Anda di halaman 1dari 10

Sklerosis Sistemik :

Sklerosis sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui
penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan mikrovaskuler.
Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer
dan anti sklero-70 (anti-Scl-70).1
Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang disertai penebalan kulit yang luas
dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal dan muka atau tanpa kelainan kulit
sama sekali.2

Epidemiologi :
Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus
yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan
mendapatkan prevalensi sebesar 19 75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan
wanita dan laki-laki 2,9 4 : 1. pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita
skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 44 tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada
usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali
penderita laki-laki pada usia yang sama. 1,2,3

Etiologi :
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita skleroderma pada kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin
berhubungan dengan timbulnya skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon.
Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan
seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya
sklerosis sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya
skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan

pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum,
ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1,2,4
Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana didapatkan
rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun demikian
peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui. 5

Gambaran Patologi :
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologik
yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraseluler pada
dermis, terutama kolagen I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs
merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan
penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang
mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan
mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aseluler.6
Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya.
Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit. Dengan
tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama
makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga
lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.6

Gambaran Imunopatologi :
Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis
sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang
terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.
Beberapa kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya hipergammaglobulinemia
poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid dan uji VRDL yang positif palsu. 7

Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi,
ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I, anti-Sel-70)
didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat pada penderita sklerosis sistemik
difus. Enzim DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan
DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA. 6,7
ANA spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak ditemukan pada
penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti Ku yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti RNA-polimerase I, II dan
III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan
kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi
pulmonal dan ANA spesifik lainnya.
Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat pada 30%
penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang
spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa
protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer
menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 6,8
Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi antimitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer.7
Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI. Antibodi
anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain
itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan
perjalanaan penyakit yang lama.6
Sedangkan penelitian Endo dan kawan-kawan mendapatkan adanya antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (ANCA), yang berhubungan dengan gagal ginjal dan perdarahan paru.

Sampai saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel
pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada
perusakan sel endotelial. 6
Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik.
Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi
didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga
terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis
sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi
interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer)
yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada
Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang.
Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan
kelainan vaskuler. 6,7
Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis
sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti
transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis
factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis
sklerosis sistemik. 6,7
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel
ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat merusak sel
endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan
menyebabkan retraksi sel endotel. 7
Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL
1, IL 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan
interferon-gamma (IFN-g). 6

Patofisiologi :
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor pencetus yang
sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakankerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit, sehingga
trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang akan
menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun juga
akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks. 6
Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar 1.

Diagnosis dan Klasifikasi :


Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan
gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi anti
topoisomerase-1 dan anti sentromer harus dilakukan karena memiliki spesifitas yang baik pada

sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan.
Bila keadaan meragukan, dapat dilakukan biopsy kulit. 9
Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria pendahuluan
untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit. 9
Kriteria ini terdiri atas :
A. Kriteria mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks
dan abdomen)
B. Kriteria minor :
1. Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari.
2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
3. Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler
terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih
kriteria minor .
Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :

1. Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal,


proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
2. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi
dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis
subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T=
teleangiektasis).
3. Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit,
walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis
sistemik.
4. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap
untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus
sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
5. Penyakit jarinagn ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.
Table 4. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difus 3

Sklerosis sistemik terbatas


Fenomena

Raynaud

berlangsung

Sklerosis sistemik difus


dalamFenomena

jangka waktu yang lama.

Raynaud

berlangsung

dalam

jangka waktu yang singkat; kelainan kulit


timbul sebelum terjadi kelainan fenomena

Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka

Raynaud.

waktu yang lama.


Pembengkakan tangan dan kaki.
Progesifitas lambat.
Progesifitas cepat.
Dapat

disertai

mengenai tendon.

artralgia

ringan,

jarang
Disertai

artralgia/artritis,

sindrom

Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus,terowongan karpal.


usus halus dan paru.
Semua organ viseral dapat terkena.
10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.
Jarang disertai hipertensi pulmonal.
Antisentromer pada 50 90% kasus: Antitopi-1 pada 10 15% kasus.

Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1


pada 20 30% kasus.

Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai kelainan
sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis sistemik
terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan skleroderma en,
coup de sabre. 9
Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana
saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.
Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma
pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang dibawahnya.
Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang sklerotik
terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan
deformitas muka dan kelainan tulang.

Gejala Klinis :
Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri.
Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome)
akibat kompresi nervus medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di
dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.

Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi
sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian
yang lebih proksimal yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh.
Kelainan ini patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada
penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian
proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit
akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi.
Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh, terutama
pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang terbatas pada kulit akan
didapatkan pada jari atau jari dan muka.
Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis sistemik sine
skleroderma).
Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis,
hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T.
Kulit yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi
pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras
terakhir akan membaik lebih dahulu.
Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada muka, jari,
lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada subtipe yang terbatas (CREST Syndrome),
tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga dapat timbul
kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat juga berupa
masa yang besar.
Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi
yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 3

Daftar Pustaka :
1. LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome: Epidemiology,
Pathology and Pathogenesis. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds).
Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 1993:
118 20.
2. Steen VD, Medsger TA. Epidemiologi and Natural History of Systemic Sclerosis. Rheum
Dis Clin N Am 1990: 16 (1): 1 10.
3. Seibold JR. Systemic Sclerosis: Clinical Features. In: Klippel JH, Dieppe P (eds).
Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 8. 1-14.
4. Silman AJ, Newmwn J. Genetic and Environmental Factors in Scleroderma. Curr Op
Rheumatol 1994; 6(6): 607-11.
5. Briggs D, Black C, Welsh K. Genetic factors in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am
1990; 16 (1): 31-52.
6. Smith EA, LeRoy EC. Systemic Sclerosis: Etiology and Pathogenesis. In: Klippel JH,
Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994:
9. 1-10.
7. Postlethwaite AE. Early Immune Events in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16
(1): 125-40
8. Reimer G. Autoantibodies Against Nuclear, Nucleolar and Mitochondrial Antigens in
Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 169-84.
9. Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 1987: 747-52.

Anda mungkin juga menyukai

  • Abses Peritonsil
    Abses Peritonsil
    Dokumen10 halaman
    Abses Peritonsil
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka Blok 8
    Tinjauan Pustaka Blok 8
    Dokumen22 halaman
    Tinjauan Pustaka Blok 8
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Status Bedah
    Status Bedah
    Dokumen11 halaman
    Status Bedah
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen37 halaman
    Case
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Ref Anak
    Ref Anak
    Dokumen15 halaman
    Ref Anak
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka Blok 17
    Tinjauan Pustaka Blok 17
    Dokumen10 halaman
    Tinjauan Pustaka Blok 17
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Case Obgyn
    Case Obgyn
    Dokumen20 halaman
    Case Obgyn
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Otot
    Otot
    Dokumen14 halaman
    Otot
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Gizi Buruk
    Gizi Buruk
    Dokumen33 halaman
    Gizi Buruk
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Ppok
    Ppok
    Dokumen16 halaman
    Ppok
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Obgyn Revisi
    Obgyn Revisi
    Dokumen8 halaman
    Obgyn Revisi
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Ipd Revisi
    Ipd Revisi
    Dokumen16 halaman
    Ipd Revisi
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Respirasi
    Respirasi
    Dokumen18 halaman
    Respirasi
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Art Ritis
    Art Ritis
    Dokumen18 halaman
    Art Ritis
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Respirasi
    Respirasi
    Dokumen18 halaman
    Respirasi
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Gizi
    Gizi
    Dokumen33 halaman
    Gizi
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Polip
    Polip
    Dokumen19 halaman
    Polip
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Presus Perforasi
    Presus Perforasi
    Dokumen9 halaman
    Presus Perforasi
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Case Mata
    Case Mata
    Dokumen6 halaman
    Case Mata
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen17 halaman
    Pendahuluan
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Mata
    Mata
    Dokumen6 halaman
    Mata
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Dan Imunitas
    Infeksi Dan Imunitas
    Dokumen17 halaman
    Infeksi Dan Imunitas
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • DBD
    DBD
    Dokumen10 halaman
    DBD
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • BPH Status Bedah
    BPH Status Bedah
    Dokumen9 halaman
    BPH Status Bedah
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kimia
    Laporan Kimia
    Dokumen1 halaman
    Laporan Kimia
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Bedah
    Bedah
    Dokumen9 halaman
    Bedah
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kimia2
    Laporan Kimia2
    Dokumen2 halaman
    Laporan Kimia2
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Status Asma
    Status Asma
    Dokumen12 halaman
    Status Asma
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat
  • Tumor Jinak Pada Kulit Kel I
    Tumor Jinak Pada Kulit Kel I
    Dokumen42 halaman
    Tumor Jinak Pada Kulit Kel I
    Prisiliya Van Boven
    Belum ada peringkat
  • Sklerosis Sistemik
    Sklerosis Sistemik
    Dokumen10 halaman
    Sklerosis Sistemik
    Maximilian Ronald Tirta
    Belum ada peringkat