Anda di halaman 1dari 31

Euthanasia Pasif

Vanya Genevieve Orapau


102011142
Mahasiswa, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : anyagenevieve@ymail.com
Pendahuluan
Dokter merupakan suatu tugas yang sangat mulia. Dimana tugas sebagai seorang dokter
adalag mengobati orang yang sakit. Tentunya dalam mengobati orang yang sakit tidak dapat
dilakukan begitu saja. Tindakan tersebut memerlukan prosedur, dan sumber daya manusia yang
memang memiliki kompetensi dibidangnya. Tentunya sebagai seorang dokter, kita juga harus
dapat memutuskan, dan memikirkan tindakan yang kita lakukan. Apakah tindakan yang kita
lakukan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku, kemudian apakah tindakan yang kita lakukan
tersebut memenuhi dan sesuai dengan etika profesi kedokteran, serta tidak melanggar ketentuan
hukum yang berlaku. Dan pada kasus seorang pasien berusia 62 tahun dengan karsinoma kolon
yang telah terminal dan ia meminta perawatan yang minimal saat mendekati ajalnya, tentunya
memerlukan pertimbangan dari berbagai aspek, mulai dari aspek bioetika, aspek hukum, aspek
medikolegal, kemudian aspek etika (KODEKI), kemudian apakah tindakan tersebut sesuai
dengan standar operasional prosedur, dan tentunya dampak hukum yang ditimbulkan setelah
tindakan yang telah dilakukan tersebut. Dan mungkin banyak diantara kita yang belum
memahami dan mengetahui lebih jelas, serta mendalam, mengenai kejadian tersebut. Maka dari
itulah, dibuatlah makalah ini, agar kita dapat memahami, dan mengetahui lebih jelas, serta lebih
mendalam, serta dalam makalah ini, nantinya akan dibahas keseluruhan dari aspek-aspek di atas
tersebut. Pemahaman, dan pengertian akan itu semua, akan menambah wawasan, dan
pengetahuan kita semakin terbuka dan luas tentunya, terutama mengenai segala hal yang
berkaitan dengan ilmu yang mempelajari ilmu kedokteran forensik, khususnya mengenai bioetik.

Sebelumnya, pada proses diskusi Problem Based Learning kelompok pertama saya, dilakukan
langkah pertama, yakni melakukan identifikasi istilah yang tidak diketahui. Namun pada kasus
kali ini, ternyata tidak istilah yang tidak kami ketahui.
Karena tidak adanya istilah yang tidak diketahui, saya akan langsung masuk ke bagian
selanjutnya, dimana pada bagian selanjutnya, saya akan mencoba memberikan gambaran materi
yang nantinya akan saya bahas. Gambaran materinya sendiri berdasarkan mind map yang sudah
dibuat dalam pertemuan PBL (Problem Based Learning) yang pertama. Berikut gambarannya.

Kaidah dasar
bioetika

Beneficence
Justice
Autonomy
Non Maleficence
Aspek
hukum

Dampak
hukum

Perset
ubuhan terhadap
anak perempuan
usia 14 tahun oleh
teman laki-lakinya
yang berusia 18
tahun

Standar
Operasional
Prosedur (SOP)

Prosedur
2
theraphy

Aspek
medikolegal

Etika
(Kodeki)

Berdasarkan mind map yang sudah dibuat, saya akan menjelaskan langkah-langkah yang akan
saya lakukan dalam melakukan tugas saya sebagai seorang dokter. Dimana, tindakan yang akan
saya lakukan yakni melihat kasus ini, mulai dari kaidah dasar bioetik yang termasuk dalam kasus
ini, kemudian aspek hukum yang berhubungan dengan kasus ini, aspke medikolegal yang terkait,
kemudian etika berdasarkan KODEKI, standar operasional prosedur atau SOP yang berkaitan
dengan prosedur theraphy, dan dampak hukum yang dapat ditimbulkan dalam kasus ini, dan
semuanya dibahas berkaitan atau berhubungan dengan kasus, dimana seorang pasien 62 tahun
dengan karsinoma kolon yang terminal dimana ia meminta perawatan yang minimal saat
mendekati ajalnya.
Dimana keseluruhan hal tersebut, dilakukan dari pengamatan, dan menganalisis kasus yang saya
dapatkan. Berikut cuplikan kasus tersebut.
"Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah
terminal. Pasien masih cukup sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya, dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya di rawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia
mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saya (tanpa antibiotika, tanpa peralatan
ICU, dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetepa setuju apabila ia
menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan."

Kaidah Dasar Bioetika


Sebelum kita membahas mengenai aspek hukum, dan bagian lainnya dalam kasus ini,
saya akan membahas mengenai kaidah dasar bioetika dalam kasus ini. Dimana pertama-tama
tentunya kita harus mengenai apa yang dimaksud dengan bioetika. Etik sendiri cabang ilmu
filsafat yang mempelajari moralitas; dimana etik ini harus dibedakan dengan sains yang
mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif; etik deskriptif mempelajari pengatuan empiris
tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang isu-isu
terntentu; etik sendiri terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik).1
Dan, berdasarkan pendapat lainnya, bahwa secara sederhana etika merupakan kajian
mengenai moralitas refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap
keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang; dimana
moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia; dan
bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti "hak", "tanggung jawab", dan "kebaikan" dan sifat
seperti "baik" dan "buruk" (atau "jahat"), "benar" dan "salah", "sesuai" dan "tidak sesuai"; dan
kemudian menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya (knowing),
sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing); kemudian hubungan keduanya
adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan
keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.2
Bioetika sendiri adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas, dimana bietika aatau
bimedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di
bidang biomedics; tentunya bioetika juga mencakup beberapa hal, seperti diantaranya adalah
mengenai rahasia antara dokter dengan pasiennya, kemudian tindakan aborsi atau euthanasia,
dan sebagainya.1
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang
sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan
4

rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain-lain; bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek
etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik
yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung
nilai-nilai etika; etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh
penguasa pada waktu itu; untuk kemudian selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk
lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling
banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM; sumpah
tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau
semacam code of conduct bagi dokter.2 Berikut salah satu gambar dari Hippocrates, yang
mencetuskan sumpah-sumpah yang berisi kewajiban dokter.

Gambar No.1 Hippocrates Pencetus Sumpah yang Berisi Kewajiban Dokter


Kemudian Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan dibawahnya. Keempat
kaidah dasar moral tersebut adalah sebagai berikut.1
Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien (the rights to self determination); dimana prinsip moral inilah

yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.1 Berikut salah satu ilustrasi dari
prinsip otonomi.

Gambar No.2 Tindakan Inform Consent untuk Menghormati Hak Pasien


Prinsip Beneficence
Prinsip Beneficence adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan demi kebaikan pasien; dimana dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat)
lebih besar dari sisi buruknya.1 Berikut salah satu tindakan medis, yaitu pemeriksaan
tanda vital yang bertujuan demi kebaikan pasien.

Gambar No.3 Pemeriksaan Tekanan Darah yang Ditujukan Demi Kebaikan Pasien
Prinsip Non-malificence
Prinsip Non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien; dimana prinsip ini juga dikenal dengan primum non
nocere atau above all, do no harm.1
Prinsip Justice
Prinsip Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.1

Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka),
privacy (menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasien) dan
fidelity (loyalitas dan promise keeping); berikut contoh dari masing-masing prinsip tersebut.1
Membawa kebaikan (Beneficence)
Contoh tindakan : Dokter memberi obat kanker tetapi mempunyai efek yang lain,
maka dokter harus mempertimbangkan secara cermat.
Otonomi pasien (Autonomy Patient)
Contoh tindakan : Pasien berhak menentukan tindakan-tindakan yang dilakukan atas
persetujuan dirinya.
Berlaku adil (Justice)
Contoh tindakan : Tenaga kesehatan tidak boleh diskriminatif dalam pelayanan
kesehatan, sehingga dokter harus memberikan pelayanan kesehatan yang sama rata
bagi semua pasiennya.
Tidak merugikan (Non-maleficence)
Contoh tindakan : Pendapat dokter dalam pelayanan tidak dapat diterima pasien dan
keluarga sehingga jika dipaksakan dapat merugikan pasien.
Menjaga kerahasiaan (Confidentiality)
Contoh tindakan : Tenaga kesehatan menjaga identitas kesehatan pasien jangan
sampai menghambat penyembuhan lanjutan.
Berkata benar, jujur dan terbuka (Truth Telling)
Contoh tindakan : Tenaga kesehatan harus menyampaikan sejujur-jujurnya penyakit
pasien namun tidak dapat diutarakan semua kecuali kepada keluarganya.
Menghormati privasi (Privacy)
Contoh tindakan : Dokter tidak boleh menyinggung hal pribadi pasien dan sebalik.
Loyalitas dan promise keeping (Fidelity)
Contoh tindakan : Dokter yang telah merawat seorang pasien yang datang kepadanya,
harus merawat pasien tersebut hingga dapat dikatakan sehat, dan tidak boleh
meninggalkan pasiennya begitu saja.
Nilai-nilai materialisme pada masyarakat harus dibendung dengan memberikan latihan
dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy
(menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan
untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien)
dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
7

panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct); sebagaimana diuraikan pada
pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumaph dokter dan kode etik
kedokteran; dimana sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan
sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral" antara
dokter dengan peer groupnya, yaitu masyarakat profesinya; baik sumpah dokter maupun kode
etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter, meskipun
kewaiban tersebut bukanla kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum,
namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi "pemimpin" dari kewajiban dalam hukum
kedokteran; hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1 Berikut gambar yang
menujukkan tindakan pelayanan kesehatan, yang sesuai dengan sumpah, dan kewajiban sebagai
seorang dokter.

Gambar No.4 Tindakan Pembedahan yang Merupakan Salah Satu Kewajiban Seorang Dokter
Kemudian kita harus melihat dari sisi etika klinik juga, dimana dalam pembuatan
keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang
berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas; dimana Jonsen, Siegler dan Winslade
(2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essential dalam pelayanan
klinik, yakni sebagai berikut.1
Medical indication
Topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang
sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya; dimana Penilaian
aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah
beneficence dan non-malificence; dan kemudian pertanyaan etika pada topic ini

adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien
pada doktrin informed consent.1
Patient preferences
Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan
beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy; dimana
pertanyaan etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap
dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien
dalam keadaan tidak sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh
pasien.1
Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane; dimana dalam
bagian ini juga dibahas terkait apa, siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualitas
hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis yang berkaitan dengan
beneficence, non-malificence dan autonomy.1
Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mendahului
keputusan seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi
sumber daya dan factor hukum.1
Kemudian sebagai seorang dokter, terdapat juga etika dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatab, dimana dalam praktek, peran profesional kesehatan, khususntya dokter dapat terbagi
ke dalam 3 model penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper, dan peran
positive gatekeeper; dimana dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai
penjaga gawan penyelenggaraan layanan kesehatan medis, dimana dokter harus menggunakan
pengetahuannya untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah, dengan menggunakan
petunjuk berupa diagnostic elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat
ekonomi yang sesuai dalam mendiagnosis), dan therapeutic parsinomy (memberikan terapi
hanya yang secara nyata bermanfaat dan efektif); selain itu dokter harus juga mencegah resiko
yang tidak diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga
sumber daya finansial pasien.1
Kemudian, dalam peran negative gatekeeper, yaitu seorang dokter melakukan tindakan
pelayanan kesehatan yang mengacu pada sistem kesehatan pra-bayar atau kapitasi, dimana
dokter diharapakan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis; dimana pada peran ini
9

tentunya jelas sekali bahwa, terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggung jawab
tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan tanggung jawab
barunya sebagai pengawal sumber daya masyarakat / komunitas; meskipun demikian, peran
negative gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi. 1 Berikut gambar dari
salah satu penyelenggara jaminan kesehatan, yang membuat dokter menjalankan peran negative
gatekeeper.

Gambar No.5 Kartu Jakarta Sehat merupakan Salah Satu Bentuk Penyelengaraan Jaminan
Kesehatan
Selanjutnya saya akan membahas mengenai positive gatekeeper, dimana pada peran ini
seorang dokter bisa dikatakan sangat tertutup, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
moral; dlaam peran ini, dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis, dan jenis
layanan hi-tech demi kepentingan profit; bagi mereka yang mampu membayar, akan disediakan
fasilitas diagnostik dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada
"keinginan pasar" dan bukan kepada kebutuhan medis; upaya untuk meningkatkan demand atas
layanan yang sophisticated dijadikan tujuan yang implisit, dan dokter menjadi salesmannya;
mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut,
atau mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila
mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana.1
Aspek Hukum
Selanjutnya, saya akan membahas mengenai aspek hukum yang terkait dalam kasus ini.
Dimana aspek hukum yang dapat dikaitkan dalam kasus ini antara lain adalah sebagai berikut.

10

Pasal 53 UU Kesehatan3
Ayat 1 : Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.3
Ayat 2 : Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati pasien.3
Ayat 3 : Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan
tindakan medik terhadap seorang dengan memperhatikan kesehatan dan
keselamatan yang bersangkutan.3
Ayat 4 : Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.3
Pasal 54 UU Kesehatan3
Ayat 1 : Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanankan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.3
Ayat 2 : Penentuan ada tidaknya keselahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kerja.3
Ayat 3 : Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja MDTK
ditetapkan dengan Keppres.3
Pasal 55 UU Kesehatan3
Ayat 1 : Setiap orang berhak ata ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.3
Pasal 1 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik
Pasal 1 (a) : Persetujuan tindakan medik / informed consent adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.3
Pasal 1 (b) : Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap
pasien berupa diagnostik atau terapeutik.3
Pasal 1 (c) : Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh.3
Pasal 1 (d) : Dokter adalah dokter umum / dokter spesialis dan dokter gigi /
dokter gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek
perorangan / bersama.3
Pasal 2 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik
Ayat 1 : Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.3
Ayat 2 : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.3

11

Ayat 3 : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien


mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang
bersangkutan, serta resiko yang dapat ditimbulkannya.3
Ayat 4 : Cara penyampaian dan isi nformasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.3
Pasal 3 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik
Ayat 1 : Setiap tindakan medik haris diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.3
Ayat 2 : Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasl
ini, tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan.3
Ayat 3 : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyatanyata atau secara diam-diam.3
Pasal 4 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik
Ayat 1 : Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta.3
Ayat 2 : Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila
dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan
pasien atau pasien menolak diberikan informasi.3
Ayat 3 : Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi.3
Pasal 5 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik
Ayat 1 : Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari
tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.3
Ayat 2 : Informasi diberikan secara lisan.3
Ayat 3 : Informasi harus diberiakn secara jujur dan benar, kecuali bila dokter
menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.3
Ayat 4 : Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.3
Pasal 8 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik
Ayat 1 : Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan
sadar dan sehat mental.3
Ayat 2 : Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur
21 tahun (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.3
Pasal 9 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik

12

Ayat 1 : Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampunan (cura tele)
persetujuan diberikan oleh wali / curator.3
Ayat 2 : Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan
diberikan oleh orang tua / wali / curator.3
Pasal 10 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan

tindakan

medik
Bagi pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orang tua
/ wali dan atau orang tua / wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga
terdekat atau induk semang (guardian).3
Pasal 11 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan

tindakan

medik
Dalam hal pasien tidak sadar / pingsan erta tidak didampingi oleh keluarga terdekat
dn secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan
tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dai
siapapun.3
Pasal 12 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan

tindakan

medik
Ayat 1 : Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang
persetujuan tindakan medik.3
Ayat 2 : Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah
sakit / klinik, maka rumah sakit / klinik yang bersangkutan ikut bertanggung
jawab.3
Pasal 13 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan

tindakan

medik
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari
pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat
izin prakteknya.3
Pasal 14 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan

tindakan

medik
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak,
maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.3
Pasal 15 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan
medik

13

tindakan

Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini
ditetapkan oleh Direktur Jendral Pelayanan Medik.3
Kemudian, selanjutnya, aspek hukum yang dapat terlibat lainnya, berkaitan dengan kode
etik kedokteran, dimana profesi dokter di Indonesia, berpegang teguh kepada Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) , yang terbagi menjadi 4 kewajiban, yaitu kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri
sendiri; berikut pasal-pasal yang terkait dengan aspek hukum dalam kasus ini.1,4
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.1,4
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.1,4
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.1,4
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.1,4
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.1,4
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.1,4
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.1,4
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
14

disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat

manusia.1,4
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan

penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.1,4


Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan

hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.1,4


Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani.1,4
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya

seorang

dokter

harus

memperhatikan

kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan


yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya.1,4
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.1,4
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien; dimana dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.1,4
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.1,4
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.1,4
15

Pasal 13
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.1,4
Selanjutnya aspek hukum yang akan disinggung adalah yang berkaitan dengan hukum
pidana; berikut pasal-pasal yang berkaitan dengan kasus ini, yang tentunya berhubungan dengan
aspek hukum pidana.
Pasal 531 KUHP
Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yangs edang menghadapi maut
tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya, tanpa selayaknya
menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu
meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah.3
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.3
Pasal 360 KUHP
Ayat 1 : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan ornag lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.3
Ayat 2 : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun atau kurungan paling lama enam bulan, atau denda
paling tinggi 300 rupiah.3
Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencharian dalam mana dilakukan
kejahatan, dan hakim dapat memerintahan supaya putusannya diumumkan.3
Selanjutnya, saya akan sedikit membahas dari segi hukum perdata, yang berkaitan
dengan kasus ini, yang kebanyakan berkaitan dengan sanksi hukum akibat kelalaian atau adanya
keselahan yang dilakukan oleh pihak dokter.
16

Pasal 1338 KUH Perdata (wan prestasi)


Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.3
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.3
Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.3
Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya atau
kurang hati hatinya.3
Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Ayat 1 : Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.3
Ayat 2 : Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.3
Aspek Medikolegal
Dalam aspek medikolegal ini, tentunya hal yang harus kita perhatikan sebagai seorang
dokter adalah melakukan tindakan inform consent terlebih dahulu, sebelum melakukan
pemeriksaan, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kedepannya. Dan berdasarkan
ketentuan peradilan yang ada, maka saya akan menjelaskan tindakan inform consent tersebut.
Inform Consent
Persetujuan
Tindakan

Medik.

Peraturan

Menteri

Kesehatan

No.

585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis.1


Pasal 1 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut.1,3

17

Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik.1,3
Tindakan invasif adalah tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
jaringan tubuh.1,3
Dokter adalah dokter umum/spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang
bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek perorangan/bersama.1,3
Pasal 2 PerMenKes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.1,3
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.1,3
Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
risiko yang dapat ditimbulkannya.1,3
Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
serta kondisi dan situasi pasien.1,3
Pasal 4 PerMenKes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.1,3
Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya kecuali bila dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak diberikan informasi.1,3
Dalam hal-hal sebagaimana yang disebut di pasal (2) dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada terdekat dengan didampingi oleh
seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.1,3
Berikut akan saya jelaskan, apa yang dimaksud dengan tindakan informed consent.
Dimana inform consent sendiri terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya;
sehingga dapat dikatakan bahwa informed consent merupakan alat paling penting dalam
hubungan dokter-pasien pada masa kini.

18

Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter dan
pasien; kemudian keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan
informed consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan
pengobatan penyakit; dan perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang
bakal dilakukan; kemudian informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima
atau menolak tindakan medic yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi
lain; dan pasien yang kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa
tindakan ini dapat mengancam nyawa pasien; namun terdapat dua kondisi di mana informed
consent dikecualikan yaitu, dimana pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik
terhadap dirinya kepada dokter, dan apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter
yang merawatnya, dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal
dilakukan; kemudian dalam keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien
dapat berdampak besar terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional, contohnya adalah
apabila pasien cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya, namun
di sini seorang dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima
berita tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien. 5
Berikut gambar yang menunjukkan salah satu tindakan inform consent kepada pasien.

Gambar No.6 Seorang Dokter Memberikan Penjelasan Terkait Kondisi Pasiennya dan
Memberikan Pilihan Terapi kepada Pasiennya
Sementara itu, untuk pasien inkompeten, dimana pasien inkompeten adalah mereka yang
tidak mampu membuat keputusan untuk diri mereka sendiri seperti anak, individu dengan
gangguan psikologi atau neurologi berat dan pasien yang tidak sadar; berdasarkan WMA
19

Declaration on the Rights of the Patients, apabila pasien tidak mampu membuat keputusan untuk
dirinya sendiri, perlulah mendapat kebenaran dari wakilnya; dan apabila tidak dapat ditemukan
wakil dan pasien memerlukan tindak medis segera, dokter perlulah memikirkan bahwa pasien
sudah bersetuju dengan tindakan yang bakal dilakukan melainkan telah tercatat bahwa pasien
tidak bersetuju dengan tindakan tersebut sebelumnya; dan apabila pasien adalah anak, hak
diberikan kepada mereka yang bertanggungjawab terhadapnya; namun, pasien harus ikut serta
dalam pembuatan keputusan dan memahami tindakan yang bakal dilakukan. 5 Berikut gambar
dari seorang pasien inkompeten.

Gambar No.7 Anak-Anak Merupakan Contoh dari Pasien Inkompeten


Selain itu kerahasiaan pasien juga merupakan hal yang penting, dimana dasar dari
kerahasiaan pasien itu sendiri adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien;
kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga seorang
dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran dari pasien itu sendiri
kecuali diminta oleh hukum; dan dokter juga dibenarkan untuk membuka rahasia pasien apabila
pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri; dan dalam keadaan di mana pasien
dapat menimbulkan bahaya kepada orang sekitarnya, dokter dapatlah memberitahu mereka yang
mungkin beresiko terhadap penyakit pasien tersebut, dimana contohnya adalah memberitahu
pasangan pasien dengan HIV/AIDS tentang penyakitnya apabila pasien enggan untuk melakukan
seks dengan perlindungan.5

Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia)

20

Selanjutnya, saya akan membahas mengenai kode etik kedokteran, terutama yang
berkaitan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, atau biasa disingkat dengan KODEKI.
Tentunya kode etik tidak lepas dari kata etik itu sendiri. Dimana etik secara sederhana
merupakan etika merupakan kajian mengenai moralitas refleksi terhadap moral secara sistematik
dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau,
sekarang atau masa mendatang; dimana moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan
tindakan yang dilakukan manusia; dan bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti "hak",
"tanggung jawab", dan "kebaikan" dan sifat seperti "baik" dan "buruk" (atau "jahat"), "benar"
dan "salah", "sesuai" dan "tidak sesuai"; dan kemudian menurut dimensi ini, etika terutama
adalah bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana
melakukannya (doing); kemudian hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan
kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara
diantara pilihan cara yang lain.2
Pada bagian ini, saya akan coba membahas mengenai kode etik kedokteran yang berlaku
di Indonesia. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional; dimana Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap
sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri; dan selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia
dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan
Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essential dalam
pelayanan klinik, yaitu:
Medical indication
Kedalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang
sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya; penilaian aspek indikasi
medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmalificence; dan kemudian pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh
informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.1
Patient preferences

21

Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban
yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy; dan pertanyaan etika
meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan keputusannya,
pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien dalam keadaan tidak
sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.1
Quality of life
Top quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane; dan dalam bagian ini
juga memuat apa, siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan
pertanyaan etik sekitar prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence
dan autonomy.1
Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mendahului
keputusan seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber
daya dan faktor hukum.1
Kemudian, Kedokteran Indonesia (KODEKI) , yang terbagi menjadi 4 kewajiban, yaitu
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban
terhadap diri sendiri; berikut pasal-pasal yang terkait dengan aspek hukum dalam kasus ini.1,4
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.1,4
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.1,4
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.1,4
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.1,4
Pasal 5

22

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.1,4
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.1,4
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.1,4
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat

manusia.1,4
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan

penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.1,4


Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan

hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.1,4


Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani.1,4
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya

seorang

dokter

harus

memperhatikan

kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan


yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya.1,4
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.1,4
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
23

Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien; dimana dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.1,4
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.1,4
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.1,4
Pasal 13
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.1,4
Kewajiban Dokter Terhadap Sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.1,4
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.1,4
Kewajiban Dokter Terhadap Dirinya Sendiri
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.1,4
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.1,4
Keseluruhan dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut, harus dipatuhi, dan
dilaksanakan sebagai seorang dokter Indonesia. Sehingga apabila seorang dokter yang melanggar
kode etik yang telah disepakati tersebut, maka pelanggarnya tersebut dapat dikenakan sanksi.

24

Standar Operasional Prosedur (SOP)


Pada standar operasional proedur kasus ini, saya akan lebih membahas hal yang berkaitan
dengan prosedur therapy yang harus dilakukan untuk pasien dalam kondisi mengalami
karsinoma kolon. Akan tetapi, saya akan membahas sedikit terkait dengan karsinoma kolon
secara garis besarnya.
Epidemiologi
Insidens karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya; insidens pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada
orang muda; sekitar 75% ditemukan di rektosigmoid; kurang dari 50% karsinoma
kolon dan rektum ditemukan di rektosigmoid, dan merupakan penyakit orang usia
lanjut.6
Etiologi
Berbagai polip kolon dapat berdegenerasi menjadi maligna sehingga polip kolon
harus dicurigai; radang kronik kolon, seperti kolitis ulserosa, atau kolitis amuba
kronik, juga beresiko tinggi menjadi maligna; faktor genetik kadang berperan,
wlaupun jarang; kemudian kekurangan serat, dan sayu-mayur hijau serta kelebihan
lemak hewani dalam diet merupakan faktor resiko karsinoma kolorektal.6,7
Klasifikasi
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum sendiri dibagi berdasarkan gambaran
histologisnya, dimana stadium pertumbuhan karsinoma dibagi menurut klasifikasi
Dukes; berikut tabel yang menunjukkan klasifikasi Dukes.6
Tabel No.1 Klasifikasi Karsinoma dan Rektum Dukes6
Dukes

Dalamnya Infiltrasi

Terbatas di dinding usus


Menembus lapisan

B
C
C1

muskularis mukosa
Metastasis kelenjar limfe
Beberapa kelenjar limfe dekat
tumor primer
25

Prognosis Hidup Setelah 5


Tahun
97%
80%
65%

C2
D

Dalam kelenjar limfe


Metastasis jauh

35%
<5%

Metastasis
Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang di mjkosa dan bertumbuh sambil
menembus dinding dan meluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral; di daerah
rektum, penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua sentimeter; penyebaran
perkontinuitatum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya, misalnya
ureter, buli-buli, uterus, vagina, atau prostat; penyebaran limfogen terjadi ke
kelenjar parailiaka, mesenterium, dna paraaorta; penyebaran hematogen terutama
ke

hati;

sementara

penyebaran

peritoneal

mengakibatkan

peritonitis

karsinomatosa dengan atau tanpa asites; penyebaran intralumen dapat terjadi.6


Gambaran Klinis
Gejala klinis karsinoma kolon kiri berbeda dengan kanan; karsinoma kolon kiri
sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis, dan
obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat; sementara pada karsinoma
kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih cair, sehingga tidak ada faktor
obstruksi; gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada, dan umumnya
gejalanya timbul karena penyulit, seperti gangguan faal usus, obstruksi,
perdarahan, atau akibat penyebaran.6
Pemeriksaan
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut; terabanya tumor
menunjukkan bahwa keadaan sudah lanjut; pemeriksaan colok dubur merupakan
suatu keharusan, dan dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoid; foto kolon
dengan barium merupakan kelengkapan dalam menegakkan diagnosis, dan biopsi
dapat dilakukan dengan endoskopi.6
Penatalaksanaan
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindakan bedah, dimana tujuan
utama tindak bedah ialah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif
maupun nonkuratif; kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif, dan tidak memberi
manfaat kuratif; tindak bedah terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan
kelenjar limfe regional; bila sudah terjadi metastasis jauh, tumor primer akan
direseksi juga dengan maksud mencegah obstruksi, perdarahan, anemia,
26

inkontinensia, fistel, dan nyeri; bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan
gejala penyebaran lokal maupun jauh, dan pada tumor sekum atau kolon
ascendens dapat dilakukan hemikolektomi kanan, dilanjutkan dengan anastomosis
ujung ke ujung; pada tumor di fleksura hepatika dilakukan juga hemikolektomi;
pada tumor kolon transversum dilakukan reseksi kolon transversum yang
dilanjutkan dengan anastomosis ujung ke ujung sedangkan pada tumor kolong
desendens, dilakukan hemikolektomikiri; pada tumor sigmoid dilakukan reseksi
sigmoid, dan pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan
amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles, dimana pada
operasi ini, anus juga turut dikeluarkan.6
Tumor yang teraba pada pemeriksaan colok dubur umumnya dianggap terlalu
rendah

untuk

tindakan

preservasi

sfingter

anus;

eksisi

lokal

dengan

mempertahankan anus hanya dapat dipertanggung jawabkan pada tumor tahap


dini; pada pembedahan abdominoperinela menurut Quenu-Miles, rektum, dan
sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan
retroperitonela sampai kelenjar limf retroperitonela; kemudian anus dieksisi
melalui insisi perineal, dan dikeluarkan seluruhnya bersama rektum melalui
abdomen; reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparatomi
menggunakan alat stapler untuk membuat anostomosis kolorektal atau koloanal
rendah; kemudian eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada
karsinomoa terbatas, dan seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara
lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat
penyebaran di dalam dinding rektum dan adanya kelejar ganas pararektal; cara
lain yang dapat digunakan atas indikasi dan seleksi khusus ialah fulgerasi
(koagulasi listrik), dimana pada cara ini, tidak dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologik, dan cara ini kadang digunakan pada penderita yang beresiko tinggi
untuk menjalani pembedahan; kemudian kaogulasi dengan laser dapat digunakan
sebagai terapi paliatif, sedangkan radioterapi, kemoterapi, dan imunoterapi dapat
digunakan sebagai terapi adjuvan; kemudian tindak bedah yang didahului dan

27

disusul radioterapi disebut terapi sandwich; keseluruhan dari terapi tersebut dapat
memberikan efek positif untuk waktu terbatas.6
Pada terapi paliatif, reseksi tumor secara paliatif dapat dilakukan untuk mencegah
atau mengatasi obstruksi atau menghentikan perdarahan supaya kualitas hidup
penderita lebih baik, dan jika tumor tidak dapat diangkat, dapat dilakukan bedah
pintas atau anus preternaturalis; dan pada kasus metastasis hati yang tidak lebih
dari dua atau tiga nodul, dapat dipertimbangkan eksisi metastasis; kemudian
pemberian sitostatik melalui arteri hepatika, yaitu perfusi secara selektif, yang
kadang ditambah lagi dengan terapi embolisasi dapat berhasil menghambat
pertumbuhan sel ganas.6,7
Dampak Hukum
Selanjutnya, saya akan membahas mengenai dampak hukum yang dapat ditimbulkan
apabila tindakan yang dilakukan dokter diketahui ternyata melanggar sumpah, dan kewajibannya
sebagai seorang dokter, dan juga payung hukum yang melindugi seorang dokter apabila
tindakannya dianggap tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku.
Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek
medik
Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan; dimana seorang dokter dapat
memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya
dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf
yang ditetapkan di dalam KUHP.8
Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra; di sini dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur, sehingga rekam medik (medical
record) dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi;
cara dan tahapan mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga
28

melakukan tindakan malpraktek medis adalah dengan dibentuknya Majelis


Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bekerja sama dengan
pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) atas dasar hubungan lintas sektoral
dan saling menghargai komunitas profesi; dan dalam tahapan mekanisme
penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI menentukan tiga jenis
pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana, sementara untuk
pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK),
pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI),
dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian
dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau ke pengadilan negeri; dan apabila kasus
dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter
yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan
haknya dalam hukum yang ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55, Pasal
57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP); dan apabila kasus dilimpahkan kepada tingkat
pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam
medik (medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1
KUHAP).3,8
Hukum kedokteran akibat kelalaian
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya
kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya;
dimana tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata,
dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian; dan dalam
bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang
merupakan sebutan genus (kumpulan) dari kelompok perilaku profesional
medis yang menyimpang dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian
bagi pasiennya; tentunya gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi
dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini,
yang dimulai dari kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan
kemudian; kemudian perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan
tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran
tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain; dan juga
29

wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan; tentunya gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian
tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.8
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang sudah saya paparkan di atas, dimana pada kasus kali ini
terdapat seorang pasien berusia 62 tahun yang datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon
yang telah terminal, dan ia meminta juga kepada dokter apabila ia mendekati ajalnya agar
menerima terapi yang minimal saja, dapat disimpulkan hal tersebut dapat dikatakan masih
diperdebatkan apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Akan tetapi, apabila terdapat
pernyataan tertulis, atau surat perjanjian dengan pasien tersebut yang didasari dengan adanya
nilai-nilai hukum, serta keputusan dari pasien tersebut diketahui oleh keluarganya, maka
tindakan tersebut dapat dilakukan karena sesuai dengan kaidah dasar bioetika kedokteran, yakni
autonomy, bahwa seorang dokter harus menghargai keputusan yang diambil oleh pasien tersebut.
Akan tetapi, jika tindakan pembiaran tersebut tidak didasari dengan adanya keputusan atau
persetujuan tertulis yang didasari dengan adanya nilai-nilai hukum, maka sebagai dokter tidak
seharusnya kita melakukan pembiaran tersebut yang dapat menyebabkan pasien tersebut
meninggal dunia, karena hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip dasar bioetika kedokteran
yakni beneficence. Untuk itu perjanjian secara tertulis yang telah disepakati oleh pasien, keluarga
pasien, pihak dokter, dan juga pihak rumah sakit yang didasari dengan adanya nilai-nilai hukum
harus dibuat terlebih dahulu sebelum dilakukannya tindakan pembiaran seperti yang diinginkan
atau dikehendaki oleh pasien berusia 62 tahun tersebut. Tanpa adanya hal tersebut, maka seorang
dokter berhak menolak hal tersebut, karena bertentangan dengan sumpah atau kewajibannya
sebagai seorang dokter.

Daftar Pustaka

30

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. 1st ed. Jakarta : Pustaka
Dwipar; 2005.h.29-85.
2. Sampurna B. Etika kedokteran indonesia dan penanganan pelanggaran etika di indonesia.
2005. Diunduh dari http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/, 7 Januari 2012.
3. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peraturan
perundang-undangan bidang kedokteran. 2nd ed. Jakarta : Penerbit FKUI; 1994.h.20-51.
4. Fakultas Kedokteran USU. Kode etik kedokteran indonesia dan pedoman pelaksanaan kode
etik

kedokteran

indonesia.

2006.

Diunduh

dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf,

:
7

Januari 2013
5. Williams JR. World medical association : medical ethics manual. 2 nd ed. Ferney-Voltaire
Cedex : The World Medical Association, Inc; 2009.h.7-128.
6. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. 3 rd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2011.h.774-9.
7. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. 1st ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.h.81-94.
8. Pinzon R. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. 36 th ed. Jakarta : Kalbe Farma;
2009.h.208-10.

31

Anda mungkin juga menyukai