Anda di halaman 1dari 12

SEPSIS

Kata sepsis berasal dari istilah Yunani yaitu busuk atau "untuk membuat busuk". Sepsis
merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke dalam
sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi (Widodo, 2004). Penelitian yang
dilakukan oleh Martin et al memperkirakan insidens sepsis di Amerika Serikat (AS) sebanyak
240 kasus per 100.000 orang, dan Angus et al melaporkan 300 kasus sepsis berat per 100.000
orang. Insiden diproyeksikan meningkat sebanyak 1,5% per tahun. Peningkatan mortalitas yang
dilaporkan pada studi-studi ini juga dilaporkan serupa, mulai dari 17,9% untuk sepsis sampai
28,6% untuk sepsis berat. Angka-angka ini diterjemahkan menjadi kurang lebih 750.000 episode
baru untuk sepsis berat, dengan mortalitas tahunan berkisar 220.000 (29%) di AS.
Tahun 1992 dua konferensi telah mengajukan konsep Systeminc
Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dengan mengenali perubahan
patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif. Kriteria SIRS
dilampirkan pada tabel 1. Sepsis sendiri mewakili SIRS yang diinduksi oleh
infeksi, sepsis berat adalah sepsis dengan disfungsi salah satu organ atau
system organ dan syok sepsis adalah sepsis berat dengan hipotensi.
Tabel 1. Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS),
diadaptasi dari konferensi konsensus American College of Chest
Physicians/Society of Critical Care Medicine.
Dua
1.
2.
3.

atau lebih dari kriteria berikut dibutuhkan :


Suhu tubuh >38C atau <36C
Laju nadi >90 kali per menit
Laju pernapasan >20 kali per menit atau pCO2 <32mmHg atau membutuhkan
ventilasi mekanik
4. Leukosit >12.000/mm3 atau <4000/mm3 atau >10% bentuk imatur

Sepsis adalah SIRS yang diikuti oleh terjadinya infeksi yang diketahui (ditentukan
dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif.
Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus
terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan
darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan
mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau sering kali sekunder terhadap fokus
infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi
atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada:
1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental

Berdasarkan pada konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan terhadap
kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria
diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukan petanda
biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CPR), sebagai langkah awal
dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem
tingkatan Predisposition, insult infection, response, and organ disfunction (PIRO) untuk
menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi
gejala dan resiko yang individual.

P
Predispotion

Genetic susceptibility
Resistance to antimicrobials
Coexisting, health
complications

I
Infection

Pathogen, toxicity and immunity


Location and comparmentalization
R

Response

Increased blomarkers/blomediators
Manifested physiologic symptoms
O

Organ
Disfunction

Number of falling organs

Optimum Induvidualized Treatment


Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis
(PIRO) (Dikutip dari levy MM, et all.1256)

ETIOLOGI

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60 sampai 70 %
kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan
terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan
jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS
bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphlococci, Pneumococci,
Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian
20 sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Seain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes)
atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infuse
substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksik. Peptidoglikan
diketahui dapat memberikan agregasi trombosit. Eksotoksik yang dihasilkan oleh berbagai
macam kuman, misalnya -hemolisin (S. Aurens), E. Coli hemolisin (E. coli) dapat merusak
integritas membrane sel imun secara langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksik gram negatif
dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan system
imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS
sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut factor
nekrosis tumor (Tumor nekrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita
immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri, beberapa
disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh penyebab-penyebab
lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin menyebabkan SIRS.
a) Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan
sepsis.
b) Streptococcus grup B merupakan penyebab umum sepsis diikuti dengan Echerichia coli,
malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen
lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria,
rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
c) Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan.
d) Perawatan antenatal yang tidak memadai.
e) Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus.
f) Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
g) Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
h) Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasid pada neonatus.
Agen-agen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi hampir segala lokasi
organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan, tempat operasi,
kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi atau racun-racun mereka (atau keduaduanya) kemudian menyebar secara langsung atau tidak langsung kedalam aliran darah. Hal ini
memungkinkan mereka untuk menyebar ke hampir segala sistim organ lain. Kriteria SIRS

muncul ketika tubuh mencoba untuk melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang
dilahirkan darah ini. Penyebab-penyebab bakteri yang umum dari sepsis adalah gram-negative
bacilli(contohnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens), S. aureus, jenis-jenis Streptococcus dan
jenis-jenis Enterococcus; bagaimanapun, ada sejumlah besar jenis bakteri yang telah diketahui
menyebabkan sepsis. Jenis-jenis Candida adalah beberapa dari jamur yang paling sering
menyebabkan sepsis. Pada umumnya, seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga
tindakan-tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung-sarung tangan steril, maskermasker, dan penutup baju harus dipertimbangkan tergantung pada sumber infeksi pasien.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya di dahului oleh tanda-tanda sepsis non
spesifik, meliputi
1. Demam,
2. Menggigil,
3. Gejala konstitutif seperti lelah, malaise gelisah dan kebingungan.
Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam
kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru, fraktur digestifus,
traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan
penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulosiopenia.
1. Tanda dan Gejala Umum
a. Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal.
b. Aktivitas lemah atau tidak ada
c. Lelah, malaise, kebingungan dan gelisah
2. Sistem Pernafasan
a. Dispenu
b. Takipneu
c. Apneu
d. Tampak tarikan otot pernafasan
e. Mengorok
f. Pernapasan cuping hidung
g. Sianosis
3. Sistem Kardiovaskuler
a. Hipotensi
b. Kulit lembab dan dingin
c. Pucat
d. Takikardi
e. Bradikardi
f. Edema ekstremitas

g. Henti jantung
4. Sistem Pencernaan
a. Distensi abdomen
b. Anoreksia
c. Muntah
d. Diare
e. Menyusu buruk
f. Peningkatan residu lambung setelah menyusu
g. Darah samar pada feces
h. Hepatomegali
5. Sistem Saraf Pusat
a. Refleks moro abnormal
b. Intabilitas
c. Kejang
d. Hiporefleksi
e. Fontanel anterior menonjol
f. Tremor
g. Koma
h. Pernafasan tidak teratur
i. High-pitched cry
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapa diakibatkan oleh Sepis diantaranya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Sindrom Distress Pernapasan Dewasa (ARDS/Adult Respiratory Disease Syndrome)


Koagualasi Intravascular Diseminata (KID)
Gagal Ginjal Akut (ARF/Acute Renal Failure)
Perdarahan Usus
Gagal Hati
Disfungsi System Saraf Pusat
Gagal Jantung
Kematian

Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian berbeda
adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23% untuk ARF,
dan 8-18% untuk DIC. Pada syok septic, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%,
gagal ginjal 50%.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisis

Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan
pasien dengan dugaan infeksi pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap
abses rectal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis,
prostatitis.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial,
urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektolit, uji
fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen
dada.biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
b. Lakukan Gram stain ditempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang
pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus
diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1
bakterium/ml pada dewasa (1-5ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy
broyh dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam intermiten,
bakterimia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotic sudah dimulai,
beberapa macam antibiotic dapat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada
status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan
c. foto abdomen,
d. CT Scanning,
e. MRI,
f. elektrokardiografi,
g. dan/atau lumbar puncture.
Temuan laboratorium lain :
a. Sepsis Awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan
proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan
dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator.
Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
b. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan
fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot
pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum.
c. Asidosis metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator
d. Hipoksemia tidak dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlan gejala SIRS dan berat proses
penyakit.

TERAPI/PENGOBATAN

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol
sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang
sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi
suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons
imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan
a) airway (A),
b) breathing (B),
c) circulation (C)
Dengan oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik,
dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang
mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg,
urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka
dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin
(sampai maksimal 20 g/kg/menit).

2. Eliminasi sumber infeksi


Tujuannya untuk menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada
umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan
implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti
resusitasi yang adekuat.
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur
diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen
bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena
pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada
keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya
pada sepsis berat dan gagal multi organ. Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 4872 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi,
tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi

b.

c.

d.
e.

f.

g.

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
Terapi cairan
a) Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer
laktat) maupun koloid.1,6
b) Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi
tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
c) Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan
adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah
dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik
90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5g/kg.menit,
phenylepherine 0.5-8g/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5g/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit, dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.10.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone)
Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik
Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin
dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi
ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi
pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi
kontinu.
Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis),
ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi:
kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini
mungkin.
Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin
baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula
darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena
ada risiko hipoglikemia.

h. Gangguan koagulasi

Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC
(konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada
sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses
fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan
organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor
pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan
mortalitas.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50
mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid
sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI;
antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (Nasetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator
(imunoglobulin, IFN-, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin,
dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam
sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama
generik dari bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk
menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang
tinggi.
Penanganan Severe sepsis dan syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi
infeksi, mencapai hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan
memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC)
adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi internasional dengan tujuan membuat
pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based dan rekomendasi untuk
penanganan Severe sepsis dan syok septik.
Penanganan berdasarkan SSC:
1. Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h)
Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien
didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di
ICU. Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome.
Dalam 6 jam pertama Golden hours merupakan kesempatan yang kritis pada pasien.
Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat >
4mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup
pemberian antibiotik empirik dan mengendalikan penyebab infeksi.
a. Resusitasi Hemodinamik
Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak dapat
memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan
vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP 65mmHg, produksi urin 0,5
cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior 70% atau saturasi mixed vein 65%

b. Terapi inotropik dan Pemberian PRC


Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC
dapat dipertimbangkan. Hematokrit 30% diinginkan untuk menjamin oxygen
delivery. Meningkatkan cardiac index dengan pemberian dobutamin sampai
maksimum 20ug/kg/m.
c. Terapi Antibiotik
Antibiotik segera diberikan dalam jam pertama resusitasi awal. Pemberian antibiotik
sebaiknya mencakup patogen yang cukup luas. Terdapat bukti Bahwa pemberian
antibiotik yang adekuat dalam jam pertama resusitasi mempunyai korelasi dengan
mortalitas.
d. Identifikasi dan kontrol penyebab infeksi
Diagnosis tempat penyebab infeksi yang tepat dan mengatasi penyebab infeksi dalam
6 jam pertama. Prosedur bedah dimaksudkan untuk drainase abses, debridemen
jaringan nekrotik atau melepas alat yang potensial terjadi infeksi.
2. Sepsis Management Bundle (24 h bundle)
a. Steroid
Steroid diberikan bila pemberian vasopressor tidak respon terhadap hemodinamik
pada pasien syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah (<300mg/hari) dapat
dipertimbangkan pada pasien syok septik dengan hipotensi yang tidak respon
terhadap resusitasi cairan dan vasopressor.
b. Ventilasi Mekanik
Lung Proteti ve strategies untuk pasien dengan ALI/ARDS yang menggunakan
ventilasi mekanik sudah diterima secara luas. Volume tidal rendah (6cc/kg) dan batas
plateau pressure 30 cmH2O diinginkan pada pasien dengan ALI/ARDS. Pola
pernapasan ini dapat meningkatkan PaCO2 atau hiperkapnia permisif. Pemberian
PEEP secara titrasi dapat dicoba untuk mencapai sistem pernapasan yang optimal.
c. Kontrol Gula Darah
Beberapa penelitian menunjukkan penurunan angka kematian di ICU dengan
menggunakan terapi insulin intensif. Peneliti menemukan target GD < 180mg/ dl
menurunkan mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode
hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah
mempertahankan gula darah < 150 mg/dl.
d. Recombinant Human-Activated Protein C (rhAPC)
Pemberian rhAPC tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko kematian yang rendah
atau pada anak-anak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan
risiko kematian tinggi (APACHE II25 atau gagal organ multipel)
e. Pemberian Produk darah
Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target
Hb antara 7-9 g/ dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk
memperbaiki hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali
ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian
trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa memperhatikan
perdarahan.

Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis:


1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
abnormalitas yang membahayakan jiwa
(ABC: airway, breathing, circulation).
Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas klien. Intubasi diperlukan juga untuk
memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan
konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk
jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah
memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid
atau koloid) dan inotop/vasopresor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau
norefinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP (central
venous arteri) normal 10-15 cm dari NaCLl; PAW normal (wedge pressure artery paru)
14-18mmHg, pertahankan volume plasma yang adekuat dengan infuse cairan.
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien
(tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya
tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai
dengan obat. Pertimbangkankan dialysis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan
tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, missal, dopamin,
dobutamin, atau norepinefrin.
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Agen antimicrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa
antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan
lebih banyak masalah bagi pasien. Antimicrobial yang tidak menyebabkan pasien
memperburuk adalah: karbapenem, seftriakson, safepim, glikopeptida, aminoglikosida,
dan quinolon.
Perlu segera diberikan perawatan empiric dengan antimicrobial. Pemberian
antimicrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan angka
mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimicrobial
dengan spectrum aktivitas luas. Hal ini karena terapi antimicrobial hampir selalu
diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis di identifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis adalah:
a. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.
Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepin) diberikan
dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
b. Pneumonia nosokomial: sefipin atau iminemsilastatin dan aminoglikosida
c. Infeksi abdomen : iminepem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida.
Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dan
amfoterisin-B.
d. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau pipersilin-tazobaktam.
e. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.
f. Infeksi SPP: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem.

g. Infeksi SSP nosokomial SSP: meropenem dan vankomisin.


Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk
menunjukkan bahwa bahan antimicrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab
sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab
sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotic menunjukkan macam
antimicrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.
3. Fokus Infeksi Awal Harus Diobati
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobic.
Angkat organ yang tak terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang ganggren.

DAPUS
Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the United
States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003;348:1546-54.
Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of
severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and
associated costs of care. Crit Care Med
2001;29:1303-10.
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines
for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus
Conference Committee. American College of Chest Physicians/Society of Critical
Care Medicine. Chest 1992;101:1644-55.
Bone RC, Sibbald WJ, Sprung CL. The ACCP-SCCM consensus conference on sepsis and
organ failure. Chest 1992;101:1481-3.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis
Definitions Conference. Intensive Care Med 2003;29:530-8.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis
Definitions Conference. Crit Care Med 2003;31:1250-6.
Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.

Anda mungkin juga menyukai