Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.
Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya
terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu
atau berbulan-bulan.
Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan
hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.
Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis
dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang
dari 2 minggu sekitar 24 jam.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga
tidak diperlukan pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi
hepar.
Interaksi
Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid,
fenitoindikumarol dan obat lain yang dimeabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan
demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol. Interaksi
obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh dari kloramfeniol
sehingga kadar obat inidalam darah menjadi subterapeutik.
Penggunaan Klinik
Sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitus oleh H.
influenzae. Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal
hati dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus,
dosisnya jangan melebihi 25mg/kgBB sehari.
Demam Tifoid
Obat-obat yang lebih aman seperti spirofloksasin dan seftriakson
Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas
demam. Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk
anak diberikan dosis 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari.
Untuk pengobatan demam tifoid ini dapat pula diberikan tiamfenikol dengan dosis 50
mg/kgBB sehari pada minggu pertama, lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis
separuhnya.
Efek Samping:
Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk.
1. Reaksi toksik: depresi sumsum tulang belakang. Berhubungan dengan dosis, progresif
dan pulih bila pengobatan dihentikan.
Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron, iron binding
capacityserta vakuolisasi seri eritrosit muda (terlihat bila kadar kloramfenikol dalam
serum melampaui 25m/ml)
2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dosis atau lama pengobatan.
Insiden 1:24.000-50.000. efek samping diduga reaksi idionsikrasi dan mungkin
disebabkan kelainan genetic. Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada
pasien defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean. Timbulnya nyeri tenggorok dan
infeksi baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan kemungkinan adanya
leukopeni.
Ampisilin:
- Oral: tablet/kapsul sebagai ampisilin trihidrat atau ampisilin anhidrat 125 mg, 250mg,
500mg, dan 1000mg
- Bubuk suspense sirup: mengandung 125mg
- Suntikan: 0,1; 0,25; 0,5 dan 1 g per vial
- Dewasa -> penyakit ringan-sedang : 2-4g/hari untuk 4x pemberian
Penyakit berat : preparat parenteral 4-8g/hari
- Anak -> BB <20kg : oral : 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam 4 dosis
IM : 100-200 mg/kgBB sehari dibagi dalam 4 dosis
- Bayi >7hari diberi 75 mg/kgBB sehari dibagi dalam 3 dosis. IV: empat kali 250500mg sehari
Amoksisilin:
- Kapsul/tablet : 125, 250, 500 mg
- Sirup : 125mg/5mL
- 3 kali 250-500mg sehari
Karbenisilin:
- Suntikan sebagai garam natrium dalam vial 1,2,5 dan 10g
Penggunaan Klinik
Infeksi batang gram-negatif
SALMONELLA dan SHIGELLA
Pada gastroenteritis yang tidak berat oleh basil yang sensitive terhadap ampisilin, terapi
dengan dosis oral ampisilin 0,5-1,0 g 4 kali sehari cukup efektif. Untuk penyakit yang lebih
berat, diperlukan terapi parenteral.
Untuk demam tifoid sampai awal tahun 1970-an, kloramfenikol adalah obat pilihan utama,
kemuadian mulai timbul strain Salmonella yang resisten terhadap kloramfenikol. Maka
dewasa ini fluorokuinolon oral atau sftriakson suntik, menjadi pilihan utama, dan kombinasi
trimetoprim-sulfsmetoksazol atau ampisilin menjadi pilihan kedua sedangkan kloramfenikol
pilihan ketiga. Dosis yang dianjurkan untuk ampisilin 1g setiap 6jam sehari selama 14hari,
dosis trimetoprim 800mg dan sulfametoksazol 160mg setiap 12jam selama 14 hari.
LO 3.8. Komplikasi
Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat terjadi
alergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif). Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti:
1. Bronkopnemonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak atau oleh pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematian
bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit
menahun seperti tuberkulosis, leukemia dan lain-lain. Oleh karena itu pada keadaan
tertentu perlu dilakukan pencegahan.
2. Komplikasi neurologis
Kompilkasi neurologis pada morbili seperti hemiplegi, paraplegi, afasia, gangguan
mental, neuritis optica dan ensefalitis.
3. Encephalitis morbili akut
Encephalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka kematian rendah.
Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus, sedangkan
ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000
dosis.
4. SSPE (Subacute Scleroting panencephalitis)
SSPE yaitu suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Ditandai
oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik,
kejang, dan koma. Perjalan klinis lambat, biasanya meninggal dalam 6 bulan sampai 3
tahun setelah timbul gejala spontan. Meskipun demikian, remisi spontan masih dapat
terjadi. Biasanya terjadi pada anak yang menderita morbili sebelum usia 2 tahun.
SSPE timbul setelah 7 tahun terkena morbili, sedang SSPE setelah vaksinasi morbili
terjadi 3 tahun kemudian.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus morbilli memegang
peranan dalam patogenesisnya. Anak menderita penyakit campak sebelum umur 2
tahun, sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun kemudian SSPE yang terjadi
setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian. Kemungkinan
menderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5-1,1 tiap 10.000.000, sedangkan
setelah infeksi campak sebesar 5,2-9,7 tiap 10.000.000.
5. Immunosuppresive measles encephalopathy
Didapatkan pada anak dengan morbili yang sedang menderita defisiensi imunologik
karena keganasan atau karena pemakaian obat-obatan imunosupresif.
6. Langritis akut
Laringitis timbul karena adanya edema pada mukosa saluran nafas, yang bertambah
parah pada saat demam mencapai puncaknya
7. Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat ruam
keluar. Kejang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai kejang demam.
8. Ensefalitis
Merupakan penyulit neurologik yang paling sering terjasi, biasanya terjadi pada hari
ke 4-7 setelah timbulnya ruam. Terjadinya ensefalitis ini dapat melalui mekanisme
immunilogik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala
ensefalitis ini dapat beruppa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala,
frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan.
9. Otitis media
Invesi virus ke dalam telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang
telinganya biasanya hiperemis pada fase prodromal dan stadium erupsi.
10. Konjungtivitis
efek
obat
baru
obat