Anda di halaman 1dari 11

Politik Perseteruan: Interaksi Stakeholders dalam Tata

Kelola Hutan Lindung Pulau Tarakan Era Otonomi Daerah


PENDAHULUAN
Adanya tuntutan politik lokal desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat
memicu terjadinya tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah
Kota. Konflik ini akan semakin kompleks ketika hadirnya stakeholders lain yang berasal dari
kelompok ekonomi dan kelompok masyarakat. Adanya distribusi kewenangan dan kekuasaan
yang dinilai tidak merata serta perbedaan persepsi dalam menafsirkan peraturan yang ada
sudah jelas akan menimbulkan konflik serta permasalahan baru di dalam pihak-pihak yang
terlibat di dalam pengelolaan hutan ini.
Peningkatan jumlah penduduk dan permintaan untuk mencukupi kebutuhan akan kayu
yang tinggi dengan permintaan harga yang murah cukup menimbulkan sebuah ironi. . Lahan
Hutan Lindung Pulau Tarakan terkadang mengalami kebakaran yang secara disengaja
dengan tujuan untuk membuka hutan sebagai lahan baru yang dapat digunakan untuk
kepentingan lain, seperti untuk bercocok tanam atau dijadikan sebagai tempat tinggal atau
bermukim dengan mendirikan gubuk hingga rumah yang tak jarang bersifat permanen di area
Hutan Lindung Pulau Tarakan. Tak jarang, terjadi perambahan atau pembalakan liar, atau
yang saat ini dikenal sebagai illegal logging di wilayah Hutan Lindung Pulau Tarakan, yang
mengakibatkan wilayah hutan lindung tersebut semakin kritis keadaannya. Akibat dari
perambahan liar ini, maka sekitar 400 hektar kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan yang
berada di wilayah Gunung Selatan RT 18 Kelurahan Kampung 1/Skip semakin kritis
keadaannya. Perambahan liar ini dilakukan oleh sekitar 50 orang warga setempat dengan cara
merintis.
Di kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan terdapat infrastruktur jalan yang dibangun
oleh Pemerintah Kota Tarakan seperti yang terjadi di daerah Kampung Satu Skip. Pada
kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan juga ditemukan penggunaan sumber mata air untuk
kepentingan beberapa perusahaan, seperti untuk bangunan embung dan instalasi air minum
milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Di Kota Tarakan, penguasaan atas tanah menjadi sebuah hal yang sangat sensitif.
Tanah yang dapat digunakan oleh masyarakat Kota Tarakan jumlahnya terbatas. Adanya
keterbatasan masyarakat dalam akses penguasaan tanah dikarenakan sebagian besar tanah di
Kota Tarakan telah dikuasai oleh tentara yaitu Angkatan Laut, pejabat yang memiliki
pengaruh dan kuasa di Kota Tarakan dan juga Pertamina. Maka dari itu, baik masyarakat
9

hingga pemerintah akhirnya mencari cara untuk dapat memanfaatkan tanah yang ada di Kota
Tarakan semaksimal mungkin.
Jika melihat dan meninjau fakta yang ada di Hutan Lindung Pulau Tarakan, maka kita
akan

melihat

munculnya

permasalahan-permasalahan

yang

terjadi

di

dalam

pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, seperti konflik-konflik kepentingan baik yang
secara tertutup maupun secara terbuka yang dilakukan oleh para stakeholders yang terlibat di
dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, mulai dari Pemerintah Daerah dan juga
masyarakat di sekitar wilayah Hutan Lindung Pulau Tarakan.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka Rumusan masalah yang peneliti angkat
dalam penelitian ini ada dua yakni apa saja kepentingan stakeholders yang terlibat dalam
pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan dan bagaimana interaksi stakeholders dalam
pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan di era otonomi daerah.
Dalam

melakukan

sebuah

penelitian,

seorang

peneliti

harus

menyadari

keterbatasannya ketika melakukan sebuah penelitian sehingga dapat memberikan sebuah


target pencapaian dan batasan agar penelitian tersebut mencapai hasil yang maksimal,
sehingga tujuan dari penelitian tentang stakeholders dalam pengelolaan

Hutan Lindung

Pulau Tarakan ini sebagai penelitian tambahan untuk melengkapi penelitian-penelitian


besar yang telah dilakukan sebelumnya.
Setelah peneliti mengidentifikasi peta kepentingan pada stakeholders serta interaksi
yang terjadi dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, maka manfaat dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan bagi Pemerintah Kota Tarakan,
kelompok ekonomi serta kelompok masyarakat agar mempertahankan status serta fungsi dari
Hutan Lindung Pulau Tarakan.
LANDASAN TEORI
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori politik perseteruan yang
dikemukakan

oleh McAdam, Tarrow, dan Tilly. Mereka

mendefinisikan politik

perseteruan sebagai episodic, public, collective interaction among makers of claims and their
objects when (a) at least one government is a claimant, an object of claims, or a party to the
claims and (b) the claims would, if realized, affect the interests of at least one of the
claimants (McAdam et al, 2001: 5).
Di dalam buku Dynamics of Contetion turut mengemukakan lima proses kunci dalam
contentious politics. Kelima proses itu adalah Identity formation (pembentukan identitas)
yaitu tentang bagaimana sesuatu identitas bersama berkembang dalam sebuah kelompok,
1
0

scale shift (atau eskalasi) yaitu tentang bagaimana sebuah konflik yang muncul kecil
mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak, polarization
(polarisasi) yaitu tentang bagaimana ruang politis antara pihak-pihak yang saling berseteru
meluas ketika para peserta itu saling menjauh dan bergeser ke arah titik-titik ekstrim,
mobilization (mobilisasi) yaitu tentang bagaimana orang yang biasanya bersikap acuh-tak
acuh dapat digerakkan untuk terjun ke jalan dan actor constitution (pembentukan aktor) yaitu
tentang bagaimana sebuah

kelompok yang sebelumnya tidak terorganisir atau apolitis

berubah menjadi sebuah aktor politik tunggal. (Klinken, 2007: 17-18).


Dinamika konflik dalam penelitian ini terjadi karena adanya perubahan sosial ketika
diaplikasikannya

otonomi

daerah

sehingga

kemudian

menimbulkan

restrukturisasi

kelembagaan politik formal ataupun informal dalam pemerintahan yang memberikan


pengaruh perubahan yang terjadi di berbagai bidang, khususnya di dalam pengelolaan Hutan
Lindung Pulau Tarakan. Ketika struktur kekuasaan berubah, maka akan mempengaruhi
struktur hubungan politis, ekonomi dan struktur lain yang ada dalam pemerintahan di era
otonomi daerah. Adanya otonomi daerah menciptakan sebuah peluang kesempatan atau akses
untuk memperoleh keuntungan dari sumber alam yang berasal dari Hutan Lindung Pulau
Tarakan dengan memanfaatkan kekuasaan institusional, akses ke Negara, otoritas yang
dimiliki, mekanisme sosial yang ada dan faktor-faktor lainnya yang pada akhirnya akan
memunculkan sebuah konflik yang terjadi di antara para pemangku kepentingan atau
stakeholders pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan.
METODOLOGI
Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif,

data-data berupa informasi akan didapatkan secara langsung dari

informan yang terkait. Selanjutnya dari informan tersebut, data-data yang didapat
kemudian akan diolah lebih lanjut oleh peneliti untuk memperoleh jawaban dari
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di Kota
Tarakan yang terletak di Provinsi Kalimantan Utara. Waktu penelitian yang digunakan mulai
dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, hingga penyusunan skripsi
adalah pertengahan Bulan September hingga akhir Bulan Desember tahun 2013.
Untuk pemilihan narasumber dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
purposive, dimana dalam memilih diambil secara sengaja dan disertai dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sedangkan untuk informan kunci (key informan)
ditentukan dengan menggunakan teknik snowball. Pengumpulan data dibagi menjadi dua
1
1

yakni data primer dan data skunder. Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka,
melakukan penelusuran data yang berasal dari sumber-sumber resmi seperti dari penelitian
terdahulu, buku-buku terapan, surat kabar, situs internet, dan lain-lain. Obyek yang menjadi
informan dalam penelitian ini antara lain : Kepala Dinas Kehutanan, Pertambangan dan
Energi, Kepala UPT KPHL, perwakilan penduduk di perumahan PEPABRI, perwakilan
pengusaha ayam, perwakilan pengusaha walet, salah satu tokoh masyarakat Adat Tidung, dan
perwakilan akademisi yang pernah meneliti mengenai Hutan Lindung Pulau Tarakan.
Peta Kepentingan Stakeholders
Di dalam penelitian ini, peneliti mengkategorikan stakeholders menjadi tiga, yaitu
state atau Negara yang diwakilkan oleh Pemerintah Kota Tarakan, kemudian economic
society yaitu kelompok pengusaha dan civil society yaitu Masyarakat Kota Tarakan utnuk
memudahkan memetakan kepentingannya di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau
Tarakan

serta

ketika

mengidentifikasi

interaksi

yang

terjadi

diantara

kelompok

stakeholder.
Kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan berada di Kelurahan Kampung Satu/Skip
Kecamatan Tarakan Tengah, Kelurahan Kampung Enam di Kecamatan Tarakan Timur,
Kelurahan Karang Anyar di Kecamatan Tarakan Barat, Kelurahan Juat Laut, Kelurahan Juata
Kerikil di Kecamatan Tarakan Utara dengan luas 6.997 Ha.
Bagi kelompok Pemerintah Kota Tarakan, kita akan melihat jika tujuan serta
kepentingan yang ada pada masing-masing lembaga pemerintahan ini akan berbeda antara
satu sama lain. Ketika banyak lembaga dengan berbagai kepentingan masing-masing tertuju
pada satu objek yang sama, maka Perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu sumber
permasalahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Seperti terjadi pemborosan
dan tumpang tindih program kerja yang dibawa masing-masing lembaga, kurangnya
koordinasi antar lembaga, hingga permasalahan yang ada di dalam pengelolaan Hutan
Lindung Pulau Tarakan menjadi tidak terselesaikan dengan baik.
Seperti Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi memiliki kepentingan untuk
menjalankan kewenangannya dalam merumuskan kebijakan dan petunjuk teknis yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian bidang kehutanan dan perkebunan serta
melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan bidang kehutanan bagi UPT KPHL dan
UPT KPHL memiliki kepentingan pemanfaatan hutan dan penggunaan hutan dalam hal
pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin.

1
2

Kelompok pengusaha memiliki kepentingan dalam pemanfaatan areal hutan lindung


sebagai tempat untuk beternak yang harus jauh dari kawasan perumahan penduduk.
Karena ternak membutuhkan tempat

yang sejuk di bawah pepohonan yang rimbun dan

tenang. Peternak disini juga berkepentingan menggunakan area hutan lindung ini sebagai
peluang kerja untuk mendapatkan penghasilan atau pendapatan. Selain peternak, ada
pula petani yang menggunakan kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan untuk menanam
tanaman seperti buah-buahan dan sayuran. Para pengembang juga memiliki kepentingan
di sekitar kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Seperti untuk pembangunan perumahan,
seperti

perumahan

PEPABRI dibangun

di

daerah

Kampung Satu dengan sebagian

perumahannya berdiri di kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Perumahan ini adalah milik
dari organisasi Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Di dalam Hutan Lindung Pulau Tarakan terdapat kelompok-kelompok masyarakat,
salah satunya kelompok masyarakat adat Tidung yang juga merupakan suku asli di Pulau
Tarakan. Kepentingan masyarakat adat Tidung terhadap Hutan Lindung Pulau Tarakan adalah
kepentingan atas klaim hutan adat yang mereka miliki. Setelah dikeluarkannya Surat
Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 554 tahun 2013, yang menetapkan Hutan
Lindung Pulau Tarakan dengan luas 6.927 hektar, maka berdampak pada hutan adat yang
mereka miliki. Karena, hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat Tidung ini termasuk di
dalam kawasan perluasan Hutan Lindung Pulau Tarakan.
Dalam penyelesaian klaim yang berkaitan dengan tanah adat harus sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 41/1999
Tentang Kehutanan. Dari sini, masyarakat adat tidak bisa menguasai hutan adat mereka yang
sudah masuk dalam kawasan hutan lindung secara mudah jika tidak memiliki bukti- bukti
yang bisa dipertanggung jawabkan secara kuat dan kekuatan hukum yang menjadi landasan
tuntutan mereka.
Di area Hutan Lindung Pulau Tarakan, juga banyak masyarakat biasa yang tinggal
dan membangun pemukiman.

Masyarakat yang memiliki tanah dalam kawasan lindung

sesuai peraturan daerah RTRW Kota Tarakan ini bersikeras untuk tidak pindah dan tidak
menjual lahan yang mereka miliki. Masyarakat yang tinggal di Hutan Lindung Pulau
Tarakan ini memiliki sertifikat kepemilikan tanah sebagai dasar legalitas mereka di area
tersebut. Sertifikat tanah yang mereka miliki jika ditelusuri dikeluarkan atas izin lurah atau
camat yang tidak lagi menjabat pada saat ini, dan bahkan pejabat berwenang yang
mengeluarkan izin tersebut ada pula yang telah meninggal. Ada pula lahan yang dimiliki

1
3

warga tersebut yang dilandasi dengan alas hak yang legal secara hukum, yaitu dengan adanya
Surat Izin Menggunakan Tanah Negara (SIMTN).
Surat Izin Menggunakan Tanah Negara (SIMTN) alas hak/alat bukti penguasaan tanah
yang sah dapat dipakai sebagai dasar untuk meningkatkan statusnya menjadi hak atas tanah
setelah 2 tahun diterbitkan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang , yaitu Kepala
Kantor Pertanahan (BPN). Dasar Pemerintah Daerah Kota Tarakan dalam menerbitkan
SIMTN adalah Perda Nomor 19 Tahun 2001 dan Perda Nomor 10 Tahun
2004. Selain bermasalah dengan surat izin atau sertifikat tanah yang mereka miliki,
masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung ini kebanyakan tidak membayar PBB.
Jelas ini memberikan dampak kerugian bagi pemerintah, terutama dalam hal pemasukan bagi
pendapatan asli daerah.
Interaksi antar Stakeholders
Setelah mengidentifikasikan dan memetakan kepentingan stakeholders yang
terlibat dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, kita dapat melihat jika terjadi
interaksi diantara stakeholders yang saling berbeda kepentingan, dan kemudian menyebabkan
adanya gesekan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda itu.
Di dalam penelitian ini, peneliti melakukan elaborasi berdasarkan kasus-kasus yang
terjadi sebagai hasil dari interaksi antar stakeholders di dalam pengelolaan Hutan Lindung
Pulau Tarakan berdasar pada tahapan-tahapannya yaitu pembentukan identitas, eskalasi,
polarisasi, pemicu, dan seterusnya.
Kasus pertama adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan dalam
pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Adanya otonomi daerah, membuka
kesempatan bagi setiap lembaga pemerintahan untuk membuat program kerjanya masingmasing. Dari interaksi ini, sebenarnya kita bisa melihat jika ada perbedaan kepentingan serta
tujuan yang ada di dalamnya. Seringkali terjadi kurang koordinasi dalam program- program
yang berjalan di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, sehingga terjadi duplikasi
program kerja yang bersifat pemborosan dalam pengeluaran anggaran dan serta perbedaan
tujuan akhir dalam program kerja yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan tersebut.
Kasus kedua yaitu masalah pembangunan embung milik PDAM di kawasan hutan
lindung. Hutan Lindung Pulau Tarakan terletak pada sebuah pulau kecil. Berdasarkan pada
batasan dan karakteristik dari pulau kecil yang berpacu pada Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 mengenai Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil, maka Hutan

Lindung Pulau Tarakan memiliki peran penting dalam fungsi


1
4

hidrolisis, yaitu untuk menjaga keteraturan air yang ada di dalam tanah, fungsi
klimatologis, yaitu untuk menjaga agar tidak terjadi erosi pada tanah dan juga untuk
mengatur iklim dan yang tidak kalah pentingnya yaitu fungsi hutan lindung sebagai jalan
keluar dari masalah pencemaran udara, seperti solusi dari kelebihan gas CO2 (karbon
dioksida) dan CO (karbon monoksida).
Menurut Bappeda Kota Tarakan (2004) berdasarkan penelusuran (tracing) pada peta
topografi, terdapat sekitar 73 buah sungai di wilayah Pulau Tarakan. Sungai-sungai tersebut
membentang dari wilayah perbukitan di tengah-tengah Pulau Tarakan dan kemudian
bermuara di pantai. Dan Hutan Lindung Pulau Tarakan terletak di hulu dari 73 buah sungai
yang ada di Pulau Tarakan. Pembangunan embung atau penampung air yang ada di Kampung
Satu, yang masih termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan turut menuai
konflik. Hal ini karena pembangunan embung tidak disertai dengan adanya surat izin
pembangunan secara sah. Menurut hasil wawancara dengan informan dari UPT KPHL,
pembangunan embung ini hanya didasarkan dengan surat perintah dari walikota yang
menjabat pada saat itu. Hingga saat ini, embung ini masih menuai banyak masalah terutama
dalam interaksi antara UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan
dengan pihak PDAM sebagai pemanfaat sumber daya air yang berasal dari Hutan Lindung
Pulau Tarakan. Apalagi, pejabat yang memberi surat perintah pembangunan embung tersebut
pada saat ini tidak lagi menjabat sehingga kekuatan hukum dari pembangunan embung bisa
dikatakan kurang kuat dan dapat memicu permasalahan- permasalahan baru. Dan lagi-lagi,
pembangunan embung ini dilakukan tanpa berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan maupun
UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan.
Kasus ketiga adalah masalah surat atau akte tanah atas lahan yang berada di
kawasan hutan lindung. Seringkali, program yang dibuat oleh lembaga pemerintah
menyebabkan terjadinya egosektoral program dan tidak selaras dengan tujuan pengelolaan
Hutan Lindung Pulau Tarakan. Contohnya SIMTN yang merupakan program dari Badan
Pertanahan Nasional. Ini adalah program untuk memberikan surat izin bagi masyarakat untuk
menggunakan tanah, dan ditemukan fakta jika masyarakat yang ada di hutan lindung
sebagian besar memiliki surat izin ini. Menurut Badan Pertanahan Nasional, adanya
SIMTN ini mengutungkan buat pemerintah karena ada pemasukan buat kas daerah dalam
bentuk PAD. Sedangkan bagi masyarakat,dengan adanya SIMTN maka mereka dapat
memanfaatkan tanah untuk keperluan mereka. Masyarakat maupun para pengusaha ternak
yang membangun pemukiman maupun kandang permanen kebanyakan telah mengantongi
surat izin untuk menggunakan tanah tersebut. Dan ini merupakan sebuah kesalahan yang
1
5

sebenarnya fatal dan dapat berdampak besar bagi kelangsungan Hutan

Lindung Pulau

Tarakan. Dari interaksi ini, kita dapat melihat jika program SIMTN maupun pemberian
fasilitas kepada masyarakat melalui semenisasi maupun pembangunan jalan ini tidak
selaras dengan tujuan dari pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan.
Kasus keempat adalah masalah antara masyarakat adat dengan pengelola hutan
lindung. Adanya otonomi daerah membuka peluang bagi masyarakat adat untuk mengelola
dan memanfaatkan hutannya. Hutan adat milik masyarakat Adat Tidung ini memiliki luas
410 hektar. Hutan adat menurut kerangka hukum yang berlaku pada saat itu merupakan hutan
Negara yang hak pengelolaannya diberikan oleh Negara kepada masyarakat adat.
Otonomi daerah yang berlaku di dalam Pemerintahan Kota Tarakan bagai sebuah
gerbang pembuka bagi persaingan lahan dan konflik atas hutan adat untuk berbagai
kepentingan

pembangunan,

pertambangan,

eksploitasi

hutan,

penebangan

kayu,

perkebunan intensif. Berawal dari pemerintah yang berencana untuk memperluas Hutan
Lindung Pulau Tarakan. Area hutan adat milik masyarakat adat Tidung ini termasuk di dalam
perencanaan wilayah perluasan hutan lindung. Setelah terjadi proses perumusan kebijakan
yang cukup panjang, kemudian ditetapkanlah keputusan yang menyatakan jika hutan adat ini
dikembalikan kepada pemerintah kota dengan kompensasi pembayaran sejumlah uang
kepada masyarakat adat ini. Pembayaran yang diberikan kepada masyarakat adat merupakan
penggantian biaya atas membuka lahan di area hutan atau mereka menyebutnya biaya rintis
hutan. Sehingga kemudian area hutan adat seluas 410 Ha ini akhirnya dikembalikan kepada
pemerintah.
Setelah

itu,

terjadi

sebuah

perubahan

dalam

Undang-Undang

Kehutanan.

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai


pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan perkara ini berkaitan
dengan hutan adat dan pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat.
Adanya putusan ini mengharuskan pemerintah untuk memulihkan hak-hak
masyarakat adat yang selama ini telah diambil. Pada awalnya hutan adat adalah hutan negara
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Setelah adanya putusan ini, maka
kemudian hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan
adat dikeluarkan posisinya dari hutan negara kemudian dimasukan ke dalam kategori hutan
hak.
Adanya perubahan ini kemudian membuat masyarakat adat Tidung mengajukan
permohonan kepada pemerintah Kota Tarakan untuk diberikan izin mengelola dan

1
6

memanfaatkan hutan adat mereka yang telah dikembalikan dan saat ini telah menjadi
kawasan hutan lindung secara legal dan berdasar hukum.
KESIMPULAN
Dalam kasus kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan dalam pengelolaan
Hutan Lindung Pulau Tarakan, adanya otonomi daerah, membuka kesempatan bagi setiap
lembaga pemerintahan untuk membuat program kerjanya masing-masing. Identity
formation atau pembentukan identitas di dalam kasus ini merupakan suatu proses
berkembangnya sebuah identitas bersama disebuah kelompok. Kelompok Negara merupakan
kelompok yang menguasai segala kekayaan alam yang ada di dalamnya sesuai dengan yang
tercantum pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Dengan adanya dasar penguasaan atas
kekayaan alam yang ada di sebuah daerah, Hutan Lindung Pulau Tarakan pada khususnya,
akan menjadi sebuah objek sasaran dari kepentingan lembaga-lembaga pemerintahan yang
ada di dalam Pemerintah Kota Tarakan.

Lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki

masing-masing kepentingan ini akan mengalami proses scale shift atau escalation eskalasi
dimana sebuah konflik kecil yang muncul akan mengalami eskalasi sehingga melibatkan
aktor-aktor yang jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan karena adanya gesekan dari
masing-masing kepentingan yang dibawa oleh masing-masing lembaga pemerintahan dalam
pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Misalnya dengan kurang koordinasi dalam
program-program yang berjalan di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, maka
menyebabkan seringkali terjadi duplikasi program kerja yang bersifat pemborosan dalam
pengeluaran anggaran dan serta perbedaan tujuan akhir dalam program kerja yang dilakukan
oleh lembaga pemerintahan tersebut. Perseteruan yang terjadi diantara lembaga-lembaga
pemerintahan ini akan mengalami polarisasi sehingga ruang politis antara pihak-pihak yang
saling berseteru semakin meluas sehingga kemudian terciptanya kasus-kasus perseteruan
politik diantara lembaga pemerintahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan
yang disebabkan karena kurangnya koordinasi antar lembaga.
Pada kasus pembangunan embung milik PDAM di kawasan hutan lindung, identity
formation atau pembentukan identitas berkembang di dalam masing-masing kelompok.
Antara PDAM selaku pemanfaat air yang ada di kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan
dengan UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan. Proses scale shift atau
escalation eskalasi terjadi ketika konflik yang muncul mengalami eskalasi sehingga
melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak. Dalam hal ini, konflik yang terjadi
merupakan konflik yang disebabkan dari adanya pembangunan embung milik PDAM di
1
7

dalam kawasan hutan lindung. Polarisasi terjadi ketika ruang politis diantara pihak-pihak
yang saling berseteru makin meluas, hal ini terjadi ketika semakin dipertanyakannya status
kekuatan hukum dari pembangunan embung yang hanya berlandaskan memo surat
penunjukan lokasi pembangunan yang dibuat oleh pejabat yang pada saat ini tidak lagi
berkuasa di Kota Tarakan. Dengan semakin meluasnya ruang politis diantara pihak yang
berseteru maka terjadi mobilisasi dan pembentukan dinamika pada aktor-aktor kunci di dalam
kasus ini, yang masing-masing memiliki latar belakang, maksud dan tujuan tertentu pada
Hutan Lindung Pulau Tarakan.
Pada kasus surat atau akte tanah atas lahan yang berada di kawasan hutan lindung,
melibatkan BPN, UPT KPHL, pengusaha dan masyarakat di dalam perseteruan ini. Proses
identity formation atau pembentukan identitas berkembang didalam masing-masing
kelompok. Baik di dalam kelompok Negara atau lembaga pemerintah maupun di dalam
kelompok masyarakat yang berkepentingan pada Hutan Lindung Pulau Tarakan. Sebuah
konflik kecil yang muncul dan mengalami eskalasi atau memasuki tahapan scale shift akan
melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak lagi. Misalnya di dalam kasus
diterbitkannya

SIMTN

oleh

BPN

kepada

masyarakat

maupun

pengusaha

yang

berkepentingan di dalam Hutan Lindung Pulau Tarakan. Dalam perseteruan ini, melibatkan
actor baru, yaitu UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan, dimana ketika
SIMTN ini dikeluarkan oleh BPN kepada masyarakat atau pengusaha, maka terjadi tahapan
polarisasi meluasnya ruang politis di antara pihak yang saling berseteru. Aktor- aktor baru
akan bermunculan, seperti UPT Planologi Kehutanan yang melakukan pengukuran batasbatas wilayah atau tanah yang ada di Hutan Lindung. Namun, adanya actor
belum

mampu

menyelesaikan

permasalahan

yang

ada.

baru

inipun

Dalam perseteruan politik

diantara para stakeholders ini akan menciptakan dinamika yang melibatkan

actor-aktor

kunci tertentu yang masing-masing memiliki latar belakang, maksud dan tujuan tertentu
pula.
Sedangkan pada masalah antara masyarakat adat dengan pengelola hutan lindung,
proses identity formation atau pembentukan identitas berkembang di dalam kelompok
masing-masing. Baik dari kelompok Negara, selaku penguasa atas segala kekayaan alam
yang ada dengan masyarakat adat yang mengklaim memiliki hak atas kepemilikan hutan adat
yang ada di dalam wilayah Hutan Lindung Pulau Tarakan. Konflik ini pada awalnya sempat
mereda dengan dikembalikannya hutan adat kepada Pemerintah Kota Tarakan oleh
masyarakat Adat Tidung. Tetapi, ketika keluar Putusan MK 35 secara tegas disebutkan jika
hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, kategori hutan hak di dalamnya
1
8

haruslah dimasukkan hutan adat, maka perseteruan yang terjadi akan mengalami tahapan
polarisasi, dimana ruang politis antara pihak-pihak yang saling berseteru semakin meluas dan
menciptakan sebuah mobilisasi pada orang-orang yang berasal dari kelompok Masyarakat
Adat Tidung yang biasanya bersikap acuh-tak acuh dapat digerakkan untuk turut mengambil
bagian dalam permasalahan ini sehingga kemudian Masyarakat Adat Tidung ini yang
sebelumnya merupakan kelompok yang tidak terorganisir atau apolitis berubah menjadi
sebuah aktor politik tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
Awang, San Afri. (2004) Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan
Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publisher.
Awang, San Afri. (2003) Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Yogyakarta.
Haris, Syamsudin. (2007) Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta : LIPI Press. Horrison,
Lisa. (2007) Metodologi Penelitian Politik. Jakarta : Kencana Pernada Group. Klinken,
Gerry van. (2007) Perang kota kecil : Kekerasan komunal dan demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta.
McAdam, Doug, Tarrow, Sidney and Tilly, Charles. (2001) Dynamics of Contetion.
Cambridge: Cambridge University Press.
Moniaga S. (2010) Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan Panjang dan
Membingungkan, di dalam Adat Dalam Politik Indonesia, Davidson JS (editor).
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. (2008) Teori Sosiologi. Yogyakarta : Kreasi
Wacana.

1
9

Anda mungkin juga menyukai