Anda di halaman 1dari 22

LI 1.

Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster & Duodenum


LO. 1.1. Makroskopis
LO. 1.2. Mikroskopis
GASTER
Dinding gaster terdiri dari 4 lapisan utama yang dapat ditemukan di struktur organ
gastrointestinal lainnya, yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa, disertai
dengan vaskularisasi dan persarafan gaster. Histologi ini memperlihatkan fungsi lambung
sebagai suatu kantung muskular elastis yang dilapisi oleh epitel sekretorium, walaupun
terdapat variasi dari struktur lokal dan fungsional dalam struktur ini.
Mukosa
Mukosa merupakan lapisan tebal dengan permukaan halus dan licin yang kebanyakan
berwarna coklat kemerahan namun berwarna pink di daerah pylorik. Pada lambung yang
berkontraksi, mukosa terlipat menjadi beberapa lipatan rugae, kebanyakan berorientasi
longitudinal. Rugae ini kebanyakan ditemukan mulai dari pinggir daerah pyloric hingga
kurvatur mayor. Rugae ini me-rupakan lipatan-lipatan besar pada jaringan konektif
submukosa (lihat dibawah) dan bukan variasi ketabalan mukosa yang menutupinya, dan
rugae ini akan menghilang jika lambung mengalami distensi. Seperti pada semua saluran
cerna lainnya, mukosa ini tersusun oleh epitel permukaan, lamina propria, dan mukosa
muskuler.
EPITHELIUM
Ketika dilihat melalui mikroskop pada magnifikasi rendah, permukaan dalam dari
dinding lambung memperlihatkan bentuk sarang lebah dengan foveola gastrica kecil dan
ireguler ber-diameter 0,2mm. Pada dasar foveola gastrica ini terdapat kelenjar gastrik tubular
yang ber-invaginasi ke arah lamina propria hingga mukosa muskularis. Epitel kolumner
tunggal yang mensekresikan mukus melapisi seluruh permukaan luminal termasuk foveola
gastrica dan terdiri dari lapisan sel mukosa permukaan yang melepaskan mukus gastrik dari
permukaan apical untuk membentuk lapisan licin protektif tebal diseluruh permukaan gaster.
Epitelium ini bermulai secara langsung pada orificium cadiac, dimana terdapat transisi drastis
antara epitel oesophagus berupa epitel berlapis gepeng dan epitel gaster.
Kelenjar gastrik
Kelenjar ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan letak regionnya, yaitu
kelenjar kardiak, prinsipal (korpus dan fundus), dan pylorik. Fundus dan korpus membentuk
bagian mayor dari gaster yang menghasilkan sebagian besar sekresi gaster atau getah untuk
pencernaan
Kelenjar Gastric Prinsipal
Kelenjar gastric principle ditemukan pada corpus dan fundus, tiga hingga tujuh saluran
dari tiap foveola gastrica. Batas antara kelenjar ini dengan dasar dari foveola gastrik ini
disebut bagian isthmus kelenjar dan lebih ke basal adalah leher, merupakan perpanjangan dari
dasar. Pada dinding kelenjar terdapat terdapat paling tidak 5 jenis sel yang berbeda-beda : sel
chief, sel parietal, sel leher mukosa, sel stem, dan sel neuroendokrin.

Sel chief (peptik) merupakan sumber enzim pencernaan yaitu enzim pepsin dan
lipase. Sel chief ini biasanya terletak pada bagian basal, bentuknya berupa silindris

(kolumner) dan nukleusnya berbentuk bundar dan euchromatik. Sel ini mengandung
granul zimogen sekretoris dan karena banyaknya sitoplasmik RNA maka sel ini
sangat basophilic.
Sel parietal (Oxyntic) merupakan sumber asam lambung dan faktor intrinsik, yaitu
glycoprotein yang penting untuk absorbsi vitamin B12. Sel ini berukuran besar, oval,
dan sangat eosinophilic dengan nukleus terletak pada pertengahan sel. Sel ini terletak
terutama pada apical kelenjar hingga bagian isthmus. Sel ini didapati hanya pada
interval sel-sel lainnya disepanjang dinding foveola dan menggembung di lateral
dalam jaringan konektif. Terdapat sangat banyak mitokondria yang tersebar di seluruh
organella ini.
Sel leher mukosa sangat banyak pada leher kelenjar dan tersebar sepanjang dinding
regio bagian basal. Sel ini mengsekresikan mukus, dengan vesikel sekretorik
apikalnya me-ngandung musin dan nukelusnya terletak pada bagian basal.
Sel bakal merupakan sel mitotik yang belum berdifferensiasi dari jenis sel kelenjar
lainnya. Sel ini relatif sedikit dan terletak pada regio isthmus kelenjar dan bagian
basal dari foveola gastric. Sel ini berbentuk silindris (kolumner) dengan sedikit
microvili yang pendek. Sel ini secara periodik mengalami mitosis, sel yang dihasilkan
bergerak ke apikal untuk ber-differensiasi menjadi sel mukosa permukaan, atau ke
basal membentuk sel leher mukosa, sel parietal, dan sel chief, serta sel neuroendokrin.
Semua sel ini memiliki durasi hidup yang terbatas, terutama yang mengsekresikan
mukus, dan yang selalu diganti. Periode pergantian dari sel mukosa permukaan adalah
tiap 3 hari; sel leher mukosa diganti tiap minggu. Jenis sel lainnya sepertinya hidup
lebih lama.
Sel neuroendokrin ditemukan disemua jenis kelenjar gastrik namun lebih banyak
ditemu-kan pada corpus dan fundus. Sel ini terletak pada bagian terdalam dari
kelenjar, diantara kumpulan sel chief . Sel ini berbentuk pleomorfik dengan nukleus
ireguler yang diliputi oleh granular sitoplasma yang mengandung kluster granul
sekretorik yang besar. Sel ini mensintesis beberapa amino biogenic dan polipeptide
yang penting dalam mengendalikan motilitas dan sekresi glanduler. Pada lambung sel
ini termasuk sel G (yang mensekresi gastrin), sel D (somatostatin), dan sel
enterochromaffin-like/ECL (histamine).

Kelenjar Kardiak
Sel kardiak terbatas pada area kecil dekat dengan orificium kardiak., beberapa berupa
kelenjar tubuler sederhana, lainnya merupakan tubuler bercabang. Sel yang mengsekresikan
mukus mendominasi, sel parietal dan sel chief, walaupun ditemukan namun jumlahnya
sedikit.
Gambaran micrograph yang menunjukkan celah antara sel
epitel berlapis gepeng tanpa lapisan keratin pada oesofagus dan
pada lambung, dengan kelenjar kardiak. Suatu folikel lymphoid
terlihat pada submukosa dari zona peralihan (kiri bawah).
Kelenjar Pyloric
Kelenjar pyloric bermula sebagai dua atau tiga pipa berlekuklekuk menjadi suatu dasar dari foveola gastrik pada antrum
pylori: foveola mengambil sekitar 2/3 kedalaman mukosa.
Kelenjar pyloric kebanyakan ditempati oleh sel penghasil
mukus, sel parietal sedikit, dan sel chief sangat jarang
ditemukan. Sebaliknya terdapat sangat banyak ditemukan sel
neuro-endokrin, terutama sel G, yang meng-sekresi gastrin

ketika diaktifkan oleh stimulus mekanis yang sesuai (menyebabkan peningkatan motilitas
gaster dan sekresi asam lambung). Walaupun sel parietal jarang ditemukan pada kelenjar
pyloric, sel ini selalu ditemukan pada jaringan janin dan bayi. Pada dewasa sel ini dapat
terlihat pada mukosa duodenum yang dekat dengan pylorus.
Gambaran mikrograph yang memperlihatkan daerah pyloric
pada lambung dengan kelenjar pyolorik, terlihat musin
(magenta/ungu) pada foveola gastric dan kelenjar. Sel
berwarna pucat merupakan sel parietal besar (P) dan sel
enteroendokrin kecil (E) .
LAMINA PROPRIA
Lamina propria membentuk kerangka jaringan
konektif antara kelenjar dan mengandung jaringan lymphoid
yang terkumpul dalam massa kecil folikel lymphatic gastrik
yang membentuk folikel intestinal soliter (terutama pada
masa awal kehidupan). Lamina propria juga memiliki suatu
pleksus vaskuler periglandu-ler yang kompleks, yang
diperkirakan berperan penting dalam menjaga lingkungan
mukosa, termasuk membuang bikarbonat yang diproduksi pada jaringan sebagai pengimbang
sekresi asam. Pleksus neural juga ditemukan dan mengandung ujung saraf motorik dan
sensorik.
MUCOSA MUSKULARIS
Mukosa muskularis merupakan lapisan tipis dari serat otot halus yang terdapat pada
bagian eksternal dari kelenjar. Serat muskular ini teratur dalam bentuk sirkuler di dalam,
lapisan longitudinal di bagian luar, terdapat pula lapisan sirkuler diskontinu bagian luar.
Lapisan dalam mengandung jelujur sel otot polos terletak di antara kelenjar dan kontraksinya
kemungkinan membantu dalam mengosongkan foveola gastrik.
Submukosa
Submukosa merupakan lapisan bervariabel dari jaringan konektif yang terdiri dari
bundel kolagen tebal, beberapa serat elastin, pembuluh darah, dan pleksus saraf, termasuk
pleksus submukosa berganglion (Meissner's) pada lambung.
Muscularis eksterna
Muscularis eksterna merupakan selaput otot tebal berada tepat dibawah serosa,
dimana keduanya terhubung melalui jaringan konektif subserosa longgar. Dari lapisan
terdalam keluar, jaringan ini memiliki lapisan serat otot oblique, sirkuler, dan longitudinal,
walaupun celah antara tiap lapisan tidak berbeda satu sama lain.
Kerja dari muskularis eksterna ini adalah menghasilkan pergerakan adukan yang mencampur
makanan dengan produk sekresi lambung. Ketika otot berkontraksi, volume lambung akan
ber-kurang dan menggerakkan mukosa menjadi lipatan longitudinal atau rugae. Rugae ini
akan datar kembali dan menghilang ketika lambung penuh akan makanan dan muskulatur
berelaksasi dan menipis. Aktivitas otot diatur oleh jaringan saraf autonom yang tidak
bermyelin, yang terdapat pada lapisan otot dalam plexus myenterik (Auerbach's)
SEROSA ATAU PERITONEUM VISCERA
Serosa merupakan perpanjangan dari peritoneum visceral yang menutupi keseluruhan
permukaan pada lambung kecuali sepanjang kurvatura mayor dan minor pada pertautan

omentum mayor dan minor, dimana lapisan peritoneum meninggalkan suatu ruang untuk
saraf dan vaskler.
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Dispepsia
LO. 4.1. Definisi
Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas atau
dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin digunakan oleh pasien untuk
menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus (Grace & Borley, 2006). Menurut
Tarigan (2003), dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak
enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh
saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn,
regurgitasi.
Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang
menunjukkan rasa nyeri atau tidak menyenangkan pada bagian atas
perut. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti
pencernaan yang jelek.

Menurut Konsensus Roma tahun 2000, dispepsia didefinisikan


sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut
bagian atas.

Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para pakar


dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom)
rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian
atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu perasaan panas di dada dan
perut, regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa,
anoreksia, mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut.
Dispepsia ini biasanya diderita selama beberapa minggu /bulan yang
sifatnya hilang timbul atau terus-menerus.
LO. 4.2. Etiologi
Sebagai suatu gejala atau sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
(Tarigan, 2003). Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan dispepsia dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penyebab dispepsia
Dalam lumen saluran cerna

Pankreas

- Tukak peptik

- Pankreatitis

- Keganasan

Gastritis

- Keganasan
Keadaan sistemik

Gastroparesis
Obat-obatan

- Diabetes militus

- Anti inflamasi non steroid


- Teofilin
- Antibiotik

Digitalis

- Penyakit tiroid
Gagal
- Penyakit jantung sistemik

ginjal
Kehamilan

Gangguan fungsional
Hepato-bilier
- Dispepsia fungsional
- Hepatitis
- Sindrom kolon iritatif
- Disfungsi sphincter Odli

Kolesistisis
Kolelitiasis
Keganasan

Sumber: Annisa (2009, dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, 2001)

Faktor Resiko
a. Host/Penjamu
Penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga
menjadi faktor resiko untuk terjadinya penyakit.
a.1. Umur dan Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eddy Bagus di Unit
Endoskopi Gastroenterologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2001
diperoleh penderita dispepsia terbanyak pada usia 30 sampai 50 tahun.
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada lakilaki. Perbandingan insidennya 2:1.
a.2. Stress dan Faktor Psikososial

Stres dan faktor psikososial diduga berperan pada kelainan


fungsional saluran cerna menimbulkan perubahan sekresi dan
vaskularisasi. Dispepsia non ulser sebagai suatu kelainan fungsional dapat
dipengaruhi emosi sehingga dikenal dengan istilah dispepsia nervosa.
Penelitian yang dilakukan Mudjadid dan Manan mendapatkan 40%
kasus dispepsia disertai dengan gangguan kejiwaan dalam bentuk
anxietas,
depresi
atau
kombinasi
keduanya.
b. Agent
Agent sebagai faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup
atau mati yang terdapat dalam jumlah yang berlebih atau kekurangan.

b.1. Helicobacter Pylori


Agent yang dapat menimbulkan dispepsia adalah Helicobacter
pylori. Helicobacter pylori dapat menginfeksi dan merusak mukosa
lambung. Kerusakan ini disebabkan ammonia, cytotosin dan zat lain yang
dihasilkan oleh bakteri ini dan bersifat merusak mukosa lambung.
b.2. Obat-Obatan
Sejumlah obat-obatan dapat menyebabkan beberapa iritasi
gastrointestinal sehingga mengakibatkan mual, mual dan nyeri di ulu hati.
Misalnya NSAIDs, aspirin, potassium supplemen dan obat lainnya.
b.3. Ketidaktoleransian Pada Makanan
Sejumlah makanan dapat menimbulkan dispepsia, diantaranya
adalah jeruk, makanan pedas, alkohol, makanan berlemak dan kopi.
Mekanisme oleh makanan yang menimbulkan dispepsia termasuk
kelebihan makan, kegagalan pengosongan gastrik, iritasi dan mukosa
lambung.
b.4. Gaya Hidup
Pada umumnya pasien yang menderita dispepsia adalah
pengkonsumsi rokok, minuman alkohol yang berlebihan, minum kopi
dalam jumlah banyak dan makan makanan yang mengandung asam.
c. Environment

Lingkungan merupakan factor yang menunjang terjadinya penyakit.


Faktor ini disebut sebagai faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan dapat
berupa lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial
ekonomi.

c.1. Lingkungan Fisik


Penyebaran dispepsia pada umumnya terdapat di lingkungan yang
padat penduduknya, soioekonomi yang rendah dan banyak terjadi pada
negara yang sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju.

c.2. Lingkungan Sosial Ekonomi


Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hatono di PT. Kusumahadi
Santosa Karanganyar tahun 2001-2002, diperoleh bahwa intensitas
kebisingan di tempat kerja berpengaruh sangat signifikan terhadap jumlah
penderita dispepsia pada tenaga kerja di PT tersebut, hal ini karena
pengaruh bising yang dihasilkan mesin pabrik kepada stress pekerja.

Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka
dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Dispepsia organik adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas,
misalnya ada ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang
bisa ditemukan secara mudah. Dispepsia fungsional adalah apabila
penyebab dispepsia tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya
adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Tarigan, 2003).
Menurut Calcaneus (2010), klasifikasi klinis praktis didasarkan atas
keluhan/gejala yang dominan. Dengan demikian, dispepsia dapat dibagi
menjadi 3 tipe, yaitu dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like
dyspepsia) dengan gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati, dispepsia
dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) dengan
gejala yang dominan adalah kembung, mual, cepat kenyang, dan
dispepsia nonspesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam
satu kategori diatas.

2.2.1. Dispepsia Organik

Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya


kelainan organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang
ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari
40 tahun. Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi:

a. Dispepsia Tukak
Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri ulu hati.
Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan
makanan. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat
menentukan adanya tukak di lambung atau duodenum.
b. Refluks Gastroesofageal
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di
dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.
c. Ulkus Peptik
Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau
pada divertikulum meckel ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah
lambung yang asam terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang tepat
masih belum dapat dipastikan. Beberapa kelainan fisiologis yang timbul
pada ulkus duodenum:
c.1. Jumlah sel parietal dan chief cells bertambah dengan produksi asam
yang makin banyak.
c.2. Peningkatan kepekaan sel parietal terhadap stimulasi gastrin.
c.3. Peningkatan respon gastrin terhadap makanan
c.4. Penurunan hambatan pelepasan gastrin dari mukosa antrum setelah
pengasaman
isi lambung.
c.5. Pengosongan lambung yang lebih cepat dengan berkurangnya
hambatan
pengosongan akibat masuknya asam ke duodenum.
Menurunnya resistensi mukosa duodenum terhadap asam lambung
dan pepsin dapat berperan penting. Insiden ulkus peptik meningkat pada
kegagalan ginjal kronik. Ulkus juga dapat berkaitan dengan
hiperparatiroidisme, sirosis, penyakit paru dan jantung. Kortikosteroid
meningkatkan resiko ulkus peptik dan perdarahan saluran pencernaan.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya ulkus peptik


antara lain merokok, golongan darah O, penyakit hati kronik, penyakit
paru kronik dan pankreatitis kronik. Gastritis atrofik kronik, refluks
empedu dan golongan darah A merupakan predisposisi untuk ulkus
lambung.
d. Penyakit Saluran Empedu
Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran
empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang
menjalar ke punggung dan bahu kanan.

e. Karsinoma
Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pancreas dan
kolon)
sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering
diajukan yaitu rasa nyeri perut. Keluhan bertambah berkaitan dengan
makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
f. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut
terasa makin tegang dan kembung.

g. Dispepsia pada sindrom malabsorbsi


Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut,
nausea, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya
diare yang berlendir.

h. Dispepsia akibat obat-obatan


Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak
enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah,
misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama
ampisilin,
eritromisin
dan
lainlain).
i. Gangguan Metabolisme

Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi


pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan nausea,
vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroid mungkin menimbulkan
keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid
menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung.

j. Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori


Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam
lambung dan berkaitan dengan keganasan lambung. Hal penting dari
Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif
dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter ini diyakini merusak
mekanisme pertahanan pejamu dan merusak jaringan. Helicobacter pylori
dapat merangsang kelenjar mukosa lambung untuk lebih aktif
menghasilkan gastrin sehingga terjadi hipergastrinemia.

2.2.2. Dispepsia Fungsional


Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia
yang telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan
kelainan atau gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan
pemeriksaan klinik, laboratorium, radiology dan endoskopi. Dalam
konsensus Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia
yang berlangsung sebagai berikut : sedikitnya terjadi dalam 12 minggu,
tidak harus berurutan dalam rentang waktu 12 minggu terakhir, terus
menerus atau kambuh (perasaan sakit atau ketidaknyamanan) yang
berpusat di perut bagian atas dan tidak ditemukan atau bukan kelainan
organik (pada pemeriksaan endoskopi) yang mungkin menerangkan
gejala-gejalanya.
Gambaran klinis dari dispepsia fungsional adalah riwayat kronik,
gejala yang berubah-ubah, riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak
responsive dengan obat- obatan dan dapat juga ditunjukkan letaknya oleh
pasien, dimana secara klinis pasien tampak sehat. Beberapa hal yang
dianggap menyebabkan dispepsia fungsional antara lain:

a. Sekresi Asam Lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hiposekresi.

b. Dismotilitas Gastrointestinal
Yaitu perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan
motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum hingga 50%
kasus.
c. Diet dan Faktor Lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan
sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak
mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervus vagus,
dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses
pencernaan. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara
langsung tetapi efek dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

d. Psikologik
Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
stress sentral.
LO. 4.3. Epidemiologi
a. Manusia

a.1. Umur
Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling
beresiko adalah diatas umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di Inggris
ditemukan frekuensi anti Helicobacter pylori pada anak-anak di bawah 15
tahun kira-kira 5% dan meningkat bertahap antara 50%-75% pada
populasi di atas umur 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi Helicobacter
pylori pada orang dewasa antara lain di Jakarta 40-57% dan di Mataram
51%-66%.

a.2. Jenis Kelamin

Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada lakilaki. Perbandingan insidennya 2 : 1. Penelitian yang dilakukan Tarigan di
RSUP. Adam Malik tahun 2001, diperoleh penderita dispepsia fungsional
laki-laki sebanyak 9 orang (40,9%) dan perempuan sebanyak 13 orang
(59,1%).

a.3. Etnik
Di Amerika, prevalensi dispepsia meningkat dengan bertambahnya
usia, lebih tinggi pada kelompok kulit hitam dibandingkan kelompok kulit
putih. Di kalangan Aborigin frekuensi infeksi Helicobacter pylori lebih
rendah dibandingkan kelompok kulit putih, walaupun kondisi hygiene dan
sanitasi jelek. Penelitian yang dilakukan Tarigan di Poliklinik penyakit
dalam sub bagian gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan tahun
2001, diperoleh proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang
(45,5%), Karo 6 orang (27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 1 orang
(4,5%) dan Melayu 1 orang (4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku
Batak 16 orang (72,7%), Karo 3 orang (13,6%), Nias 1 orang (4,5%) dan
Cina 1 orang (4,5%).

a.4. Golongan Darah


Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan darah O
yang berkaitan dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.

b. Tempat
Penyebaran dispepsia pada umumnya pada lingkungan yang padat
penduduknya, sosioekonomi yang rendah dan banyak terjadi pada negara
yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Di negara
berkembang diperkirakan 10% anak berusia 2-8 tahun terinfeksi
setiaptahunnya sedangkan di negara maju kurang dari 1%.

c. Waktu
Penyakit dispepsia paling sering ditemukan pada bulan Ramadhan
bagi yang memjalankan puasa. Penelitian di Turki pada tahun 1994,
ditemukan terjadi peningkatan kasus dengan komplikasi tukak selama
bulan ramadhan dibandingkan bulan lain. Penelitian di Paris tahun 1994
yang melibatkan 13 sukarelawan yang melaksanakan ibadah puasa
membuktikan adanya peningkatan asam lambung dan pengeluaran

pepsin selama berpuasa dan kembali ke kadar normal setelah puasa


ramadhan selesai.
LO 4.10. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)


Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko
dengan melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health
Promotion) kepada masyarakat mengenai:
1. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana
mengenali dan
menghindari
dispepsia.

keadaan

yang

potensial

2. Menjaga sanitasi lingkungan


sosioekonomi dan gizi

agar

mencetuskan
tetap

serangan

bersih,

perbaikan

pemberian

makanan.

dan penyediaan air bersih.


3. Khusus untuk
Makanan yang

bayi,

perlu

diperhatikan

diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi.


Susu yang
diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya.
4. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol,
kopi serta merokok.

2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)


Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment).

a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)


Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat.
Evaluasi klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik,
laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya
endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang,
pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat,
muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat
badan dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya,
disamping pengamatan fisik perlu dilakukan pemeriksaan yaitu:
a.1. Laboratorium
Pemeriksaan labortorium perlu dilakukan, setidak-tidaknya perlu
diperiksa
darah, urine, tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan
tinja, jika cairan tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak
berarti kemungkinan menderita malabsorbsi. Dan pada pemeriksaan
urine, jika ditemukan adanya perubahan warna normal urine maka dapat
disimpulkan terjadi gangguan ginjal. Seorang yang diduga menderita
dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambungnya.

a.2. Radiologis
Pada tukak di lambung akan terlihat gambar yang disebut niche
yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya regular, semisirkuler, dasarnya licin. Kanker di
lambung secara radiologist akan tampak massa yang irregular, tidak
terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah.

a.3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi sangat membantu dalam diagnosis. Yang
perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Kelainan di
lambung yang sering ditemukan adalah tanda peradangan tukak yang
lokasinya terbanyak di bulbus dan parsdesenden, tumor jinak dan ganas
yang divertikel.
Pada endoskopi ditemukan tukak baik di esophagus, lambung
maupun duodenum maka dapat dibuat diagnosis dispepsia tukak.

Sedangkan bila ditemukan tukak tetapi hanya ada peradangan maka


dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak.
Pada pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya
bakteri Helicobacter pylori, dimana cairan tersebut diambil dan
ditumbuhkan dalam media Helicobacter pylori. Pemeriksaan antibodi
terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode Passive
Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada
permukaan sel darah merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang dapat
diamati secara mikroskopik. Bila di dalam serum sampel terdapat anti
Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan dinyatakan positif
terinfeksi Helicobacter pylori.
a.4. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) merupakan saran diagnostik yang tidak invasif,
akhir- akhir ini banyak dimanfaatkan untuk membantu menetukan
diagnostik dari suatu penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbulkan efek
samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi pasien yang berat
pun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada pasien dispepsia
terutama bila dugaan kearah kelainan di traktus biliaris, pankreas,
kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esophagus dan
lambung.

b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)


b.1. Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut
adalah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung
susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang peningkatan dalam lambung dan kemungkinan
dapat menetralisir asam HCL.

b.2. Perbaikan keadaan umum penderita


b.3. Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.
b.4. Penjelasan penyakit kepada penderita.
Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan penderita dispepsia
adalah antasida, antikolinergik, sitoprotektif dan lain-lain
3. Pencegahan Tertier

a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan


bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami
penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama
dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika
kembali ke masyarakat.
LO. 4.8. Tatalaksana
Terapi Farmakologis
a. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbon dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi
lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan
alkalosis metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium
bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk
mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus.
Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium
bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram.
Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada pengobatan
tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)
b. Antasid Non-sistemik

Aluminium hidroksida-- Al(OH)3


Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling
panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat
yang tidak larut lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat
bereaksi dengtan fosfat membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus
kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja
bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat
astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorsi
makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak
berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi
fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai
osteomalasia. Al(OH)3 dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan
tetrasiklin. Al(OH)3 lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan
sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi
Al(OH)3 gel yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL.
Tersedia juga dalam bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu
gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6
gram.

Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat,
maka daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan
saluran cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut
bukan berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium
di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan
HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang
akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah
hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada
penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk alkali
syndrom).
Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan,
sedangkan pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram
kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2
gram.

Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2


Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini
praktis, tidak larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl
membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan
tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan
sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif
dalam hal menetralkan HCl.
Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui
ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion
magnesium yang diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat
menimbulkan alkali uria, tetapi jarang alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada
dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan
dapat menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.
Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 78,55 Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis
yang dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg
Mg(OH)2 yang dapat dinetralkan 11,1 mEq asam.

Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi
dalam lambung sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi
menutup tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi
melalui usus dan dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat
merupakan adsorben yang baik; tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga
protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk
menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan untuk
menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.

Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan


terjadi batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari
efektivitasnya yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas
yang khas, kurang beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang
dianjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang
mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram
magnesium trisiklat dapat menetralkan 13-17 mEq asam.
c. Obat Penghambat Sekresi Lambung
Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang
lebih kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung,
lebih distal dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol,
esomeprazol, lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima
obat tersebut adalah subtitusi cinci piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah
campuran resemik isomer R dan S. Esomeprazol adalah campuran resemik isomer
omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik
Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan suasana asam
untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan
berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami
aktivasi di situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan
gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan
berada di membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan
enzim tersebut. Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan
pompa poroton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi
asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas dari jenis perangsangnya histamin,
asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali
dapat terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.
Farmakokinetik
Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk
mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak
mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet yang
dipecah dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril
mukus dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena
pengaruh makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.
Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan
persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut
enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi
asam lambung setelah obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P
450 (CYP), terutama CYP2P19 dan CYP3A4.
Indikasi

Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom
Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada
AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.
Efek samping
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence,
dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam
kulit.
Sediaan dan posologi
Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, diberikan 1 kali/hari
selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg,
serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan
40 mg.
d. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid
dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun
karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H 2 yang ada saat ini
adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien
dengan hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak
lambung. Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan
pemberian yang lebih sering sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bagi
pasien yang menggunakan obat lain/banyak obat, nampaknya akan lebih aman
menggunakan ranitidin, famotidin, atau nizatidin yang tidak/kurang kemungkinannya
dibandingkan simetidin untuk mengadakan interaksi dengan obat lain yang
merupakan substrat enzim sitokrom P450. Dibandingkan simetidin, kemungkinan
efek samping ranitidin, famotidin, dan nizatidin nampaknya lebih kecil, termasuk
kemungkinan di antaranya kemungkinan impotensi dan ginekomastia karena ketiga
obat tersebut tidak mengikat reseptor androgen.
Farmakodinamik
Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel.
Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada
pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.
Farmakokinetik
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau
IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 6090. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara
oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Pada pasien penyakit hati
masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin
yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin

Indikasi
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Antihistamin H2 sama
efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid untuk penyembuhan awal tukak
lambung dan duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam
lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.
Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali digunakan
ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, sperti
urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.
e. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon,
cisapride.

Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini
dipakai untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan
yang dirasa tidak turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik
empedu. Efek sampingnya cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis
sistemik, di antaranya adalah sakit kepala, mata kabur, kejang perut, nausea dan
vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh karena itu, obat ini mulai tidak
digunakan lagi.

Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai
efek anti-dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral
maupun perifer. Khasiat metoklopramid antara lain:
- meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion
kolinergik,
- merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
- merupakan reseptor antagonis dopamine

Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari


saluran cerna dan mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik,
iritabilitas atau sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme
dopamin sentral dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat
menyebabkan hipertonis dan kejang.
Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan
antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping
yang rendah daripada metoklopramid.
Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian
bawah sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan
meningkatkan koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung yang
sedang terganggu, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta
menghambat relaksasi lambung sehingga pengosongan lambung akan lebih cepat.

Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa


pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa,
gastroparesis. Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita
pasca-bedah, bahkan efektif sebagai pencegah muntah pada penderita yang
mendapat kemoterapi.
Efek sampingnya lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering,
kulit gatal, diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya
akan meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan ginekomasti pada
pria, serta galaktore dan amenore pada wanita.

Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru
yang mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini
mempunyai spektrum yang luas.
Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas
pada saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal ini
disebabkan karena cisapride meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian
bawah, peristaltik oesophagus, dan pengosongan oesophagus. Di samping itu, akan
meningkatkan peristaltik antrum, memperbaiki koordinasi gastro-duodenum dan
mempercepat pengosongan lambung. Manfaat cisapride pada saluran cerna bagian
bawah yaitu akan merangsang aktivitas motorik usus halus dan kolon sehingga
mempercepat transit di sini. Jadi, obat ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi
usus kronis idiopatik, pada penderita konstipasi karena paraplegia, dan pemakai
obat laxatif yang menahun.
Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di
perut yang sifatnya sementar.

f. Sitoprotektive agent
Agen Cytoprotective merangsang produksi lendir dan meningkatkan aliran
darah ke seluruh lapisan saluran pencernaan. Agen ini juga bekerja dengan
membentuk lapisan yang melindungi jaringan ulserasi. Contoh agen Cytoprotective
termasuk misoprostol dan sukralfat.
Misoprostol (Cytotec)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin yang dapat digunakan untuk
menurunkan kejadian tukak lambung dan komplikasi jangka panjang pengguna
NSAID yang berisiko tinggi.
Sukralfat (Carafate)
Sukralfat mengikat dengan protein bermuatan positif dalam eksudat dan
membentuk zat perekat kental yang melindungi lapisan GI terhadap pepsin, asam
lambung, dan garam empedu. Hal ini digunakan untuk jangka pendek pengelolaan
bisul.
g. Antibiotik H pylori
PPI rejimen berbasis terapi tiga untuk H pylori terdiri dari PPI, amoksisilin,
dan clarithromycin selama 7-14 hari. Sebuah durasi yang lebih lama pengobatan (14
vs d 7 d) tampaknya menjadi lebih efektif dan saat ini perawatan yang

dianjurkan.Amoksisilin harus diganti dengan metronidazol dalam penisilin-alergi


pasien saja, karena tingginya tingkat resistensi metronidazol. [41] Pada pasien dengan
ulkus rumit disebabkan oleh H pylori, pengobatan dengan PPI di luar kursus 14-hari
antibiotik dan sampai konfirmasi pemberantasan H pylori dianjurkan.

Anda mungkin juga menyukai