Anda di halaman 1dari 116

SEVEN JUMP

Nama kuliah : keperawatan komunitas

Tingkat / semester : 3/VI

Hari/tanggal :

SKENARIO KASUS 1

Perawat komunitas melakukan pengkajian di RW 03, kelurahan M. penduduk RW


03 terdiri dari 450 jiwa penduduk yang terdiri dari dari 200 orang laki laki dan 250
orang perempuan. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut 58 % termasuk pada usia
produktif 1549 tahun, bayi dan balita 15 %, usia 6- 14 tahun 12 %, dan usia l ansia
15 %. Crude Birth Rate (CBR) 1,7 %, Crude Death Rate (CDR) 1,3% pada
pertengahan tahun berjalan. 48 % termasuk pada kategori keluarga miskin. Tingkat
pendidikan penduduk usia produktif : 10 % tidak sekolah sama sekali, 40 % tamat SD,
32% tamat SMP, 10 % tamat SMA, dan sisanya tamat perguruan tinggi. Mata
pencaharian penduduk sebagian buruh tani 50%, wiraswasta 20%, PNS 10%, tidak
bekerja 20 %. Usia harapan penduduk 68 tahun. Sebagian penduduk (90%) memiliki
rumah semi permanen, dan 9 % rumah tidak permanen. 57 % menggunakan air
sungai sebagai sumber air bersih dan juga untuk mandi cuci kakus. Berdasarkan hasil
pendataan penyakit yang banyak diderita ialah 25 % mengalami ISPA, 15 % diare, 15 %
hipertensi, dan 2 % mengalami kelumpuhan akibat rematik. Sebanyak 60 % penderita
hipertensi memiliki riwayat keluarga yang menderita hipertensi.

Menurut windshield survey yang dilakukan, didapat data bahwa terdapat sampah
berserakan, masih banyak masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya.
Tempat penampungan sampah hanya ada 1 dan pengolahannya belum berjalan baik.
Terlihat lalat di sekitar rumah-rumah penduduk.

Sarana pelayanan kesehatan yang tersedia adalah Posyandu, dan Puskesmas.


Jarak pemukiman ke posyandu 250 m dan jarak ke puskesmas 750 m. Untuk

1
mencapai lokasi yankes, bisanya penduduk pergi ke pelayanan kesehatan khususnya
posyandu dengan berjalan kaki, sedangkan sarana transportasi yang digunakan untuk
mencapai puskesmas biasanya menggunakan ojeg atau motor. Jumlah Kunjungan
Keluarga ke posyandu dari seluruh bayi dan balita tercatat 40% rutin, 36% kadang-
kadang dan sebanyak (24%) tidak pernah berkunjung ke Posyandu.

2
A. TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas mahasiswa membahas kasus tersebut
dengan kelompok, dipimpin oleh ketua dan sekretaris.
2. Melakukan aktifitas pembelajaran individual di kelas dengan menggunakan buku ajar,
jurnal dan internet untuk mencari informasi tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa dihadiri fasilitator) untuk melakukan
curah pendapat bebas antar anggota kelompok untuk menganalisa informasi dalam
menyelesaikan masalah.
4. Berkonsultasi pada narasumber yang telah ditetapkan oleh fasilitator.
5. Mengikuti kuliah khusus dalam kelas untuk masalah yang belum jelas atau tidak
ditemukan jawabannya untuk konsultasi masalah yang belum jelas
6. Melakukan praktikum pemeriksaan fisik antenatal dan sadari.

B. PROSES PENCEGAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok mahasiswa diharapkan dapat memecahkan problem
yang terdapat dalam scenario dengan mengikuti 7 langkah penyelesaian masalah di
bawah ini:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan kata / kalimat
kunci skenario di atas.
2. Identifikasi problem dasar skenario, dengan membuat beberapa pertanyaan penting.
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaanpertanyaan di atas.
4. Klarifikasikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas kasus di atas
Lahkah 1 sampai 5 dilakukan dalam diskusi tutorial pertama dengan fasilitator.
6. Cari informasi tambahan informasi tentang kasus di atas di luar
7. kelompok tatap muka; dilakukan dengan belajar mandiri.
8. 7.Laporkan hasil diskusi dan sintetis informasi-informasi yang baru ditemukan;
dilakukan dalam kelompok diskusi dengan fasilitator.
9. Seminar; untuk kegiatan diskusi panel dan semua pakar duduk
10. bersama untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.

Penjelasan:
Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi yang
diperlukan untuk sampai pada kesimpilan akhir, maka proses 6 bisa diulangi dan
selanjutnya dilakukan lagi langkah 7. Kedua langkah di atas bisa diulang-ulang di
luar tutorial dan setelahinformasi dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.

3
STEP 1
KATA KUNCI

1. Perawat komunitas :

4
Komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai
persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok khusus dengan
batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah melembaga
(Sumijatun dkk, 2006). Misalnya di dalam kesehatan di kenal kelompok ibu hamil,
kelompok ibu menyusui, kelompok anak balita, kelompok lansia, kelompok masyarakat
dalam suatu wilayah desa binaan dan lain sebagainya. Sedangkan dalam kelompok
masyarakat ada masyarakat petani, masyarakat pedagang, masyarakat pekerja,
masyarakat terasing dan sebagainya (Mubarak, 2006).
Proses keperawatan komunitas merupakan metode asuhan keperawatan yang
bersifat alamiah, sistematis, dinamis, kontiniu, dan berkesinambungan dalam rangka
memecahkan masalah kesehatan klien, keluarga, kelompok serta masyarakat melalui
langkah-langkah seperti pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi
keperawatan (Wahyudi, 2010).
Tujuan dan Fungsi Keperawatan Komunitas
a. Tujuan keperawatan komunitas

Tujuan proses keperawatan dalam komunitas adalah untuk pencegahan dan


peningkatan kesehatan masyarakat melalui upaya-upaya sebagai berikut.

1) Pelayanan keperawatan secara langsung (direct care) terhadap individu, keluarga, `


dan keluarga dan kelompok dalam konteks komunitas.

2) Perhatian langsung terhadap kesehatan seluruh masyarakat (health general


community) dengan mempertimbangkan permasalahan atau isu kesehatan
masyarakat yang dapat memengaruhi keluarga, individu, dan kelompok.

b. Fungsi keperawatan komunitas


1) Memberikan pedoman dan bimbingan yang sistematis dan ilmiah bagi kesehatan
masyarakat dan keperawatan dalam memecahkan masalah klien melalui asuhan
keperawatan.
2) Agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang optimal sesuai dengan
kebutuhannya dibidang kesehatan.
3) Memberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan pemecahan masalah,
komunikasi yang efektif dan efisien serta melibatkan peran serta masyarakat.

5
4) Agar masyarakat bebas mengemukakan pendapat berkaitan dengan permasalahan
atau kebutuhannya sehingga mendapatkan penanganan dan pelayanan yang cepat
dan pada akhirnya dapat mempercepat proses penyembuhan (Mubarak, 2006).
Model Konseptual Dalam Keperawatan Komunitas

Model konsep ini merupakan model konsep yang menggambarkan aktifitas


keperawatan, yang ditujukan kepada penekanan penurunan stres dengan cara memperkuat
garis pertahanan diri, baik yang bersifat fleksibel, normal, maupun resisten dengan
sasaran pelayanan adalah komunitas.(Mubarak dan Chayatin 2009)

Gambar 1.1 Model Health Care System

Sumber: (Mubarak dan Chayatin 2009).

Jika dilihat pada gambar diatas, garis pertahanan diri pada komunitas meliputi garis
pertahanan fleksibel /buffer zone, yaitu tingkat kesehatan yang dinamis, yang merupakan
hasil respon sementara terhadap stesor (respon komunitas terhadap lingkungan, misalnya:
banjir, stresor sosial, ketersediaan dana dalam pelayanan kesehatan, pekerjaan, dll) Selain
itu, terdapat garis pertahanan normal yang merupakan tingkat kesehatan komunitas yang
dicapai saat itu. Garis pertahanan normal berupa pola koping dan kemampuan dalam
pemecahan masalah dalam jangka panjang yang diperlihatkan sebagai kesehatan
komunitas. Garis pertahanan ini meliputi: ketersediaan pelayanan, adanya perlindungan
terhadap status nutrisi secara menyeluru, tingkat pendapatan ( cost level ), sikap atau
perilaku masyarakat terhadap kesehatan, dan kondisi rumah yang memenuhi syarat-syarat
kesehatan

6
Model adalah sebuah gambaran deskriptif dari sebuah praktik yang bermutu yang
mewakili sesuatu yang nyata atau gambaran yang mendekati kenyataan dari konsep.
Model praktik keperawatan didasarkan pada isi dari sebuah teori dan konsep praktik
(Riehl & Roy, 1980 dalam Sumijatun, 2006).
Menurut Sumijatun (2006) teori Neuman berpijak pada metaparadigma keperawatan
yang terdiri dari yang terdiri dari klien, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.Asumsi
Betty Neuman tentang empat konsep utama yang terkait dengan keperawatan komunitas
adalah:
a. Manusia, merupakan suatu sistem terbuka yang selalu mencari keseimbangan dari
harmoni dan merupakan suatu kesatuan dari variabel yang utuh, yaitu: fisiologi,
psikologi, sosiokultural, perkembangan dan spiritual
b. Lingkungan, meliputi semua faktor internal dan eksternal atau pengaruh-pengaruh
dari sekitar atau sistem klien
c. Sehat, merupakan kondisi terbebas dari gangguan pemenuhan kebutuhan. Sehat
merupakan keseimbangan yang dinamis sebagai dampak dari keberhasilan
menghindari atau mengatasi stresor.

Pelayanan yang diberikan oleh keperawatan komunitas mencakup kesehatan komunitas


yang luas dan berfokus pada pencegahan yang terdiri dari tiga tingkat yaitu:

1) Pencegahan primer
Pelayanan pencegahan primer ditunjukkan kepada penghentian penyakit
sebelum terjadi karena itu pencegahan primer mencakup peningkatan derajat
kesehatan secara umum dan perlindungan spesifik. Promosi kesehatan secara umum
mencakup pendidikan kesehatan baik pada individu maupun kelompok. Pencegahan
primer juga mencakup tindakan spesifik yang melindungi individu melawan agen-agen
spesifik misalnya tindakan perlindungan yang paling umum yaitu memberikan
imunisasi pada bayi, anak balita dan ibu hamil, penyuluhan gizi bayi dan balita.
2) Pencegahan sekunder
Pelayanan pencegahan sekunder dibuat untuk menditeksi penyakit lebih awal
dengan mengobati secara tepat. Kegiatan-kegiatan yang mengurangi faktor resiko

7
dikalifikasikansebagai pencegahan sekunder misalnya memotivasi keluarga untuk
melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala melalui posyandu dan puskesmas.
3) Pencegahan tertier

Yang mencakup pembatasan kecacatan kelemahan pada seseorang dengan


stadium dini dan rehabilitasi pada orang yang mengalami kecacatan agar dapat secara
optimal berfungsi sesuai dengan kemampuannya, misalnya mengajarkan latihan fisik
pada penderita patah tulang.

Keperawatan ditunjukan untuk mempertahankan keseimbangan tersebut dengan


berfokus kepada ke 4 intervensi berikut ini :

1. Intervensi yang bersifat promosi, dilakukan apabila gangguan terjadi pada garis
pertahanan yang bersifat fleksibel, meliputi pendidikan kesehatan dan
mendemonstrasikan keterampilan keperawatan dasar yang dapat dilakukan klien
dirumah atau komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan atau
keseimbangan garis pertahanan normal.
2. Intervensi yang bersifat prevensi, dilakukan apabila garis pertahanan normal
terganggu, meliputu deteksi dini gangguan kesehatan atau gangguan keseimbangan
garis pertahanan, misalnya deteksi dini tumbuh kembang balita, keluarga serta
memberikan zat kekebalan pada klien yang bersifat individu misalnya konseling
pranikah.
3. Intervensi yang bersifat kuratif dan rahbilitatif, dilakaukan apabila garis pertahanan
resisten terganggu, meliputi melakukan prosedur keperawatan yang memerlukan
kepakaran perawat misalnya maelatih klien duduk atau berjalan, memberikan
konseling unuk penyelesaian masalah, melakukan kerja sama lintas program dan lintas
sektor untuk menyelesaikan masalah, serta melakukan rujukan keperawatan atau
nonkeperawatan, baik secara lintas program atau lintas sektor.
4. Keperawatan. Keperawatan sebagai ilmu dan kiat yang mempelajari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar klien (individu, keluarga, kelompok, dan komunitas),
berhubungan dengan ketidakseimbangan yang terjadi pada ketiga garis pertahanan,
yaitu: fleksible, normal, dan resisten, serta berupaya membantu mempertahankan
keseimbangan untuk sehat. Intervensi keperawatan bertujuan untuk menurunkan
stressor melalui:

8
a. Pencegahan primer, meliputi berbagai tindakan keperawatan untuk
mengidentifikasi adanya stressor, menjaga reaksi tubuh karena adanya stressor,
serta mendukung koping pada klien secara konstruktif.
b. Pencegahan sekunder, meliputi berbagai tindakan keperawatan dengan mengurangi
atau menghilangkan gejala penyakit serta reaksi tubuh karena adanya stressor.
c. Pencegahan tersier, meliputi pengobatan secara rutin dan teratur, serta pencegahan
terhadap adanya kerusakan lebih lanjut lanjut dari komplikasi suatu penyakit.
(Mubarak dan Chayatin 2009).
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada komunitas atau kelompok
adalah sebagai beikut:
1. Pengkajian
Hal yang perlu dikaji pada komunitas atau kelompok, antara lain sebagai
berikut :
a. Inti (core), meliputi: data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri
atas usia yang berisiko, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, agama, nilai-
nilai, keyakinan, serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas.
b. Mengkaji delapan subsistem yang memengaruji komunitas, antara lain:
Perumahan, bagaimana penerangannya, sirkulasi, bagaimana
kepadatannya karena dapat menjadi stresor bagi penduduk
Pendidikan komunitas, apakah ada sarana pendidikan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
Keamanan dan keselamatan, bagaimana keselamatan dan
keamanan lingkungan tempat tinggal, apakah masyarakat merasa
nyaman atau tidak, apakah sering mengalami stres akibat keamanan
dan keselamatan yang tidak terjamin.
Politik dan kebijakan pemerintah terkait kesehatan, apakah cukup
menunjang, sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan
pelayanan diberbagai bidang, termasuk kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang tersedia, untuk melakukan deteksi dini
dan merawat/memantau gangguan yang terjadi.
Sistem komunikasi, sarana komunikasiapa saja yang tersedia dan
dapat dimanfaatkan dimasyarakat tersebut untuk meningkatkan
pengetahuian terkaity dengan gangguan penyakit. Misalnya media
televisi, radio, koran, koran, atau leaflet yang diberikan kepada
masyarakat.

9
Sistem ekonomi, tingkat sosial ekonomi masyarakat secara
keseluruhan, apakah pendapat yang diterima sesuai dengan
kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) atau sebaliknya
dibawah upah minum. Hal ini terkait dengan upaya pelayanan
kesehatan ditunjukkan pada anjuran untuk mengonsumsi jenis
makanan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing.
Rekreasi, apakah tersedia sarana rekreasi, kapan saja dibuka,
apakah biayanya dapat dijangkau oleh masyarakat. Rekreasi dapat
digunakan masyarakat untuk membantu mengurangi stresor.
(Mubarak dan Chayatin 2009).
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingkat rekasi komunitas terhadap
stressor yang ada. Selanjutnya dirumuskan dalam 3 komponen P (problem atau
masalah), E (etiology atau penyebab), dan S (symptomI atau manifestasi/data
penunjang). Misalnya, risiko tinggi peningkatan gangguan penyakit
kardiovaskular pada komunitas di RT 01 RW 10 Kelurahan Somowinangun
sehubungan dengan kurangnya kesadaran masyarakat tentang hidup sehat
ditandai dengan :
a. 0,15 % ditemukan angkta dirawat dengan gangguan kardiovaskuler
b. 50 % RT 01 RW 10 mengonsumsi lemak tinggi
c. Didapatkan 20% saja kebiasaan berolahraga
d. Rekreasi tidak teratur
e. Informasi tentang gangguan kardiovaskuler kurang (Mubarak dan
Chayatin 2009).
3. Perencanaan Intervensi
Perencanaan intervensi yang dapat dilakukan dengan diagnosis
keperawatan komunitas yang muncuk di atas adalah :
a. Lakukan pendidikan kesehatan tentang penyakit gangguan kardiovaskuler
b. Lakukan demosntrasi keterampilah cara menangani stres dan teknik
relaksasi
c. Lakukan deteksi dini tanda-tanda gangguan penyakit kardiovaskuler
melalui pemeriksaan tekanan darah
d. Lakukan kerjasama dengan ahli gizi untuk menetapkan diet yang tepat
bagi yang beresiko
e. Lakukan olahraga secara rutin sesuai dengan kemampuan fungsi jantung

10
f. Lakukan kerja sama dengan petugas dan aparat pemerintah setempat untuk
memperbaiki lingkungan atau komuntas apabila ditemui ada penyebab
stressor.
g. Lakukan rujukan ke rumah sakit bila diperlukan. (Mubarak dan Chayatin
2009).
4. Implementasi
Perawat bertanggungjawab untuk melaksanakan tindakan yang telah
direncanakan yang bersifat :
a. Bantuan untuk mengatasi masalah gangguan penyakit kardiovaskuler
dikomunitas,
b. Mempertahankan kondisi yang seimbang, dalam hal iniberprilaku hidup
sehat dan melaksanakan uoaya peningkatan kesehatan
c. Mendidik komunitas tentang prilaku sehat untuk mencegah gangguan
penyakit kardiovaskuler
d. Sebai advokat komunitas yang sekaligus memfasilitasi terpenuhinya
kebutuhan komunitas. (Mubarak dan Chayatin 2009).
5. Evaluasi/Penilaian
a. Menilai respon verbal dan nonverbal komunitas setelah dilakukan
intervensi
b. Menilai kemajuan yang dicapai oleh komunitas setelah dilakukan
intervensi keperawatan
c. Mencatat adanya kasus baru yang dirujuk ke rumah sakit. (Mubarak dan
Chayatin 2009).

2. Posyandu :

Posyandu merupakan salah satu Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat


(UKBM) yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat sehingga pelayanan kesehatan menjadi lebih merata dan
optimal. Kegiatan yang dilakukan di Posyandu merupakan kegiatan nyata yang melibatkan
partisipasi masyarakat. Posyandu dikelola oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk
masyarakat sehingga menimbulkan rasa memiliki pada masyarakat yang akan berdampak
pada kepedulian mereka terhadap keberadaan Posyandu.

Pengertian Posyandu menurut Kemenkes RI (2011, p. 11) adalah salah satu bentuk
Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan
diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan
11
pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan
kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat
penurunan angka kematian ibu dan bayi.

Jenis-jenis Posyandu
Tingkat perkembangan antara Posyandu yang satu dengan Posyandu lainnya itu
berbeda-beda, sehingga pembinaan yang dilakukan tiap Posyandu pun tidak akan sama.
Berdasarkan indikator yang telah ditetapkan oleh Kemenkes (2011, p. 53),

Posyandu dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu :

a. Posyandu Pratama
Posyandu Pratama adalah Posyandu yang belum mantap, yang ditandai oleh
kegiatan bulanan Posyandu belum terlaksana secara rutin serta jumlah kader sangat
terbatas yakni kurang dari lima orang. Penyebab tidak terlaksananya kegiatan rutin
bulanan Posyandu dikarenakan jumlah kader yang terbatas dan dapat pula karena
belum siapnya masyarakat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat
adalah memotivasi masyarakat serta menambah jumlah kader.

b. Posyandu Madya
Posyandu Madya adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan
lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau
lebih, tetapi cakupan kelima kegiatan utamanya masih rendah, yaitu kurang dari 50%.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah meningkatkan
cakupan dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai motivator serta lebih
menggiatkan kader dalam mengelola kegiatan Posyandu.

c. Posyandu Purnama
Posyandu Purnama adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan
lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau
lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan
program tambahan, serta telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang
dikelola oleh masyarakat yang pesertanya masih terbatas yakni kurang dari 50% KK di

12
wilayah kerja Posyandu. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat
antara lain:

Sosialisasi program dana sehat yang bertujuan untuk memantapkan pemahaman


masyarakat tentang dana sehat.
Pelatihan dana sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh dana sehat yang kuat,
dengan cakupan anggota lebih dari 50% KK. Peserta pelatihan adalah para tokoh
masyarakat, terutama pengurus dana sehat desa/kelurahan, serta untuk
kepentingan Posyandu mengikutsertakan pula pengurus Posyandu.
d. Posyandu Mandiri
Posyandu Mandiri adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan
lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau
lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan
program tambahan, serta telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang
dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih dari 50% KK yang bertempat tinggal
di wilayah kerja Posyandu. Intervensi yang dilakukan bersifat pembinaan termasuk
pembinaan program dana sehat, sehingga terjamin kesinambungannya. Selain itu dapat
dilakukan intervensi memperbanyak macam program tambahan sesuai dengan masalah
dan kemampuan masing-masing.

Tujuan dan Fungsi Posyandu


Menurut Kemenkes RI (2011, p. 12), tujuan diadakannya Posyandu dibagi dua,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah untuk menunjang
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Kematian Anak Balita (AKABA) di Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya itu ada
tiga, yaitu:

1. Meningkatkan peran masyarakat dalam upaya penyelenggaraan kesehatan dasar,


terutama yang berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.
2. Meningkatkan peran lintas sektor dalam penyelenggaraan Posyandu, terutama
berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.
3. Meningkatkan cakupan dan jangkauan pelayanan kesehatan dasar, terutama yang
berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.
Fungsi didirikannya Posyandu menurut Kemenkes RI (2011, p. 13) adalah:

13
Sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dalam alih informasi dan keterampilan dari
petugas kepada masyarakat dan antar sesama masyarakat dalam rangka mempercepat
penurunan AKI, AKB dan AKABA.
Sebagai wadah untuk mendekatkan pelayanan kesehatan dasar, terutama berkaitan
dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.
Manfaat Posyandu
Manfaat didirikannya Posyandu menurut Kemenkes RI (2011, p. 13) dibagi
menjadi empat, yaitu manfaat untuk masyarakat, kader, puskesmas dan sektor lain.
Manfaat untuk masyarakat ada tiga, yaitu:

1) Memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan


dasar, terutama berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.
2) Memperoleh layanan secara profesional dalam pemecahan masalah kesehatan
terutama terkait kesehatan ibu dan anak.
3) Efisiensi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar terpadu dan pelayanan sosial
dasar sektor lain terkait.
Manfaat untuk kader, pengurus Posyandu dan tokoh masyarakat adalah:
1) Mendapatkan informasi terlebih dahulu tentang upaya kesehatan yang terkait dengan
penurunan AKI, AKB dan AKABA.
2) Dapat mewujudkan aktualisasi dirinya dalam membantu masyarakat menyelesaikan
masalah kesehatan terkait dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.

Sedangkan manfaat untuk Puskesmas, yaitu:

1) Optimalisasi fungsi Puskesmas sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan


kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan kesehatan perorangan
primer dan pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer.
2) Dapat lebih spesifik membantu masyarakat dalam pemecahan masalah kesehatan
sesuai kondisi setempat.
3) Mendekatkan akses pelayanan kesehatan dasar pada masyarakat.
Penyelenggaraan Posyandu
Menurut Kemenkes RI (2012):
a. Pengelola Posyandu
Dalam penyelenggaraannya, pengelola Posyandu dipilih dari dan oleh
masyarakat pada saat musyawarah pembentukan Posyandu. Pengurus Posyandu
sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara.

14
Berikut ini beberapa kriteria pengelola Posyandu.

1. Sukarelawan dan tokoh masyarakat setempat.


2. Memiliki semangat pengabdian, berinisiatif tinggi, dan mampu memotivasi
masyarakat.
3. Bersedia bekerja secara sukarela bersama masyarakat.
b. Waktu dan Lokasi Posyandu
Penyelenggaraan Posyandu sekurang-kurangnya satu (1) kali dalam sebulan. Jika
diperlukan, hari buka Posyandu dapat lebih dari satu (1) kali dalam sebulan. Hari dan
waktunya sesuai dengan hasil kesepakatan masyarakat.

Posyandu berlokasi di setiap desa/kelurahan/RT/RW atau dusun, salah satu kios di


pasar, salah satu ruangan perkantoran, atau tempat khusus yang dibangun oleh swadaya
masyarakat. Tempat penyelenggaraan kegiatan Posyandu sebaiknya berada di lokasi
yang mudah dijangkau oleh masyarakat.

Pembentukan Posyandu

Menurut Kemenkes RI (2012):


Langkah-langkah pembentukan Posyandu.
1. Mempersiapkan para petugas/aparat sehingga bersedia dan memiliki kemampuan
mengelola serta membina Posyandu.
2. Mempersiapkan masyarakat, khususnya tokoh masyarakat sehingga bersedia
mendukung penyelenggaraan Posyandu.
3. Melakukan Survei Mawas Diri (SMD) agar masyarakat mempunyai rasa memiliki,
melalui penemuan sendiri masalah yang dihadapi dan potensi yang dimiliki.
4. Melakukan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) untuk mendapatkan dukungan dari
tokoh masyarakat.
5. Membentuk dan memantau kegiatan Posyandu dengan kegiatan pemilihan pengurus
dan kader, orientasi pengurus dan pelatihan kader Posyandu, pembentukan dan
peresmian Posyandu, serta penyelengaraan dan pemantauan kegiatan Posyandu.
Kegiatan Rutin Posyandu
Kegiatan rutin yang dilakukan Posyandu ada lima, yaitu:
a. Kesehatan Ibu dan Anak yang biasanya disingkat KIA Kegiatan ini ditujukan untuk
pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan dan menyusui, serta pemeliharaan
kesehatan bayi, anak balita dan anak prasekolah. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
menurut Hasdi (dalam Zuhrina Aidha, 2010, p. 11) adalah :

15
Memberikan nasehat tentang makanan yang dapat mancegah gizi buruk karena
kekurangan protein dan kalori, serta bila ada pemberian makanan tambahan
vitamin dan mineral.
Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimilasinya.
Penyuluhan kesehatan meliputi berbagai aspek dalam mencapai tujuan program
KIA.
b. Keluarga Berencana (KB)
Menurut Kemendiknas (2011, p. 27), pelayanan KB di Posyandu yang dapat diberikan
oleh kader adalah pemberian kondom dan pemberian pil ulangan. Jika ada tenaga
kesehatan Puskesmas dapat dilakukan pelayanan suntikan KB dan konseling KB.
Apabila tersedia ruangan dan peralatan yang menunjang serta tenaga yang terlatih
dapat dilakukan pemasangan IUD dan implant.
c. Imunisasi
Menurut Kemendiknas (2011, p. 27), pelayanan imunisasi di Posyandu hanya
dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. Jenis imunisasi yang diberikan disesuaikan
dengan program terhadap bayi dan ibu hamil.
d. Gizi
Menurut Kemendiknas (2011, p. 27), pelayanan gizi di Posyandu dilakukan oleh kader
meliputi penimbangan berat badan, deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan
dan konseling gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) lokal, suplementasi vitamin
A dan tablet Fe Apabila ditemukan ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK), balita yang
berat badannya tidak naik 2 kali berturut-turut atau berada di bawah garis merah
(BGM), kader wajib segera melakukan rujukan ke Puskesmas.
e. Pencegahan dan Penanggulangan Diare
Menurut Kemendiknas (2011, p. 28), pencegahan diare di Posyandu dilakukan dengan
penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Penanggulangan diare di
Posyandu dilakukan melalui pemberian oralit. Apabila diperlukan penanganan lebih
lanjut akan diberikan obat Zinc oleh petugas kesehatan.
Kegiatan Tambahan Posyandu
Selain lima kegiatan utama yang dijelaskan diatas, Posyandu pun dapat melakukan
kegiatan tambahan lainnya. Kegiatan tambahan ini dapat dilakukan dengan syarat lima
kegiatan utama telah dilaksanakan dengan baik serta tersedia sumber daya yang
mendukung. Selain itu, kegiatan tambahan yang akan dilakukan di Posyandu harus
mendapat dukungan dari seluruh masyarakat setempat. Beberapa kegiatan tambahan yang
dapat dilakukan Kader Posyandu adalah (Kemendiknas, 2011):

16
1. Perbaikan kesehatan lingkungan.
2. Pengendalian penyakit menular.
3. Bina Keluarga Balita (BKB).
4. Kelas Ibu Hamil dan Balita
5. Penemuan dini dan pengamatan penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB),
misalnya: Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Demam Berdarah Dengue (DBD),
gizi buruk, Polio, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus Neonatorum.
6. Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
7. Program diversifikasi pertanian tanaman pangan dan pemanfaatan pekarangan, melalui
Taman Obat Keluarga (TOGA).
8. Kegiatan ekonomi produktif, seperti: Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
(UP2K), usaha simpan pinjam.
9. Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), Tabungan Masyarakat (Tabumas)
10. Kesehatan lanjut usia melalui Bina Keluarga Lansia (BKL).
11. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

3. CBR ( crude birth rate) :dan CDR (crude death rate ) :


Mv ,nAngka kelahiran kasar (crude birth rate / CDR )
Angka ini plaing sering dipakai dalam mengukur fertilitas. Angka ini tidak
mengambarkan fertilitas yang sebenarnya sebab sebagai penyebut yang dipakai disini
adalah total penduduk.padahal penyebut dalam kelahiran sangat dipengaruhi jumlah
penduduk wanita umur reproduksi. Oleh karena itudisebut angka kelahiran kasar .
Indikator : Angka kelahiran kasar (CDR)
x
Rumus : y x k

Keterangan :
Pembilang (x) : jumlah kelahiran selama 1 tahap
Penyakit (y) : banyaknya penduduk pada pertengahan tahun
Konstanta (k) : 1000
Manfaat : untuk mengeathui tingkat kelahiran disuatu wilayah tertentu dalam
kaitanya dengan keberhasilan upaya program keluarga berencana
Interpretasi : angka CDR tinggi menggambarkan bahwa jumlah wanita usia subur
yang melahirkan pada periode dan wilayah tertentu tinggi
Contoh : banyaknya kelahiran dijakarta pada tahun 1970 adalah 182.880 orang
bayi . banyaknya penduduk jakarta pada petengahan tahun 1970 = 4546.942 0rang
182.880

Maka CDR = 4.546 942 X1000 = 40,2 Perseribu penduduk.

17
Estimasi angka Kematian Kasar berdasarkan United Nation (UN)
Population Prospect menurun dari 13 per 1000 penduduk pada periode tahun
1970 sampai dengan 1975, menjadi 6 per 1000 penduduk pada periode tahun
2005 sampai dengan 2010. Penurunan angka kematian kasar ini memberikan
gambaran peningkatan kesejahteraan penduduk, sebagai dampak dari kemajuan
di bidang kesehatan.

Gambar 2.21 Estimasi Kematian Kasar di


Indonesia

Sumber data: World Population Prospects The


2012 Revision, UN

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2013.


Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013.
Jakarta: Direktorat Perencanaan Pengendalian Penduduk dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

4. Angka kematian kasar ( Crude Death Rate / CDR )

18
Angka ini dipakai untuk mengukur mortalitas secara kasar angka ini (CDR) sangat
sering dipakai sebagai indikator status kesehatan masyarakat namun harus dipahami
bahwa CDR menggambrakna kematian secara umum dan menyeluruh. Oleh karena itu
memdandingkan CDR-nya harus hati sekali kecuali kedua komunitas tersebut
mempunyai ciri-ciri yang sama dalam beberapa hal yang mempengaruhi kesehatan ciri
atau vomabel yang mempengaruhi tersebut antara lain umur,suku,jenis kelamin dan sosial
ekonomi. Begitu juga membandingkan CDR untuk tahun yang berbeda harus hati-hati .
untuk mengatasi hal tersebut salah satu cara adalah dengan melakukan standarisasi tau
menggunakan ukuran kematian yang lain

Indikator : angka keatian kasar (CDR)

x
Rumus : y xk

Keterangan :
Pembilang (x) : jumlah kematian penduduk pada suatu wilayah dalam
waktu satu tahun .
Penyakit (y) : jumlah seluruh penduduk pada suatu pertengahan tahun
dalam tahun dan wilayah yang sama.
Konstanta (k) : 1000
Manfaat : petunjuk umum suatu kesehatan
Menggambarkan kondisi / tingkat permasalahan penyakit didalam
masyarakat
Menggambarkan kondisi sosial ekonomi
Menggambarkan kondisi lingkungan fisik dan biologik
Berguna untuk menghitung laju bertumbuhan penduduk
Interpretasi : angka CDR yang tinggi disuatu wilayah menunjukkan bahwa
keadaan status kesehatan ekonomi, lingkungan fisik dan biologis
masyarakat diwilayah tersebut masih rendah .
Contoh : disuatu kabupaten yang berpenduduk 1.200.000 per 1 juli 1986
tercatat sejumlah 18.000 kematian sesama 1986 maka CDR 1986, =
18.000/ 1.200.000 x 1000 = 15 perseribu penduduk (pangemanan &
kasim,(repository. Marnatha.edu/2522/11/methit8/8 pdf ).
5. Keluarga miskin :

19
Indikator keluarga sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang
terkandung didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa
kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang
spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh kader
di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur
derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan
melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang
tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara
operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa (Bkkbn-Jatim).

Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang
ditetapkan adalah sebagai berikut (Bkkbn-Jatim):

a. Keluarga miskin sekali.


Adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS-I karena alasan
ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi (Bkkbn-
Jatim):
1. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
2. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan
bepergian.
3. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
b. Keluarga Miskin.
Adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS-I karena alasan ekonomi
tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi (Bkkbn-Jatim):
1. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
2. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel
pakaian baru.
3. Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni.
c. Keluarga Pra Sejahtera
Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5
kebutuhan dasarnya (basic needs) sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan
akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan (Bkkbn-Jatim).
d. Keluarga Sejahtera Tahap I
Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal yaitu (Bkkbn-Jatim):
1. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.

20
3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian.
4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa kesarana/petugas
kesehatan.
e. Keluarga Sejahtera tahap II
Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria
keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis 1 sampai 9 yaitu
(Bkkbn-Jatim):
1. Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
2. Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai
lauk pauk.
3. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per
tahun.
4. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.
5. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
6. Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas
mempunyai penghasilan tetap.
7. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
8. Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
9. Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai
kontrasepsi (kecuali sedang hamil)
f. Keluarga Sejahtera Tahap III
Yaitu keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi
syarat 1 sampai 7, syarat pengembangan keluarga yaitu (Bkkbn-Jatim):
1. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
2. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga
untuk tabungan keluarga.
3. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu
dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
4. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
5. Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
6. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
7. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan
kondisi daerah setempat.
g. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi
kriteria 1 dan 2 kriteria pengembangan keluarganya yaitu (Bkkbn-Jatim):
1. Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan
bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.

21
Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
6. Usia harapan penduduk :
Usia harapan hidup penduduk adalah rata-rata kesempatan atau waktu hidup yang
tersisa. Usia harapan hidup dapat diartikan pula dengan banyaknya tahun yang ditempuh
penduduk yang masih hidup sampai umur tertentu. Berdasarkan serangkaian Age
Specific. Rate atau rata-rata umur spesifik dari kematian, besar kecilnya usia harapan
hidup suatu generasi sangat dipengaruhi oleh banyaknya penduduk yang mampu
melewati umur tertentu, dan banyaknya penduduk yang dilahirkan hidup dari suatu
generasi sampai mencapai umur tertentu. Harapan hidup berbeda dengan lama hidup
(Depkes RI, 2012).
Lama hidup atau panjang hidup, yaitu jumlah tahun maksimum penduduk untuk
dapat hidup. Berbeda dengan harapan hidup, lama hidup antara penduduk suatu negara
atau daerah dengan daerah lainnya tidak terlalu berbeda karena umur manusia ada batas
maksimumnya. Usia harapan hidup ditentukan oleh besarnya angka jumlah kematian
bayi. Jika kematian bayi jumlahnya besar, usia harapan hidup akan rendah. Oleh
karenanya, biasanya di negara-negara maju harapan hidupnya tinggi karena pada
umumnya tingkat kesehatan ibu dan bayinya tinggi. Sebaliknya, di negara berkembang
biasanya relatif rendah karena buruknya tingkat kesehatan. Cara untuk menentukan usia
harapan hidup adalah dengan menunjukkan dan merataratakan semua umur dari seluruh
kematian pada waktu tertentu. Contohnya jika di suatu daerah diketahui bahwa terdapat
50 orang yang meninggal, umur masing-masing yang meninggal berbeda-beda, ada yang
2 tahun, ada yang 40 tahun, bahkan ada yang 95 tahun. Umur masing-masing yang
meninggal dijumlahkan semuanya dan kemudian dibagi dengan jumlah orang yang
meninggal pada tahun itu, yaitu sebanyak 50 orang (Depkes RI, 2012).
Sampai sekarang ini penduduk di 11 negara anggota WHO kawasan Asia
Tenggara yang berusia diatas 60 tahun berjumlah 124 juta orang dan diperkirakan akan
terus meningkat sehingga tiga kali lipat di tahun 2050. WHO mengajak negara-negara
untuk menjadikan penuaan sebagai prioritas penting mulai dari sekarang rata-rata usia
harapan hidup di negara-negara kawasan Asia Tenggara adala 70 tahun sedangkan usia
harapan hidup di Indonesia sendiri cukup tinggi yaitu 71 tahun, berdasarkan profil data
kesehatan Indonesia tahun 2011 (WHO, 2012).

22
Indonesia adalah termasuk Negara yang memasuki era penduduk berstruktur
lanjut usia atau Aging Struktured Population Karena jumlah penduduk yang berusia 60
tahun ke atas sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006
sebesar 19 jt dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010 jumlah lansia
sebanyak 14. 439.967 jiwa (7,18%) dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan
menjadi 23.992.553 jiwa (9,77%) sementara tahun 2011 jumlah lansia sebesar 20 juta
jiwa (9,51%) dengan usia lansia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020
diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71 tahun (Depkes,
2012).

7. Rumah semi permanen dan Rumah tidak semi permanen :


a. Rumah semi permanen
Rumah semi permanen adalah rumah yang dindingnya setengah tembok/ bata tanpa
plester/kayu kualitas rendah, lantainya dari ubin/semen/ kayu kualitas rendah dan
atapnya seng/genteng/sirap/asbes (BPS, 2012)
b. Rumah permanen
Kriteia permanen ditentukan oleh kualitas dinding, atap dan lantai, bangunan rumah
permanen adalah rumah yang dindingnya terbuat dari tembok/kayu kualitas tinggi,
lantai terbuat dari ubin/keramik/kayu kualitas tinggi dan atapnya terbuat dari
seng//genteng/sirap/asbes (BPS, 2012).
c. Non permanen
Rumah tidak permanen adalah rumah yang dindingnya sangat sederhana
(bambu/papan/daun) lantainya dari tanah dan atapnya dari daun-daunan/atap
campuran enteng/seng bekas dan sejenisnya (BPS, 2012)

8. Jumlah normal penduduk pada satu RW :


Pembangunan perumahan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat
dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan umum sehingga perlu dikembangkan
secara terpadu, terarah, terencana serta berkelanjutan / berkesinambungan. Beberapa
ketentuan umum yang harus dipenuhi dalam merencanakan lingkungan perumahan di
perkotaan adalah.
a. Lingkungan perumahan merupakan bagian dari kawasan perkotaan sehingga dalam
perencanaannya harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
setempat atau dokumen rencana lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota/
Kabupaten.

23
b. Untuk mengarahkan pengaturan pembangunan lingkungan perumahan yang sehat,
aman, serasi secara teratur, terarah serta berkelanjutan / berkesinambungan, harus
memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan ekologis, setiap rencana
pembangunan rumah atau perumahan, baik yang dilakukan oleh perorangan
maupun badan usaha perumahan.
c. Perencanaan lingkungan perumahan kota meliputi perencanaan sarana hunian,
prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas umum yang diperlukan untuk
menciptakan lingkungan perumahan perkotaan yang serasi, sehat, harmonis dan
aman. Pengaturan ini dimaksudkan untuk membentuk lingkungan perumahan
sebagai satu kesatuan fungsional dalam tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan
sosial budaya.
d. Perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus dilaksanakan oleh
kelompok tenaga ahlinya yang dapat menjamin kelayakan teknis, yang
keberadaannya diakui oleh peraturan yang berlaku.
e. Penyediaan prasarana dan sarana lingkungan perumahan merupakan bagian dari
sistem pelayanan umum perkotaan sehingga dalam perencanaannya harus
dipadukan dengan perencanaan lingkungan perumahan dan kawasan-kawasan
fungsional lainnya
f. Perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus menyediakan pusat-pusat
lingkungan yang menampung berbagai sektor kegiatan (ekonomi, sosial, budaya),
dari skala lingkungan terkecil (250 penduduk) hingga skala terbesar (120.000
penduduk), yang ditempatkan dan ditata terintegrasi dengan pengembangan desain
dan perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan.
g. Pembangunan perumahan harus memenuhi persyaratan administrasi yang berkaitan
dengan perizinan pembangunan, perizinan layak huni dan sertifikasi tanah, yang
diatur oleh Pemerintah Kota/Kabupaten setempat dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Rancangan bangunan hunian, prasarana dan sarana lingkungan harus memenuhi
persyaratan teknis kesehatan dan keselamatan sesuai Standar Nasional Indonesia
atau ketentuan-ketentuan lain yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Daerah serta Pedoman Teknis yang disusun oleh instansi terkait.
i. Perencanaan lingkungan perumahan juga harus memberikan kemudahan bagi
semua orang, termasuk yang memiliki ketidakmampuan fisik atau mental seperti

24
para penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil, penderita penyakit tertentu atas dasar
pemenuhan azas aksesibilitas (sesuai dengan Kepmen No. 468/ Thn. 1998), yaitu:
1) kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan
yang bersifat umum dalam suatu lingkungan;
2) kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau
bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan;
3) keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan
terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang; dan 4)
kemandirian, yaitu setiap orang harus dapat mencapai, masuk dan
mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu
lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
j. Dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan lingkungan perumahan
kota yang meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan,
menggunakan pendekatan besaran kepadatan penduduk.
k. Dalam merencanakan kebutuhan lahan untuk sarana lingkungan, didasarkan pada
beberapa ketentuan khusus, yaitu:
1) besaran standar ini direncanakan untuk kawasan dengan kepadatan penduduk
< 200 jiwa/ha
2) untuk mengatasi kesulitan mendapatkan lahan, beberapa sarana dapat
dibangun secara bergabung dalam satu lokasi atau bangunan dengan tidak
mengurangi kualitas lingkungan secara menyeluruh;
3) untuk kawasan yang berkepadatan >200 jiwa/ha diberikan reduksi 15-30%
terhadap persyaratan kebutuhan lahan; dan
4) perencanaan prasarana lingkungan, utilitas umum dan sarana lingkungan
harus direncanakan secara terpadu dengan mempertimbangkan keberadaan
prasarana dan sarana yang telah ada dengan tidak mengurangi kualitas dan
kuantitas secara menyeluruh. ( SNI 2004 )
Tabel 1 Faktor reduksi kebutuhan lahan untuk sarana lingkungan berdasarkan
kepadatan penduduk

Klasifikasi Kepadatan
Rendah Sedang Tinggi Sangat padat
Kawasan
Kepadatan < 150 jiwa/ha 151 200 201 400 > 400 jiwa/ha
penduduk jiwa/ha jiwa/ha

25
Reduksi - - 15% 30%
terhadap (maksimal) (maksimal)
kebutuhan
lahan
( SNI 2004 )

Dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan kawasan


perumahan baru di kota/new development area yang meliputi perencanaan sarana
hunian, prasarana dan sarana lingkungan, pengembangan desain dapat
mempertimbangkan sistem blok / grup bangunan/ cluster untuk memudahkan
dalam distribusi sarana lingkungan dan manajemen sistem pengelolaan
administratifnya. Apabila dengan sistem blok / grup bangunan/ cluster ternyata
pemenuhan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan belum dapat
terpenuhi sesuai besaran standar yang ditentukan, maka pengembangan desain
dapat mempertimbangkan sistem radius pelayanan bagi penempatan sarana dan
prasaran lingkungan, yaitu dengan kriteria pemenuhan distribusi sarana dan
prasarana lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan lingkungan sekitar
terdekat.
Perencanaan lingkungan permukiman untuk hunian bertingkat ( rumah
susun) harus mempertimbangkan sasaran pemakai yang dilihat dari tingkat
pendapatan KK penghuni. ( SNI 2004 )
Persyaratan lokasi Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen
perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat,
dengan kriteria sebagai berikut:
2) kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut
bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan
produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area
Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi;
3) kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut
bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas,
pencemaran air permukaan dan air tanah dalam;

26
4) kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas),
kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung),
kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia);
5) kriteria keindahan/keserasian/keteraturan (kompatibilitas), dicapai dengan
penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang
ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau
danau/setu/sungai/kali dan sebagainya;
6) kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan
pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan
kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;
7) kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak
pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna
lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan;
dan
8) kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan
keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama
aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat.
9) Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status
kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.
10) Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan
mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta
pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin
tumbuh di kawasan yang dimaksud. ( SNI 2004 ).

Data dasar lingkungan perumahan

a) 1 RT : terdiri dari 150 250 jiwa penduduk


b) 1 RW : (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8 10 RT
c) 1 kelurahan ( lingkungan) : (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10 12
RW
d) 1 kecamatan : (120.000 jiwa penduduk) terdiri dari 4 6 kelurahan /
lingkungan
e) 1 kota : terdiri dari sekurang-kurangnya
f) 1 kecamatan Penentuan asumsi dasar satuan unit lingkungan dapat
dipertimbangkan dan disesuaikan dengan kondisi konteks lokal yang telah
dimiliki. ( SNI 2004)

27
9. Puskesmas :

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas


menyebutkan bahwa puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upayakesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya
(KemenKes RI. 2014).

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai


tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung
terwujudnya kecamatan sehat. Selain melaksanakan tugas tersebut, puskesmas memiliki
fungsi sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama dan
Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama serta sebagai wahana pendidikan
tenaga kesehatan (KemenKes RI. 2014).

Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dasar,


puskesmas melaksanakan upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan
masyarakat. Upaya kesehatan perseorangan yang diberikan terdiri dari pelayanan rawat
jalan dan rawat inap untuk puskesmas tertentu jika dianggap diperlukan. Meskipun
pelayanan kesehatan masyarakat merupakan inti dari puskesmas, pelayanan kesehatan
perseorangan juga menjadi perhatian dari pemerintah. Bagi daerah yang termasuk Daerah
Tertinggal, Perbatasan, Kepulauan (DTPK) (KemenKes RI. 2014).

10. Kunjungan keluarga keposyandu :


1. Kunjungan keluarga ke posyandu
a. Faktor faktor yang berhubungan dengan kunjungan ibu balita ke posyandu
1) Pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan
mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohani yang
berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah dalam
rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengalihkan
pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain (Hasibuan, 2005).

28
Menurut Widyastuti, dkk (2010) pendidikan merupakan proses
pemberdayaan peserta didik sebagai subjek dan objek dalam membangun
kehidupan yang lebih baik. Pendidikan juga merupakan proses sadar dan
sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan suatu
maksud dari suatu konsep yang sudah ditetapkan. Tujuan pendidikan
diharapkan agar individu mempunyai kemampuan secara mandiri untuk
meningkatkan taraf hidup lahir batin dan meningkatkan peranannya secara
pribadi.
2) Pendapatan
Menurut Soetjiningsih (2007) faktor pendapatan atau penghasilan
sangat berhubungan erat dengan kesehatan karna pendapatan keluarga yang
memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder.
3) Pekerjaan
Menurut Paola (2011) menyatakan bahwa pekerjaan ibu mempunyai
pengaruh terhadap partisipasi ibu dalam membawa balitanya untuk melakukan
penimbangan di posyandu.
4) Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo 2005, pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
5) Sikap
Menurut Budiman dan Riyanto, 2013. Bahwa attitude atau sikap
sebagai faktor predisposisi atau faktor yang ada dalam diri seseorang yang
dipelajari untuk memberikan respon dengan cara yang konsisten, yaitu
menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap suatu objek yang
diberikan. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain
yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang
lain atau objek lain. Sikap positif terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak
selalu terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap
akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman orang lain, sikap

29
diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau
sedikitnya pengalaman seseorang.
b. Faktor penguat/pendukung kunjungan ibu balita ke posyandu
1) Dukungan Keluarga
Menurut Purnamasari (2010). Dukungan keluarga adalah suatu
persepsi mengenai bantuan berupa perhatian, penghargaan, informasi nasehat
maupun materi yang diterima ibu balita dari anggota keluarga untuk
membawa balitanya pada kunjungan ke posyandu.
2) Dukungan Kader
Pelaksana posyandu adalah kader kesehatan. Kader posyandu
merupakan seseorang yang berasal dari anggota masyarakat setempat, bisa
membaca dan menulis huruf latin, berminat menjadi kader, bersedia bekerja
sukarela serta memiliki kemampuan dan waktu luang. Dukungan kader bila
dilaksanakan dengan baik akan meningkatkan cakupan posyandu, peran kader
dalam kegiatan posyandu sangat penting mulai dari persiapan posyandu,
pelaksanaan posyandu dan juga melaksanakan kegiatan di luar posyandu
untuk meningkatkan kunjungan ibu ke posyandu (Kemenkes RI, 2011).
3) Petugas Kesehatan
Setiap program dengan sasaran masyarakat khususnya program
posyandu tidak akan berhasil jika masyarakat tidak mengerti tentang
pentingnya posyandu. Oleh sebab itu sangat diperlukan adanya peran serta
dan dukungan dari petugas kesehatan dalam menunjang keberhasilan tersebut.
(Kemenkes RI, 2011).
4) Dukungan Tokoh Masyarakat
Tokoh masyarakat atau sumber daya manusia (SDM) di masyarakat,
yaitu semua orang yang memiliki pengaruh di masyarakat yang bersifat
formal dan non formal yang merupakan kekuatan besar dan mampu
menggerakkan masayarak dalam tiap pembangunan. (Hasanbasri, 2007).
Dukungan dari tokoh masyarakat di posyandu adalah memberi
dukungan kebijakan, sarana, dana penyelenggaraan posyandu, menaungi dan

30
membina kegiatan posyandu dan menggerakkan masyarakat untuk dapat hadir
dan berperan aktif dalam kegiatan posyandu. (Hasanbasri, 2007)
2. Jarak pemukiman ke pelayanan kesehatan
a. Jarak puskesmas
Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan
berpengaruh negative terhadap jumlah pelyanan kesehatan. Hal ini dapat
dipahami karena semakin jauh tempat tinggal semakin jauh tempat tinggal
pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Ini telah sesuai dengan teori
permintaan yaitu jka barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang
yang dibeli akan semakin sedikit (Andersen et al, 1973; dalam Laij, 2012)
b. Lokasi/letak posyandu
Menurut Runjati (2011) mempunyai kriteria sebagai berikut yaitu :
1) Berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat.
2) Ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
3) Dapat merupakan lokal tersendiri.
4) Bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan dirumah penduduk, balai rakyat,
pos RT/RW atau pos lainnya.
11. Windsmield survery :
Digunakan perawat komunitas untuk mengidentifikasi berbagai dimensi dari komunitas.
Beberapa aspek dikaji dengan metode ini adalah sebagai berikut:
Tabel komponen dalam windshield survey

I. Inti Komunitas Observasi Data


1. sejarah apa yang anda
dapat dari pengamatan
sementara di wilayah
tersebut? Tanyakan
mengenai wilayah tersebut
pada ketua atau tokoh
masyarakat.
2. demografi tipe orang
apa yang anda jumpai?
Termasuk data mengenai
usia, jenis kelamin dan
piramida penduduk.
3. kelompok etnis

31
identifikasi berbagai etnis
atau suku yang anda jumpai.
4. nilai dan keyakinan
apakah disana terdapat
rumah ibadah? Apakah
tempat tersebut terlihat
homogen? Identifikasi nilai
dan keyakinan masyarakat.
II. Subsistem
1. lingkungan fisik
keadaan lingkungan
geografis, batas wilayah,
peta wilayah, iklim dan
kondisi perumahan.
2. pelayanan kesehatan dan
sosial - Unit pelayanan
kesehatan yang tersedia baik
modern maupun tradisional,
tenaga kesehatan, home
care, tempat pelayanan
sosial, serta kesehatan jiwa
komunitas.
3. Ekonomi status
ekonomi masyarakat,
industri yang ada, kegiatan
yang menunjang roda
perekonomian, serta jumlah
pengangguran.
4. Keamanan dan
transportasi - bagaimana
masyarakat bepergian, apa
jenis pelayanan,
perlindungan yang tersedia

32
(contoh: pemadam
kebakaran, polisi, sanitasi)
apakah kualitas udara
termonitor? Apa jenis
kegiatan pada umumnya?
Apakah masyarakat merasa
aman?
5. pemerintahaan dan politik
apa ada tanda dari aktifitas
politik, (contoh: poster,
pertemuan)? Apa partai yang
mendominasi? Apa hak
komunitas dalam
pemerintahan (contoh:
pemilihan bupati, anggota
DPR)? Apakah masyarakat
terlibat dalam membuat
keputusan di pemerintah
setempat?
6. komunikasi identifikasi
berbagai jenis komunikasi
yang digunakan oleh
masyarakat termasuk
komunikasi melalui media
dan elektronik.
7. pendidikan berbagai
jenis instansi pendidikan
yang ada serta ketersediaan
UKS.
8. Rekreasi di mana anak-
anak bermain? Apa bentuk
umum dari rekreasi?

33
Siapayang berperan serta?
Apa fasilitas rekreasi yang
anda temukan?
III. Persepsi
1. penduduk bagaimana
pendapat masyarakat tentang
komunitasnya apa yang
mereka identifikasikan
sebagai kekuatan? Masalah?
Meminta lah beberapa orang
dari kelompok berbeda (tua,
muda, petani, pekerja
pabrik, profesional, tokoh
agama, ibu rumah tangga)
dan analisis jawaban dari
masing-masing pemberi
jawaban
2. persepsi anda
pernyataan umum mengenai
kesehatan komunitas. Apa
kekuatannya? Apa masalah
aktual atau potensial yang
bisa anda identifikasi?
(E.T Anderson & J. Mc Farlane, 2008 dalam Effendi, Ferri & Makhfudli, 2009)

STEP 2
PERTANYAAN KASUS

1. Apakah ada hubungan kejadian ISPA di RW 03 kelurahan M dengan keadaan rumah yang
ada dalam data kasus ?
2. Apakah dengan padatnya penduduk di RW 03, mempengaruhi kejadian ISPA ?

34
3. Apa dampak dari sampah berserakan,lalat disekitar rumah dan pengolohan sampah yang
belum baik bagi kesehatan lingkungan ?
4. Bagaimana PHBS yang harus diubah di RW 03 untuk mencapai dengan kesehatan yang
optimal ?

STEP 3

JAWABAN KASUS

1. Hubungan kejadian ISPA dengan keadaan rumah


1) Tipe-tipe Rumah

35
Berdasarkan kondisi fisik Bangunannya, rumah dapat digolongkan menjadi tiga
golongan, yaitu:
a. Rumah permanen, memiliki dinding tembok, berlantai semen atau keramik, dan
atapnya berbahan genteng serta memiliki pekarangan yang luas
b. Rumah semi permanen, memiliki ciri dindingnya sebagian tembok dan sebagian
bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng atau asbes, banyak dijumpai di
gang-gang kecil.
c. Rumah non-permanen, ciri umumnya berdinding papan kayu atau anyaman
rumbiya, , dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng ataupun
kulit rumbiya yang dianyamkan.
(Irwan, 2015)
2) Rumah Sehat
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Oktaviani, (2009), rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga.
Menurut Dinkes (2005) dalam Oktaviani (2009), secara umum rumah dapat
dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu:
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan, ruang gerak
yang cukup, dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
b. Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy yang cukup, komunikasi yang
sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah
meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas
vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, dan cukup
sinar matahari pagi.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul
karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak
mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya
jatuh tergelincir.
e. Menurut Dinkes (2005) dalam Oktaviani, (2009), rumah sehat adalah proporsi
rumah yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah dan sarana
sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu wilayah

36
kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi kriteria sehat pada
masing- masing parameter adalah sebagai berikut :
a) Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit, dinding,
lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana
pembuangan asap dapur, dan pencahayaan.
b) Minimum dari kelompok sarana sanitasi adalah sarana air bersih, jamban
(sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan air limbah (SPAL), dan
sarana pembuangan sampah.
c) Perilaku
Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada
pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakansebagai tempat berlindung
yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990 dalam
Oktaviani, Vita Ayu. 2009). Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan
rumah, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia,
dan penyediaan air. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka
kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat
berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA (Azwar, 1990 Oktaviani,
2009).
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf
kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan
mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini
dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak
sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan
pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman
pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan
penghuninya (Notoatmodjo, 2003 dalam Oktaviani, 2009).
1) Ventilasi
Menurut Sukar (1996) dalam Oktaviani (2009), ventilasi adalah proses
pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu

37
ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadianya
ventilasi dibagi menjadi dua yaitu:
a) Ventilasi alamiah
Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam
ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang
angin. Selain itu ventilasi alamiah dapat juga menggerakan udara
sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.
b) Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas
angin, exhauster dan AC. (Oktaviani, 2009)
Menurut Dinata (2007) dalam Oktaviani (2009), syarat
ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai
ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup) minimal lima persen dari luas lantai. Jumlah keduanya
menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah
atau pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini
jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya
lemari, dinding, sekat, dan lain-lain. Menurut Dinata (2007), secara
umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah,
dengan menggunakan rollmeter. Berdasarkan indikator
penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai
rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.
2) Pencahayaan Alami

38
Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh
bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab
penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus
mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela)
luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang
terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1990). Pencahayaan alami
menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika besarnya antara 60120 lux
dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang perlu
diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang
oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi
juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus
diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari.
(Oktaviani, 2009)
3) Kelembaban
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan
daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan
daya tahan hidup bakteri. Menurut Suryanto (2003), kelembaban dianggap
baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih
dari 70%. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi
udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah
menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah
yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus,
kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis
penyakit pernafasan (Krieger dan Higgins, 2002). (Oktaviani, 2009)
4) Lantai
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA
karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik
untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang
baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan

39
lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu
diplester dan akanlebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah
dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002 dalam Oktaviani, 2009).
5) Dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding
rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding
papan, kayu dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan
perekonomiannya kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti
papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang
berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke
dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena
dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi
berkembangbiaknya kuman (Suryanto , 2003 dalam Oktaviani, 2009).
6) Atap
Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu
dalam rumah. Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu
tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut
Suryanto (2003), atap juga berfungsi sebagai jalan masuknya cahaya
alamiah dengan menggunakan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat
dibuat secara sederhana, yaitu dengan melubangi genteng, biasanya
dilakukan pada waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genteng
ditutup dengan pecahan kaca. (Oktaviani, 2009)
7) Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Tipe Rumah
Menurut penelitian Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil
penelitian didapatkan distribusi kejadian ISPA berdasarkan tipe rumah.
Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut :

40
:
Berdasarkan tabel 4.20 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA
lebih banyak tinggal di rumah yang tipe non permanen sebesar 84,1% dibandingkan
dengan tipe rumah permanen dan semi permanen.
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
keadaan rumah yang kebanyakan semi permanen seperti yang terdapat pada kasus
tidak terlalu mempengaruhi tingginya angka kejadian ISPA seperti pada masyarakat
dengan rumah non permanen, namun masyarakat yang tinggal di rumah semi pun
permanen pun dapat terserang ISPA.
2. Faktor yang mempengaruhi padat penduduk kejadian ISPA.
a. Faktor lingkungan
Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga,
keterbatasan tempat penukaran udara bersih (ventilasi),kelembaban,kebersihan,
musim, temperatur);ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah
pencegahan infeksi untukmencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan,kapasitas ruang isolasi) ISPA mudah sekali tersebar,
maka lingkungan yang seperti ini merupakan faktor terjangkitnya penyakit ISPA
(WHO,2007).
b. Pencemaran udara dalam rumah
Pajanan di dalam ruangan terhadap polusi udara juga sangat penting karena
anak-anak sebagian besar berada dalam rumah. Pajanan di dalam ruangan tidak
semua berasal dari sumber emisi di dalam ruangan, tetapi pembakaran bahan bakar
biomassa (khususnya pada ventilasi dapur/kompor yang buruk dan asap tembakau di
lingkungan seringkali merupakan penyebab utama penyakit saluran pernapasan.
Pajanan terhadap gas emisi industri atau jalan raya juga merupakan ancaman yang
signifikan (WHO, 2008). Menurut Mitchell (2008) pencemaran udara dalam rumah

41
(indoor pollution) disebabkan oleh berbagai macam zat kimia seperti Carbon
monoksida (gas yang tidak berbau),Nitrogen dioksida (asap yang ditimbuklan oleh
emisi bahan bakar masak), asap rokok atau asap yang di keluarkan seseorang dengan
campuran partikel yang bersifat toksik, radon (zat radioaktif), formaldehyde(zat yang
dikluarkan saat membuat suatu produk consumer. Pencemaran udara dalam ruangan
bisa saja terjadi asap dari luar ruangan masuk ke dalam ruangan selain itu juga dapat
disebabkan oleh asap rokok yang bearada di dalam ruangan karena satu batang rokok
sama saja menghirup 0,5 mikrogram timah hitam (Pb) dan carbon monoxide
sebanyak 20 ppm sehingga dapat berbahaya bagi saluran pernapasan (Sitepoe, 2008).
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya
kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat
bayi dan balita (Depkes, 2004; Kemenkes, 2012). Penelitian yang diakukan oleh
Kilabuko dan Satoshi (2007) mengenai pengaruh bahan bakar masak terhadap
penyakit ISPA pada anak di Tanzania didapatkan bahwa bahan bakar masak
menggunakan arang dan minyak tanah dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak
dan disarankan untuk menggunakan bahan bakar masak menggunakan kompor listrik.
c. Ventilasi rumah
Ventilasi adalah proses memasukkan dan menyebarkan udara dari dalam ke
luar atau udara dari luar yang telah diolah sebagai daur ke dalam ruangan. Ventilasi
udara yang dibuat serta pencahayaan di dalam rumah sangat diperlukan karena akan
mengurangi polusi asap yang ada di dalam rumah sehingga dapat mencegah
seseorang menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan terkena
penyakit ISPA. Luas penghawaan atau ventilasi rumah yang permanen minimal 10%
dari luas lantai (Depkes, 2004; WHO, 2007). Penelitian yang dilakuka oleh Nurhadi
(2011) mengenai hubungan ventilasi ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita di
Kabupaten Jepara didapatkan bahwa ventilasi yang kurang dari 10% dalam ruangan
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA di Kabupaten Jepara.
d. Kepadatan hunian rumah
Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) RI mengungkapkan bahwa aturan luas
rumah yang sehat untuk memenuhi kebutuhan minimal 9 untuk per orang, sehingga
jika dalam satu rumah berisi 4 orang maka luas rumah yang ideal berkisar 36 m

42
Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenKes) RI No. 829 menetapkan mengenai
kesehatan pembangunan rumah bahwa luas ruang tidur minimal 8m dan tidak
digunakan untuk lebih dari 2 orang dewasa dalam 1 ruang tidur, kecuali anak dengan
usia dibawah 5 tahun (Kompas, 2012).Kepadatan tempat tinggal atau keadaan rumah
yang sempit dengan jumlah penghuni rumah yang banyak akan berdampak kurangnya
oksigen di dalam rumah.
Kepadatan penghuni menimbulkan perubahan suhu ruangan yang kalor dalam
tubuh keluar disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan
kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Semakin banyak jumlah
penghuni ruangan tidur atau dengan penghuni lebih dari 2 orang dalam ruang tidur
maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri, selain itu
juga memperhambat proses penukaran gas udara bersih yang dapat menyebabkan
penyakit ISPA (Sukandarrumidi, 2011).
3. Dampak dari sampah
Sampah merupakan bahan buangan dari kegiatan rumah tangga, komersial,
industri atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia lainnya. Sampah juga
merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak terpakai (Purwendro
& Nurhidayat, 2006).
Menurut Soemirat Slamet (2004), sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi
dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Sampah ada yang mudah membusuk dan
ada pula yang tidak mudah membusuk. Sampah yang mudah membusuk terdiri dari zat-
zat organik seperti sayuran, sisa daging, daun dan lain sebagainya, sedangkan yang tidak
mudah membusuk berupa plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain
sebagainya.
Timbulan sampah
Timbulan sampah adalah volume sampah atau berat sampah yang di hasilkan dari
jenis sumber sampah diwilayah tertentu persatuan waktu (Departemen PU, 2004).
Timbulan sampah adalah sampah yang dihasilkan dari sumber sampah (SNI, 1995).
Timbulan sampah sangat diperlukan untuk menentukan dan mendesain peralatan yang
digunakan dalam transportasi sampah, fasilitas recovery material, dan fasilitas Lokasi
Pembuangan Akhir (LPA) sampah menurut SNI 19-3964-1995, bila pengamatan
lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung besaran sistem, dapat digunakan angka
timbulan sampah sebagai berikut:

43
1. Satuan timbulan sampah kota sedang 2,75-3,25 L/orang/hari atau 0,070-0,080
kg/orang/hari.
2. Satuan Timbulan sampah kota kecil = 2,5-2,75 L/orang/hari atau 0,625-0,70
kg/orang/hari

Keterangan : Untuk kota sedang jumlah penduduknya 100.000<p<500.000. Untuk


kota kecil jumlah penduduknya < 100.000. Prakiraan timbulan sampah baik untuk saat
sekarang maupun dimasa mendatang merupakan dasar dari perencanaan, perancangan
dan pengkajian sistem pengelolaan persampahan. Prakiraan timbulan sampah merupakan
langkah awal yang biasa dilakukan dalam pengelolaan persampahan. Satuan timbulan
sampah biasanya dinyatakan sebagai satuan skala kuantitas perorang atau perunit
bangunan dan sebagainya. Rata- rata timbulan sampah tidak akan sama antara satu daerah
dengan daerah lainnya, atau suatu negara dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain (Damanhuri dan Padmi, 2004):

1. Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya.


2. Tingkat hidup.
3. Perbedaan musim.
4. Cara hidup dan mobilitas penduduk.
5. Iklim.
6. Cara penanganan makanannya
Komposisi sampah merupakan penggambaran dari masing-masing komponen
yang terdapat pada sampah dan distribusinya. Data ini penting untuk mengevaluasi
peralatan yang diperlukan, sistem, pengolahan sampah dan rencana manajemen
persampahan suatu kota. Pengelompokan sampah yang paling sering dilakukan
adalah berdasarkan komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat atau %
volume dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan
sampah lain-lain (Damanhuri dan Padmi, 2004).
Komposisi sampah dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Tchobanoglous,
1993):
1. Frekuensi pengumpulan. Semakin sering sampah dikumpulkan, semakin tinggi
tumpukan sampah terbentuk. Sampah kertas dan sampah kering lainnya akan tetap
bertambah, tetapi sampah organic akan berkurang karena terdekomposisi.
2. Musim. Jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang sedang
berlangsung.

44
3. Kondisi Ekonomi. Kondisi ekonomi yang berbeda menghasilkan sampah dengan
komponen yang berbeda pula. Semakin tinggi tingkat ekonomi suatu masyarakat,
produksi sampah kering seperti kertas, plastik, dan kaleng cenderung tinggi,
sedangkan sampah makanannya lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh pola hidup
masyarakat ekonomi tinggi yang lebih praktis dan bersih.
4. Cuaca. Didaerah yang kandungan airnya cukup tinggi, kelembaban sampahnya juga
akan cukup tinggi.
5. Kemasan produk. Kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan
mempengaruhi komposisi sampah. Negara maju seperti Amerika banyak
menggunakan kertas sebagai pengemas, sedangkan negara berkembang seperti
Indonesia banyak menggunakan plastik sebagai pengemas.
Sumber sampah
1. Sumber-Sumber Sampah
a. sampah buangan rumah tangga, termasuk sisa bahan makanan, sisa pembungkus
makanan dan pembungkus perabotan rumah tangga sampai sisa tumbuhan kebun
dan sebagainya.
b. sampah buangan pasar dan tempat-tempat umum (warung, toko, dan sebagainya)
termasuk sisa makanan, sampah pembungkus makanan, dan pembungkus lainnya,
sisa bangunan, sampah tanaman dan sebagainya
c. sampah buangan jalanan termasuk diantaranya sampah berupa debu jalan, sampah
sisa tumbuhan taman, sampah pembungkus bahan makanan dan bahan lainnya,
sampah sisa makanan, sampah berupa kotoran serta bangkai hewan.
d. sampah industri termaksud diantaranya air limbah industri, debu industri. Sisa
bahan baku dan bahan jadi dan sebagainya (Dainur,1995)
e. Sampah yang berasal dari perkantoran. Sampah ini dari perkantoran, baik
perkantoran pendidikan, perdagangan, departemen, perusahaan dan sebagainya.
Sampah ini berupa kertas-kertas, plastik, karbon, klip, dan sebagainya. Umumnya
sampah ini bersifat kering dan mudah terbakar (rabbish).
f. Sampah yang berasal dari pertanian atau perkebunan. Sampah ini sebagai hasil
dari perkebunan atau pertanian misalnya jerami, sisa sayur-mayur, batang padi,
batang jagung, ranting kayu yang patah, dan sebagainya.
g. Sampah yang berasal dari pertambangan. Sampah ini berasal dari daerah
pertambangan dan jenisnya tergantung dari jenis usaha pertambangan itu sendiri
misalnya batu-batuan, tanah / cadas, pasir, sisa-sisa pembakaran (arang), dan
sebagainya.

45
h. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan. Sampah yang berasal dari
peternakan dan perikanan ini berupa kotoran-kotoran ternak, sisa-sisa makanan,
bangkai binatang, dan sebagainya.
2. Menurut Sifat Fisiknya
a. Sampah kering yaitu sampah yag dpat dimusnakan dengan dibakar diantaranya
kertas, sisa tanamn yang dapat di keringkan
b. Sampah basah yaitu sampah yang karena sifat fisiknya sukar dikeringkan untuk
dibakar (Dainur, 1995).
3. Jenis sampah
Menurut Soemirat Slamet (2009:153) sampah dibedakan atas sifa biologisnya
sehingga memperoleh pengelolaan yakni, sampah yang dapat menbusuk, seperti (sisa
makan, daun, sampah kebun, pertanian, dan lainnya), sampah yang berupa debu,
sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, seperti sampa-sampah yang berasal dari
industri yang mengandung zat-zat kimia maupun zat fisik berbahaya. Sedangkan
menurut Amos Noelaka (2008:67) sampah dibagi menjadi 3 bagian yakni:
a. Sampah Organik,
Sampah Organik merupakan barang yang dianggap sudah tidak terpakai
dan dibuang oleh pemilik / pemakai sebelumnya, tetapi masih bisa dipakai,
dikelola dan dimanfaatkan dengan prosedur yang benar. Sampah ini dengan
mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah organik merupakan sampah
yang mudah membusuk seperti, sisa daging, sisa sayuran, daun-daun, sampah
kebun dan lainnya
b. Sampah Nonorganik
Sampah nonorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan
nonhayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan
bahan tambang. Sampah ini merupakan sampah yang tidak mudah menbusuk
seperti, kertas, plastik, logam, karet, abu gelas, bahan bangunan bekas dan
lainnya. Menurut Gelbert (1996) Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga
misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan kaleng,
c. Sampah B3 (Bahan berbahaya beracun)
Pada sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), sampah ini terjadi dari zat
kimia organik dan nonorganik serta logam-logam berat, yang umunnya berasal
dari buangan industri. Pengelolaan sampah B3 tidak dapat dicampurkan dengan
sampah organik dan nonorganik. Biasanya ada badan khusus yang dibentuk untuk
mengelola sampah B3 sesuai peraturan berlaku.

46
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sampah

Sampah, baik kuantitas maupun kualitasnya sangat dipengaruhi oleh berbagai


kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi
sampah antara lain:

a. Jumlah penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak


penduduk, semakin banyak pula sampahnya.
b. Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat,
semakin banyak pula jumlah per kapita sampah yang dibuang tiap harinya.
c. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun
kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara
pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam dapat mempengaruhi
jumlah dan jenis sampahnya.
5. Tempat pembuangan akhir
Tempat pembuangan akhir atau TPA adalah suatu areal yang menampung
sampah dari hasil pengankutan dari TPS maupun lansung dari sumbernya (bak / tong
sampah) dengan tujuan akan mengurangi permasalah kapsitas / timbunan sampah
yang ada dimasyarakat (Suryono dan Budiman, 2010). Di TPA, sampah masih
mengalami proses penguraian secara alamiah dengan jangka waktu panjang. Adapun
persyaratan umum lokasi, metode pengelolaan sampah di TPA dan kriteria pemilihan
lokasi, menurut SKSNI T-11-1991-03 adalah sebagai berikut:
a. Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah.
b. Jenis tanah kedap air.
c. Daerah yang tidak produktif untuk pertanian.
d. Dapat dipakai minimal untuk 5 10 tahun.
e. Tidak membahayakan / mencemarkan sumber air.
f. Jarak dari daerah pusat pelayanan maksimal 10 km.
g. Daerah yang bebas banjir.
h. Metode pembuangan sampah terbagi atas beberapa kategori yakni sebagai
berikut :
1. Open Dumping
Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan
sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi, dibiarkan
terbuka tampa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh.
Masih ada Pemda yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan
sumber daya (manusia, dana, dll). Cara ini tidak direkomendasikan lagi

47
mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang dapat
ditimbulkannya seperti:
Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll.
Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan.
Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul.
Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor.
2. Control Landfill

Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara


periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk
mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam
operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk
meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.

Metode Control landfill dianjurkan untuk diterapkan dikota sedang dan


kecil. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan beberapa
fasilitas diantaranya:

Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan.


Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan.
Pos pengendalian operasional.
Fasilitas pengendalian gas metan.
Alat berat.
3. Sanitary Landfill
Sanitary Landfill adalah suatu sistem pengolahan sampah dengan
mengandalkan areal tanah yang terbuka dan luas dengan membuat lubang
bertempat sampah dimasukkan kelubang tersebut kemudian ditimbun,
dipadatkan, diatas timbunan sampah tersebut ditempatkan sampah lagi
kemudian ditimbun kembali sampai beberapa lapisan yang terakhir di tutup
tanah setebal 60 cm atau lebih (Suryono dan Budiman, 2010)
Menurut Chandra, Budiman (2006) pengelolaan sampah disuatu
daerah akan membawa pengaruh bagi masyarakat maupun lingkungan daerah
itu sendiri. Banyak masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sampah,
diantaranya yaitu pencemaran udara, karena baunya yang tidak sedap, kesan
jijik, mengganggu nilai estetika, pencemaran air yaitu apabila membuang
sampah sembarangan, misalnya di sungai, maka akan membuat air menjadi

48
kotor dan berbau. Teknik pengelolaan sampah dapat dimulai dari sumber
sampah sampai pada tempat pembuangan akhir sampah. Tujuan pengelolaan
sampah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan
serta menjadikan sampah sebagai sumber daya (UU No 8 Pasal 4 tahun 2008).
Upaya yang dapat ditempuh dalam tujuan pengelolaan sampah:
a. Mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis.
b. Mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi
lingkungan hidup. Untuk itu manusia sebisa mungkin harus bisa
mengurangi penggunaan sampah yang dihasilkan tidak terlalu banyak dan
mengurangi volume sampah di TPA.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat (phbs)
Pengertian PHBS

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,
keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di
bidang kesehatan dan berperan akif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Dengan
demikian, PHBS mencakup beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku yang
harus dipraktikan dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Di bidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana harus dipraktikan
perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, menimbang balita setiap
bulan, mengimunisasi lengkap bayi, menjadi akseptor keluarga berencana dan lain-lain.
Di bidang gizi dan farmasi harus dipraktikan perilaku makan dengan gizi seimbang,
minum Tablet Tambah Darah selama hamil, memberi bayi air susu ibu (ASI) eksklusif,
mengonsumsi Garam Beryodium dan lain-lain. Sedangkan di bidang pemeliharaan
kesehatan harus diprakikkan perilaku ikut serta dalam jaminan pemeliharaan kesehatan,
aktif mengurus dan atau memanfaatkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat
(UKBM), memanfaatkan Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dan lain-lain.

PHBS di Berbagai Tatanan


1. PHBS di Rumah Tangga

Di rumah tangga, sasaran primer harus mempraktikan perilaku yang dapat


menciptakan Rumah Tangga Ber-PHBS, yang mencakup persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan,

49
menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, pengelolaan air
minum dan makan di rumah tangga, menggunakan jamban sehat (Stop Buang Air
Besar Sembarangan/Stop BABS), pengelolaan limbah cair di rumah tangga,
membuang sampah di tempat sampah, memberantas jentik nyamuk, makan buah dan
sayur setiap hari, melakukan akivitas fisik setiap hari, tidak merokok di dalam rumah
dan lain-lain.

2. PHBS di Institusi Pendidikan

Di insitusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren, seminari, padepokan dan


lain-lain), sasaran primer harus mempraktikan perilaku yang dapat menciptakan
Insitusi Pendidikan Ber-PHBS, yang mencakup antara lain mencuci tangan
menggunakan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan
jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak
mengonsumsi Narkoika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adikif lainnya (NAPZA), tidak
meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain

3. PHBS di Tempat Kerja

Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus


mempraktikan perilaku yang dapat menciptakan Tempat Kerja Ber-PHBS, yang
mencakup mencuci tangan dengan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat,
menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak
merokok,tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat, memberantas
jentik nyamuk dan lain-lain.

4. PHBS di Tempat Umum

Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga dan lain-
lain), sasaran primer harus mempraktikan perilaku yang dapat menciptakan Tempat
Umum Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan
jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak
mengonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas jentik
nyamuk dan lain-lain.

50
5. PHBS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain),


sasaran primer harus mempraktikan perilaku yang dapat menciptakan Fasilitas
pelayanan kesehatan Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun,
menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok,
tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas jentik
nyamuk dan lain-lain.

Proses pembinaan phbs

1. Pengertian Pembinaan

Pembinaan PHBS diluncurkan oleh Pusat Penyuluhan Kesehatan (sekarang


Pusat Promosi Kesehatan) pada tahun 1996 dengan mengunakan pendekatan tatanan
sebagai strategi pengembangannya. Untuk masing-masing tatanan ditetapkan indikator
guna mengukur pencapaian pembinaan PHBSnya. Namun demikian, fokus pembinaan
adalah pada PHBS tatanan rumah tangga.

PHBS tatanan rumah tangga sejak dicanangkan tahun 1996 memiliki 10


indikator yaitu persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, imunisasi dan penimbangan
balita, memiliki jamban sehat, memiliki akses air bersih, penanganan sampah,
kebersihan kuku, gizi keluarga, tidak merokok dan menyalahgunakan NAPZA,
memiliki informasi PMS/AIDS, memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan/Dana
Sehat. Tahun 2001 indikator PHBS tatanan rumah tangga ini kemudian dikembangkan
menjadi 16 indikator dengan menambahkan indikator-indikator gosok gigi sebelum
tidur, olahraga teratur, memiliki saluran pembuangan air limbah, ventilasi rumah baik,
kepadatan penghuni rumah kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni dan lantai
rumah bukan tanah. Akan tetapi, indikator baru ini dirasakanterlalu banyak, sehingga
melalui serangkaian pertemuan/ diskusi intensif, uji instrumen, uji sistem dan uji
staisik/item reduktion untuk melihat keterkaitan indikator-indikator tersebut dengan
penyebab terjadinya gangguan kesehatan dan angka kesakitan yang dilakukan sejak
tahun 2000-2003, dari 16 indikator awal ditetapkan 10 indikator PHBS.

51
Penetapan indikator dari hasil uji staisik ini, dipilihlah 10 indikator yang
selanjutnya ditetapkan sebagai indikator PHBS di Rumah Tangga yang baru, yaitu
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi diberi ASI Eksklusif, memiliki
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, tersedia jamban, tersedia air bersih, kesesuaian luas
lantai rumah dengan jumlah penghuni, lantai rumah bukan tanah, tidak merokok,
melakukan akivitas fisik, serta mengonsumsi sayur danbuah. Berdasarkan pada Rapat
Koordinasi Promosi Kesehatan Tingkat Nasional, pada tahun 2007 indikatorPHBS di
Rumah Tangga diubah menjadi persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi
bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air bersih, mencuci
tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik nyamuk,
mengonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas fisik setiap hari dan
tidak merokok di dalam rumah.

Pada era desentralisasi ditetapkan standar untuk mengukur kinerja sektor


kesehatan untuk kabupaten dan kota yang disebut Standar Pelayanan Mininal (SPM)
bidang Kesehatan. Dalam SPM terdapat sembilan urusan yang wajib dilaksanakan
oleh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Salah satunya adalah
penyelenggaraan Promosi Kesehatan dengan indikator kinerja persentase Rumah
Tangga Sehat dan target pencapaian 65% pada tahun 2010. Pencapaian Rumah Tangga
Sehat atau Rumah Tangga ber-PHBS ini sejak diluncurkan terus mengalami
peningkatan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2001 dan 2004
melaporkan bahwa persentase Rumah Tangga ber- PHBS di Indonesia berturut-turut
adalah 19,5 % dan 24,38%.

Pembinaan PHBS adalah upaya untuk menciptakan dan melestarikan perilaku


hidup yang berorientasi kepada kebersihan dan kesehatan di masyarakat, agar
masyarakat dapat mandiri dalam mencegah dan menanggulangi masalah-masalah
kesehatan yang dihadapinya. Oleh karena itu, pembinaan PHBS dilaksanakan melalui
penyelenggaraan Promosi Kesehatan, yaitu upaya untuk membantu individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat agar tahu, mau dan mampu mempraktikan PHBS, melalui
proses pembelajaran dalam mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan

52
yang dihadapi, sesuai sosial budaya setempat serta didukung oleh kebijakan publik
yang berwawasan kesehatan.

2. Sasaran pembinaan phbs

Karena di masing-masing tatanan dijumpai masyarakat (yaitu masyarakat


tatanan yang bersangkutan), maka di masing-masing tatanan juga terdapat berbagai
peran. Dengan demikian di masing-masing tatanan dapat dijumpai tiga kelompok
besar sasaran pembinaan PHBS, yaitu sasaran primer, sasaran sekunder dan sasaran
tersier. Sasaran primer berupa sasaran langsung, yaitu individu anggota masyarakat,
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan, yang
diharapkan untuk mempraktikan PHBS.

Sasaran sekunder adalah mereka yang memiliki pengaruh terhadap sasaran


primer dalam pengambilan keputusannya untuk mempraktikan PHBS. Termasuk di
sini adalah para pemuka masyarakat atau tokoh masyarakat, yang umumnya menjadi
panutan sasaran primer. Terdapat berbagai jenis tokoh masyarakat, seperti misalnya
tokoh atau pemuka adat, tokoh atau pemuka agama, tokoh politik, tokoh pertanian,
tokoh pendidikan, tokoh bisnis, tokoh pemuda, tokoh remaja, tokoh wanita, tokoh
kesehatan dan lain-lain. Pemuka atau tokoh adalah seseorang yang memiliki kelebihan
di antara orang-orang lain dalam suatu kelompok atau dalam masyarakat. Ia akan
menjadi panutan bagi kelompoknya atau bagi masyarakat karena ia merupakan figur
yang menonjol. Di samping itu, ia dapat mengubah sistem nilai dan norma masyarakat
secara bertahap, dengan terlebih dulu mengubah sistem nilai dan norma yang berlaku
dalam kelompoknya.

Sedangkan sasaran tersier adalah mereka yang berada dalam posisi


pengambilan keputusan formal, sehingga dapat memberikan dukungan, baik berupa
kebijakan/pengaturan dan atau sumber daya dalam proses pembinaan PHBS terhadap
sasaran primer. Mereka sering juga disebut sebagaitokoh masyarakat formal, yakni
orang yang memiliki posisimenentukan dalam struktur formal di masyarakatnya
(disebutjuga penentu kebijakan). Dengan posisinya itu, mereka jugamemiliki

53
kemampuan untuk mengubah sistem nilai dannorma masyarakat melalui
pemberlakuan kebijakan/pengaturan, di samping menyediakan sarana yang diperlukan.

3. Strategi pembinaan phbs

Menyadari rumitnya hakikat dari perilaku, maka perlu dilaksanakan strategi


Promosi Kesehatan untuk pembinaan PHBS yang bersifat menyeluruh. Mengacu pada
Piagam Otawa (Ottawa Charter) yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional
Promosi Kesehatan Pertama di Otawa (Kanada), iga strategi pokok yang harus
dilaksanakan dalam promosi kesehatan adalah (1) advokasi, (2) bina suasana, dan (3)
pemberdayaan. Ketiga strategi tersebut dilaksanakan dalam bentuk tindakan-tindakan
(aksi-aksi) sebagai berikut

a. Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public policy),


yaitu mengupayakan agar para penentu kebijakan di berbagai sektor di seiap
ingkatan administrasi menetapkan kebijakan dengan memperinangkan dampaknya
terhadap kesehatan masyarakat.
b. Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment), yaitu
mengupayakan agar setiap sektor dalam melaksanakan kegiatannya mengarah
kepada terwujudnya lingkungan sehat (fisik dan nonfisik).
c. Memperkuat gerakan masyarakat (community action), yaitu memberikan dukungan
terhadap kegiatan masyarakat agar lebih berdaya dalam mengendalikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kesehatan.
d. Mengembangkan kemampuan individu (personal skills), yaitu mengupayakan agar
setiap individu masyarakat tahu, mau dan mampu membuat keputusan yang efekif
dalam upaya memelihara, meningkatkan, serta mewujudkan kesehatannya, melalui
pemberian informasi, serta pendidikan dan pelatihan yang memadai.
e. Menata kembali arah pelayanan kesehatan (reorienthealth services), yaitu
mengubah pola pikir serta sistem pelayanan kesehatan masyarakat agar lebih
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan aspek
kuratif dan rehabilitatif.

Di Indonesia, strategi pokok tersebut kemudian diformulasikan kembali ke


dalam kalimat (1) gerakan pemberdayaan (G), yang didukung oleh (2) bina suasana
(B), dan (3) advokasi (A), serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan.

54
1) Gerakan Pemberdayaan

Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan merupakan bagian yang


sangat penting, dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan
merupakan proses memosisikan masyarakat agar memiliki peran yang besar
(kedaulatan) dalam pengambilan keputusan dan penetapan tindakan yang
berkaitan dengan kesehatannya. Pemberdayaan adalah proses pemberian
informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (sasaran) secara terus-
menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu
atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek atitude), dan dari
mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice).
Oleh sebab itu, sesuai dengan sasarannya dapat dibedakan adanya (a)
pemberdayaan individu, (b) pemberdayaan keluarga, dan (c) pemberdayaan
kelompok/masyarakat.

Dalam mengupayakan agar sasaran tahu dan sadar, kuncinya terletak pada
keberhasilan membuat sasaran tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya
Diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang sasaran yang
bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan
masalah, maka sasaran tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun
lebih lanjut. Saat sasaran telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka
kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang
bersangkutan.

Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan


fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan
mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini
dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai
panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya
tak pernah terserang Diare karena perilaku yang dipraktikannya).

55
Bilamana seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan berpindah
dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi
ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan
langsung. Tetapi yang seringkali diprakikkan adalah dengan mengajaknya ke
dalam proses pemberdayaan kelompok/ masyarakat melalui pengorganisasian
masyarakat (community organization) atau pembangunan masyarakat
(communitydevelopment). Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga yang telah
mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan
yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga memerlukan bantuan
dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Di sinilah letak
pentingnya sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan yang
didukungnya dan program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang akan
diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan dan program lain sebagai
bantuan, hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan itu
hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Pemberdayaan
akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan
metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli
terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik di antara mereka
maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat
dapat berdayaguna dan berhasilguna. Setelah itu, sesuai ciri-ciri sasaran, situasi
dan kondisi, lalu ditetapkan, diadakan dan digunakan metode dan media
komunikasi yang tepat.

2) Bina Suasana

Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang


mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang
diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila
lingkungan sosial dimana pun ia berada (keluarga di rumah, organisasi
siswa/mahasiswa, serikat pekerja/karyawan, orang-orang yang menjadi
panutan/idola, kelompok arisan, majelis agama dan bahkan masyarakat umum)

56
menyetujui atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk
memperkuat proses pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para
individu dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana. Terdapat iga
kategori proses bina suasana, yaitu (a) bina suasana individu, (b) bina suasana
kelompok, dan (c) bina suasana publik

a) Bina Suasana Individu

Bina suasana individu dilakukan oleh individu-individu tokoh


masyarakat. Dalam kategori ini tokoh-tokoh masyarakat menjadi individu-
individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan. Yaitu dengan
mempraktikan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut (misalnya seorang
kepala sekolah atau pemuka agama yang tidak merokok). Lebih lanjut bahkan
mereka juga bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi guna
menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu.

b) Bina Suasana Kelompok

Bina suasana kelompok dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam


masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga
(RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi
wanita (misalnya PKK), organisasi siswa/mahasiswa, Pramuka, organisasi
pemuda, serikat pekerja dan lain-lain. Bina suasana ini dapat dilakukan
bersama pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli. Dalam kategori ini
kelompok-kelompok tersebut menjadi kelompok yang peduli terhadap perilaku
yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk
dukungan dapat berupa kelompok tersebut bersedia juga memprakikkan
perilaku yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak terkait dan
atau melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.

c) Bina Suasana Publik

Bina suasana publik dilakukan oleh masyarakat umum melalui


pengembangan kemitraan dan pemanfaatan media komunikasi, seperi radio,
televisi, koran, majalah, situs internet dan lain-lain, sehingga dapat tercipta
57
pendapat umum. Dalam kategori ini media massa tersebut peduli dan
mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan. Dengan demikian, maka
media massa tersebut lalu menjadi mitra dalam rangka menyebarluaskan
informasi tentang perilaku yang sedang diperkenalkan dan menciptakan
pendapat umum atau opini publik yang posiif tentang perilaku tersebut.
Suasana atau pendapat umum yang posiif ini akan dirasakan pula sebagai
pendukung atau penekan (social pressure) oleh individu-individu anggota
masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang
sedang diperkenalkan.

3) Advokasi

Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini berupa tokoh-tokoh masyarakat
(formal dan informal) yang umumnya berperan sebagai narasumber (opinion
leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang dana (termasuk swasta
dan dunia usaha). Juga berupa kelompok-kelompok dalam masyarakat dan media
massa yang dapat berperan dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik
dan dorongan (pressure) bagi terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan
upaya untuk menyukseskan bina suasana dan pemberdayaan atau proses
pembinaan PHBS secara umum. Perlu disadari bahwa komitmen dan dukungan
yang diupayakan melalui advokasi jarang diperoleh dalam waktu singkat. Pada
diri sasaran advokasi umumnya berlangsung tahapan-tahapan, yaitu (1)
mengetahui atau menyadari adanya masalah, (2) tertarik untuk ikut mengatasi
masalah, (3) peduli terhadap pemecahan masalah dengan memperimbangkan
berbagai alternaif pemecahan masalah, (4) sepakat untuk memecahkan masalah
dengan memilih salah satu alternaif pemecahan masalah, dan (5) memutuskan
indak lanjut kesepakatan. Dengan demikian, maka advokasi harus dilakukan
secara terencana, cermat dan tepat. Bahan-bahan advokasi harus disiapkan dengan
matang, yaitu:

a) Sesuai minat dan perhatian sasaran advokasi.

58
b) Memuat rumusan masalah dan alternaif pemecahan masalah.
c) Memuat peran si sasaran dalam pemecahan masalah.
d) Berdasarkan kepada fakta atau evidence-based.
e) Dikemas secara menarik dan jelas.
f)Sesuai dengan waktu yang tersedia.

Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi juga akan lebih


efekif bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, yaitu dengan membentuk
jejaring advokasi atau forum kerjasama, dengan melibatkan kelompok-kelompok
dalam masyarakat, seperi pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun
Warga (RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi
wanita (misalnya PKK), organisasi siswa/ mahasiswa, Pramuka, organisasi
pemuda, serikat pekerja dan lain-lain. Dengan kerjasama, melalui pembagian
tugas dan saling-dukung, maka sasaran advokasi akan dapat diarahkan untuk
sampai kepada tujuan yang diharapkan. Sebagai konsekuensinya, metode dan
media advokasi pun harus ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat
berjalan baik.

4) Kemitraan

Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina


suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan.
Dengan demikian kemitraan perlu digalang antar individu, keluarga, pejabat atau
instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka
atau tokoh masyarakat, media massa dan lain-lain. Kemitraan yang digalang harus
berlandaskan pada tiga prinsip dasar, yaitu (a) kesetaraan, (b) keterbukaan dan (c)
saling menguntungkan.

a) Kesetaraan

Kesetaraan berarti tidak diciptakan hubungan yang bersifat hirarkis.


Semua harus diawali dengan kesediaan menerima bahwa masingrmasing
berada dalam kedudukan yang sama (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah).
Keadaan ini dapat dicapai apabila semua pihak bersedia mengembangkan
hubungan kekeluargaan, yaitu hubungan yang dilandasi kebersamaan atau

59
kepeningan bersama. Bila kemudian dibentuk struktur hirarkis (misalnya
sebuah im), adalah karena kesepakatan.

b) Keterbukaan

Oleh karena itu, di dalam seiap langkah diperlukan adanya kejujuran


dari masing-masing pihak. Seiap usul/saran/komentar harus disertai dengan
alasan yang jujur, sesuai fakta, tidak menutup-tutupi sesuatu. Pada awalnya hal
ini mungkin akan menimbulkan diskusi yang seru layaknya pertengkaran.
Akan tetapi kesadaran akan kekeluargaan dan kebersamaan, akan mendorong
imbulnya solusi yang adil dari pertengkaran tersebut.

c) Saling menguntungkan

Solusi yang adil ini terutama dikaitkan dengan adanya keuntungan yang
didapat oleh semua pihak yang terlibat. Dengan demikian PHBS dan kegiatan-
kegiatan kesehatan harus dapat dirumuskan keuntungan-keuntungannya (baik
langsung maupun tidak langsung) bagi semua pihak yang terkait. Termasuk
keuntungan ekonomis, bila mungkin.

5. kunjungan keluarga bayi dan balita pada kasus dengan presentase 40% sudah memenuhi
targe.
Persentase Balita Ditimbang Berat Badannya (D/S) Penimbangan balita di
posyandu (D/S) merupakan dasar strategi pemberdayaan masyarakat yang telah
dikembangkan sejak awal 1980-an, dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan anak
secara teratur setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang berfungsi
sebagai instrumen penilaian pertumbuhan anak. Target sebesar 85%. (Kemenkes RI,
2014)
Sedangkan pada kasus didapatkan data kunjungan bayi dan balita ke posyadu
sebesar 40% berarti target Penimbangan balita di posyandu (D/S) masih sangat kurang,
hal ini di pengaruhi oleh beberapa hal :
Faktor pendukung dan penghambat capaian indikator kinerja ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1) Faktor Pendukung :

60
a. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah setempat.
b. Kemauan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan balita di lingkungannya.
c. Tingginya motivasi dari tenaga kesehatan setempat.
d. Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Posyandu dengan
e. dilandasi Permendagri nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman
f. Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Posyandu.
g. Bulan penimbangan balita. Sesuai Surat Edaran Menteri Kesehatan nomor
GK/Menkes/333/IX/2012 tanggal 21 September 2012.
h. Tersedianya dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi Puskesmas.
i. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.

2) Faktor Penghambat:

a. Kurangnya dukungan dari para pemangku kepentingan, dimana posyandu hanya


didukung oleh tenaga kesehatan dari puskesmas setempat.
b. Kualitas dan kuantitas dari kader masih kurang, akibat tidak ada rekruitment
kader baru dan refresing kader lama.
c. Bergantinya pejabat desa atau RW mempengaruhi pergantian kader posyandu.
d. Terbatasnya dana operasional, sarana dan prasarana di posyandu.
e. Kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan dalam pemantauan pertumbuhan,
konseling dan pendampingan kader posyandu.
f. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi dan pentingnya
posyandu. (Kemenkes RI, 2014)

STEP 4
MIND MAPPING

61
STEP 5

LEARNING OBJEKTIF

1. Mahasiswa mampu memahami peran dan fungsi perawat komunitas


2. Mahasiswa mampu memahami masalah yang terdapat dalam kasus
3. Mahasiswa mampu memahami penanganan yang harus dilakukan terhadap masalah yang
terjadi dalam masyarakat
4. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan lingkup komunitas

62
STEP 6

INFORMASI TAMBAHAN

(terlampir)

63
STEP 7

LAPORAN PENDAHULUAN

(terlampir)

64
Lampiran 1 Teori Dan Analisis Kasus
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pengalaman belajar di lapangan antara rumah sakit dan di komunitas tentunya


memiliki perbedaan, dimana bia di rumah sakit yang dihaapi oleh perawat atau
mahasiswa keperawatan adalah individu-individu klien yang dirawat karena mengalami
masalah kesehatan. Namun, yang dihadapi oleh perawat atau mahasiswa keperawatan di
komunitas adalah masyarakat yang di dalamnya terdapat individu, keluarga, dan
kelompok yang memiliki karakteristik yang sangat beragam. Seperti dibidang sosial,
ekonomi, budaya, tingkat pendidikan, pengetahuan tentang penyakit, termasuk
masyarakat yang sakit dan masyarakat yang sehat dan sebagainya Praktik keperawatan

65
komunitas didasarkan atas praktik kesehatan komunitas yang bertujuan untuk
meningkatkan dan memelihara kesehatan masyarakat dengan menekan kepada
peningkatan peran sertanya dalam melakukan upaya pencegahan, peningkatan, dan
mempertahankan kesehatan (Mubarak, W I., dkk, 2010).

Beberapa masalah penyakit yang sering ditemukan di komunitas antara lain


hipertensi, ISPA, Diare dan penyakit sendi atau reumatik. Prevalensi hipertensi di
Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 25,8 persen,
tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan
Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Sedangkan di Jawa Barat sendiri untuk penderita
ISPA ialah 13,2 % dan yang memiliki gejala ialah 24.8 %. Karakteristik penduduk
dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) (Riskesdas,
2013).

Berdasarkan karakteristik penduduk, pada komunitas kelompok umur balita adalah


kelompok yang paling tinggi menderita diare, di Jawa Barat sendiri terdapat 3,9 % kasus
diare dan 7,9 % diare pada balita. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi
untuk kelompok pekerjaan (7,1%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis
nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%),
dan Bali (30%). Prevalensi yang didiagnosis nakes di perdesaan (13,8%) lebih tinggi dari
perkotaan (10,0%), demikian juga yang diagnosis nakes atau gejala di perdesaan (27,4%),
di perkotaan (22,1%) (Riskesdas, 2013).

B. Rumusan Masalah

Dalam penyusunan laporan ini akan dibahas mengenai laporan seven jump kasus I
pada keperawatan komunitas meliputi tinjauan teori dan pembahasan kasus.

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep teori dan kasus mengenai asuhan keperawatan
komunitas pada Kasus I.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui Langkah seven jump Kasus I

66
b. Untuk mengetahui Model Teori Neumen
c. Untuk mengetahui Konsep Teori Asuhan Keperawatan Komunitas
d. Untuk mengetahui Masalah Kesehatan Komunitas
e. Untuk mengetahui Pengkajian Kasus I
f. Untuk mengetahui Analisa Data Kasus
g. Untuk mengetahui Prioritas Masalah Pada Kasus
h. Untuk mengetahui Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Pada Penyelesaian
kasus.
D. Manfaat
Manfaat penyusunan laporan ini sebagai tambahan pengetahuan mengenai konsep
teori, proses asuhan keperawatan komunitas dengan beragam masalahnya agar dapat di
aplikasikan dengan baik dilahan praktik maupun dimasyarakat untuk kedepannya.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Model konseptual keperawatan helth care system (betty neuman, 1972)


Model konsep ini merupakan model konsep yang menggambarkan aktifitas
keperawatan, yang ditujukan kepada penekanan penurunan stres dengan cara memperkuat
garis pertahanan diri, baik yang bersifat fleksibel, normal, maupun resisten dengan
sasaran pelayanan adalah komunitas. (Mubarak dan Chayatin 2009).

67
Gambar 1.1 Model Health Care System

Sumber: (Mubarak dan Chayatin 2009).

Jika dilihat pada gambar diatas, garis pertahanan diri pada komunitas meliputi
garis pertahanan fleksibel /buffer zone, yaitu tingkat kesehatan yang dinamis, yang
merupakan hasil respon sementara terhadap stesor (respon komunitas terhadap
lingkungan, misalnya: banjir, stresor sosial, ketersediaan dana dalam pelayanan
kesehatan, pekerjaan, dll). Selain itu, terdapat garis pertahanan normal yang merupakan
tingkat kesehatan komunitas yang dicapai saat itu. Garis pertahanan normal berupa pola
koping dan kemampuan dalam pemecahan masalah dalam jangka panjang yang
diperlihatkan sebagai kesehatan komunitas. Garis pertahanan ini meliputi: ketersediaan
pelayanan, adanya perlindungan terhadap status nutrisi secara menyeluru, tingkat
pendapatan ( cost level ), sikap atau perilaku masyarakat terhadap kesehatan, dan kondisi
rumah yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Sedangkan pertahanan resisten
merupakan mekanisme internal untuk menghadapi stresor (stresor penyebab
ketidakseimbangan system) yang meliputi: tingkat pendidikan masyarakat, adanya
ketersediaan pelayanan kesehatan, transportasi, rekreasi, dan cakupan imunisasi.
Intervensi diarahkan pada tiga garis pertahanan tersebut yang terkait dengan tiga level
prevensi, yaitu denganmenggunakan pencegahan primer, sekuder, tersier. Sementara itu,
tujuan keperawatan adalah stabilitas klien dan keluarga yang dinamis. (Mubarak dan
Chayatin 2009).

Model ini menganalisis interaksi antara empat variabel yang menunjang


keperawatan komunitas, yaitu aspek fisik atau fisiologis, aspek psikologis, aspek sosial
dan kultural,serta aspek spiritual. Asumsi Betty Neuman tentang empat konsep utama
yang terkait dengan keperawatan komunitas adalah sebagai berikut:

68
a. Manusia, merupakan suatu sistem terbuka yang selalu mencari keseimbangan dari
harmoni dan merupakan suatu kesatuan dari variabel yang utuh, yaitu: fisiologi,
psikologi, sosiokultural, perkembangan dan spiritual
b. Lingkungan, meliputi semua faktor internal dan eksternal atau pengaruh-pengaruh
dari sekitar atau sistem klien.
c. Sehat, merupakan kondisi terbebas dari gangguan pemenuhan kebutuhan. Sehat
merupakan keseimbangan yang dinamis sebagai dampak dari keberhasilan
menghindari atau mengatasi stresor.
(Mubarak dan Chayatin 2009).

Sumber : (Mubarak dan Chayatin 2009).

Sehat menurut Neuman adalah suatu keseimbangan bio, psiko, cultural dan
spiritual pada tiga garis pertahanan klien, yaitu garis pertahanan fleksibel, normal dan
resisten. Sehat dapat diklasifikasikan dalam delapan tahapan, yaitu:

a. Normally well, yaitu sehat secara psikologis, medis dan social


b. Pessimistic, yaitu bersikap atau berpandangan tidak mengandung harapan baik
(misalnya khawatir sakit, ragu akan kesehatannya, dan lain-lain).
c. Socially ill, yaitu secara psikologis dan medis baik, tetapi kurang mampu secara
social, baik ekonomi maupun interaksi social dengan masyarakat.
d. Hypochondriacal, yaitu penyakit bersedih hati dan kesedihan tanpa alasan.
e. Medically ill, yaitu sakit secara medis yang dapat diperiksa dan diukur.
f. Martyr, yaitu orang yang rela menderita atau meninggal dari pada menyerah karena
mempertahankan agama/kepercayaan. Dalam kesehatan, seseorang yang tidak
memperdulikan kesehatannya, dia tetap berjuang untuk kesehatan/keselamatan orang
lain.
g. Optimistic, yaitu meskipun secara medis dan social sakit, tetapi mempunyai harapan
baik. Keadaan ini sering kali sangat membantu dalam penyembuhan sakit medisnya.

69
h. Seriously ill, yaitu benar-benar sakit, baik secara psikologis, medis dan sosial.
(Mubarak dan Chayatin 2009).

Tabel 1.1 komposisi delapan tahapan kesehatan

Keadaan Label Health Deminsion


Sosial Psikologi Medis
Kesehatan
1. Biasanya baik Baik Baik Baik
2. Pesimitis Baik Sakit Baik
3. Sakit secara Sakit Baik Baik
sosial
4. Murung tanpa Sakit Baik Sakit
alasan
(Hypochodriacal
)
5. Sakit secara Baik Baik Sakit
medis
6. Menganiaya Baik Sakit Sakit
(martyr)
7. Optimitis Sakit Baik Sakit
8. Sakit serius Sakit Sakit Sakit
Sumber : (Mubarak dan Chayatin 2009).

Keperawatan ditunjukan untuk mempertahankan keseimbangan tersebut dengan


berfokus kepada ke 4 intervensi berikut ini :

5. Intervensi yang bersifat promosi, dilakukan apabila gangguan terjadi pada garis
pertahanan yang bersifat fleksibel, meliputi pendidikan kesehatan dan
mendemonstrasikan keterampilan keperawatan dasar yang dapat dilakukan klien dirumah
atau komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan atau keseimbangan garis
pertahanan normal.
6. Intervensi yang bersifat prevensi, dilakukan apabila garis pertahanan normal terganggu,
meliputu deteksi dini gangguan kesehatan atau gangguan keseimbangan garis pertahanan,
misalnya deteksi dini tumbuh kembang balita, keluarga serta memberikan zat kekebalan
pada klien yang bersifat individu misalnya konseling pranikah.
7. Intervensi yang bersifat kuratif dan rahbilitatif, dilakaukan apabila garis pertahanan
resisten terganggu, meliputi melakukan prosedur keperawatan yang memerlukan

70
kepakaran perawat misalnya maelatih klien duduk atau berjalan, memberikan konseling
unuk penyelesaian masalah, melakukan kerja sama lintas program dan lintas sektor untuk
menyelesaikan masalah, serta melakukan rujukan keperawatan atau nonkeperawatan,
baik secara lintas program atau lintas sektor.
8. Keperawatan. Keperawatan sebagai ilmu dan kiat yang mempelajari tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar klien (individu, keluarga, kelompok, dan komunitas), berhubungan
dengan ketidakseimbangan yang terjadi pada ketiga garis pertahanan, yaitu: fleksible,
normal, dan resisten, serta berupaya membantu mempertahankan keseimbangan untuk
sehat. Intervensi keperawatan bertujuan untuk menurunkan stressor melalui:
d. Pencegahan primer, meliputi berbagai tindakan keperawatan untuk
mengidentifikasi adanya stressor, menjaga reaksi tubuh karena adanya stressor,
serta mendukung koping pada klien secara konstruktif.
e. Pencegahan sekunder, meliputi berbagai tindakan keperawatan dengan mengurangi
atau menghilangkan gejala penyakit serta reaksi tubuh karena adanya stressor.
f. Pencegahan tersier, meliputi pengobatan secara rutin dan teratur, serta pencegahan
terhadap adanya kerusakan lebih lanjut lanjut dari komplikasi suatu penyakit.
(Mubarak dan Chayatin 2009).

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa penerapan model konseptual komunitas
dari Betty Neuman berfokus pada penurunan stress dengan cara memperkuat garis
pertahan diri dan intervensi diarahkan pada tiga garis pertahanan tersebut yang terkait
dalam tiga level prevensi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Sesuai dengan teori Neuman, komunitas dilihat sebagai klien yang dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu:

1. Komunitas yang merupakan klien


2. Penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan yang terdiri atas lima tahapan,
yaitu: pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

71
Gambar. Model konseptual keperawatan komunitas menuru Betty
Neuman

Sumber :Mubarak dan Chayatin 2009.

Asuhan keperawatan yang diberikan kepada komunitas atau kelompok adalah


sebagai beikut:

6. Pengkajian
Hal yang perlu dikaji pada komunitas atau kelompok, antara lain sebagai berikut :
c. Inti (core), meliputi: data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri atas
usia yang berisiko, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, agama, nilai-nilai,
keyakinan, serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas.
d. Mengkaji delapan subsistem yang memengaruji komunitas, antara lain:
1) Perumahan, bagaimana penerangannya, sirkulasi, bagaimana kepadatannya
karena dapat menjadi stresor bagi penduduk
2) Pendidikan komunitas, apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
3) Keamanan dan keselamatan, bagaimana keselamatan dan keamanan
lingkungan tempat tinggal, apakah masyarakat merasa nyaman atau tidak,
apakah sering mengalami stres akibat keamanan dan keselamatan yang tidak
terjamin.
4) Politik dan kebijakan pemerintah terkait kesehatan, apakah cukup menunjang,
sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan diberbagai
bidang, termasuk kesehatan.
5) Pelayanan kesehatan yang tersedia, untuk melakukan deteksi dini dan
merawat/memantau gangguan yang terjadi.
6) Sistem komunikasi, sarana komunikasiapa saja yang tersedia dan dapat
dimanfaatkan dimasyarakat tersebut untuk meningkatkan pengetahuian
terkaity dengan gangguan penyakit. Misalnya media televisi, radio, koran,
koran, atau leaflet yang diberikan kepada masyarakat.
7) Sistem ekonomi, tingkat sosial ekonomi masyarakat secara keseluruhan,
apakah pendapat yang diterima sesuai dengan kebijakan Upah Minimum

72
Regional (UMR) atau sebaliknya dibawah upah minum. Hal ini terkait
dengan upaya pelayanan kesehatan ditunjukkan pada anjuran untuk
mengonsumsi jenis makanan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing.
8) Rekreasi, apakah tersedia sarana rekreasi, kapan saja dibuka, apakah biayanya
dapat dijangkau oleh masyarakat. Rekreasi dapat digunakan masyarakat untuk
membantu mengurangi stresor.
(Mubarak dan Chayatin 2009).
7. Diagnosa keperawatan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingkat rekasi komunitas terhadap stressor yang
ada. Selanjutnya dirumuskan dalam 3 komponen P (problem atau masalah), E
(etiology atau penyebab), dan S (symptomI atau manifestasi/data penunjang).
Misalnya, risiko tinggi peningkatan gangguan penyakit kardiovaskular pada komunitas
di RT 01 RW 10 Kelurahan Somowinangun sehubungan dengan kurangnya kesadaran
masyarakat tentang hidup sehat ditandai dengan :
a. 0,15 % ditemukan angkta dirawat dengan gangguan kardiovaskuler
b. 50 % RT 01 RW 10 mengonsumsi lemak tinggi
c. Didapatkan 20% saja kebiasaan berolahraga
d. Rekreasi tidak teratur
e. Informasi tentang gangguan kardiovaskuler kurang.
(Mubarak dan Chayatin 2009).
8. Perencanaan Intervensi

Perencanaan intervensi yang dapat dilakukan dengan diagnosis keperawatan


komunitas yang muncuk di atas adalah :

h. Lakukan pendidikan kesehatan tentang penyakit gangguan kardiovaskuler


i. Lakukan demosntrasi keterampilah cara menangani stres dan teknik relaksasi
j. Lakukan deteksi dini tanda-tanda gangguan penyakit kardiovaskuler melalui
pemeriksaan tekanan darah
k. Lakukan kerjasama dengan ahli gizi untuk menetapkan diet yang tepat bagi yang
beresiko
l. Lakukan olahraga secara rutin sesuai dengan kemampuan fungsi jantung
m. Lakukan kerja sama dengan petugas dan aparat pemerintah setempat untuk
memperbaiki lingkungan atau komuntas apabila ditemui ada penyebab stressor.
n. Lakukan rujukan ke rumah sakit bila diperlukan.

(Mubarak dan Chayatin 2009).

9. Implementasi

73
Perawat bertanggungjawab untuk melaksanakan tindakan yang telah direncanakan
yang bersifat :
e. Bantuan untuk mengatasi masalah gangguan penyakit kardiovaskuler
dikomunitas,
f. Mempertahankan kondisi yang seimbang, dalam hal iniberprilaku hidup sehat dan
melaksanakan uoaya peningkatan kesehatan
g. Mendidik komunitas tentang prilaku sehat untuk mencegah gangguan penyakit
kardiovaskuler
h. Sebai advokat komunitas yang sekaligus memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan
komunitas.
(Mubarak dan Chayatin 2009).
10. Evaluasi/Penilaian
d. Menilai respon verbal dan nonverbal komunitas setelah dilakukan intervensi
e. Menilai kemajuan yang dicapai oleh komunitas setelah dilakukan intervensi
keperawatan
f. Mencatat adanya kasus baru yang dirujuk ke rumah sakit.

(Mubarak dan Chayatin 2009).

B. Proses Asuhan Keperawatan Kesehatan Komunitas


1. Definisi Proses Keperawatan Kesehatan Komunitas
Keperawatan komunitas merupakan suatu bidang khusus keperawatan yang
merupakan gabungan dari ilmu keperawatan, ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu
sosial yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat baik yang sehat maupun
yang sakit (mempunyai masalah kesehatan/keperawatan), secara komprehensif
melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan resosialitatif dengan
melibatkan peran serta aktif masyarakat secara terorganisir bersama tim kesehatan
lainnya untuk dapat mengenal masalah kesehatan dan keperawatan yang dihadapi
serta memecahkan masalah-masalah yang mereka miliki dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan sesuai dengan hidup sehat sehingga dapat
meningkatkan fungsi kehidupan dan derajat kesehatan seoptimal mungkin dan dapat
diharapkan dapat mandiri dalam memelihara kesehatannya (Chayatin, 2009).
Menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan
klien sebagai mitra kerja dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan
kesehatan. Pelayanan keperawatan profesional yang merupakan perpaduan antara

74
konsep kesehatan masyarakat dan konsep keperawatan yang ditujukan pada seluruh
masyarakat dengan penekanan pada kelompok resiko tinggi (Efendi, 2009).
Keperawatan komunitas merupakan Pelaksanaan keperawatan komunitas
dilakukan melalui beberapa fase yang tercakup dalam proses keperawatan komunitas
dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang dinamis. Fase-fase pada
proses keperawatan komunitas secara langsung melibatkan komunitas sebagai klien
yang dimulai dengan pembuatan kontrak/partner ship dan meliputi pengkajian,
diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Efendi, 2009).
2. Tujuan dan Fungsi Proses Keperawatan Komunitas
Tujuan proses keperawatan kesehatan dalam komunitas untuk pencegahan dan
peningkatan kesehatan masyarakat melalui upaya-upaya sebagai berikut:
a. Pelayanan keperawatan secara langsung (direct care) terhadap individu, keluarga,
dan keluarga serta kelompok dalam kontek komunitas.
b. Perhatian langsung terhadap kesehatan seluruh masyarakat (health general
community) dengan mempertimbangkan permasalahan atau isu kesehatan
masyarakat yang dapat mempengaruhi keluarga, individu, dan kelompok.
Selanjutnya, secara spesifik diharapkan individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat mempunyai kemampuan untuk:
1) Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami.
2) Menetapkan masalah kesehatan dan memprioritaskan masalah tersebut.
3) Merumuskan serta memecahkan masalah kesehatan.
4) Menanggulangi masalah kesehatan.
5) Mengevaluasi sejauh mana pemecahan masalah yang dihadapi
Fungsi proses keperawatan kesehatan komunitas
a. Memberikan pedoman dan bimbingan yang sistematis dan ilmiah bagi kesehatan
masyarakat dan keperawatan dalam memecahkan masalah klien melalui asuhan
keperawatan.
b. Agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang optimal sesuai dengan
kebutuhannya dibidang kesehatan.
c. Memberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan pemecahan masalah,
komunikasi yang efektif dan efisien serta melibatkan peran serta masyarakat.
d. Agar masyarakat bebas mengemukakan pendapat berkaitan dengan permasalahan
atau kebutuhannya sehingga mendapatkan penanganaan dan pelayanan yang cepat
dan pada akhirnya dapat mempercepat proses penyembuhan. (Mubarak, 2006
dalam Harnilawati, 2013).
3. Langkah-langkah Proses Keperawatan Komunitas
a. Tahap Persiapan

75
Tahap persiapan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas
diantaranya adalah penentuan lahan praktik, survey, pembuatan angket yang
mengacu pada pengkajian komunitas.
b. Tahap Pelaksanaan
1. Pengkajian Keperawatan Komunitas
Pengkajian keperawatan komunitas merupakan suatu proses tindakan
untuk mengenal komunitas. Orang-orang yang berada di komunitas merupakan
mitra dan berperan didalam proses keperawatan kesehatan komunitas. Tujuan
keperawatan dalam mengkaji komunitas adalah mengidentifikasi faktor positif
dan negatif yang berbenturan dengan masalah kesehatan dari masyarakat
hingga sumber daya yang dimiliki komunitas dengan tujuan merancang strategi
untuk promosi kesehatan. Pengkajian suatu komunitas dimulai dengan
mengidentifikasi sitem yang ada di dalamnya. Komunitas juga merupakan
keseluruhan kesatuan fungsi karena saling ketergantungan antar bagian atau
subsitem. (Efendi, Ferri & Makhfudli, 2009).
Pengkajian merupakan upaya pengumpulan data secara lengkap dan
sistematis terhadap mesyarakat untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah
kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat baik individu, keluarga atau
kelompok yang menyangkut permasalah pada fisiologis, psikologis, sosial
ekonomi, maupun spiritual dapat ditentukan, yaitu :
Pengumpulan Data Hal yang perlu dikaji pada komunitas atau kelompok
antara lain :
1) Inti (Core) meliputi : Data demografi kelompok atau komunitas yang
terdiri atas usia yang beresiko, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan,
agama, nilai-nilai, keyakinan, serta riwayat timbulnya kelompok atau
komunitas.
2) Mengkaji 8 subsistem yang mempengaruhi komunitas, antara lain:
a) Perumahan, bagaimana penerangannya, sirkulasi, bagaimana
kepadatannya karena dapat menjadi stresor bagi penduduk.
b) Pendidikan komunitas, apakah ada sarana pendidikan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
c) Keamanan dan keselamatan, bagaimana keselamatan dan keamanan
tempat tinggal, apakah masyarakat merasa nyaman atau tidak, apakag

76
sering mengalami stres akibat keamanan dan keselamatan yang tidak
terjamin.
d) Kualiti dan kebijakan pemerintah terkait kesehatan, apakah cukup
menunjang, sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan
pelayanan di berbagai bidang termasuk kesehatan.
e) Pelayanan kesehatan yang tesedia, untuk diteksi dini atau memantau
gangguan yang terjadi
f) Pelayanan kesehatan yang tersedia, untuk melakukan deteksi dini dan
merawat atau memantau gangguan yang terjadi.
g) Sistem komunikasi, serta komunikasi apa saja yang dapat
dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan yang
terkait dengan gangguan penyakit.
h) Sistem ekonomi, tingkat sosial ekonomi masyarakat secara
keseluruhan, apakah pendapatan yang terima sesuai dengan Upah
Minimum Registrasi (UMR) atau sebaliknya.
i) Rekreasi, apakah tersedia sarana rekreasi, kapan saja dibuka, apakah
biayanya dapat dijangkau masyarakat.
1) Jenis Data Jenis data secara umum dapat diperoleh dari data subjektif
dan data objektif (Mubarak, 2005):
a) Data Subjektif Yaitu data yang diperoleh dari keluhan atau masalah
yang dirasakan oleh individu, keluarga, kelompok, dan komunitas,
yang diungkapkan secara langsung melalui lisan.
b) Data Objektif Data yang diperoleh melalui suatu pemeriksaan,
pengamatan dan pengukuran
2) Sumber Data
a) Data primer Data yang dikumpulkan oleh pengkaji dari
individu,keluarga, kelompok, masyarakat berdasarkan hasil
pemeriksaan atau pengkajian.
b) Data sekunder Data yang diperoleh dari sumber lain yang dapat
dipercaya, misalnya: kelurahan, catatan riwayat kesehatan pasien
atau medical record.
3) Cara Pengumpulan Data
a) Wawancara yaitu: kegiatan timbale balik berupa Tanya jawab
b) Pengamatan yaitu: melakukan observasi dengan panca indra
c) Pemeriksaan fisik: melakukan pemeriksaan pada tubuh individu.
4) Pengelolaan Data
a) Klasifikasi data atau kategorisasi data.

77
b) Perhitungan presentase cakupan dengan menggunakan telly.
c) Tabulasi data.
d) Interpretasi data.
5) Analisa Data
Kemampuan untuk mengkaitkan data dan menghubungkan data
dengan kemampuan kognitif yang dimiliki sehingga dapat diketahui
tentang kesenjangan atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat
apakah itu masalah kesehatan atau masalah keperawatan.
6) Penentuan Masalah atau Perumusan Masalah Kesehatan
Berdasarkan analisa data dapat diketahui masalah kesehatan dan
masalah keperawatan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga dapat
dirumuskan masalah kesehatan.
7) Prioritas Masalah
Prioritas masalah dapat ditentukan berdasarkan hierarki kebutuhan
Abraham H Maslow:
a) Keadaan yang mengancam kehidupan
b) Keadaan yang mengancam kesehatan
c) Persepsi tentang kesehatan dan keperawatan

Melalui pengkajian, perawat akan mampu mengidentifikasi respon


komunitas yang aktual atau potensial yang memerlukan suatu tindakan.
Dalam menentukan perencanaan perlu disusun suatu sistem untuk
menentukan diagnosis yang akan diambil tindakan pertama kali diambil.
Salah satu sistem yang bisa digunakan adalah Hearki kebutuhan komunitas.
(Efendi, Ferri & Makhfudli, 2009).

2. Perencanaan Keperawatan Komunitas


Rencana tindakan adalah desain spesifik intervensi untuk membantu
komunitas dalam mencapai kriteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan
berdasarkan komponen penyebab dari diagnosisi keperawatan. Oleh sebab itu
rencana mendefinisikan suatu aktivitas yang diperlukan untuk membatasi
faktor-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan. (Efendi, Ferri &
Makhfudli, 2009).
3. Pelaksanaan Keperawatan Komunitas
Tahap implementasi dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada rencana strategi untuk membantu komunitas mencapai tujuan
yang diharapkan. Oleh karena itu, rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan

78
untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi maslah kesehatan
komunitas. (Efendi, Ferri & Makhfudli, 2009).
Tujuan dari implementasi adalah membantu komunitas dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping.
Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika
komunitas mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam implementasi
tindakan keperawatan. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih tindakan keperawatan yang paling sesuai
dengan kebutuhan komunitas. (Efendi, Ferri & Makhfudli, 2009).
Pelaksanaan atau implementasi kegiatan komunitas berfokus pada tiga
tingkat pencegahan (Anderson dan Mcfarlene, 1985 dalam Nurhayati, 2013),
yaitu:
1) Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan sebelum sakit atau disfungsi
dandiaplikasikan ke populasi sehat pada umumnya, mencakup padakegiatan
kesehatan secara umum dan perlindungan khusus terhadapsuatu penyakit.
Misalnya, kegiatan penyuluhan gizi, imunisasi,stimulasi dan bimbingan dini
dalam kesehatan keluarga.
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah kegiatan yang dilakukan pada saat
terjadinya perubahan derajat kesehatan masyarakat dan
ditemukannyamasalah kesehatan. Pencegahan sekunder ini menekankan
padadiagnosa dini dan inervensi yang tepat untuk menghambat
prosespenyakit atau kelainan sehingga memperpendek waktu sakit dan
tingkatkeparahan. Misalnya mengkaji dan memberi intervensi segera
terhadaptumbuh kembang anak usia bayi sampai balita.
3) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah kegiatan yang menekankan
padapengembalian individu pada tingkat fungsinya secara optimal
dariketidakmampuan keluarga. Pencegahan ini dimulai ketika
terjadinyakecacatan atau ketidakmampuan yang menetap bertujuan
untukmengembalikan ke fungsi semula dan menghambat proses penyakit.
4. Penilaian atau Evaluasi

79
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
implementasinya sudah berhasil dicapai. Evaluasi memungkinkan perawat
untuk memonitor kealfaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis,
perencanaan, dan implementasi tindakan (Ignatavicius & Bayne, 1994 dalam
Efendi, Ferri & Makhfudli, 2009).
Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan klien dalalm mencapai tujuan.
Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan,
sehingga perawat dapat mengambil keputusan. Proses evaluasi terdiri atas dua
tahap yaitu mengukur pencapaian tujuan klien baik kognitif, afektif,
psikomotor, dan perubahan pungsi tubuh serta gejalanya; dan membandingkan
data yang terkumpul dengan dengan tujuan dan pencapaian tujuan. (Efendi,
Ferri & Makhfudli, 2009).

C. Kesehatan Komunikator
1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
a. Definisi
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit utama
penyebab kematian bayi dan sering menempati urutan pertama angka kesakitan
balita. Penanganan dini terhadap penyakit ISPA terbukti dapat menurunkan
kematian (Kunoli, 2012).
Pengertian ISPA adalah penyakit saluran pernafasan akut dengan perhatian
khusus pada radang paru (pneumonia), dan bukan penyakit telinga dan
tenggorokan. Klasifikasi penyakit ISPA (Kunoli, 2012) terdiri dari :
1) Bukan pneumonia mencakup kelompok pasien dan balita dengan batuk yang
tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan
adanya tarikan dinding pada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya adalah
Common Cold, Faringitis, dan Oritis.
2) Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas
diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi nafas cepat pada anak
berusia 2 bulan sampai < 1 tahun adalah 50x/menit dan untuk anak usia 1
sampai < 5 tahun adalah 40x/menit.

80
3) Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas
disertai sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam
(Chest Indrawing) pada anak berusia 2 bulan sampai < 5 tahun. Untuk anak
berusia < 2 bulan, didiagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas
cepat yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60x/menit atau lebih, atau adanya
tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (Severe
Chest Indrawing).
b. Distribusi
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk pilek
pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per
tahun), artinya seorang balita rata-rata mendaoatkan serangan batuk pilek
sebanyak 3-6 kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui
bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan dan pencemaran lingkungan di kota
yang lebih tinggi daripada di desa (Kunoli, 2012).
c. Etiologi
Etiologi ISPA (Kunoli, 2012) terdiri dari:

Bakteri : Diplococcus Pneumonia Pneumcoccus, Strepococcus Pyogenes


Staphylococcus Aureus, Haemophilus Influenza, dan lain-lain.

Virus : Influenza, Adenovirus, Sitomegagalovirus.


Jamur : Aspergilus sp. Candida albicans histoplasm, dll.
Aspirasi : Makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar
minyak) tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian)
mainan plastik kecil, dan lain-lain.
d. Gambaran Klinis
Gambaran klinis ISPA menurut Kunoli (2012), yaitu :
1) Nafas cepat
2) Penentuan adanya tanda bahaya : Bila terdapat satu atau lebih gejala di bawah
ini berarti ada tanda bahaya.
a) Tidak bisa minum
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Gizi buruk
f) Demam atau dingin (khusus untuk bayi berusia < 2 bulan).

81
3) Klasifikasi penyakit :
a) Tanpa nafas cepat > bukan pneumonia
b) Dengan nafas cepat saja > pneumonia
c) Ada tanda bahaya > pneumonia
e. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang
benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya
kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA) (Kunoli, 2012).
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar
pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan
antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat
batuk yang kurang bermanfaat (Kunoli, 2012).
1) Pengobatan
Menurut Kunoli (2012) :
a) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
b) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
c) Bukan pneumonia : tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
dekstrometorfan, dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada
pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcus dan harus diberi antibiotik
(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan
tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan
selanjutnya.
f. Program Pemberantasan
Program pemberantasan menurut Kunoli (2012) :
1) Tujuan
Menurunkan mobilitas dan mortabilitas pada balita akibat penyakit ISPA.

82
2) Kebijaksanaan
Menemukan dan mengobati ISPA secara dini dengan melibatkan lintas
program dan lintas sektor.
3) Strategi
a) Menemukan dan mengobati ISPA sedini mungkin secara tepat.
b) Kerjasama lintas program dan lintas sektor yang melibatkan peran serta
masyarakat terutama kader.
c) Dukungan pelayanan kesehatan yang memadai.
4) Langkah-langkah
Menemukan penderita ISPA secara lintas program dengan :
b) Program gizi
1) Mendata balita untuk diberi vitamin
2) Memberi pelayanan tablet Fe untuk ibu hamil
3) Memberi vitamin A (pada Bulan Februari dan Agustus)
4) Menaggulangi kekurangan kalori protein (KKP)
c) Program kesehatan ibu dan anak (KIA)
1) Melacak kesehatan neonatal
2) Membina bidan/dukun bayi
3) Memberi pelayanan imunisasi bagi ibu hamil
d) Pemberantasan penyakit menular (P2M)
1) Malaria saat PCD
2) Kusta saat chase dan kontak survey
3) TBC paru saat pelacakan
4) Rabies saat rigistrasi dan vaksinasi vektor
5) DBD saat penyuluhan epidemiologis
d) Imunisasi di Posyandu
1) Merujuk ke sarana kesehatan yang lebih lengkap
2) Memberi penyuluhan kesehatan (health promotion)
2. Diare
a. Definisi
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi)
dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air
tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran
tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar
5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie,2010).

83
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih
dari tiga kali dalam satu hari (Departemen Kesehatan RI, 2011).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diare adalah
pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya dan
frekuensinya terjadi lebih dari 3 x dalam sehari.
b. Prevalensi
Secara global dengan derajat kesakitan dan kematian diperkirakan lebih
dari 10 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya, sekitar
20% meninggal karena infeksi diare. Kematian yang disebabkan diare di antara
anak anak terlihat menurun dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun. Meskipun
mortalitas dari diare dapat diturunkan dengan program rehidrasi/terapi cairan
namun angka kesakitannya masih tetap tinggi. Pada saat ini angka kematian yang
disebabkan diare adalah 3,8 per 1.000 per tahun, median insidens secara
keseluruhan pada anak usia dibawah 5 tahun adalah 3,2 episode anak per tahun
(Kemenkes RI, 2011).
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR
yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah
kasus 8.133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di
24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang
(CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan
jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %) (Kemenkes RI,
2011).
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDGs (Goal ke-4) adalah
menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada
2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas
dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih
menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian
akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana
kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang
cepat dan tepat (Kemenkes RI, 2011).

84
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare. Petani/nelayan/buruh mempunyai
proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan (7,1%), sedangkan jenis kelamin dan
tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda. Insiden diare
balita di Indonesia adalah 6,7 %. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi
adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan
(8,1%), dan Banten (8,0%). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada
kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan
(5,3%), (Riskesdas, 2013).
c. Klasifikasi
Terdapat beberapa pembagian diare, Berdasarkan lamanya diare:
1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
2) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah (failure to thrive)
selama masa diare tersebut.
Berdasarkan mekanisme patofisiologik:
1) Diare sekresi (secretory diarrhea).
2) Diare osmotic (osmotic diarrhea)
(Suraatmaja, 2007)
d. Etiologi
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005,
etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab:
Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas.
Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus .
Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis.
Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll
(Simadibrata, 2006)
e. Manifestasi Klinis

85
Infeksi usus menimbulkan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila
terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala
gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi
sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair
mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan
bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipovolemia. Dehidrasi merupakan keadaan
yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps
kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang
terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi
hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya
bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat
(Juffrie, 2010).
f. Cara penularan dan faktor infeksi
Diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau minuman yang
tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita atau tidak langsung
melalui lalat ( melalui 5F = faeces, flies, food, fluid, finger).
Faktor risiko terjadinya diare adalah:
1) Faktor perilaku antara lain :
a) Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan Makanan
Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi kontak terhadap
kuman.
b) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit
diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.
c) Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan pakai sabun sebelum memberi
ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan
BAB anak.
d) Penyimpanan makanan yang tidak higienis
2) Faktor lingkungan antara lain:
a) Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan Mandi
Cuci Kakus (MCK).
b) Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.

86
Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari
penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain:
kurang gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk, penyakit
imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita campak. (Kemenkes RI, 2011).

g. Preventif
Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006)
adalah sebagai berikut:
1) Pemberian ASI
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya
antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan
perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI
eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada
pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi
yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare (Depkes RI, 2006).
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama
kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu
formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu
formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa
mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).
2) Pemberian Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut
merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian
makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko
terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian (Depkes
RI, 2006).
Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian
makanan pendamping ASI yang lebih baik yaitu :
a) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi
masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan
sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih

87
sering (4 kali sehari) setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua
makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan
pemberian ASI bila mungkin.
b) Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-
bijian untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging,
kacangkacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam
makanannya. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan
menyuapi anak, serta menyuapi anak dengan sendok yang bersih.
c) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan
pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum
diberikan kepada anak.
(Depkes RI, 2006)
d) Menggunakan air bersih yang cukup
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur
fecal-oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut,
cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari
tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air
tercemar. (Depkes RI, 2006).
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar
bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006).
Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu
dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes
RI, 2006).
Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah:
a) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.
b) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan,
membuat lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber
yang digunakan serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas
sumber untuk menjauhkan air hujan dari sumber.
c) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan
gunakan gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.
d) Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan.

88
(Depkes RI, 2006)
3) Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan
dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja
anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan
sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).
4) Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko
terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes RI,
2006).
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
a) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai
oleh seluruh anggota keluarga.
b) Bersihkan jamban secara teratur.
c) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air
besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak
dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber
air, hindari buang air besar tanpa alas kaki.
(Depkes RI, 2006)

5) Membuang Tinja Bayi yang Benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya.
Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada
anak-anak dan orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar,
berikut hal-hal yang harus diperhatikan:
a) Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun
atau kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus
b) Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih
dan mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bilas

89
wadahnya atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti
kertas koran atau daun besar dan buang ke dalam kakus.
c) Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya.
(Depkes RI, 2006)
6) Pemberian Imunisasi Campak
Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi
campak segera setelah berumur 9 bulan (Depkes RI, 2006).
Anak harus diimunisasi terhadap campak secepat mungkin setelah usia
9 bulan. Diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak
yang sedang menderita campak dalam 4 mingggu terakhir. Hal ini sebagai
akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita. Selain imunisasi campak,
anak juga harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi BCG
untuk mencegah penyakit TBC, imunisasi DPT untuk mencegah penyakit
diptheri, pertusis dan tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam
pencegahan penyakit polio (Depkes RI, 2006).
Pencegahan terhadap diare atau pencarian terhadap pengobatan diare
pada balita termasuk dalam perilaku kesehatan.
Adapun perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah suatu
respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan
minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau
menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana
sakit.
2) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan (health
seeking behavior)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada
saat menderita penyakit dan atau kecelakaan.
3) Perilaku kesehatan lingkungan

90
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya, dan sebagainya. Untuk menilai baik atau tidaknya
perilaku kesehatan seseorang, dapat dinilai dari domain-domain perilaku.
Domain-domain tersebut adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dalam
penelitian ini domain sikap tidak dinilai, karena merupakan perilaku tertutup
(convert behavior). Perilaku tertutup merupakan persepsi seseorang terhadap
suatu stimulus, yang mana persepsi ini tidak dapat diamati secara jelas.
Sementara tindakan termasuk perilaku terbuka, yaitu respon seseorang
terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Hal ini dapat
secara jelas diamati oleh orang lain.
h. Promotif
Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip
oleh McKenzie (2007) menyatakan bahwa promosi kesehatan sebagai kombinasi
terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan , peraturan ,
maupun mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan kondisi kehidupan
yang kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Pada
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa promosi kesehatan
adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran
dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai
sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan
kesehatan.
Dalam melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku
tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma,
melainkan juga dimensi ekonomi .Sistem nilai dan norma merupakan rambu- rambu
bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem nilai dan
norma dibuat oleh masyarakat untuk dianut oleh individu-individu anggota
masyarakat tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai sistem
sosial, adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu
masyarakat akan berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari
masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2006).

91
i. Kuratif
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip diare pada balita adalah LINTAS
DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk
mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare
juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
1) Oralit
Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di
bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus.
Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi. Untuk mencegah terjadinya
dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit
osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti
air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah
oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. (Kemenkes RI, 2011).
2) Diare tanpa dehidrasi
a) Umur < 1 tahun : - gelas setiap kali anak mencret
b) Umur 1 4 tahun : - 1 gelas setiap kali anak mencret
c) Umur diatas 5 Tahun : 1 1 gelas setiap kali anak mencret
3) Diare dengan dehidrasi ringan sedang
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
4) Diare dengan dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk di infus. (Kemenkes RI, 2011)

Tabel.1 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur


Umur Jumlah oralit yang diberikan Jumlah oralit yang disediakan di
tiap BAB rumah
< 12 bulan 50 100 ml 400 ml/hari (2 bungkus)
1 4 100 200 ml 600 800 ml/hari (3 4 bungkus)
tahun

92
> 5 tahun 200 300 ml 800 1000 ml/hari (4 5
bungkus)
Dewasa 300 400 ml 1200 2800 ml/hari
Sumber: Depkes RI, 2006
Keterangan :
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan
cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan.
Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila terjadi muntah hentikan
dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3
menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti (Juffrie, 2010).
1) Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh.
Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase),
dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan
hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus
yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare
(Kemenkes RI, 2011).
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan
tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera
saat anak mengalami diare (Kemenkes RI, 2011).
Dosis pemberian Zinc pada balita:
a) Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
b) Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
Keterangan :
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara
pemberian tablet zinc dengan cara dilarutkan tablet dalam 1 sendok makan air
matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes RI, 2011).
2) Pemberian ASI/makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi
pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di

93
beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari
biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan
makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan
sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat
badan (Kemenkes RI, 2011).
3) Pemberian antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya
bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena
shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI, 2011).
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi
ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan
efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia)
(Kemenkes RI, 2011).
4) Pemberian Nasihat
Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan
erat dengan balita harus diberi nasehat tentang:
a) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
1. Diare lebih sering
2. Muntah berulang
3. Sangat haus
4. Makan/minum sedikit
5. Timbul demam
6. Tinja berdarah
7. Tidak membaik dalam 3 hari
3. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah di pembuluh darah
meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih
keras memompa darah untuk memiliki kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika

94
dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama
organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. (Depkes, 2013).
Apabila seseorang memiliki tekanan darah sistol 140 mmHg dan tekanan
darah diastol 90 mmHg atau lebih yang diukur ketika ia sedang duduk dapat
dikategorikan memiliki tekanan darah tinggi (Ridwan, 2009).
Hipertensi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam
pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari suatu periode. Hipertensi
menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat menimbulkan
kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti,2010)
b. Klasifikasi
Saat ini, kriteria terbaru di Amerika Serikat berdasarkan kriteria JNC 7
(Aziza, 2007) yaitu :
Tabel 1.1 klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7.
Klasifikasi Sistolik TD (mmHg) Diastolik TD (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi stadium 2 > 160 Atau > 100

c. Epidemiologi
Penyakit tidak menular, terutama hipertensi terjadi penurunan dari 31,7
persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi terjadi penurunan
bermacam-macam mulai dari alat pengukur tensi yang berbeda sampai pada
kemungkinan masyarakat sudah mulai datang berobat ke fasilitas kesehatan.
Terjadi peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah
didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi
9,5 persen tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukan cakupan tenaga
kesehatan terhadap kasus hipertensi di masyarakat masih rendah, hanya 24,2%
untuk prevalensi hipertensi di indonesia yang berjumlah 32,2%. Data Riskesdas

95
2007 juga menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di indonesia berkisar 30%
dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskuler lebih banyak pada perempuan
(52%) dibandingkan laki-laki (48%). Data lain menunjukan bahwa prevalensi
hipertensi di indonesia mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas.
Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke.
d. Etiologi
Menurut Udjiati (2010) penyebab dari hipertensi yaitu :
1) Hipertensi primer atau essensial
90 % belum diketahui penyebabnya, beberapa faktor yang berkaitan
dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini :
a) Genetik
Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, beresiko
tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.
b) Jenis kelamin dan usia
Laki laki berusia 35 50 tahun dan wanita pasca menopause beresiko
tinggi untuk mengalami hipertensi.
c) Diet
Konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan
dengan berkembangnya hipertensi.
2) Hipertensi Sekunder
Penggunaan pil kontrasepsi, penyakit ginjal akut, stress, pielonefritis atau
radang ginjal, glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi
renovaskuler, kimmelt stiel-wilson.

e. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala hipertensi yang timbul menurut Kowalak (2011) adalah:
1) Nyeri kepala oksipital yang bisa semakin parah saat bangun di pagi hari
karena terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
2) Epistaksis yang mungkin terjadi karena kelainan vaskuler akibat hipertensi.

96
3) Bruits (bising pembuluh darah yang dapat terdengar di daerah aorta
abdominalis atau arteri karotis, arteri renalis dan femoralis). Bising pembuluh
darah ini disebabkan oleh stenosis atau aneurisma.
4) Perasaan pening, bingung, dan keletihan yang disebabkan oleh penurunan
perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah.

f. Preventif
Metode yang digunakan untuk mengatasi masalah hipertensi di
masyarakat tetap memperhatikan aspek 3 level preventif (WHO,2004) .

97
g. Promotif
Promosi kesehatan adalah proses untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Program ini dirancang untuk membawa perubahan
(perbaikan), baik dalam masyarakat itu sendiri, maupun dalam
organisasi dan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut maka
strategi promosi kesehatan yang akan dikembangkan dalam rangka pencegahan
hipertensi adalah :
1) Advokasi (advocacy)
Kegiatan ini ditujukan untuk para pembuat keputusan dan penentu kebijakan
di tingkat kecamatan dan desa. Diharapkan melalui advokasi ini, semua
aparratur pemerintahan di Desa bias member dukungan, baik dukungan moral
maupun material, terhadap kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan
sebelumnya.
2) Dukungan social (social support)

98
Kegiatan ini difokuskan bagi para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang
ada. Diharapkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut dapat
menjembatani komunikasi antara pengelola program kesehatan dan
masyarrakat khususnya terkait hipertensi.
3) Pemberdayaan masyarakat (empowerment)
Kegiatan ini diarahkan langsung pada masyarrrakat sebagai sasaran primer
promosi kesehatan. Tujuannya adalah agar masyarrakat memiliki kemampuan
dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri (self
reliance in health). Bentuk kegiatannya lebih ditekankan pada penggerakan
masyarakat untuk kesehatan, dalam hal ini adalah pengolahan Posbindu.
Ruang lingkup promosi kesehatan sendiri meliputi tatanan keluarga
(rumah tangga) dan di fasilitasi pelayanan kesehatan. Berdasarkan tingkat
pelayanan kesehatan yang diberikan, promosi kesehatan yang dilakukan hanya
berada pada level promosi kesehatan, perlindungan spesifik, serta diagnosis
dini dan pengobatan segera.
Kegiatan promosi kesehatan pada setiap level tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Promosi kesehatan:
a) Senam jantun sehat dan senam lansia
b) Kampanye anti-rokok
c) Penyuluhan gizi lansia
d) Pelatihan Pemeriksaan tekanan darah bagi keluarga lansia
2) Pencegahan spesifik
a) Pemberian multivitamin bagi lansia
4. Rhematik
a. Definisi
Menurut Isbagio (2004), cakupan pengertian gejala rematik ataupun pegal
linu cukup luas. Nyeri, pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi dan
jaringan sekitarnya termasuk gejala rematik. Semua gangguan pada daerah tulang,
sendi, dan otot disebut rematik yang sebagian besar masyarakat juga
menyebutnya pegal linu.

99
Rematik atau pegal linu juga merupakan penyakit degeneratif yang
menyebabkan kerusakan tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya,
disertai proliferasi dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang
terkena (Priyanto, 2009).
b. Etiologi
Faktor penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Namun,
faktor genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-
DR) dan beberapa faktor lingkungan diduga berperan dalam timbulnya penyakit
ini (Sudoyo, dkk, 2007).
1) Faktor genetik seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-
DR), dari beberapa data penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit
ini. Rematik/pegal linu pada pasien kembar lebih sering dijumpai pada
kembar monozygotic dibandingkan kembar dizygotic (Sudoyo, dkk, 2007).
2) Dari berbagai observasi menunjukkan dugaan bahwa hormon seks merupakan
salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Hubungan hormon seks dengan
rematik/pegal linu sebagai penyebabnya dapat dilihat dari prevalensi
penderitanya yaitu 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari
kaum pria (Sudoyo, dkk, 2007).
3) Faktor infeksi sebagai penyebab rematik/pegal linu timbul karena umumnya
onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat
bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses
autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen
infeksius yang diduga sebagai penyebabnya adalah bakteri, mycoplasma, atau
virus (Sudoyo, dkk, 2007).
c. Faktor Resiko
Menurut Priyatno (2009) beberapa faktor resiko yang diketahui
berhubungan dengan rematik ataupun pegal linu, antara lain;
1) Usia di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi
2) Genetik.
3) Kegemukan dan penyakit metabolik.
4) Cedera sendi yang berulang.
5) Kepadatan tulang berkurang (osteoporosis).

100
6) Beban sendi yang terlalu berat (olah raga atau kerja tertentu).
7) Kelainan pertumbuhan (kelainan sel-sel yang membentuk tulang rawan,
seperti kolagen dan proteoglikan).

d. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris
(Sudoyo, dkk, 2007). Menurut Priyatno (2009) secara umum, manifestasi klinis
yang dapat kita lihat, antara lain;
1) Nyeri sendi, terutama pada saat bergerak.
2) Pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh, seperti panggul,
tulang belakang, dan lutut.
3) Terjadi kemerahan, inflamasi, nyeri, dan dapat terjadi deformitas (perubahan
bentuk).
4) Yang tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan.
5) Rasa sakit bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-jari.
6) Saat perpindahan posisi pada persendian bisa terdengar suara (cracking).
e. Preventif
Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit ini, seperti
tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat badan tetap stabil,
serta menjaga agar asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan kebutuhan
tubuh, terutama banyak memakanikan dari laut dalam. Jika Anda merasa tidak
cukup mengkonsumsi ikan laut, mengkonsumsi suplemen bisa menjadi pilihan,
terutama yang mengandung omega 3. Dalam omega 3 terdapat zat yang sangat
efektif untuk memelihara persendian agar tetap lentur. (Isbagio H, 2009).
Jangan anggap enteng gejala-gejala rematik yang timbul. egitu rasa nyeri
mulai muncul, segeralah periksakan diri ke dokter untuk mendeteksi mana yang
sekedar pegal linu biasa atau yang merupakan gejala rematik. (Isbagio H, 2009).
f. Kuratif
Beberapa diantaranya yang dapat mengobati rematik ialah Celecoxib ,
yang disambutgembira karena memiliki efek samping yang kecil pada lambung

101
dan ginjal. Golongan obat lain adalah kortikost eroid, untuk mengatasi inflamasi
(peradangan) dan menekan sistem kekebalantubuh sehingga reaksi radang pada
rematik berkurang. Bentuk obat ini bisa berupa krim yangdioles pada kulit atau
suntikan. Sayangnya, obat ini memiliki efek samping seperti pembengkakan,
nafsu makan bertambah, berat badan naik, serta emosi yang labil. (Candra Syafei,
2011.)
Selain itu tanaman yang bernama Brotowali juga dipercaya dapat
mengobati rematik.Selain dengan obat-obatan, untuk mengurangi rasa nyeri juga
bisa dilakukan tanpa obat,misalnya dengan kompres es. Kompres es bisa
menurunkan ambang nyeri dan mengurangifungsi enzim. Kemudian, banyak jenis
sayuran yang bisa dikonsumsi penderita rematik,misalnya jus seledri, kubis atau
wortel yang bisa mengurangi gejala rematik. Beberapa jenis herbal juga bisa
membantu melawan nyeri rematik, misalnya jahe dan kunyit, biji seledri,
daunlidah buaya, rosemary, aroma terapi, atau minyak juniper yang bisa
menghilangkan bengkak pada sendi.
Menjaga berat badan ideal adalah salah satu langkah bijaksana untuk
mengurangi nyeri disendi lutut. Setiap kelebihan berat badan membebani sendi
lutut serta panggul, dan menambahrasa nyeri karena rematik. Selain itu bobot
tubuh berlebih memperbesar risiko asam urat.Olahraga ringan seperti jalan kaki
bermanfaat untuk penderita rematik karena asam urat. Inikarena jalan kaki
membakar kalori, memperkuat otot dan membangun tulang yang kuat
tanpamengganggu persendian yang sakit. (Candra Syafei, 2011.)
Untuk melakukan olahraga sebaiknya meminta pendapat dokter atau
terapis, supaya mengetahui gerakan-gerakan yang terbaik. Disarankan untuk
menghindari olahraga yang terlalu membebani lutut. Bulutangkis, voli, tenis,
joging, bela diri sebaiknya tidak dilakukan. Apalagi ketika rematik jenis asam urat
itu sedang kumat. berdiri terlalu lama akan menimbulkan sakityang luar biasa.
(Candra Syafei, 2011.)

102
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Data Inti Komunitas (Data Core)
a. Demografi
1) Komposisi penduduk : 450 Jiwa, (laki-laki 200) dan (perempuan 250)
2) Tipe keluarga dan status perkawinan : 48% termasuk kategori keluarga
miskin

103
3) Suku bangsa/ras : Tidak dikaji
4) Kesehatan penduduk : 25% mengidap ISPA, 15% diare, 15% hipertensi, dan
2% kelumpuhan akibat rematik
b. Statistik vital
1) Kelahiran : CBR Crude Birth Rate 1,7%
2) Morbiditas : CDR Crude Death Rate 1,3%
3) Mortalitas : 25% mengidap ISPA, 15% diare, 15% hipertensi, dan 2%
kelumpuhan akibat rematik
c. Agama : Tidak dikaji
d. Nilai/norma : Tidak dikaji
e. Etnik budaya : Tidak dikaji
f. Sejarah : Tidak dikaji
2. Data Subsistem
a. Lingkungan fisik
1) Dalam rumah
- Jenis rumah : 90% semi permanen, dan tidak permanen 9%
- Ventilasi : Tidak dikaji
- Lantai : Tidak dikaji
- Sumber air : Tidak dikaji
- Kebersihan : Tidak dikaji
- Penerangan : Tidak dikaji
- Jamban, dll : Tidak dikaji
2) Luar rumah
- Denah daerah : Tidak dikaji
- Kepadatan pemukiman dan perumahan : Tidak dikaji
- Polusi : Tidak dikaji
- Sampah : Terdapat sampah berserakan, masih banyak masyarakat yang
membuang sampah tidak pada tempatnya, tempat penampungan sampah
hanya ada 1, pengelolaannya belum berjalan baik, dan terlihat lalat
disekitaran rumah-rumah penduduk
- Ternak dan tumbuhan : Tidak dikaji
b. Pelayanan Kesehatan
1) Dalam komunitas
- Yang sakit : Tidak dikaji
- Fasilitas kesehatan : Posyandu 250 m, dan puskesmas 750 m, untuk
mencapai lokasi yankes, bisanya penduduk pergi ke pelayanan
kesehatan khususnya posyandu dengan berjalan kaki, sedangkan sarana
transportasi yang digunakan untuk mencapai puskesmas biasanya
menggunakan ojeg atau motor
- Fasilitas sosial : Tidak dikaji
2) Luar komunitas
- Fasilitas kesehatan : Tidak dikaji

104
- Fasilitas sosial : Tidak dikaji
c. Pendidikan
1) Status pendidikan : Tingkat pendidikan penduduk usia produktif, 10 % tidak
sekolah sama sekali, 40 % tamat SD, 32% tamat SMP, 10 % tamat SMA, dan
sisanya tamat perguruan tinggi
2) Fasilitias : Tidak dikaji
3) Drop out : Tidak dikaji
4) Reputasi sekolah : Tidak dikaji
d. Ekonomi
1) Mata pencaharian : Buruh tani 50%, wiraswasta 20%, PNS 10%, tidak
bekerja 20 %.
2) Pendapatan/penghasilan : Tidak dikaji
3) Pengeluaran : Tidak dikaji
e. Keamanan dan transportasi
1) Sarana transportasi : Ojeg, atau motor
2) System keamanan : Tidak dikaji
f. Komunikasi
1) Formal : Tidak dikaji
2) Informal : Tidak dikaji
g. Politik
1) Pemerintah : Tidak dikaji
2) Kelompok masyarakat : Tidak dikaji
h. Rekreasi
1) Dalam rumah : Tidak dikaji
2) Luar rumah : Tidak dikaji
3. Persepsi
a. Persepsi masyarakat : Tidak dikaji
b. Persepsi masyarakat terhadap kehadiran perawat/petugas : Tidak dikaji
B. Analisa Data Komunitas

NO DATA FOKUS KEMUNGKINAN


Data Subjektif Data Objektif
PENYEBAB
1. Lingkungan Fisik: a. Sebagian penduduk 90 %
Lingkungan yang kurang sehat di memiliki rumah semi permanen.
b. 9 % rumah tidak permanen.
RW 03, Kelurahan M
c. 57 % menggunakan air sungai
sebagai sumber air bersih dan
juga untuk mandi cuci kakus.
d. Berdasarkan hasil pendataan
penyakit yang banyak diderita
ialah 25 % mengalami ISPA, 15

105
% diare,
e. Hasil Windshield Survey didapat
data;
1) Sampah berserakan,
2) Masih banyak masyarakat
yang membuang sampah tidak
pada tempatnya.
3) Tempat penampungan sampah
hanya ada 1 dan
pengolahannya belum
berjalan baik.
4) Terlihat lalat di sekitar rumah-
rumah penduduk.
2. Usia Lanjut (Lansia): a. Jumlah usia lanjut (Lansia) 15 %.
b. Usia harapan penduduk 68 tahun.
c. Hasil data didapat :
1) 15 % hipertensi.
2) 2 % mengalami kelumpuhan
akibat rematik.
d. 48 % termasuk pada kategori
keluarga miskin.
e. Tingkat pendidikan usia produktif
: 10 % tidak sekolah sama sekali,
40 % tamat SD, 32 % tamat SMP,
10 % tamat SMA.
f. Sebagian penduduk 90 %
memiliki rumah semi permanen,
9 % rumah tidak permanen.
g. 57 % menggunakan air sungai
sebagai sumber air bersih dan
juga untuk mandi cuci kakus.
3. Bayi dan Balita: a. Jumlah bayi dan balita 15 %.
b. Bayi dan balita yang tercatat rutin
Kurangnya jumlah kunjungan
dalam kunjungan posyandu 40 %,
keluarga (dengan bayi dan balita) ke
jarang kunjungan ke posyandu
posyandu di RW 03, Kelurahan M
dan tidak pernah kunjungan ke
dalam meningkatkan kesehatan bayi

106
dan balita. posyandu 24 %.
c. Crude Birth Rate (CBR) 1,7 %.
d. 48 % termasuk pada kategori
keluarga miskin.
e. Tingkat pendidikan usia
produktif; 10 % tidak sekolah
sama sekali, 40 % tamat SD, 32
% tamat SMP, 10 % tamat SMA.

C. Prioritas Masalah

No Masalah Masalah Kesehatan


Keperawatan
1. Masalah Kep 1 Kesadaran Motivasi Kemampuan Ketersediaan Konsek
masyarakat masyarakat perawat untuk keahlian yang jika
akan adanya dalam mempengaruhi relevan tidak
masalah menyelesaikan dalam terseles
masalah penyelesaian
masalah
Kriteria : Kriteria : Kriteria : Kriteria : Kriteria
3 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
2 Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
1 Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Bobot 5 Bobot 10 Bobot 5 Bobot 7 Bobot 8
Perhitungan 1/3 x 5 = 5/3 1/3 x 10 = 10/3 2/3 x 5 = 10/3 2/3 x 7 = 14/3 2/3 x 8
Nilai

107
Jumlah Nilai 79/3
Prioritas

No Masalah Masalah Kesehatan


Keperawatan
2. Masalah Kep 2 Kesadaran Motivasi Kemampuan Ketersediaan Konsek
masyarakat masyarakat perawat untuk keahlian yang jika
akan adanya dalam mempengaruhi relevan tidak
masalah menyelesaikan dalam terseles
masalah penyelesaian
masalah
Kriteria : Kriteria : Kriteria : Kriteria : Kriteria
3 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
2 Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
1 Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Bobot 5 Bobot 10 Bobot 5 Bobot 7 Bobot 8
Perhitungan 1/3 x 5 = 5/3 1/3 x 10 =10/3 2/3 x 5 = 10/3 2/3 x 7 = 14/3 2/3 x 8
Nilai
Jumlah Nilai 71/3
Prioritas

No Masalah Masalah Kesehatan


Keperawatan
3. Masalah Kep 3 Kesadaran Motivasi Kemampuan Ketersediaan Konsek
masyarakat masyarakat perawat untuk keahlian yang jika
akan adanya dalam mempengaruhi relevan tidak
masalah menyelesaikan dalam terseles
masalah penyelesaian
masalah
Kriteria : Kriteria : Kriteria : Kriteria : Kriteria
3 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
2 Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
1 Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

108
Bobot 5 Bobot 10 Bobot 5 Bobot 7 Bobot 8
Perhitungan 1/3 x 5 = 5/3 1/3 x 10 = 10/3 2/3 x 5 = 10/3 2/3 x 7 = 14/3 2/3 x 8
Nilai
Jumlah Nilai 71/3
Prioritas

D. Perencanaan

Priorita
Strategi Penanggung Wakt Tempa
s Tujuan Kegiatan Biaya
jawab u t
masalah
I Tujuan panjang : 1.lomba 1.penyuluhan - Kepala Senin Balai Swaday
Rabu
kebersihan. kepada masyarakat dusun RW desa masyara
Setelah diberikan jumat
binaan tentang 03 t
tindakan 2.
kebersihan
keperawatan penyebaran - Kepala
lingkungan.
selama 4 minggu informasi. 2. memotivasi puskesmas
maka diharapkan masyarakat binaan
3. - Mahasiswa
untuk menjaga
Tidak terjadi pergerakan
kebersihan
penyakit akibat masa.
lingkungan.
lingkungan yang
3. melakukan
kurang sehat di RW
kerjabakti bersama
03 kelurahan M
masyarakat.
4. melakukan
Tujuan pendek :
lomba kebersihan
a. Masyarakat lingkungan (RW
dapat 03) dengan
mengetahui memasang poster
pentingnya dam pamflet lomba
penyediaan kebersihan.
tempat sampah
sesuai dengan

109
jenisnya
(organic dan
non organik)
b. Masyarakat
mengetahui
cara
pengolahaan
sampah
c. Masyarakat
dapat
memelihara
lingkungan
yang sehat
II Setelah dilakukan Penyebaran 1. Penyebaran - Kepala Senin Balai Swaday
Rabu
tindakan informasi poster dan unda dusun RW desa masyara
Jumat
keperawatan ngan untuk 03 t
selama 5 minggu penyu luhan - Kepala
diharapkan : lansia puskesmas
1. Angka 2. Memberikan
- Mahasiswa
kesakitan penyluhan
lansia kesehatan pada
menurun lansia tentang :
2. Keluarga Penggeraka Tumbang lansia
dan lansia n massa dan perubahan
mendapatka yang terjadi pada
n informasi lansia dan
tentang : KIE perawatan lansia
masalah yang sakit.
kesehatan
lansia dan
tumbuh
kembang

110
lansia dan
perubahan-
perubahan
yang terjadi
pada lansia,
dan
perawatan
pada lansia
yang sakit.

III Setelah dilakukan Keluarga Kunjungan Kepala dusun Senin Balai Swaday
Rabu
tindakan binaan keluarga binaan RW 03 desa masyara
Jumat
keperawatan pada yang mempunyai t
- Kepala
masyarakat selama balita:
puskesmas
5 minggu
-Memberi
diharapkan - Mahasiswa
informasi tentang
masyarakat
gizi balita.
mampu memgerti
tentang pentingnya
gizi , cara
Mendemonstrasika
menyusun menu,
n cara mengolah,
dan cara
menyusun menu
menyajikan serta
sehari-hari dan cara
mengolah makanan
menyajikan

111
bagi balita makanan yang
Masalah kurang
dapat
gizi pada balita di
meningkatkan
RW 03 turun
nafsu makan.

Penyuluhan
tentang gizi balita
pada kegaitan
posyandu

112
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Keperawatan komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang
ditujukan pada masyarakat dengan penekanan kelompok risiko tinggi dalam upaya
pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemeliharaan rehabilitasi dengan menjamin keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagi mitra dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan.
Dalam pelaksanaan Nursing Proces Community diupayakan dekat dengan
masyarakat, sehingga strategi pelayanan kesehatan utama merupakan pendekatan yang
juga menjadi acuan. Artinya upaya pelayanan atau asuhan yang diberikan merupakan
upaya yang esensial atau sangat dibutuhkan masyarakat dan secara universal upaya
tersebut mudah terjangkau.
Peran serta komunitas tersebut diartikan sebagai suatu proses dimana individu,
keluarga dan komunitas bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri dengan berperan
sebagai pelaku kegiatan upaya peningkatan kesehatannya berdasarkan asas kebersamaan
dan kemandirian. Bantuan yang diberikan karena ketidakmampuan, ketidaktahuan dan
ketidakmauan dengan menggunakan potensi lingkungan untuk memandirikan
masyarakat, sehingga pengembangan wilayah setempat (Locality Development)
merupakan bentuk pengorganisasian yang tepat digunakan.
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Diharapkan bagi setiap penduduk di suatu tempat dapat menyadari akan
pentingya kesehatan dan kebersihan di lingkungan sekitarnya.

113
2. Bagi Mahasiswa
Dapat memahami dan menganalisis kasus yang diberikan dosen sehingga
diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada mayarakat saat
dilapangan atau dilahan praktik khususnya pada keperawatan komunitas III.

3. Bagi Institusi Pendidikan


Dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengetahuan dalam menganalisis
kasus yang saat ini banyak masalah dalam kalangan masyarakat mengenai
kesehatannya.

4. Bagi Kesehatan
Diharapkan petugas kesehatan selalu meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya sesuai dengan kemajuan IPTEK. Diharapkan juga sebagai petugas
kesehatan agar mampu dalam mengatasi masalah yang saat ini sedang dihadapi oleh
banyak masyarakat mengenai gangguan kesehatannya.

114
115
116

Anda mungkin juga menyukai