Anda di halaman 1dari 28

TUGAS PRESENTASI KASUS

Para 0 Abortus 1 usia 23 tahun post SOD dan drilling salping sinistra atas indikasi
kistoma ovarii dextra dan hidrosalping bilateral

Pembimbing :
dr. Herman Sumawan, Sp.OG

Disusun Oleh:
Athifa Muthmainnah
Annisa Fatimah

G4A014119
G4A014120

Fitria Nurlaely

G4A014121

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :
Para 0 Abortus 1 usia 23 tahun post SOD dan drilling salping sinistra atas
indikasi kistoma ovarii dextra dan hidrosalping bilateral
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian
di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun Oleh :

Athifa Muthmainnah
Annisa Fatimah

G4A014119
G4A014120

Fitria Nurlaely

G4A014121

Purwokerto,

Desember 2015

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Herman Sumawan, Sp.OG

BAB I
PENDAHULUAN

Kista ovarii merupakan tumor pada ovarium yang dapat bersifat jinak
maupun ganas, dapat berupa tumor non neoplastik maupun neoplastik.
Kistadenoma serosum non papiliferum multilokuler merupakan salah satu tumor
ovarium neoplastik jinak yang berbentuk kistik (Prawirohardjo, 2009).
Prevalensi kista ovari berkisar 14-18% dari jumlah kista di bagian
gynekologi. Kista ovari lebih sering diderita oleh wanita nonproduktif dengan
18% wanita post menopause menderita kista ovari simpleks dan 21% menderita
tipe lain dari massa ovary. Penelitian yang dilakukan oleh Greenlee et al.(2011)
menyatakan bahwa prevalensi kista ovari pada wanita berusia 55-59 tahun
berkisar 16% dan wanita berusia 60 tahun berjumlah 13%. Kejadian kista
ovarium di negara industri barat yakni sekitar 1.4% (1 dari 70 wanita) akan
menderita penyakit ini. Sumber lain mencatat, jumlah tertinggi ada di negara
maju, dengan rata-rata 10 per 100.000. Insiden di Indonesia kista ovarium
ditemukan 2.39-11.7% pada semua masalah ginekologi.
Hidrosalping merupakan salah satu kondisi dari salphingo-ooforitis kronik.
Pada hidrosalping terdapat penutupan ostium tuba abdominale. Seringkali
ditemukan bilateral dan dapat berupa hidrosalping simpleks dan hidrosalping
follikularis. Pada hidrosalping simpleks hanya ada satu ruangan berdinding tipis
dan pada hidrosalping folikularis terdapat ruangan-ruangan kecil yang berisi
cairan (Prawirohardjo, 2009).
Insidensi hidrosalping bervariasi yang bergantung pada simptomatologi yang
dilaporkan. Sebuah penelitian yang melibatkan 200 wanita asimptomatik dan
menjalani sterilisasi laparoskopik, ditemukan 1.5% yang menderita hidrosalping.
Penelitian prospektif pada 378 pasien

premenopause yang menjalani bedah

ginekologi untuk infertilitas, nyeri pelvis, fibroid uterus, hiperplasi endometrium


atau massa adneksa, prevalensi hidrosalping ditemukan berkisar 7%. Penelitian
terbaru menyatakan angka kejadian hidrosalping berkisar 3.7% (Petruzzi et al.,
2012).

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1

2.2

IDENTITAS PASIEN
a. Nama
: Ny. Jian Fitrasari
b. Usia
: 23 tahun
c. Alamat
: Kalilangkap RT 2/2 Bumiayu
d. Waktu datang
: 27 Oktober 2015
ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Nyeri pada bagian perut sejak 1hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri
kepala dan nyeri dada menjalar
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kandungan dan Kebidanan RSUD Prof. dr.
Margono Soekarjo Purwokerto untuk kontrol kista ovarium yang
terdiagnosis pada tahun 2013. Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai nyeri kepala dan
nyeri dada menjalar. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat menstruasi
hingga mengganggu aktivitas dan darah yang dikeluarkan banyak hingga
6-8 kali mengganti pembalut dalam satu hari. Keluhan keluar darah dari
jalan lahir di luar siklus menstruasi, keputihan, dangan gangguan saat
BAB/BAK disangkal.
Riwayat menstruasi: Menarche usia 13 tahun, siklus haid teratur 28 hari,
lama haid 7 hari, ganti pembalut 6-8 kali sehari, nyeri saat haid.
Riwayat obstetri: P0A1 kehamilan pertama abortus di usia kehamilan 3
bulan, tidak dikuret.
Riwayat nikah: 1 kali, sudah berlangsung selama 3 tahun 6 bulan
Riwayat kontrasepsi: tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi
: disangkal
2. Riwayat asma
: disangkal
3. Riwayat alergi
: disangkal
4. Riwayat kencing manis
: disangkal
5. Riwayat penyakit jantung
: disangkal
6. Riwayat penyakit paru
: disangkal
7. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
8. Riwayat penyakit lain
: Kista ovarium terdiagnosis tahun
2013, tidak pernah kontrol.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi

: disangkal
4

2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat asma
Riwayat kencing manis
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit ginjal
Riwayat penyakit kandungan

riwayat kanker ovarium


e. Riwayat Sosial Ekonomi
1. Kebiasaan Olahraga
2. Konsumsi alkohol
3. Konsumsi buah dan sayur
4. Riwayat Psikologis
2.3

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: Kakak dari ibu pasien memiliki

: Jarang
: Disangkal
: Jarang
: Pasien merasa stress karena belum

memiliki anak
PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum/kesadaran : tampak sakit/compos mentis
b. Vital sign
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 76 x/menit
Respiratory Rate
: 20 x/menit
Suhu
: 36,7 0C
c. Tinggi Badan : 162 cm
Berat Badan : 77 kg
d. Pemeriksaan Kepala
Mata
: Ca (-/-) Si (-/-)
Hidung
: disch (-/-) nch (-/-)
Mulut
: Sian (-)
e. Pemeriksaan leher
Thyroid
: tak ada kelainan
f. Pemeriksaan dada
Cor
: S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
: Suara Dasar Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Dinding dada : Simetris
g. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : cembung
Hepar/lien
: sulit dinilai
Usus
: bising usus (+) normal
h. Pemeriksaan punggung : tak ada kelainan
i. Pemeriksaan coxae : tak ada kelainan
j. Pemeriksaan genitalia eksterna : tak ada kelainan
k. Pemeriksaan ekstremitas :
Edema

l. Pemeriksaan limphonodi: tak ada kelainan


m. Pemeriksaan reflek : tak ada kelainan
5

n. Pemeriksaan turgor kulit: capillary refill < 2 detik


o. Pemeriksaan akral : hangat
2.4

PEMERIKSAAN LOKAL
a. Status lokalis abdomen
1. Inspeksi : cembung, distensi (+), umbilicus cembung, spider nevi
(-), caput medusa (-), venektasi kolateral (-)
2. Auskultasi : bising usus (+) normal
3. Perkusi

: redup

timpani timpani

timpani timpani timpani


timpani timpani timpani
4. Palpasi

2.5

: nyeri tekan (+) minimal regio hipogastrik, nyeri


lepas tekan (-), undulasi (+)
b. Status Genitalia Eksterna
Perdarahan Per Vaginam (-)
Fluor Albus (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik (27 Oktober 2015)
Px DARAH

Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
PT
APTT

HASIL

NILAI NORMAL

Darah Lengkap
13,2
11,2-15,7
H
14570
3980-10040
44
34-45
5,0
3.9-5,2
281.000
150.000450.000
87,5
79,0-99,0
L
26,6
27,0-31,0
L
20,3
33,0-37,0
H
15,3
11,5-14,5
H
11,2
7,2-11,1
H
L

0,5
0.0-1,0
5,0
2,0-4,0
0,5
2,0-5,0
64,2
40,0-70,0
25,7
25,0-40,0
4,1
2,0-8,0
9,7
9,9-11,4
32,9
29,0-40,2
Kimia klinik

SATUAN

g/dL
U/L

10^6/Ul
/uL
fL
Pg

fL
%
%
%
%
%
%
Detik
Detik

Glukosa sewaktu
84
<=200
Elektrolit
Natrium
140
136-145
Kalium
3,7
3,5-5,1
Klorida
102
98-107
Kalsium
8,5
8,4-10,2
Tabel 2. Pemeriksaan Darah (28 Oktober 2015)
PEMERIKSAAN
DARAH
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit

HASIL

L
L
H
H
L
L
H
L

NILAI
NORMAL
Darah Lengkap
11,8
11,2-15,7
18640
3980-10040
39
34-45
4,6
3.9-5,2
258.000
150.000450.000
85,7
79,0-99,0
25,7
27,0-31,0
29,9
33,0-37,0
15,5
11,5-14,5
11,4
7,2-11,1
Hitung Jenis
0,3
0.0-1,0
0,7
2,0-4,0
0,5
2,0-5,0
83,4
40,0-70,0
11,5
25,0-40,0
3,6
2,0-8,0

mg/dL
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
SATUAN
g/dL
U/L

10^6/Ul
/uL
fL
Pg

fL
%
%
%
%
%
%

b. USG
Uterus agak membesar, dengan massa heterogen korpus posterior, massa
kistik di anterior uterus, multilokuler ukuran diameter 4 cm dan 3 cm.
Kesan suspek kista endometriosis. Diferensial diagnosis tubo-ovarian
2.6

2.7

abcess.
DIAGNOSA KLINIK DI POLIKLINIK KEBIDANAN
Para 0 Abortus 1 usia 23 tahun dengan kista ovarium dan uterus
miomatosus
TINDAKAN DAN TERAPI
Instruksi dr Sutrisno Sp.OG (tanggal 27 Oktober 2015)
a. Rawat Teratai
b. Program Laparotomi Eksplorasi

2.8

FOLLOW UP BANGSAL TERATAI


Tabel 3. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal Teratai
Tanggal
S
O
A
Nyeri
KU/ Kes:
P0A1 usia 23 tahun
perut
baik/compos
dengan kista ovarium
mentis
dan uterus miomatosus
TD: 110/80
mmHg
N: 76 x/mnt
RR: 20 x/mnt
S: 36,7 C
Status Generalis
Mata: CA -/- SI
-/Thoraks:
P/ SD ves +/+,
ST -/C/ S1>S2, reg,
ST
Status Lok.
Abd.
I: datar
A : BU (+)
28/10/2015
normal
Per: redup
Pal: NT +
minimal
Status GE:
PPV (-)
FA (-)
Status
Vegetatif:
BAB (+) BAK
(+)
FL (+)
Lab
Hb : 13.2 g/dL
Leu: 14570 U/L
Ht : 44
Eri : 5,0 x
10^6/Ul
Trom:
281.000 /Ul
29/10/2015 Nyeri
KU/ Kes:
P0A1 usia 23 tahun

P
IVFD RL20
tpm
Program
laparotomi
eksplorasi

Infus RL D5
8

perut di
bagian
bekas
jahitan
operasi

30/10/2015 Tidak ada


keluhan

baik/compos
mentis
TD: 110/70
mmHg
N: 88 x/mnt
RR: 20 x/mnt
S: 36,7 C
Status Generalis
Mata: CA -/- SI
-/Thoraks:
P/ SD ves +/+,
ST -/C/ S1>S2, reg,
ST
Status Lok.
Abd.
I: datar
A : BU (+)
normal
Per: redup
Pal: NT (+)
region
hipogastrik
Status GE:
PPV (-)
FA (-)
Status
Vegetatif :
BAB (-) BAK
(+) kateter
FL (+)
Lab
Hb : 11.8 g/dL
Leu: 18640 U/L
Ht : 39
Eri : 4,6 x
10^6/Ul
Trom:
258.000 /Ul
KU/ Kes:
baik/compos
mentis
TD: 110/70
mmHg
N: 80 x/mnt

post SOD + drilling


salping sinistra atas
indikasi kista ovarii
dextra dan hidrosalping
bilateral

P0A1 usia 23 tahun


post SOD + drilling
salping sinistra atas
indikasi kista ovarii
dextra dan hidrosalping
bilateral

RL D5
NaCl 0.9% 25
tpm
Klindamisin
2x300 mg
Metronidazole
2x500 mg
Ketorolak
2x30 mg
Ranitidin 2x1
tab

Boleh Pulang

RR: 20 x/mnt
S: 36,5 C
Status Generalis
Mata: CA -/- SI
-/Thoraks:
P/ SD ves +/+,
ST -/C/ S1>S2, reg,
ST
Status Lok.
Abd.
I: datar
A : BU (+)
normal
Per: redup
Pal: NT (+)
region
hipogastrik
Status GE:
PPV (-)
FA (-)
Status
Vegetatif:
BAB (-) BAK
(+)
FL (+)
2.9

DIAGNOSA AKHIR
Para 0 Abortus 1 usia 23 tahun post SOD dan drilling salping sinistra atas
indikasi kistoma ovarii dextra dan hidrosalping bilateral

2.10

PEMERIKSAAN PA
Ovarium Dextra : Kistadenoma Serosum Non Papiliferum Multilokuler

2.11

PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN
10

Diagnosis awal kasus saat di Poliklinik Kandungan adalah Para 0 Abortus 1 usia
23 tahun dengan kista ovarium dan uterus miomatosus, pasien mengeluh nyeri
pada bagian perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (27 Oktober 2015).
Beberapa hal yang perlu dibahas berkaitan dengan diagnosis ini antara lain:
a. Riwayat obstetri Para 0 Abortus 1
Paritas adalah jumlah anak atau jumlah kelahiran hidup yang dimiliki oleh
seorang wanita. Wanita yang sudah pernah hamil atau multipara memiliki
resiko lebih rendah untuk mengalami kista ovarium daripada wanita yang
belum pernah hamil atau nullipara (Hunn & Rodriguez, 2012). Beberapa
hipotesis mengungkapkan bahwa menyebutkan bahwa pada saat terjadinya
ovulasi akan terjadi kerusakan pada epitel ovarium. Untuk proses perbaikan
kerusakan ini diperlukan waktu tertentu. Apabila kerusakan epitel ini terjadi
berkali-kali terutama jika sebelum penyembuhan sempurna tercapai, atau
dengan kata lain masa istirahat sel tidak adekuat, maka proses perbaikan
tersebut akan mengalami gangguan sehingga dapat terjadi transformasi
menjadi sel-sel neoplastik. Hal ini dapat menjelaskan bahwa wanita yang
memiliki paritas lebih dari 2 akan menurunkan risiko terjadinya kista ovarium
(Karst, 2009). Pada pasien ini, risiko terjadinya kista ovarium memang ada
mengingat pasien ini belum memiliki anak hidup sama sekali. Pasien hanya
pernah hamil satu kali setelah menikah 2 tahun dan mengalami abortus di usia
kehamilan 3 bulan.
b. Usia muda (gaya hidup)
Gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang
mengandung banyak lemak dan kurang serat, zat tambahan pada makanan,
kurang olahraga, merokok dan konsumsi alkohol serta stres mampu
menimbulkan gejala-gejala kista. Merokok dan alkohol dapat menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap kista ovarium 2x lipat dibandingkan dengan
yang tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol. Aktivitas fisik yang cukup
akan mengurangi timbulnya tumor. Namun bagi pasien yang memiliki obesitas
akan memiliki resiko terkena kista 2x lipat dibandingkan dengan yang tidak
obesitas (Oemiati et al., 2011). Gaya hidup yang tidak sehat dapat

11

mengakibatkan terjadinya obesitas, dimana obesitas akan meningkatkan


terjadinya kista ovari.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa gaya hidup dan kebiasaan nutrisi
mempengaruhi munculnya penyakit. Diet yang tepat merupakan faktor
penting dalam memulai dan menjaga fungsi normal dari fertilitas. Koreksi
terhadap gaya hidup melalui pengaturan diet dan olahraga bertujuan untuk
menormalkan kadar androgen dan mengatur ovulasi dipertimbangkan sebagai
managemen pertama bagi pasien. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan resiko infertilitas karena
kegagalan ovulasi dan diet tinggi protein hewani, karbohidrat lengkap,
makanan dengan index glikemik tinggi, susu rendah lemak dan soda.
Resistensi insulin menyebabkan hiperandrogenemia dan fungsi ovarium
normal, tetapi produk susu mengurangi resistensi insulin, dan susu rendah
lemak berkaitan dengan hiperandrogenemia. Altieri et al.(2013) meneliti
bahwa kebiasaan makan pada wanita obes dengan kista ovarium dan
hubungannya dengan hormon dan metabolisme, dan didapati bahwa rerata
konsumsi kue, keju, dan makanan berminyak lebih tinggi pada wanita dengan
kista ovarium. Fakta dari beberapa penelitian menyatakan bahwa hormonal,
metabolik dan status klinis membaik setelah melakukan diet. Penelitian
menyebutkan bahwa perempuan dengan kista ovarium memiliki aktivitas fisik
yang lebih sedikit disbanding dengan wanita sehat yang rata-rata memiliki
aktivitas fisik yang tinggi. Sekarang, koreksi terhadap gaya hidup dan
olahraga yang menormalkan kadar androgen dan meningkatkan ovulasi adalah
terapi utama bagi pasien. Latihan yang melibatkan otot-otot yang lebih besar
dapat mengurangi resistensi insulin dan merupakan bagian penting dari terapi
non-medis. Latihan dan aktivitas fisik mengurangi lemak tubuh, yang
merupakan penyimpanan untuk estrogen dan hormon steroid (Sedighi et al.,
2015).
c. Obesitas
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk

12

jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh konsumsi


makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh
rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan
(Rajender et al., 2014).
Faktor-faktor yang berperan pada obesitas dikelompokkan menjadi faktor
epigenetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berperan sebagai
penyebab terjadinya obesitas yaitu nutrisional (perilaku makan), aktivitas
fisik, trauma (nerologis dan psikologis), medikamentosa (steroid), dan sosial
ekonomi. Faktor epigenetik memainkan peranan penting pada obesitas.
Terdapat dua mekanisme utama yang terlibat dalam regulasi epigenetik yaitu
DNA cytosine methylation dan histone modifications. Asupan rendah dari
kelompok methyl (choline, methionine, genistein, dan folate) selama masa
pertumbuhan akan mengakibatkan perubahan dalam ekspresi gen dan
mengubah epigenome menuju obesitas di masa dewasa (Smith, 2015).
Salah satu cara penentuan obesitas adalah dengan menggunakan Indeks
Massa Tubuh (IMT). IMT dapat menggambarkan lemak tubuh yang
berlebihan secara sederhana. Pengukurannya hanya membutuhkan 2 data,
yaitu berat badan dan tinggi badan (berat badan dalam kilogram dibagi dengan
kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Smith, 205). Pasien memiliki berat
badan 77 kg dan tinggi badan 162 cm sehingga pasien memiliki IMT 29.34
yang termasuk kategori obesitas.
Jaringan adiposa pada obesitas akan semakin banyak dan dapat
menyebabkan peningkataan produksi leptin dan resistin, dan penurunan dari
produksi adiponektin. Leptin dan resistin memiliki interaksi potensial dengan
aksis hipotalamus-hipofisis, ovarium, oosit, dan saluran reproduksi yang dapat
memberikan ekel langsung maupun tidak langsung pada reproduksi (Mitchell,
2005).
d. Genetik
Pengaruh riwayat keluarga secara teori dan beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa riwayat keluarga merupakan determinan dari kanker
ovarium. Diperoleh resiko sebesar 5% pada penderita yang memiliki satu
saudara dengan kanker ovarium dan meningkat menjadi 7% bila mempunyai

13

dua saudara dengan kanker ovarium. Beberapa studi genetik mengungkapkan


bahwa adanya riwayat keluarga yang menderita kanker ovarium atau kanker
payudara telah menyebabkan terjadinya mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA
2. Gen BRCA 1 dan BRCA 2 merupakan gen yang memiliki fungsi untuk
mendeteksi terjadinya kerusakan dalam untai ganda DNA sel, mekanisme
kerjanya adalah berikatan dengan protein RAD51 selama perbaikan untai
ganda DNA, dimana gen ini mengadakan perbaikan didalam inti sel dengan
mekanisme rekombinasi homolog yang berdasarkan dari sel sebelumnya,
rekombinasi ini menyesuaikan dengan kromosom dari sel induk, sehingga
kerusakan pada gen ini menyebabkan tidak terdeteksinya kerusakan gen
didalam sel dan sel yang mengalami mutasi tidak dapat diperbaiki sehingga
tumbuh sel yang bersifat ganas yang berpoliferasi menjadi jaringan kanker
(Hunn & Rodriguez, 2012)
e. Infertilitas
Infertilitas merupakan salah satu manifestasi yang dapat disebabkan oleh
kelainan ovarium dan tuba falopii seperti PCOS, kista ovarii, hidrosalping,
massa pada tuba falopii, dan adhesi dari tuba falopii maupun rongga pelvis.
Berdasarkan penelitian Bhaumik (2015), yang menganalisis penyebab
infertilitas pada 150 wanita infertil dengan menggunakan laparoskopi,
sebanyak 18.26% wanita mengalami infertilitas karena kelainan pada ovarium
dan 37.3% wanita mengalami infertilitas karena kelainan pada tuba falopii.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1

Kista Ovarium
a. Definisi
Kista ovarii merupakan tumor pada ovarium yang dapat bersifat
jinak maupun ganas, dapat berupa tumor non neoplastik maupun
neoplastik.

Kistadenoma

serosum

non

papiliferum

multilokuler

merupakan salah satu tumor ovarium neoplastik jinak yang berbentuk


kistik (Prawirohardjo, 2009).

14

b. Epidemiologi
Prevalensi kista ovari berkisar 14-18% dari jumlah kista di bagian
gynekologi. Sumber lain menyebutkan prevalensi kista ovari berjumlah
4% dari wanita dengan usia rata-rata 65 tahun. Kista ovari lebih sering
diderita oleh wanita nonproduktif dengan 18% wanita post menopause
menderita kista ovari simpleks dan 21% menderita tipe lain dari massa
ovari. Sebagian besar kista ovari didiagnosis sebagai tumor jinak
(Bottomley et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Greenlee et al.
(2011) menyatakan bahwa prevalensi kista ovari pada wanita berusia 5559 tahun berkisar 16% dan wanita berusia 60 tahun berjumlah 13%.
Kejadian kista ovarium di negara industri barat yakni sekitar 1.4%
(1 dari 70 wanita) akan menderita penyakit ini. Sumber lain mencatat,
jumlah tertinggi ada di negara maju, dengan rata-rata 10 per 100.000,
kecuali di Jepang (6.4 per 100.000). Insiden di Amerika Selatan (7.7 per
100.000) relatif tinggi bila dibandingkan dengan angka kejadian di Asia
dan Afrika. Insiden di Indonesia kista ovarium ditemukan 2.39-11.7%
pada semua masalah ginekologi. Di RSU Dharmais, ditemukan penderita
kista ovarium sebanyak 30 kasus per tahun.
Tumor epitel ovari terdiri dari setengah dari semua kasus tumor,
40% diantaranya adalah jinak. Tumor serous jinak terdiri dari kista
adenoma, adenofibroma, dan kista adenofibroma. Sebanyak 25% dari
tumor jinak, 58% diantaranya merupakan jenis tumor ovari serosa
(Sujatha dan Sunkavalli, 2009).
c. Faktor resiko
1) Faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker ovarium
dan payudara.
2) Faktor lingkungan (polutan zat radio aktif)
3) Gaya hidup yang tidak sehat
4) Ketidak seimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya
akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang ovulasi dan obat
pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.
(Winkjosastro, 2007).
d. Diagnosis

15

1. Anamnesis
Kista ovarii seringkali tidak menimbulkan gejala dan seringkali
ditemukan saat pemeriksaan pelvis atau USG rutin. Namun, beberapa
kista dapat menimbulkan gejala-gelaja seperti (Bottomley& Bourne,
2009):
a) Nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian bawah pusat
b) Nyeri hebat apa bila terjadi rupture dan torsi kista
c) Dispareunia
d) Mikturisi, jika menekan vesika urinaria
e) Siklus menstruasi tidak teratur
f) Pubertas prekoks dan menarche di usia muda
g) Rasa penuh di abdomen
h) Trias endometriosis, yaitu nyeri, disminorrhea, dan dispareunia jika
terdapat kista endometriosis (endometrioma)
i) Gejala polycystic ovarian syndrome (PCOS), seperti hirsutisme,
infertilitas, oligomenorrhea, obesitas, dan acne.
j) Tenesmus
k) Nyeri pelvis bilateral, mungkin terjadi pada kasus kista teka-lutein
l) Takikardi dan hipotensi dapat terjadi jika terdapat perdarahan
akibat rupturnya kista
m) Hiperpireksia, salah satu komplikasi yang dapat terjadi jika terjadi
torsio kista
n) Kakeksia dan penurunan berat badan, limfadenopati di leher, nafas
pendek, dan tanda-tanda efusi pleura apabila kista merupakan
keganasan.
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi abdomen, kista yang besar menyebabkan asites dan
dapat membuat perut menjadi cembung. Kista yang besar dapat teraba
saat palpasi abdomen, namun pada pasien obesitas dan asites berat,
palpasi sulit untuk dilakukan (Bottomley& Bourne, 2009).
3. Pemeriksaan penunjang
a) Ultrasonografi
Pada USG akan didapatkan massa anekoik, memiliki dinding tipis
dan kadang berseptum, terletak intraovarian. Dapat berupa massa
unilokulerata multilokuler, dapat pula ditemukan kista hemoragik
seperti pada endometrioma dan kista dermoid (Bottomley&
Bourne, 2009).
b) Tes Kehamilan

16

c) Darah lengkap
Dilakukan untuk mengetahui adanya anemia yang diakibatkan oleh
perdarahan akut.
d) Urinalisis
Untuk menyingkirkan penyebab nyeri abdomen atau nyeri pelvis
lain seperti infeksi saluran kemih dan batu ginjal
e) Swab endoserviks
Untuk menyingkirkan pelvic inflammatory

disease

yang

disebabkan oleh Chlamydia dan gonorrhea


f) CA-125
Merupakan protein yang diekspresikan oleh membrane selovarium
normal. Jika kadarnya meningkat, maka kemungkinan terjadi
keganasan dimana CA-125 akan diproduksi oleh sel-sel kanker
yang berasal dari epitel ovarium (Committee, 2011).
e. Patogenesis
Patogenesis Kista ovarium merupakan proses yang kompleks yang
melibatkan disfungsi dalam berbagai proses fisiologis, termasuk
folikulogenesis, steroidogenesis, dan ovulasi. Kista ovarium dikaitkan
dengan fungsi yang berubah dari aksis hipotalamus-hipofisis terhadap
ovarium. Kegagalan ovulasi akan mengarah ke perkembangan kista dalam
ovarium. Selain itu, keseimbangan proliferasi dan apoptosis di folikel
dengan kista ovarium akan berubah. Folikel menunjukkan berkurangnya
proliferasi sel dan apoptosis in situ. (Salvetti et al., 2009). Proliferasi sel
dan apoptosis secara khusus berkaitan dengan hormon steroid dan reseptor
gonadotropin. Ketidakseimbangan antara proliferasi dan apoptosis
ditemukan di kista folikel dan dapat menjelaskan perkembangan kista
folikel dan mempertahankan kondisinya tanpa atresia. Perubahan ini
mungkin karena struktur dan perubahan fungsional yang dapat
berhubungan dengan hormonal dan berlangsung di folikel dengan kista
ovarium (Matiller et al., 2014).
Pertumbuhan folikel dan steroidogenesis tergantung pada interaksi
yang terkoordinasi antara gonadotropin dan reseptor di sel granulosa dan

17

sel teka (Nogueira et al., 2007). Dalam ovarium normal, sistem interaktif
pertumbuhan folikel dan steroidogenesis menunjukkan bahwa sel
granulosa dan sel teka terlibat dalam sekresi hormon steroid melalui model
dua sel /dua gonadotropin. Dalam model ini, sel-sel granulosa memiliki
membran reseptor untuk follicle-stimulating hormone (FSHR) dan sel teka
memiliki reseptor untuk hormon luteinizing / choriogonadotropin
(LHCGR)

selama

tahap-tahap

awal

perkembangan

folikel.

Saat

perkembangan folikel berlangsung, perubahan terjadi dalam folikel


dominan yang mempersiapkan untuk ovulasi. Di antara perubahan ini,
penerimaan LHCGR oleh sel granulosa dari folikel dominan dan
peningkatan androgen dalam aromatisasi yang dihasilkan oleh teka
terhadap respon dari LH dan FSH merupakan beberapa hal yang paling
penting dalam perubahan folikel (Nimz et al., 2009).
Disfungsi dari aksis hipotalamus-hipofisis-gonad merupakan hipotesis
yang paling diterima terkait dengan pembentukan kista folikel. Stimulasi
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal-ovarium oleh stres dapat mengganggu
fungsi reproduksi dan dapat dikaitkan dengan patogenesis kista ovarium.
Folikulogenesis berubah, tingkat ovulasi berkurang, dan perkembangan
kista folikular terjadi karena hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan
peningkatan kadar glukokortikoid. Dalam hal ini, Kawate et al (2004)
menyatakan

bahwa

stres

sebagai

mekanisme

potensial

untuk

pengembangan kista folikel. Pertama, ACTH merangsang pelepasan


kortisol dan progesteron, dan kemudian peningkatan sekresi progesteron
akan

menghambat

sekresi

dari

gonadotropin-releasing

hormone.

Peningkatan sekresi kortisol akan menyebabkan penurunan sekresi


estradiol dan LHCGR dalam folikel antral. Ketidakseimbangan hormon ini
akan terjadi umpan balik positif dari estradiol pada hipotalamus dan
hipofisis yang memburuk dan lonjakan LH ditekan. Akhirnya, ovulasi
tidak terjadi dan folikel menjadi kistik (Kawate et al., 2004)
Kadar androgen yang meningkat disebabkan karena adanya gangguan
pada aksis hipotalamus-pituitari-ovarium. Terjadi peningkatan kadar LH

18

akibat peningkatan frekuensi pulsasi pada hipotalamus gonadotropin releasing hormone (GnRH). Rangsangan oleh LH akan menstimulasi sel
teka ovarium untuk mensekresi androgen. Biosintesis androgen dimediasi
oleh sitokrom P-450c17, terdiri atas enzim: 17-hidroxylase dan 17,20lyase,

keduanya

Androgen

steroid

dibutuhkan

dalam

kemudian

pembentukan

diubah

oleh

androstenedion.

17-hidroxysteroid

dehydrogenase (17-HSD) untuk membentuk testosteron, yang kemudian


akan mengalami aromatisasi oleh enzim aromatase (sitokrom P-450arom)
untuk membentuk estron (Ehrman, 2005).
Kadar LH yang tinggi menyebabkan sel teka menghasilkan androgen
dalam bentuk androstenedion dan testosteron. Sementara itu di sisi lain,
kadar FSH menurun karena kadar estron yang tinggi sehingga
menyebabkan keadaan yang lebih androgenik di dalam lingkungan internal
folikel yang lebih dominan. Kadar FSH yang tidak sepenuhnya disupresi
total menyebabkan perkembangan folikel terus berlangsung, namun tidak
terjadi pematangan folikel yang sempurna sehingga folikel menjadi atresia
dan membentuk kista. (Balen, 2005).
Banyak kista ovarium tidak menunjukkan gejala dan tanda, terutama
kista ovarium yang kecil. Sebagian gejala dan tanda merupakan akibat dari
pertumbuhan, endokrin, atau komplikasi dari kista tersebut. Adanya kista
di dalam perut bagian bawah dapat menyebabkan benjolan di perut.
Tekanan terhadap alat-alat di sekitarnya disebabkan oleh besarnya atau
posisinya dalam perut. Kista yang menekan kandung kencing dapat
menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi
terletak bebas di rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa
berat dalam perut (Winkjosastro, 2007).
f. Penatalaksanaan
Tata laksana pada kista ovari terbagi menjadi dua, yakni (Levine et
al., 2010):
1. Pada wanita usia reproduksi:

19

a. Kista 3cm: dengan temuan fisiologis maka tidak dilakukan


follow-up.
b. Kista >3 dan 5cm: seharusnya dijelaskan pada pencitraan/imaging
bahwa hampir tidak ada gambaran keganasan, tidak memerlukan
follow-up.
c. Kista >5 dan 7cm: Seharusnya dijelaskan dalam laporan
pencitraan dengan pernyataan bahwa mereka hampir pasti jinak;
disarankan untuk follow-up tiap tahun.
d. Kista >7cm : ini mungkin sulit untuk dinilai sepenuhnya, penilaian
lebih jauh menggunakan MRI atau evaluasi bedah sebagai
pertimbangan
2. Pada wanita postmenopause
a. Kista 1cm: belum dibutuhkan follow up.
b. Kista >1cm dan 7cm: seharusnya dijelaskan dalam laporan
pencitraan bahwa kista tersebut hampir pasti jinak, follow up tiap
tahun. Kista yang tumbuh serat bertambah besar harus di follow up
secara rutin.
c. Kista >7cm : penilaian lebih jauh dengan menggunakan MRI atau
evaluasi secara bedah
Sumber lain menyebutkan, kista ovari dianggap besar apabila
ukurannya >5cm dan dianggap giant saat volume mencapai >15cm.
Kistektomi dianjurkan jika ukuran tumor mencapai >5cm. Prinsip utama
dalam manajemen kista ovarium jinak adalah menjaga fungsi organ
reproduksi dan hormonal serta mencegah kekambuhan. Indikasi kista yang
perlu dilakukan tindakan operasi yakni (Dolan et al., 2006):
1. Kista berdiameter >5cm dan telah diobservasi 6-8 minggu tanpa ada
2.
3.
4.
5.

pengecilan tumor.
Ada bagian padat pada dinding tumor.
Dinding tumor bagian dalam berjonjot.
Kista >10cm dan terjadi ascites.
Dugaan mengalami torsi atau rupture
Tindakan yang dilakukan pada tumor ovarium neoplastik yang tidak

ganas yakni (Dolan et al., 2006):


1.

Pengangkatan tumor ini adalah pengangkatan reseksi pada bagian


ovarium yang mengandung tumor.

20

2.

Jika tumornya besar atau terdapat komplikasi perlu dilakukan


pengangkatan ovarium disertai dengan pengangkatan tuba (salpingo-

3.

ooforektomi).
Operasi kedua dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah

4.

ditemukan tumor pada satu atau dua ovarium


Operasi tumor tumor ovarium yang diangkat harus terbuka, untuk
mengetahui apakah ada keganasan atau tidak. Jika keadaan
meragukan, perlu pada saat operasi dilakukan pemeriksaan sediaan
yang dibekukan (frozen section) oleh seorang ahli patologi anatomik

5.

untuk mendapatkan kepastian apakah tumor tersebut ganas atau tidak.


Histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral
Operasi yang tepat jika terdapat keganasan adalah dengan

histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral.


g. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kista ovarii diantaranya:
1. Torsi
Kista ovarii yang memiliki diameter lebih besar dari 4 cm memiliki
kemungkinan lebih besar mengalami torsi ovarium. Torsi ovarium
merupakan terpuntirnya pedikel pembuluh darah ovarium yang
menyebabkan obstruksi vena dan arteri sehingga dapat menyebabkan
infark. Pasien dengan torsi ovarium akan mengalami nyeri yang dapat
terlokalisir di tempat torsi ataupun menjalar ke regio pelvis, femoralis,
dan dorsum (Bosetti et al., 2006).
2. Ruptur kista
Ruptur kista umumnya terjadi pada kista kopus luteum dan terjadi pada
hari ke 20-26 dari siklus menstrual wanita. Mittelschmerz merupakan
bentuk dari ruptur kista yang fisiologis. Kista non fisiologis yang
mengalami ruptur ditandai dengan nyeri pelvis yang tajam, unilateral,
dan tiba-tiba. Ruptur kista ovarii dapat menyebabkan tanda-tanda
peritonitis, distensi abdomen, dan perdarahan. Takikardi dan hipotensi
dapat terjadi sebagai akibat dari rupturnya kista yang menyebabkan
perdarahan (Bottomley& Bourne, 2009; Bosetti et al., 2006).

21

4.2

Hidrosalphing
a. Definisi
Hidrosalping merupakan salah satu kondisi dari salphingo-ooforitis
kronik. Pada hidrosalping terdapat penutupan ostium tuba abdominale.
Seringkali ditemukan bilateral dan dapat berupa hidrosalping simpleks dan
hidrosalping follikularis. Pada hidrosalping simpleks hanya ada satu
ruangan berdinding tipis dan pada hidrosalping folikularis terdapat
ruangan-ruangan kecil yang berisi cairan (Prawirohardjo, 2009).
b. Epidemiologi
Insidensi
hidrosalping
bervariasi
yang
bergantung

pada

simptomatologi yang dilaporkan. Sebuah penelitian yang melibatkan 200


wanita asimptomatik dan menjalani sterilisasi laparoskopik, ditemukan
1.5% yang menderita hidrosalping. Penelitian prospektif pada 378 pasien
premenopause yang menjalani bedah ginekologi untuk infertilitas, nyeri
pelvis, fibroid uterus, hiperplasi endometrium atau massa adneksa,
prevalensi hidrosalping ditemukan berkisar 7%. Penelitian Godwin et al.
(1999) menyatakan bahwa pada 60 probandus, kejadian hidrosalping
berkisar 1.7%. penelitian terbaru menyatakan angka kejadian hidrosalping
berkisar 3.7% (Petruzzi et al., 2012).
c. Faktor resiko
1) Usia Muda
2) Memiliki banyak pasangan seksual
3) Memiliki pasangan yang sering berganti pasangan seksusal
4) Memiliki riwayat PID
5) Pemakaian alat kontrasepsi IUD
(ACOG, 2015)
d. Penegakan Diagnosis
Gejala dari hidrosalping beragam. Sebagian mengeluhkan nyeri di
regio pelvis, namun beberapa tidak mengeluhkan gejala sama sekali
(asimptomatis). Manifestasi komplikasi dari hidrosalping yang seringkali
dikeluhkan adalah infertilitas. Hal ini terjadi bukan hanya karena destruksi
dan oklusi tuba falopii, namun berhubungan juga dengan menurunnya
implantasi karena cairan pada hidrosalping bersifat embriotoksik (Nikolic
et al.,2004).
Pada ultrasonografi, hidrosalping terlihat sebagai lesi kistik yang
memanjang dan berbetuk seperti sosis dengan batas tipis yang
22

mengandung cairan dapat dengan atau tanpa septum. Tambahan aliran


color doppler membatu membedakan hidrosalping dengan lesi ovarium
(Zalel et al., 2000).
e. Patogenesis
Hidrosalping merupakan hasil dari penyakit radang panggul kronis dan
ditandai dengan akumulasi cairan di tuba falopi. Hidrosalping sering
didahului oleh proses inflamasi berat dan dapat menghambat ujung distal
dari tuba falopi. Proses inflamasi kronis dikombinasikan dengan sel
transisional alami yang memproduksi mukus akan mengakibatkan tuba
yang bengkak dan tidak berfungsi yang sering menyebabkan kebocoran
cairan hidrosalping ke dalam rongga rahim. Kehadiran konsentrasi tinggi
sitokin, termasuk (IL) -8, tumor necrosis factor (TNF) - dan LIF, telah
terdeteksi dalam cairan hidrosalping. Cairan Hidrosalping dapat mengalir
ke dalam rongga rahim, dimana sitokin yang melimpah dapat merangsang
produksi NF kappaB di endometrium. Peningkatan ekspresi NF kappaB di
endometrium memiliki efek negatif yang dapat mempengaruhi implantasi.
Sebagai contoh, peningkatan ekspresi NF kappaB di endometrium pada
pasien infertil dengan hydrosalpinx dapat menyebabkan perekrutan
berlebihan

sel-sel

inflamasi

dan

merangsang

produksi

mediator

proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF- , sehingga mengarah ke


respon inflamasi dan imun yang berlebihan dalam endometrium preimplantasi, yang dapat menghambat atau mengurangi implantasi embrio
(Puttemans et al., 2000)

f. Penatalaksanaan
1. Tindakan medis pada kasus sumbatan tuba proksimal adalah dengan
melakukan anastomosis tubokornual secara microsurgery. Tingkat
kerusakan tuba berhubungan langsung dengan hasil akhir, hasil yang
lebih baik pada pasien dengan adhesi ringan dan kerusakan yang
terbatas, dibandingkan dengan kelainan yang lebih berat. Tingkat
keberhasilan operasi tuba selain tergantung pada tingkat kerusakan

23

tuba, usia, lama infertilitas dan juga faktor infertilitas lainnya (Anwar,
2005).
2. Katerisasi tuba atau kanulasi
Tubal catheterization/canulation
menggunakan
digabung

pendekatan

dengan

tubal

dapat

radiografi

dilakukan
(selective

cannulation)atau

baik

dengan

salpingography

pendekatan

secara

histerokopis (hysteroscopic tubal cannulation). Salpingografi dapat


memberikan informasi adanya obstruksi tuba proksimal atau distal.
Salpingografi digabungkan dengan tubal cannulation dapat diadopsi
untuk melihat dan langsung mengobati obstruksi tuba proksimal pada
pasien (Anwar, 2005).
3. Salpingektomi
Peneliti sepakat bahwa salpingektomi harus dilakukan hanya jika
terjadi kerusakan tuba berat, luas, dan penyakit inflamasi tuba yang
tanpa harapan jika dilakukan perbaikan bedah.
4. Salpingoskopi
Salpingoskopi harus menjadi pilihan utama dalam intervensi bedah
jika hidrosalping memiliki dinding yang tipis dan bebas dari adhesi
ampula.
5. Salpingostomi
Salpingostomi harus menjadi pilihan terapi jika kerusakan tuba tidak
parah
6. Jarum aspirasi
Jarum aspirasi merupakn tindakan bedah namun dengan teknik yang
tidak terlalu invasif
7. Salpingoplasti
(Bontis dan Theodoros, 2006).

24

1.

BAB V
KESIMPULAN
Kista ovarii merupakan tumor pada ovarium yang dapat bersifat jinak

2.

maupun ganas, dapat berupa tumor non neoplastik maupun neoplastik


Kista ovari lebih sering diderita oleh wanita nonproduktif dengan 18% wanita
post menopause menderita kista ovari simpleks dan 21% menderita tipe lain

3.

dari massa ovari


Faktor resiko terjadinya kista ovarii seperti nulipara, obesitas, infertilitas,

4.

gaya hidup usia muda, dan genetik


Hidrosalping merupakan salah satu kondisi dari salphingo-ooforitis kronik
ditandai dengan akumulasi cairan di tuba falopi

25

DAFTAR PUSTAKA
ACOG. 2015. Pelvic Inflammatory Disease. The American College Of
Obstetricians And Gynecologist
Anwar,

Ruswana.

2005.

Diagnostik

Klinik

dan

Penilaian

Fertilitas.

UNPAD:Bandung.
Balen, AH., Conway GS. 2005. Polycistic Ovary Syndrome. London : Taylor and
Francis Ltd. p : 47-67
Bhaumik, D.K., dan D. Bhaumik. 2015. Laparoscopic Evaluation of Female
Subfertility. J of Evidence Based Med & Hlthcare. 2 (48): 8374 8376.
Bontis, J.N. dan Theodoros D.T. 2006. Laparoscopic Management of
Hydrosalpinx. Ann. N. Y. Acad. Sci. 1092: 199-210.
Bottomley C, Bourne T. 2009. Diagnosis and management of ovarian cyst
accidents. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 23(5):711-24.
Bosetti C, Scotti L, Negri E, Talamini R, Levi F, Franceschi S, et al. 2006. Benign
ovarian cysts and breast cancer risk. Int J Cancer. 119(7):1679-82.
Committee opinion. 2011.The role of the obstetrician-gynecologist in the early
detection of epithelial ovarian cancer. Obstet Gynecol. 117(3):742-6.
Dolan, M., Scott C., dan Salameh. 2006. Laparoscopic Management of Gaint
Ovarian Cyst. Journal of the Society of Laparoendoscopic Surgeons,
vol.10: 254-256
Ehrman, David A. 2005. Polycystic Ovary Syndrome. The New England Journal
of Medicine. 352 : 1223 35
Hunn, J., dan Rodriguez, G.C. 2012. Ovarian Cancer: Etiology, Risk Factor, and
Epidemiology. Clinical Obstetrics and Gynecology. 55 (1): 3 23.
Karst, A.M., Drakin, R. 2009. Ovarian Cancer Pathogenesis: A Model in
Evolution. American Medical Journal. (10): 1-13.

26

Kawate N. 2004. Studies on the regulation of expression of luteinizing hormone


receptor in the ovary and the mechanism of follicular cyst formation in
ruminants. Journal of Reproduction and Development. 501508
Levine D., Douglas L., Rochelle F., Beryl B., Carol B., et al. 2010. Management
of Asymptomatic Ovarian and Other Adnexal Cysts Imaged at US: Society
of Radiologists in Ultrasound Consensus Conference Statemnet.
Radiology, vol.256 (3): 943-956
Matiller V, Stangaferro ML, Daz PU, Ortega HH, Rey F, Huber E & Salvetti NR.
2014. Altered expression of transforming growth factor-b isoforms in
bovine cystic ovarian disease. Reproduction in Domestic Animals. 49:
813823.
Mitchell M, Armstrong D T, Robker R L, Norman R J. 2005. Adipokines:
implications for female fertility and obesity. Reproduction. 130: 583-597
Nikolic B, Nguyen K, Martin LG, et al. 2004. Pyosalpinx developing from a
preexisting hydrosalpinx after uterine artery embolization. J Vasc Interv
Radiol. 15(3):297-301.
Nimz M, Spitschak M, Schneider F, Furbass R & Vanselow J. 2009
Downregulation of genes encoding steroidogenic enzymes and hormone
receptors in late preovulatory follicles of the cow coincides with an
accumulation of intrafollicular steroids. Domestic Animal Endocrinology.
37: 4554.
Nogueira MF, Buratini J, Price CA, Castilho AC, Pinto MG & Barros CM. 2007
Expression of LH receptor mRNA splice variants in bovine granulosa
cells: changes with follicle size and regulation by FSH in vitro. Molecular
Reproduction and Development. 74: 680686.
Oemiati, R., Ekowati R., dan Antonius Y. 2011. Prevalensi Tumor dan Beberapa
Faktor yang Mempengaruhinya di Indonesia. Bulletin Penelitian
Kesehatan, vol.39(4): 190-204
Petruzzi, N.J., Jeffrey W.M., Neel A., dan Carin F. 2012. Safety of Uterine Artery
Embolization in Patients with Preexisting Hydrosalpinx. J. Vasc Interv
Radiol, vol.23(6): 796-799.

27

Puttemans P, Rudi C, Stephan G, Ivo B. 2000. Hydrosalpinx and ART. Human


Reproduction. 15:1427-1430
Rajender R K, Nirupama L, dan Giridharan N.V. 2014. Genetic & epigenetic
approach to human obesity. Indian J Med Res. 140(5): 589-603
Salvetti NR, Panzani CG, Gimeno EJ, Neme LG, Alfaro NS & Ortega HH. 2009.
An imbalance between apoptosis and proliferation contributes to follicular
persistence in polycystic ovaries in rats. Reproductive Biology and
Endocrinology 7: 68.
Sedighi, S., Sedigheh A., Maryam A., Taraneh E., et al. 2015. Comparison of
Lifestyle in Women With Polycystic Ovary Syndrome and Healthy Women.
Global Journsl of Health Science, vol. 7(1): 228-234
Smith C dan Kelli R. 2015. Epigenetic and developmental influences on the risk
of

obesity,

diabetes,

and

metabolic

syndrome.

Department

of

Epidemiology, University of Iowa, College of Public Health, Iowa City, IA,


USA.
Sujatha V.V.S dan Sunkacalli C. 2009. Giant Ovarian Serous Cystadenoma in a
Postmenopausal Women: A Case Report. Cases Journal, vol.2(7578): 1-3
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu kandungan. Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono
Zalel Y, Soriano D, Lipitz S, et al. 2000. Contribution of color Doppler flow to the
ultrasonographic diagnosis of tubal abnormalities. J Ultrasound Med.
19(9):645-9.

28

Anda mungkin juga menyukai