.
Over-heating selalu disikapi mendua. Di satu sisi over-heating menunjukkan hal yang sangat positif yaitu pertumbuhan
yang tinggi. Di sisi lain ia menunjukkan suatu yang negatif karena sistem yang ada tidak mampu mendukung
pertumbuhan tinggi tersebut. Itu sebabnya pertumbuhan yang tinggi namun masih dapat dikelola (managable high
growth) sering diibaratkan sebagai pemain sirkus yang berjalan di tali yang digantung tinggi-tinggi (high wire
management). Hal ini patut menjadi perhatian apalagi dengan semakin besarnya pangsa pasar perbankan syariah yang
telah ambang psikologis pada bulan Agustus 2004 sebesar 1,01%.
Tabel 6 : Pangsa Perbankan Syariah terhadap Total Bank

Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Agustus 2004, Bank Indonesia (www.bi.go.id)


Ada dua cara mengatasi over-heating. Pertama dengan mengurangi kecepatan mobil atau bahkan berhenti sama sekali
sebelum mesin mobil mati mendadak. Kedua dengan mempersiapkan mobil untuk dapat dipacu dalam kecepatan tinggi.
Jangan pernah main sirkus atau berlatih agar tidak jatuh ketika bermain sirkus. Dalam konteks perbankan syariah, ini

KARIM Business Consulting 2005

berarti perlambat laju pertumbuhan atau persiapkan sistem untuk tumbuh dengan cepat. Pilihan pertama tentu tidak
diinginkan oleh siapapun, mulai dari BI, pelaku ekonomi, masyarakat luas maupun MUI.
Pilihan kedua yang harus sama-sama kita rumuskan. Ibarat mobil penggunaan coolant (cairan pendingin mesin),
pelumas bermutu tinggi, bahkan ban khusus diperlukan untuk berpacu dalam kecepatan tinggi. Dalam konteks
perbankan syariah, sistem prosedur yang handal, sumberdaya manusia berkualitas tinggi, dan sistem pengawasan
khusus diperlukan untuk terus berkembang secara fantastis.
Tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah memang hanya separuh dibandingkan perbankan konvensional.
Namun bila dilihat pergerakannya rasanya ini saat yang tepat untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Secara
persentase nilainya relatif stabil, 4,12% (Des 2002), 3,96% (Mar 2003), 3,93% (Jun 2003), 3,96% (Sep 2003), 3,67%
(Oct 2003), 3,39% (Nov 2003). Dalam keadaan pembiayaan bertumbuh demikian cepat, stabilnya angka ini bukan
merupakan suatu yang menggembirakan; bila pembagi bertambah besar, dan hasilnya sama, itu berarti yang dibagi pun
bertambah secepat pembaginya.
Secara nominal pembiayaan macet naik dari bulan ke bulan dari Rp53 miliar (Des 2002) menjadi Rp 71 miliar (Nov
2003). Pembiayaan kurang lancar pun demikian, naik dari bulan ke bulan dari Rp 51 miliar menjadi Rp 84 miliar;
pembiayaan dalam perhatian khusus naik dari Rp119 miliar menjadi Rp 344 miliar; semuanya dalam kurun waktu yang
sama. Data yang lebih update tentang pembiayaan yang bermasalah di perbankan syariah dapat dilihat dalam Tabel 7.
Nah, lonjakan dana pihak ketiga belakangan ini membuat bank-bank syariah kelebihan likuiditas, yang dapat terlihat
jelas dari naiknya jumlah dana bank syariah yang ditempatkan pada SWBI. Pada saat yang bersamaan tugas BPPN
selesai. Dengan selesainya tugas BPPN, ratusan ribu asset yang semula di BPPN kembali ke pasar, sekarang dapat di
restrukturisasi, di biayai ulang, dan aktif kembali. Tersedianya kelebihan likuiditas dan tersedianya asset ex BPPN
yang siap dibiayai dapat jadi campuran kimia yang pas untuk menggenjot pertumbuhan pembiayaan. Inilah urgensi
tulisan ini. Prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan harus diutamakan daripada memproduktifkan dana yang
tersimpan di SWBI. Bukankah kaidah fikih mengatakan dar-ul mafasid muqaddam ala jabbal mashalih
(mendahulukan mencegah mudarat lebih utama daripada mencari manfaat).
Tabel 7 : NPFs*) Perbankan Syariah (Juta Rupiah)

Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Agustus 2004, Bank Indonesia (www.bi.go.id)


Pilihan kedua adalah dengan membeli obligasi syariah maupun medium term notes (MTN) syariah yang semakin
marak. Dari aspek kesyariahan tentu maraknya instrumen ini patut disyukuri. Namun hal itu jangan sampai lupa
konsekuensi risiko dari suatu obligasi korporasi, dalam hal ini rating yang didapatkannya dari Pefindo.
Berapa banyak sih dari 6 obligasi syariah dan 1 MTN syariah yang diterbitkan, yang menyandang rating minimal A-.
Meskipun kita sama tahu untuk investment grade (layak investasi) tidak perlu A-. Risiko gagal bayar memang baru
akan muncul 5-7 tahun kemudian, namun setidaknya hal ini patut dicermati seksama. Bagi hasil dana pihak ketiga bankbank syariah memang lebih tinggi daripada suku bunga. Ketika suku bunga saat ini sekitara 6%, bagi hasil dapat
mencapai 9%. Di satu sisi tentu ini menggembirakan. Di sisi lain, hal ini juga harus dicermati terutama penurunan
bagi hasilnya.

KARIM Business Consulting 2005

Dalam bank syariah, bagi hasil dana pihak merupakan refleksi langsung pendapatan pembiayaan sehingga ia adalah
refleksi tidak langsung kualitas pembiayaan. Pada perbankan konvensional, bunga ditentukan dalam rapat ALCO yang
tidak merefleksikan langsung kinerja di sisi asset. Jadi sekarang 6%, bulan depan dapat saja naik 7%,8%,9% tanpa
perlu adanya perbaikan kinerja kredit. Tidak demikian halnya di bank syariah, apalagi kalau kita mengetahui bahwa
72% pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah adalah murabahah (pembiayaan jual beli dengan cicilan tetap)
yang secara teoritis akan memberikan tingkat rate pendapatan yang tetap. Nah, bila kemudian bagi hasil dana pihak
ketiga menurun, maka ada dua kemungkinan. Pertama, bank syariah menurunkan nisbah bagi hasil nasabah. Kedua,
kinerja pembiayaan memburuk. Untuk yang pertama, tentunya bank syariah harus meminta kesepakatan nasabah akan
nisbah baru tersebut. Penurunan nisbah tanpa kesepakatan nasabah, tentu menyalahi syariah. Untuk yang kedua, patut
dicermati dengan lebih hati-hati.
Pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab atas pengawasan syariah mengingat
demikian kompleksnya transaksi perbankan. Menimpakan beban berat ini hanya kepada Dewan Pengawas Syariah
bukanlah cara yang realistis. Pengawasan syariah sepatutnya merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholders.
Selain Dewan Pengawas Syariah yang bertanggung jawab pada aspek syariahnya, maka untuk aspek operasional
pengawasan syariah paling tidak harus dilakukan oleh audit internal bank, direktur kepatuhan, bahkan komisaris harus
ikut menjaga kepatuhan syariah. Audit ekstern yang dilakukan oleh kantor akuntan publik juga tidak boleh melewatkan
begitu saja adanya pelanggaran atas kepatuhan syariah. Dan tentunya Bank Indonesia bertanggung jawab sebagai
otoritas perbankan. Semua institusi ini sesuai kompetensi dan wewenangnya masing-masing harus bahu membahu
menjalankan fungsi pengawasan syariah.
Demikianlah peranan dan tantangan industri perbankan syariah di Indonesia yang harus dihadapi oleh pelaku bisnis
(bankir) perbankan syariah, regulator, akademisi, mahasiswa, nasabah serta elemen masyarakat lainnya. Dengan
kerjasama tersebut maka diharapkan bank syariah di Indonesia dapat mengembangkan berbagai produk dan layanan
yang inovative dalam koridor syariah dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian (prudential banking). Selamat
Berjuang ......

KARIM Business Consulting 2005

Anda mungkin juga menyukai