Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia kanker nasofaring (bagian atas faring atau tenggorokan) merupakan
kanker terganas nomor 4 setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya,
banyak orang yang tidak menyadari gejala kanker ini, karena gejalanya hanya seperti
gejala flu biasa. Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang ras mongoloid,
yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia
juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu
kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu
bagian atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT,
kepala serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker
nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga,
kelenjar leher, dan otak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari CA Nasofaring atau KNF ?
2. Apa saja etiologi dari KNF atau CA Nasofaring ?
3. Bagaimana tanda dan gejala dari KNF atau CA nasofaring ?
4. Apa saja diagnose keperawatan yang dapat muncul pada KNF atau CA
Nasofaring ?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada KNF atau CA Nasofaring ?
1

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan ca
nasofaring
2. Tujuan Khusus
1. Memahami definisi Ca nasofaring.
2. Mengetahui penyebab dari Ca nasofaring.
3. Mengetahui manifestasi klinis dari Ca nasofaring
4. Mengetahui proses terjadinya Ca nasofaring.
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada Ca nasofaring.
6. Mengetahui penatalaksaan Ca nasofaring
7. Mengetahui komplikasi Ca nasofaring
8. Mengetahi pencegahan Ca nasofaring
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Ca nasofaring
D. Manfaat
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan ca Nasofaring sehingga menunjang pembelajaran mata
kuliah persepsi sensori.
2. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang benar sehingga
dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah


nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006
dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Tumor ganas nasofaring (karsinoma nasofaring) adalah sejenis kanker yang
dapat menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di
tubuh kita. Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan
mengandung beberapa tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang
berbeda. Dengan mengetahui tipe yang sel yang berbeda merupakan hal yang penting
karena hal tersebut dapat menentukan tingkat seriusnya jenis kanker dan tipe terapi
yang akan digunakan (American Cancer Society dalam Cancer.Net, 2008).
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di
rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di
Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher merupakan kanker nasofaring,
kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.

B. Etiologi
Terjadinya Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya
kanker nasofaring adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol
dan memiliki fenomena agrregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gan
HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E
( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring,
mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian
menunjukkan

bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan

ketidakstabilan , sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor


berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.
2. Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik
seperti antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini
( EA ), antigen nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan
Ca Nasofaring , alasannya adalah :
Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB
( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun
rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan
penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor.
Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya
kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau
memburuk.
4

Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti


DNA virus dan EBNA.
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung
virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat ,
gambaran pembelahan inti juga banyak.
Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat
menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring
fetus manusia.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini
menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker
nasofaring, kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap
mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses
timbulnya kanker nasofaring .
3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait
dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya
terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.

C. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1. Epiktasis
sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang
berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari
rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan
dengan permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor
robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat
dapat timbul hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat
sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini disebabkan
tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun
penyebabnya adalah

tumor di resesus faringeus dan di dinding lateral

nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana negatif


di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi pasien
dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan
sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi,
4. umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
5.

Sefalgia
kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial
atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh
darah yang menyebabkan sefalgia reflektif
6

6. Rudapaksa saraf kranial


kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke superior , dapat
mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami
kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya
berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf
abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi
meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf
kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
7. Pembesaran kelenjar limfe leher

lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda


superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya
tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka pada
mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar
limfenya perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli
posterior.
8. Gejala metastasis jauh
lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi tulang tersering
ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis
tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak
berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu
terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat
membantu diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang
ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax ,
pemeriksaan hati dengan CT atau USG
7

D. Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr.
Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita
ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam
sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan
dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang
menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga
terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu
pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa
Rossenmuller.
Penggolongan Ca Nasofaring :
1) T1
2)

: Kanker terbatas di rongga nasofaring.


T2

: Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah

parafaring

di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus

stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum os


oksipital ).
3)

T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai


basis kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal
syaraf kranial kelompok anterior atau posterior.

4)

T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak,


atau kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa
infra-temporal.

N : Nodul
N0

: Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .

N1

: Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4 cm,.

N2

: Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm .

N3

: Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7 cm

M0

: Tak ada metastasis jauh.

M1

: Ada metastasis jauh.

Penggolongan stadium klinis, antara lain :


a. Stadium I

: T1N0M0

b. Stadium II

: T2N0 1M0, T0 2N1M0

c. Stadium III

: T3N0 2M0, T0 3N2M0

d. Stadium IVa

: T4N0 3M0, T0 4N3M0

e. Stadium IVb

: T apapun, N Apapun, M1

E. Pemeriksaan Diagnosis

Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan


daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior,
lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar
tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi
metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy (Krishnakat, Samir,2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan
kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui
mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya
dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.Bila dengan cara ini masih
belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret
daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter untuk
melihat bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin,fexible tube. Pasien
disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji area
10

kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk melihat


nasofaring,disebut nasofaringoskopi (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak
jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan
nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai
prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot
kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang
positif.
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring
adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring
berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut.

Diagnosis pencitraan.

11

1.

Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis,


memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat
menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi
remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut.

2.

Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak,
dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih
baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur
nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke
tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi
tumor , MRI juga lebih bermanfaat .

3.

Pencitraan tulang seluruh tubuh : Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring


dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau
CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan
bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian
kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif
untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi
tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit,
menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang,
pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.

4.

PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia


molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme
glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang
dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi
gambaran biologis bagi dokter

klinisi, membantu penentuan area target

biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga


efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal
berkurang.
12

Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi
primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus
diperoleh diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat
memeberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe
leher.
F. Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene
mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran
atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang
terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan
kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF
( DDP + 5FU ), kaboplatin +5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP
gemsitabin , dll.
o

DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum


kemoterapi, lakukan hidrasi 3 hari )

5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu


intravena.

Ulangi setiap 21 hari atau:


13

o Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.


o 5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu. Ulangi
setiap 21 hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d. Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi
radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) ,
kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih
dapat dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM
dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian lebih lanjut.
1. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat
bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
2. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang
untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi
depresi.

3. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya
merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus
14

memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis,


agar tubuh dan ketahanan meningkat secara bertahap.
4. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
a) Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
b) 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe
leher.
Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma
skuamosa grade I, II, adenokarsinoma.
Komplikasi radiasi.

G. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan
15

gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat
terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin
terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi
pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko
untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi
langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook,
2000 dan Nasir, 2009).
H. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinankemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA
dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini
(Tirtaamijaya, 2009).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

16

A. Pengkajian
1. Identitas/ biodata klien :
a. Nama
b. Tempat tanggal lahir
c. Umur
d. Jenis Kelamin
e. Agama
f. Warga Negara
g. Bahasa yang digunakan
2. Penanggung Jawab
a. Nama
b. Umur
c. Pekerjaan
d. Alamat
e. Hubungan dengan klien

3. Keluhan Utama

17

Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan
merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
Dalam riwayat kesehatan sekarang ini berisi data riwayat kesehatan yang
memang sedang dirasakan oleh pasien tersebut atau pada pasien CA Nasofaring ini.
5. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Dalam riwayat kesehatan masa lalu ini berisi riwayat kesehatan yang dulu
pernah diderita oleh pasien CA Nasofaring ini.
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam riwayat kesehatan keluarga ini berisi data riwayat kesehata keluarga
pasien, dari sini kita dapat mengetahui apakah penyakit tersebut bersifat keturunan
atau tidak.
7. Keadaan Lingkungan
Keadaan lingkungan ini dapat mempengaruhi riwayat kesehatan seorang
pasien, apakah pasien tersebut tidak dapat merawat kesehatannya atau sebaliknya.

B. Observasi

18

1) Keadaan Umum
a. Suhu
b. Nadi
c. Tekanan Darah
d. RR
e. BB
f. Tinggi badan
2) Dignosa
1. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan
status organ sekunder metastase tumor.
2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang.
3. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

3) Intervensi

19

1. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan


status organ sekunder metastase tumor.
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.
Kriteria Hasil: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.
Intervensi
1. Tentukan

Rasional
ketajaman

1. Mengetahui perubahan dari hal-

pendengaran, apakah satu atau

hal yang merupakan kebiasaan

dua telinga terlibat .

pasien .

2. Orientasikan

pasien

terhadap

lingkungan.

2. Lingkungan yang nyaman dapat


membantu meningkatkan proses
penyembuhan.

3. Observasi tanda-tanda dan gejala


disorientasi

3. Mengetahui

faktor

penyebab

gangguan persepsi sensori yang


lain

dialami

dan

dirasakan

pasien.

2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake makanan yang kurang.
20

Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi


Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Intervensi

Rasional

1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan

1. Untuk

makan.

mengetahui

tentang

keadaan dan kebutuhan nutrisi


pasien sehingga dapat diberikan
tindakan dan pengaturan diet
yang adekuat.

2. Anjurkan
mematuhi

pasien
diet

yang

untuk

2.

telah

mencegah komplikasi terjadinya

diprogramkan.
3. Timbang

Kepatuhan terhadap diet dapat


hipoglikemia/hiperglikemia.

berat

badan

setiap

seminggu sekali.

3.

Mengetahui

perkembangan

berat badan pasien (berat badan


merupakan salah satu indikasi
untuk menentukan diet).

4. Identifikasi

perubahan

pola

makan.

4. Mengetahui apakah pasien telah


melaksanakan

program

diet

yang ditetapkan.

3. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan


pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
21

Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang


penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan
dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila
ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh.
Intervensi
1. Kaji

tingkat

Rasional
pengetahuan

1. Untuk memberikan informasi

pasien/keluarga tentang penyakit

pada pasien/keluarga, perawat

DM dan Ca. Nasofaring

perlu mengetahui sejauh mana


informasi

atau

pengetahuan

yang diketahui pasien/keluarga.


2. Agar perawat dapat memberikan
2. Kaji latar belakang pendidikan
pasien.

penjelasan

dengan

menggunakan

kata-kata

dan

kalimat yang dapat dimengerti


pasien sesuai tingkat pendidikan
pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit,
diet, perawatan dan pengobatan
pada pasien dengan bahasa dan
kata-kata

yang

mudah

3. Agar informasi dapat diterima


dengan
sehingga

mudah
tidak

dan

tepat

menimbulkan

kesalahpahaman.

dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang kan
dilakukan,

manfaatnya

bagi
22

4. Dengan penjelasdan yang ada

pasien

dan

libatkan

pasien

dan ikut secra langsung dalam

didalamnya.

tindakan yang dilakukan, pasien


akan

lebih

kooperatif

dan

cemasnya berkurang.
5. Gambar-gambar

dalam

memberikan penjelasan (jika ada

5. Gambar-gambar

/ memungkinkan).

membantu

dapat
mengingat

penjelasan yang telah diberikan.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
23

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu
bagian atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT,
kepala serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker
nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga,
kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring
rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya
dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita kanker ini.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, hendaknya pambaca mampu meningkakan
pengetahuan dan wawasannya mengenai karsinoma nasofaring. Sehingga pembaca
mampu melakukan penatalaksanaan keperawatan yang tepat dan baik pada pasien
dengan karsinoma nasofaring.

24

Anda mungkin juga menyukai