Anda di halaman 1dari 20

ALYA NADHIRA 1102014015

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Demam


LO 1.1. Definisi
Peningkatan suhu tubuh diatas normal; disebabkan oleh stress fisiologik, seperti pada
ovulasi, sekresi hormone tiroid berlebihan, atau olahraga berat; oleh lesi sistem saraf pusat
atau infeksi mikroorganisme; atau oleh sejumlah proses non-infeksi, misalnya radang atau
pelepasan bahan tertentu seperti pada leukemia.
(Dorland, W. A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed. 31(Alih Bahasa:
AlbertusAgung Mahode). Jakarta: EGC)
LO 1.2. Etiologi
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam
akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi
bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia,
bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial
gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lainlain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus
umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan
helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007). Penyabab lainnya antara lain ada pirogen endogen
endotoksemia, demam steroid (etioklonalon) dan alergi. Dimana, Pirogen merupakan suatu
protein yang identik dengan interleukin-1.Di dalam hipotalamus zat ini merangsang
pelepasan asam arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang
langsung dapat menyebabkan suatu pireksia.
Endogen: Sitokin Inter Leukin-1
Pirogen
Eksogen: Endotoksin bakteri, racun kalajengking,
radiasi
Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah
terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan
suatu hasil reaksi imunoligi yang tidak berdasarkan suatu infeksi.Pirogen eksogen dapat
menyebabkan demam dengan bekerja langsung pada pusat thermoegulasi dan atau
menyebabkan produksi pirogen endogen.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi,
dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(penyakit hodgkin, limfoma non Hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan
(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). (Kaneshiro & Zieve, 2010).
LO 1.3. Klasifikasi
a. Demam Septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Bila
demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam

ALYA NADHIRA 1102014015


septik.
b. Demam Remiten
Pada tipe demam remiten suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat
mencapai 2 derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
c. Demam Intermiten
Pada tipe demam intermiten, Suhu badan turun Ketingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari.Bila demam seperti ini terjadi setiap 2 hari sekali
disebut tersiana dan bila terjadi 2 hari bebas demam diantara 2 serangan demam
disebut kuartana.
d. Demam kontinyu
Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari 1
derajat. Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam siklik
Pada demam siklik Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula.
(Sudoyo, A., Setiyo, H., et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam)
LO 1.4. Patofisiologi
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan atau infeksi.
Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh
zat toksin yang masuk kedalam tubuh.
Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam
tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar
tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses
peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme) kedalam tubuh kita.
Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin
tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen.
Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya
dengan pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk
memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tubuh akan mengeluarkan
senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang
berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang
sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat.
Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam
arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin
(PGE2). Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran
prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya,
hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya
peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu
tubuh sekarang dibawah batas normal.Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil.Selain
itu vasokontriksi kulit juga berlangsung untuk mengurangi pengeluaran panas.Kedua
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Adanya proses menggigil (pergerakan otot

ALYA NADHIRA 1102014015


rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Dan terjadilah
demam. (Sherwood, 2012)
(Sherwood, L. 2004. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Ed 2. Jakarta: EGC)
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Salmonella Enterica
LO 2.1. Definisi
Genus bakteri gram negative family Enterobacteriaceae, berupa batang yang tidak
membentuk spora, anaerob fakultatif, dan biasanya bergerak menggunakan flagel
peritrichous.
(Dorland, W. A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed. 31(Alih Bahasa:
AlbertusAgung Mahode). Jakarta: EGC)
LO 2.2. Morfologi
1. Berbentuk batang, tidak berspora, memiliki kapsul, bersifat negatif pada pewarnaan
Gram.
2. Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.
3. Menghasikan H2S.
4. Besar koloni rata-rata 24 mm.-Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.
5. Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 1541oC (suhu
pertumbuhan optimal 37,5oC) dan pH pertumbuhan 68.
6. Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.
7. Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa
8. Ukuran Salmonella bervariasi 13,5 m x 0,50,8 m.
9. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein dan lipopolisakarida
(LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan.
10. Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku unutk waktu yang lama.
Struktur Antigen
Enterobacteri memiliki struktur antigenik yang kompleks. Enterobacteri digolongkan
berdasarkan lebih dari 150 antigen somatik O (liposakarida) yang tahan panas, lebih dari 100
antigen K (kapsular) yang tidak tahan panas dan lebih dari antigen H (flagela). Pada
Salmonella thypi antigen kapsular disebut antigen vi. (Jawetz, 2008)
1. Antigen O bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit
polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula yang
unik. Antigen O resisten terhadap panas, alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi
bakteri. Antibodi pada antigen O terutama adalah IgM.
2. Antigen K terletak diluar antigen O pada beberapa enterobakteri tetapi tidak semuanya.
Beberapa antigen K merupakan polisakarida termasuk antigen K pada E.coli dan yang
lain merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan antiserum O dan
dapat berhubungan dengan virulensi (contoh; strain E.coli yang menghasilkan anti gen K1
sering ditemui pada meningitis neonatal dan antigen K pada E.coli menyebabkan
peletakan bakteri pada sel epitel sebelum invasi ke saluran pencernaan/saluran kemih.)

ALYA NADHIRA 1102014015


3. Antigen H terdapat di flagela dan didenaturasi atau dirusak oleh panas atau alkohol.
Antigen ini dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang motil.
Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi anti-H terutama IgG. Penentu dalam
antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagella (flagelin). Didalam
satu seriotip, antigen flagel terdapat dalam satu / dua bentuk disebut fase 1 dan fase 2.
Organisme ini cenderung berganti dari satu fase ke fase lain yang disebut variasi fase.
Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi O.
(Jawetz, 1996)
LO 2.3. Siklus Hidup
- Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts). Setelah bakteri
tersebut masuk melalui mulut kemudian ke lambung, bakteri ini akan dimusnahkan
oleh asam lambung, apabila antibody turun atau terdapat luka di lambung
mengakibatkan efek dan obat-obatan yang bersifat basa, sehingga bakteri dapat lolos
dan menempel pada sel usus halus, masuk ke kelenjar linfe mesentrial, bakteri
menyebabkan kerusakan, peradangan dan pembengkakan uratbaru masuk ke plak
peyeri. Ketika bakteri ini usus halus bakteri akan melakukan penetrasi pada mukosa
baik usus halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka
akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa
menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag lalu masuk ke dalam sirkulasi darah
danmenyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding
usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi,
plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan
betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak, kantong empedu, ginjal
dan sumsum tulang dimana bakteri akan berkembang biak dan terjadi infeksi pada
organ-organ tersebut. Melalui organ yang telah terinfeksi ini mereka terus menerus
menyerang aliran darah yang menyebabkan bacterimia sekunder yang bertanggung
jawab sebagai penyebab terjadinya demam atau penyakit klinis, (Johnson Arlhur G,
1994)
-

Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.

Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya
terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu
atau berbulan-bulan.

Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan
hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.

Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi


Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu
mikroorganisma, dalah hal ini bakteri Salmonella).
Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang
biak menjadi 100.000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan
kematian penderita. Salmonella typhimurium dengan jumlah 11.000 sudah dapat
menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan
jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala.

ALYA NADHIRA 1102014015


Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada
pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat terjadi
dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan
perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan. Gejala
terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang
tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat
berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah
terserang penyakit dengan gejala: inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan
gejala, lalu terjadi diare.
LO 2.4. Siklus Hidup
Kingdom
: Bakteria
Phylum
: Proteobakteria
Class
: Gamma proteobakteria
Ordo
: Enterobakteriales
Familia
: Enterobakteriakceae
Genus
: Salmonella
Species
: Salmonella thyposa
Klasifikasi salmonella bersifat kompleks karena organisme ini merupakan suatu
rangkaian yang berkesinambungan dan bukan satu spesies umum.
1. Menurut dasar reaksi biokimia serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen
O, H dan Vi yang spesifik (Jawetz., et al, 2005 ; Bennasar, A., et al, 2000)
2. Menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp.dapat diklasifikasikan menjad tiga spesies
yaitu S. typhi, S. enteritidis, S.cholerasuis, disebut bagan kauffman-white (Irianto,
2006).
3. Berdasarkan serotipenya di klasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu S. paratyphi A
(Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C (Serotipe group
), dan S. typhi dari Serotipe group D. (Jawetz, 2005)
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Demam Typhoid
LO 3.1. Definisi
Penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh Salmonella enteric
subps enterica serovar Typhi; penyakit ini biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan
air yang tercemar.
(Dorland, W. A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed. 31(Alih Bahasa:
AlbertusAgung Mahode). Jakarta: EGC)
Demam tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala
sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhy, salmonella tipe A, B, dan C. Penularan
terjadi secara fecal, oral, melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. (Mansjoer
Arief, 2000)
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang disebabkan
infeksi Salmonella typhi .Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh feses atau urin dari orang yang terinfeksi salmonella. Tifoid disebut juga
paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Widoyono, 2011)

ALYA NADHIRA 1102014015


LO 3.2. Etiologi
Penyebab utama dari demam tifoid ini adalah bakteri Salmonella typhi. Dimana
bakteri ini mempunyai 3 antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium yaitu:
Antigen O (somatik), Antigen H (flagela), dan Antigen K (selaput). Manifestasi klinis dari
demam tifoid ini tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Masa inkubasinya adalah
10-20 hari, walaupun ada yang mengatakan bahwa angka inkubasinya 8-14 hari. Adapun
gejala gastroenteritis yang diakibatkan oleh paratifoid, dimana masa inkubasinya lebih cepat
yaitu sekita 1-10 hari.
Mikroorganisme ini dapat ditemukan dalam tinja dan urin setelah 1 minggu demam
(hari ke-8 demam). Apabila penderita diobati dengan benar, maka pada minggu ke-4 tidak
akan ada mikroorganisme yang ditemukan pada tinja dan urin. Tetapi, kalau masih terdapat
kuman pada tinja dan urin pada minggu ke-4, berarti penderita dinyatakan sebagai carrier.
Penderita carrier ini hanya merupakan orang yang membawa penyakitnya saja tetapi
dia tidak sakit dan biasanya terjadi pada orang dewasa. Pada penderita carrier ini, kuman
Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa. Dan pada saat penderita
memakan makanan berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran
pencernaan untuk mencerna lemak yang nantinya akan bersamaan dicerna dengan
mikroorganisme / kuman Salmonella. Lalu, baru cairan empedu dan mikroorganisme nya
dibuang melalui tinja yang nantinya akan berpotensi besar dalam penularan penyakit Demam
Tifoid ini.
Satu hal lagi yang merupakan penyebab terjadinya Demam Tifoid ini yaitu tertular
atau adanya penularan. Prinsip dari penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Di
daerah endemik (seperti Indonesia), air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan
penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang terkontaminasi oleh carrier
dianggap paling bertanggung jawab terhadap penularan. (Widoyono, 2011)
LO 3.3. Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejaidan demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4
per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai RS di Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi
26.606 kasus.
Daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000penduduk, daerah urban 760-810 per
100.000 penduduk.
Cae fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk
dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
(Sudoyo, A., Setiyo, H., et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam)
LO 3.4. Patofisiologi & Patogenesis
Patofisiologi
Bakteri masuk ke dalam saluran cerna, dibutuhkan jumlah bakteri 105 - 109
untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri
yang tetap hidup akan masuk ke dalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak Peyeri,
selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah (disebut bakteremia primer). Pada tahap
berikutnya, S.typhii menuju ke organ sistem retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di

ALYA NADHIRA 1102014015


dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
(Sudoyo, A., Setiyo, H., et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam)
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakiy infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setalah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan
koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.

ALYA NADHIRA 1102014015

LO 3.5. Manifestasi Klinis


- Masa tunas 10 20 hari yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,
sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.
- Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang.
- Demam. Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten
dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada
minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
- Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap,
bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan.
- Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam
yaitu apatis sampai somnolen, jarang terjadi stupor atau koma (kecuali penyakitnya
berat dan terlambat mendapatkan pengobatan).
- Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik
kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada
minggu pertama demam.
LO 3.6. Diagnosis & DD
Diagnosis
Sebelum mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien dan memberikan antibiotik
atau antimikroba, anamnesis harus dilakukan untuk menentukan keluhan utama dari pasien.
Keluhan utama pasien dapat mengacu kepada gejala utama dari penyakit tersebut. Setelah

ALYA NADHIRA 1102014015


keluhan utama didapat, dengan anamnesa akan didapat pula keluhan-keluhan tambahan untuk
memperkuat diagnosis. Setelah itu, pemeriksaan fisik apakah terdapat typhoid tounge, nyeri
otot dan harus dilakukan sebagai langkah kedua setelah anamnesa. Setelah melakukan
pemeriksaan fisik, baru dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai penguat diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dan asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama sore hingga malam hari. (Widodo, D. 2009). Nadi mungkin
lebih lambat dari yang diharapkan. (Jongh, Rene de. 2010)
Dalam minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif
(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor koma,
delirium, atau psikosis.
Selama minggu ketiga tanpa pengobatan, gejala dan tanda-tanda umum dan pada
perut menjadi lebih buruk.Selama minggu ketiga terjadi komplikasi.Pasien yang bertahan dari
komplikasi biasanya mulai pulih dengan cepat setelah minggu ke empat. Namun, dalam
beberapa kasus, setelah sekitar dua minggu, ada pengembalian gejala dan tanda, meskipun
biasanya tidak parah seperti sebelumnya.
Dalam kasus gizi sesuai dengan baik-orang yang telah diimunisasi dan/atau
diperlakukan secara efektif, morbiditas dan mortalitasnya jarang. (Jongh, Rene de. 2010)
Orang dengan demam tifoid biasanya memiliki demam berkelanjutan setinggi 103-104
derajat Fahrenheit (39-40 derajat Celsius). (Balentine J. 2008)
Diagnosis penyakit Demam tifoid ini dapat ditegakkan dengan adanya gejala pokok dari
demam tifoid ini, yaitu:
1. Demam berkepanjangan.
Demam berkepanjangan dimana demam terjadi lebih dari 7 hari ini merupakan
gejala yang paling menonjol . Demam ini juga bisa diikuti oleh gejala yang lain
seperti anorexia atau batuk.
2. Gangguan sistem pencernaan.
Gangguan yang sering terjadi itu berupa konstipasi dan ostipasi/sembelit, diare
pun bisa terjadi, hal yang lain seperti mual, muntah, atau perasaan tidak enak di perut
juga bisa terjadi.
3. Gangguan kesadaran.
Kalau keadaan Demam Tifoid ini semakin parah, dapat disertai gangguan
kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringa, apatis, somnolen, bahkan bisa
koma.
Selain dengan melihat bagaiman gejala-gejala pokoknya, Diagnosis dari penyakit ini dapat
ditegakkan berdasarkan adanya Salmonella dari darah melalui kultur. Karena isolasi
Salmonella relatif sulit dan lama, maka pemeriksaan serologi Widal untuk mendeteksi antigen
O dan H sering dipakai sebagai alternatif.
Pemeriksaan Widal ini akan menunjukan hasil yang signifikan apabila dilakukan
secara serial per minggu, dengan adanya peningkatan titer sebanyak 4 kali. Sebenarnya,
apabila orang yang tidak menderita Demam Tifoid melakukan pemeriksaan widal ini,

ALYA NADHIRA 1102014015


hasilnya akan positif, namun bedanya dengan penderita Demam Tifoid adalah adanya
peningkatan pada antigennya.
Dengan terlihatnya gejala-gejala yang timbul dan juga hasil pemeriksaan widal yang
menunjukan adanya peningkatan titer, Diagnosis pun dapat ditegakkan bahwa orang tersebut
menderita penyakit Demam Tifoid. (Penyakit Tropis oleh Widoyono)
Pemeriksaan Penunjang
Kultur darah positif, tes ini hanya menunjukkan positif pada 40 60% kasus.
Biasanya perjalanan awal penyakit ini. Kultur urun dan tinja menjadi positif setelah infeksi
pada akhir minggu pertama atau minggu kedua, akan tetapi sentivitasnya sangaatlah kecil.
Pada kebanyakan negara berkembang, tersebanrnya antibiotik secara meluas dan pemberian
antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas kultur darah. Walaupun
kultur sumsum tulang lebih sensitif, pemeriksaan ini sulit dilakukan, karena relatf infasif, dan
kurang dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum.
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia
klinik,imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis),
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya
penyulit.
Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau
perforasi. Pemeriksaan darah dilakukan pada biakan kuman (paling tinggi pada minggu I
sakit), diagnosis pasti Demam Tifoid. (Minggu I: 80-90%, minggu II: 20-25%, minggu III:
10-15%) Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED meningkat.
Urinalis
Tes Diazo Positif: Urine + Reagens Diazo + beberapa tetes ammonia 30% (dalam tabung
reaksi) dikocok buih berwarna merah atau merah muda
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). Leukosit dan eritrosit normal;
bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III
diagnosis pasti atau sakit carrier.
Tinja
Ditemukian banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool), kadang-kadang darah (bloody
stool). Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier posttyphi) pada minggu II atau III sakit.
Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis
akut.
Serologi
Pemeriksaan Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thypi. Pada uji widal terjadi
suatu reaksi aglutinasi antara kuman S.thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah
di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu:
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

ALYA NADHIRA 1102014015


2. Aglutinin H (flagela kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid.Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Widal dinyatakan positif bila:
1. Titer O Widal I 1/320 atau
2. Titer O Widal II naik 4 kali lipat atau lebih dibanding titer O Widal I atau Titer O
Widal I (-) tetapi titer O II (+) berapapun angkanya.
Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 (1/40 masih dianggap normal),
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam
tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di
atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari
kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh
penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya.
Pemeriksaan ELISA Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM
Merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid.Sebagai tes cepat (Rapid
Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Tifoid/Paratyphoid dinyatakan
1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/jika lgG positif menandakan pernah kontak/
pernah terinfeksi/reinfeksi/daerah endemik. (John, 2008).
IDL Tubex test
Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip pemeriksaannya adalah
mendeteksi antibodi pada penderita.Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A.
Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet
khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan
antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus
(WHO, 2003).
Hasil pemeriksaan tubex:
2 = normal
3 = border line (ragu-ragu)
4-5 = +
6 = indikasi kuat untuk tyfoid
Typhidot test
Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S. typhi. Uji ini
lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan
(75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada
metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan
kepekaan Typhidot-M dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-Msangat bermanfaat untuk
diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid.
IgM dipstick test
Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk
karena infeksi S. typhi dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan
serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu

ALYA NADHIRA 1102014015


kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering..Hasil dibaca jika ada warna berarti
positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif
lemah (WHO, 2003).
Mikrobiologi
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam tiroid/paratifoid.
Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid/paratifoid.
Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/paratifoid, karena hasil
biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah
terlalu sedikit kurang dari 2 mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan
sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui
karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/carrier digunakan urin dan
tinja. (Sumarmo et al, 2010)
Ketika saat pemberian obat bakteri tidak semuanya tersterilkan. Reticulum endothelial
merupakan tempat dimana bacteria bersembunyi yang mengakibatkan pasien sembuh
sementara, karena kuman akan berkembangbiak ketika pasien tidak melakukan teraphy lagi.
LO 3.7. Tatalaksana
Kloramfenikol
Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg/hari, dapat diberikan secara oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri, dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
Farmakodinamik
Efek Antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat
pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan
peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.
Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap P.aeruginosa, Proteus dan
Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat
ke dalam sel bakteri.
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah
tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat
atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dala usus
dan membebaskan kloramfenikol.

ALYA NADHIRA 1102014015

Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis
dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang
dari 2 minggu sekitar 24 jam.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga
tidak diperlukan pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi
hepar.
Interaksi
Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid,
fenitoindikumarol dan obat lain yang dimeabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan
demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol. Interaksi
obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh dari kloramfeniol
sehingga kadar obat inidalam darah menjadi subterapeutik.
Penggunaan Klinik
Sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitus oleh H.
influenzae. Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal
hati dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus,
dosisnya jangan melebihi 25mg/kgBB sehari.
Demam Tifoid
Obat-obat yang lebih aman seperti spirofloksasin dan seftriakson
Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas
demam. Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk
anak diberikan dosis 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari.
Untuk pengobatan demam tifoid ini dapat pula diberikan tiamfenikol dengan dosis 50
mg/kgBB sehari pada minggu pertama, lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis
separuhnya.
Efek Samping:
Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk.
1. Reaksi toksik: depresi sumsum tulang belakang. Berhubungan dengan dosis, progresif
dan pulih bila pengobatan dihentikan.
Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron, iron binding
capacityserta vakuolisasi seri eritrosit muda (terlihat bila kadar kloramfenikol dalam
serum melampaui 25m/ml)
2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dosis atau lama pengobatan.
Insiden 1:24.000-50.000. efek samping diduga reaksi idionsikrasi dan mungkin
disebabkan kelainan genetic. Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada
pasien defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean. Timbulnya nyeri tenggorok dan
infeksi baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan kemungkinan adanya
leukopeni.

ALYA NADHIRA 1102014015


Reaksi Saluran Cerna
Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
Sindromm Gray
Pada neonatus, terutama pada bayi prematur dosis tinggi (200mg/kgBB) sindromm gray.
Efek toksik disebabkan:
1. Sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase belum sempurna
2. Kloramfenikol yang yidak terkonjugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh
ginjal.
Mengurangi efek samping dosis kloramfeniko untuk bayi <1bulan tidak boleh
melebihi 25mg/kgBB sehari setelah ini dosis 50 mg/kgBB tidak menimbulkan efek
samping.
Reaksi Neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium, dan sakit kepala.
Kontraindikasi
- Wanita hamil dan menyusui
- Pada pemakaian jangka panjang perlu dilakukan pemeriksaan hematologi secara
berkala
- Perlu dilakukkan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya superinfeksi oleh
bakteri dan jamur
- Hati-hati bila dipergunakan pada penderita dengan gangguan fingsi ginjal dan hati
- Bayi yang lahir prematur dan bayi baru lahir (2 minggu pertama)
- Tidak untuk pencegahan infeksi, pengobatan influenza, batuk dan pilek
- Penderita yang hipersensitif terhadap kloramfenikol
Fluorokuinolon
Farmakokinetik
Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan asam nalidiksat.
Pefloksasin adalah fluorokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paruh eliminasinya
paling panjang.
Dalam urin, semua fluorokuinolon mncapai kadar yang melampaui Kadar Hambat Minimal
un tuk kebanyakan kuman pathogen selama minimal 12 jam.
Siprofloksasin dan ofloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila
ada meningitis.
Indikasi
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di
jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bacterial akut maupun kronis.
Infeksi Saluran Cerna
Siprofloksasin dan ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.
Kontraindikasi
Anak <18 tahun dan ibu hamil
Dosis
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

ALYA NADHIRA 1102014015


Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Efek Samping
Saluran cerna. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.
Susunan saraf pusat. Yang paling sering ditemukan adalah pusing. Bentuk yang jarang
timbul adalah halusinasi, dan kejang.
Disglikemia.
Penisilin
Farmakokinetik
ABSORPSI.
Penisilin G:
- mudah rusak dalam suasana asam (ph 2). Cairam lambung dengan ph 4 tidak terlalu
merusak penisilin.
- Penisilin G lebih efektif dalam darah bila diberikan secara IM. Dosis penisilin G oral
haruslah 4-5kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena itu, penisilin G tidak
dianjurkan untuk diberikan oral.
- Larutan garam Na-penisilin G 180mg yang disuntikkan IM, cepat sekali diabsorpsi
dan menghasilkan kadar puncak dalam plasma setinggi 4,8 g/mL dalam waktu 1530menit.
- Adanya makanan akan menghambat absorpsi. Penisilin V walaupun relative tahan
asam, 30% mengalami pemecahan di saluran cerna bagian atas, sehingga tidak sempat
diabsorpsi.
Ampisilin:
- Bila diberikan dengan dosis yang lebih kecil persentase yang diabsorpsi relative lebih
besar.
- Absorpsi ampisilin oral tidak lebih baik daripada penisilin V atau fenetisilin.
- Adanya makanan, akan mempengaruhi absorpsi obat
Amoksisilin:
- Absorpsi pada saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin
- Dengan dosis oral yang sama, amoksilin mencapai kadar dalam darah lebih tinggi
daripada yang dicapai ampisilin
- Adanya makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat
Metisilin:
- Tidak diberikan secara oral, karena cepat dirusak oleh asam lambung
- Absorpsi buruk
Karbenisilin:
- Tidak di arbsorpsi di saluran cerna
- Aktivitasnya hilang sekitar 6 jam setelah pemberian
Tikarsilin:
- Tidak stabil pada ph asam sehingga harus diberikan parenteral

ALYA NADHIRA 1102014015

Sulbenesilin, azlosilin, mezlosilin dan piperasilin juga diberikan parenteral.


DISTRIBUSI.
Penisilin G:
- Distribusi luas dalam tubuh. Dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, tetapi
dalam CSS sukar dicapai.
- Pemberian intratekal jarang dikerjakan karena risiko yang lebih tinggi dan
efektivitasnya tidak lebih memuaskan.
Fenoksimetil penisilin, penisilin isoksazolil dan metisilin:
- Pada umumnya sama dengan penisilin G
- Dengan dosis yang sama, kadar puncak dalam serum tertinggi dicapai oleh
diklosasilin, sedangkan kadar tertinggi obat bebas dalam serum dicapai oleh
flukloksasilin
Ampisilin:
- Distribusi luas dalam tubuh.
- Pengikatan oleh protein plasma hanya 20%
Amoksisilin:
- Secara garis besar sama dengan ampisilin
BIOTRANSFORMASI DAN EKSRESI
Umumnya dilakukan oleh mikroba berdasarkan pengaruh enzim penisilinase dan amidase.
Penisilin umumnya dieksresi melalui proses sekresi di tubuli ginjal yang dapat dihambat oleh
probenesid. Kegagalan fungsi ginjal sangat memperlambat ekskresi penisilin
Efek Samping
Reaksi alergi.
Penisilin G merupakan salah satu obat tersering menimbulkan reaksi alergi.namun, mereka
yang belum pernah diobati dengan penisilin dapat juga mengalami reaksi alergi.
Syok anafilaksis
Untuk mwnanggulangi syok, sesegera mungkin berikan larutan adrenalin 1:1.000 secara SK
sebanyak 0,3-0,4 Ml.
Reaksi toksis dan iritasi local
Hanya sebagian kecil kemerahan kulit oleh ampisilin berdasarkan reaksi alergi dan di sini
pemberian ampisilin harus dihentikan
Suntikan IM dapat menyebabkan rasa nyeri dan reaksi peradangan steril di tempat suntikan,
sedangkan suntikan IV dapat menyebabkan flebitis atau tromboflebitis
Sediaan dan Posologi
Penisilin G:
- Biasanya digunakan parenteral
- Sediaan penisilin G repository : penisilin G prokain, penisilin G benzatin, penisilin G
prokain dengan suspense alumunium monostearat dalam minyak
Penisilin V(fenoksimetil)
- Tersedia sebagai garam Kalium, dalam bentuk tablet 250mg dan 625mg dan sirup 125

ALYA NADHIRA 1102014015


mg/5mL

Ampisilin:
- Oral: tablet/kapsul sebagai ampisilin trihidrat atau ampisilin anhidrat 125 mg, 250mg,
500mg, dan 1000mg
- Bubuk suspense sirup: mengandung 125mg
- Suntikan: 0,1; 0,25; 0,5 dan 1 g per vial
- Dewasa -> penyakit ringan-sedang : 2-4g/hari untuk 4x pemberian
Penyakit berat : preparat parenteral 4-8g/hari
- Anak -> BB <20kg : oral : 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam 4 dosis
IM : 100-200 mg/kgBB sehari dibagi dalam 4 dosis
- Bayi >7hari diberi 75 mg/kgBB sehari dibagi dalam 3 dosis. IV: empat kali 250500mg sehari
Amoksisilin:
- Kapsul/tablet : 125, 250, 500 mg
- Sirup : 125mg/5mL
- 3 kali 250-500mg sehari
Karbenisilin:
- Suntikan sebagai garam natrium dalam vial 1,2,5 dan 10g
Penggunaan Klinik
Infeksi batang gram-negatif
SALMONELLA dan SHIGELLA
Pada gastroenteritis yang tidak berat oleh basil yang sensitive terhadap ampisilin, terapi
dengan dosis oral ampisilin 0,5-1,0 g 4 kali sehari cukup efektif. Untuk penyakit yang lebih
berat, diperlukan terapi parenteral.
Untuk demam tifoid sampai awal tahun 1970-an, kloramfenikol adalah obat pilihan utama,
kemuadian mulai timbul strain Salmonella yang resisten terhadap kloramfenikol. Maka
dewasa ini fluorokuinolon oral atau sftriakson suntik, menjadi pilihan utama, dan kombinasi
trimetoprim-sulfsmetoksazol atau ampisilin menjadi pilihan kedua sedangkan kloramfenikol
pilihan ketiga. Dosis yang dianjurkan untuk ampisilin 1g setiap 6jam sehari selama 14hari,
dosis trimetoprim 800mg dan sulfametoksazol 160mg setiap 12jam selama 14 hari.
LO 3.8. Komplikasi
Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat terjadi
alergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif). Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti:
1. Bronkopnemonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak atau oleh pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematian
bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit
menahun seperti tuberkulosis, leukemia dan lain-lain. Oleh karena itu pada keadaan
tertentu perlu dilakukan pencegahan.

ALYA NADHIRA 1102014015

2. Komplikasi neurologis
Kompilkasi neurologis pada morbili seperti hemiplegi, paraplegi, afasia, gangguan
mental, neuritis optica dan ensefalitis.
3. Encephalitis morbili akut
Encephalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka kematian rendah.
Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus, sedangkan
ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000
dosis.
4. SSPE (Subacute Scleroting panencephalitis)
SSPE yaitu suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Ditandai
oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik,
kejang, dan koma. Perjalan klinis lambat, biasanya meninggal dalam 6 bulan sampai 3
tahun setelah timbul gejala spontan. Meskipun demikian, remisi spontan masih dapat
terjadi. Biasanya terjadi pada anak yang menderita morbili sebelum usia 2 tahun.
SSPE timbul setelah 7 tahun terkena morbili, sedang SSPE setelah vaksinasi morbili
terjadi 3 tahun kemudian.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus morbilli memegang
peranan dalam patogenesisnya. Anak menderita penyakit campak sebelum umur 2
tahun, sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun kemudian SSPE yang terjadi
setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian. Kemungkinan
menderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5-1,1 tiap 10.000.000, sedangkan
setelah infeksi campak sebesar 5,2-9,7 tiap 10.000.000.
5. Immunosuppresive measles encephalopathy
Didapatkan pada anak dengan morbili yang sedang menderita defisiensi imunologik
karena keganasan atau karena pemakaian obat-obatan imunosupresif.
6. Langritis akut
Laringitis timbul karena adanya edema pada mukosa saluran nafas, yang bertambah
parah pada saat demam mencapai puncaknya
7. Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat ruam
keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai kejang demam.
8. Ensefalitis
Merupakan penyulit neurologik yang paling sering terjasi, biasanya terjadi pada hari
ke 4-7 setelah timbulnya ruam. Terjadinya ensefalitis ini dapat melalui mekanisme
immunilogik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala
ensefalitis ini dapat beruppa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala,
frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan.
9. Otitis media
Invesi virus ke dalam telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang
telinganya biasanya hiperemis pada fase prodromal dan stadium erupsi.
10. Konjungtivitis

ALYA NADHIRA 1102014015


Adanya komplikasi ini ditandai dengan adanya mata merah, pembengkakan kelopak
mata, lakrimasi dan fotofobia. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.
Konjungtivitas dapat memperburuk keadaan dengan terjadinya hipopion dan panoftalmitis hingga menyebabkan kebutaan.
11. Kebutaan
Terjadi karena virus campak mempercepat episode defisiensi vitamin A yang akhirnya
dapat menyebabkan xeropthalmia atau kebutaan
12. Apenditis
13. Pada ibu hamil, dapat terjadi abortus, partus prematur dan kelainan kongenital pada
bayi.
LO 3.9. Pencegahan
Preventif dan Kontrol Penularan
- Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan
akut. Cukup sulit dan memerlukan banyak biaya. Cara pelaksanaannya dapat secara
aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai
di suatu instansi atau swasta.
- Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun
karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.
- Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi
pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemic maupun
hiperendemik
Vaksinasi
Jenis vaksin
- Vaksin oral: -Ty21a (vivotif Berna). belum beredar di Indonesia
- Vaksin parenteral: -ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida
Indikasi vaksin
- Populasi: anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer, petugas RS,
laboratorium kesehatan, industry makanan/minuman.
- Individual: wisatawan ke daerah endemic, orang yang kontak erat dengan pengidap
tifoid (karier)
Kontraindikasi vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi atau reaksi
samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan. Bila diberikan bersamaan denga
anti-malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat
dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan
sulfonamide atau antimikroba lainnya.
Efek samping vaksinasi
Ty21a: sakit kepala (0-5%)

efek
obat
baru
obat

ALYA NADHIRA 1102014015


ViCPS: demam (0,25%), malaise (0,5%), sakit kepala (1,5%), rash (5%), reaksi nyeri local
(17%)
Vaksin parenteral: heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan
reaksi local nyeri dan edema 3-35%
Efetivitas vaksinasi
Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemic dan sebesar 60% untuk daerah
hiperendemik.
(Sudoyo, A., Setiyo, H., et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam)
LINGKUNGAN HIDUP
1. Sediakan air minum yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari
tempat yang
higienis, seperti sumur dan produk minuman yang terjamin. Jangan gunakan air yang
sudah tercemar. Jangan lupa, masak air terlebih dulu hingga mendidih (100 derajat C).
2. Pembuangan kotoran manusia harus pada tempatnya. Juga jangan pernah
membuangnya secara sembarangan sehingga mengundang lalat karena lalat akan
membawa bakteri Salmonella typhi. Terutama ke makanan
3. Bila di rumah banyak lalat, basmi hingga tuntas.
DIRI SENDIRI
1. Lakukan vaksinasi terhadap seluruh keluarga. Vaksinasi dapat mencegah kuman
masuk dan berkembang biak. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah
bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa
(tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.
2. Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (carrier). Pengawasan diperlukan agar
dia tidak lengah terhadap kuman yang dibawanya. Sebab jika dia lengah, sewaktuwaktu penyakitnya akan kambuh.
LO 3.10. Prognosis

Anda mungkin juga menyukai