Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang
ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan
oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh
darah. Stroke mungkin menampakkan gejala, mungkin juga tidak (stroke tanpa gejala
disebut silent stroke), tergantung pada tempat dan ukuran kerusakan. Gejala stroke
dapat bersifat fisik, psikologis, dan/atau perilaku. Gejala paling khas adalah paralisis,
kelemahan, hilangnya sensasi di wajah, lengan, atau tungkai di salah satu sisi tubuh,
kesulitan berbicara atau memahami(tanpa gangguan pendengaran), kesulitan menelan,
dan hilangnya sebagian di satu sisi. Hampir 80 % pasien mengalami penurunan
parsial dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh (kelumpuhan parsial
dan paralisis). Kemudian disusul 30 % mengalami cacat sendi dan kontraktur dalam
tahun pertama setelah stroke (Valery Feigin, 2004).
Seorang pasien stroke mungkin mengalami kelumpuhan tangan, kaki, dan
muka, semuanya pada salah satu sisi. Kelumpuhan tangan maupun kaki pada pasien
stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Berkurangnya kontraksi otot disebabkan
berkurangnya suplai darah ke otak belakang dan otak tengah, sehingga dapat
menghambat hantaran jaras-jaras utama antara otak dan medula spinalis, dan secara

total menyebabkan ketidakmampuan sensorik motorik yang abnormal (Guyton &


Hall, 1997). Berkurangnya suplai darah pada pasien stroke salah satunya diakibatkan
oleh arteriosklerosis. Dinding pembuluh akan kehilangan elastisitas dan sulit
berdistensi sehingga digantikan oleh jaringan fibrosa yang tidak dapat meregang
dengan baik. Dengan menurunnya elastisitas terdapat tahanan yang lebih besar pada
aliran darah (Potrer & Perry, 2005). Sehingga dapat menyebabkan gangguan
imobilisasi pada pasirn tersebut.
Imobilisasi merupakan ketidakmampuan seseorang untuk menggerakkan
tubuhnya sendiri. Imobilisasi dikatakan sebagai faktor resiko utama pada munculnya
luka dekubitus baik di rumah sakit maupun di komunitas. Kondisi ini dapat
meningkatkan waktu penekanan pada jaringan kulit, menurunkan sirkulasi dan
selanjutnya mengakibatkan luka dekubitus. Imobilisasi disamping mempengaruhi
kulit secara langsung, juga mempengaruhi beberapa organ tubuh. Misalnya pada
system kardiovaskuler,gangguan sirkulasi darah perifer, system respirasi, menurunkan
pergerakan paru untuk mengambil oksigen dari udara (ekspansi paru) dan berakibat
pada menurunnya asupan oksigen ke tubuh. (Lindgren et al. 2004). Oleh karena itu,
penderita stroke pada awal terkena stroke perlu penanganan secara cepat dan tepat
agar tidak menyebabkan keadaan yang lebih parah atau bahkan kematian.
Dengan adanya pemulihan secara terpadu dan sedini mungkin maka semakin
besar kemungkinan pengembalian fungsi, juga komplikasi akibat imobililisasi dapat
dicegah dan kecacatan lebih lanjut dapat dihindari sehingga dapat mandiri tanpa
tergantung pada orang lain. Komplikasi lanjut terjadi setelah fase akut stroke
terlampaui. Komplikasi umum terjadi akibat tindakan rehabilitasi yang kurang
memadai. Berbagai komplikasi lanjut stroke akibat imobilisasi, salah satunya
inkontinensia alvi atau konstipasi. Umumnya penyebabnya adalah imobilitas,

kekurangan cairan dan intake makanan (Bethesda, 2008). Konstipasi adalah suatu
keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan buang air besar atau jarang buang air
besar. Konstipasi sering disebabkan oleh berubahnya makanan atau berkurangnya
aktivitas fisik.
Setiap tahun, kurang lebih 15 juta orang di seluruh dunia terserang stroke. Di
Amerika Serikat sekitar 5 juta orang pernah mengalami stroke. Sedangkan di Inggris
sekitar 250.000 orang. Di Indonesia, stroke menyerang 35,8 % pasien usia lanjut dan
12,9 % pada usia yang lebih muda. Jumlah total penderita stroke di Indonesia
diperkirakan 500.000 setiap tahun. Dari jumlah itu, sekitar 2,5% atau 250.000 orang
meninggal dunia, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Public Health Corner
Stroke, 2009). Menkes mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 yang
dipublikasikan pada Desember 2008. Prevalensi stroke di Indonesia 8,3 per 1.000
penduduk. Pada kelompok umur 45-54 tahun, stroke menjadi penyebab kematian
tertinggi di wilayah perkotaan (Kompas, 2009).
Oleh karena adanya masalah tersebut, maka penulis mengambil kasus
gangguan mobilisasi pada pasien stroke.

1.2

Tujuan Penulisan
Tujuan umum :
Melaporkan kasus gangguan mobilisasi pada Ny. E dengan stroke non hemoragic di
RSU Dr. Moewardi Surakarta
Tujuan Khusus :

1.

Menggambarkan :
a) Biodata klien (biographic information)
b) Pengkajian (assesment), mencakup riwayat kesehatan klien (patient history),
review system terkait (review of systems), data umum, hasil pemeriksaan data
fokus (examination & assesment), dan pemeriksaan penunjang
c) Masalah keperawatan yang ditemukan
d) Perencanaan untuk memecahkan masalah yang ditemukan
e) Tindakan & penilaian

2.

1.3

Membahas kesenjangan antara teori dan kondisi riil kasus yang dilaporkan.

Manfaat Penulisan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam
keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus gangguan
mobilisasi pada Ny. E dengan stroke non hemoragic. Juga diharapkan menjadi
informasi bagi tenaga kesehatan lain terutama dalam pengelolaan kasus yang
bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai