POLIP NASAL
Dokter Pembimbing :
dr. Pramono, Sp.THT-KL
Disusun Oleh :
Reni Herlinawati
20100310018
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT
RSUD TEMANGGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. AD
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur
: 49 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Karangtengah,Tanjungsari
No RM
: 144149
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
1. Keluhan utama
Pasien datang ke RSUD Temanggung dengan keluhan hidung terasa buntet
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merasakan hidung buntet terutama sebelah kiri + 1 bulan, 3 hari SMRS,
pasien juga mengaku pilek dan serasa mencium bau busuk pada hidung. Gejala
juga disertai batuk, nyeri kepala, dan pilek, namun tidak disertai demam. Pasien
mengaku hampir selalu pilek tiap hari semenjak 1 tahun yang lalu, dan semakin
memberat 1 bulan SMRS, warna ingus encer dan 3 hari terakhir SMRS menjadi
kekuningan. Pasien mengaku sudah diberi obat warung namun tidak membaik.
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat atopi diakui (urtikaria), riwayat pilek berulang diakui, riwayat batuk
berulang disangkal, riwayat hipertensi dan DM disangkal.
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat atopi pada keluarga diakui (anak ke dua dermatitis kontak iritan), riwayat
penyakit serupa disangkal.
5. Riwayat personal sosial
Pasien seorang security yang sering berjaga malam dan terkena angin malam,
perokok aktif 1 bungkus/hari, peminum teh dan kafein.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : baik
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
Tekanan darah
Suhu
Nadi
Respirasi
Mata
: 130/70 mmHg
: 36,4 C
: 72x / menit
: 16x / menit
: Conjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
: normal / normal
: tidak ada / tidak ada
: tidak ada / tidak ada
: tidak ada / tidak ada
: tidak ada / tidak ada
: tidak ada kelainan / tidak ada kelainan
: CAE lapang , serumen tidak ada / CAE lapang, serumen tidak
ada
: hiperemis -/- , edema -/- , reflex cahaya +/+
: tidak dilakukan / tidak dilakukan
: devisiasi -/: hambatan -/: tak ada kelainan, nyeri tekan : nyeri tekan (+)
: letak di sentral
: tidak teraba
: ttidak teraba
: T1 T1, permukaan tidak hiperemis, detritus (-), permukaan
licin (+)
Mulut
Mukosa oral
Lidah
Thorax
: licin
: kotor (+)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: datar
: peristaltik
: redup
: supel, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-), turgor kulit baik
Ekstremitas
Akral hangat pada ke 4 ekstremitas (+), perfusi jaringan baik (+), turgor kulit baik (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Saran :
Pemeriksaan Lab Darah rutin
GDS, ureum, kreatinin
EKG
Foto thoraks
Patologi anatomi massa
E. RESUME
Pasien datang dengan keluhan hidung buntet selama satu bulan disertai pilek yang
kambuh-kambuhan selama satu tahun dan memberat dalam satu bulan terakhir. keluhan
disertai batuk dan nyeri kepala, namun tidak disertai demam. Pasien memiliki riwayat
atopi, begitu pula dengan keluarga pasien. Pasien seorang security yang sering berjaga di
malam hari dan terkena angin malam, perokok aktif, peminum kafein dan teh.
Pada pemeriksaan fisik terutama bagian hidung, ditemukan masa pada meatus
media nasal sinistra dengan bentuk polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan.
Dokter mendiagnosis pasien dengan polip nasal sinistra dan merencanakan
polipektomi.
F. PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Polip nasal adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga hidung.
Polip nasal juga dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema, jaringan
fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan kelenjar. Polip nasal muncul seperti
anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari dalam kompleks ostiomeatal.
Polip nasal terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel inflamasi dan beberapa
kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel, terutama epitel
pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet. 4, 5, 6
2. ETIOLOGI
Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi utama dari
inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis dapat
menyebabkan polip nasal. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan polip nasal
seperti alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin, asma, sindrom
Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), fibrosis kistik,
Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis kronis, bronkiektasis,
situs inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia, polip
nasal).7
3. EPIDEMIOLOGI
a. Frekuensi
Prevalensi penderita polip nasal belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasal dilaporkan 1
2% pada orang dewasa di Eropa. Dengan perbandingan pria dan wanita 2-4 : 1. Di
Amerika Serikat prevalensi polip nasal diperkirakan antara 1 4%. Pada anak-anak
sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos
di Denmark memperkirakan insidensi polip nasal sebesar 0,627 per 1000 orang per
tahun. Prevalensi di Indonesia 0,2% 4,3%.1, 2, 3
b. Mortalitas/ Morbiditas
Tidak ada mortalitas yang signifikan yang dikaitkan dnegan polip nasal.
Morbiditas biasanya berhubungan dengan perubahan kualitas hidup, obstruksi nasal,
anosmia, sinusitis kronik, mendengkur, dan drainase post nasal. Dalam beberapa
kondisi, polip nasal dapat mengubah kerangka kraniofasial karena polip yang tidak
diangkat dapat mencapai hingga intrakranial dan kedalam kubah orbital. 8
c. Ras
Polip nasal didapati pada semua ras dan kelas sosial. 8
d. Jenis Kelamin
Rasio pria berbanding wanita sebesar 2-4 : 1 pada orang dewasa, rasio pada
anak-anak tidak dilaporkan. Beberapa artikel mengatakan bahwa rasio anak-anak yang
memiliki polip nasal yang memerlukan tindakan bedah menunjukkan prevalensi yang
sama antara anak laki-laki dan perempuan walaupun datanya belum disimpulkan. Studi
epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa rasio pria dan wanita adalah 2-3 : 1. 3, 8
e. Usia
Polip nasal benigna multiple biasanya bermanifestasi pada pasien dengan usia
lebih dari 20 tahun dan lebih sering pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Polip
nasal jarang ditemukan pada anak dibawah 10 tahun. 8
4. PATOGENESIS
5. GEJALA KLINIS
Gejala utama dari polip nasal adalah sumbatan hidung yang terus
menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga
mengeluh keluar ingus encer dan post nasal drip. Anosmia dan hiposmia juga
menjadi ciri dari polip nasal. Sakit kepala jarang terjadi pada polip nasal.3, 9
6. DIAGNOSIS
a. Pemeriksaan Rhinoskopi
b. Pemeriksaan Nasoendoskopi
c. Pemeriksaan Histopatologi
banyak)
Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung banyak sel
(III)
(IV)
d. Pemeriksaan Laboratorium
Anak-anak dengan polip nasal yang berhubungan dengan rhinitis alergi harus
dievaluasi dengan pemeriksaan serologi radioallergosorbent test (RAST) dan beberapa
bentuk allergic skin test.
Tes Sweat Chloride atau tes genetic untuk cystic fibrosis (CF) dilakukan pada
setiap anak-anak dengan polip nasal benigna multipel.
Nasal smear dilakukan untuk mencari tahu ada tidaknya eosinofil untuk
membedakan antara penyakit sinus alergi atau nonalergi untuk mengindikasikan
pemberian glukokortikoid. Adanya neutrofil menunjukkan sinusitis kronis. 8
e. Pencitraan
Kriteria standar untuk mengevaluasi lesi pada nasal, khususnya polip nasal atau
sinusitis adalah dengan menggunakan CT Scan maxillofacial, axial sinus dan coronal
plane. Foto polos tidak memiliki hasil yang signifikan setelah polip telah terdiagnosis. 8
Pemeriksaan MRI dilakukan apabila ada kemungkinan keterlibatan atau
ekstensi intrakranial dari polip nasal.8
Gambar 4. CT Scan coronal menunjukkan setengah dari cavum nasal sinistra diisi oleh polip.
Asma
Cystic fibrosis
Neuroblastoma
Neurofibromatosis
Rhabdomyosarcoma
Sinusitis.8
8. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Farmakologis
Terapi primer yang diberikan untuk polip nasal adalah dengan memberikan
steroid nasal baik oral ataupun topical. Antihistamin, dekongestan dan cromolyn
sodium hanya memberikan sedikit manfaat. Immunoterapi berguna untuk mengatasi
rhinitis alergi, tetapi jika hanya ini saja yang dilakukan, biasanya tidak dapat mengatasi
polip. Antibiotik diberikan apabila ditemukan infeksi.8
Kortikosteroid adalah pilihan terbaik, baik topical ataupun sistemik. Injeksi
langsung ke polip tidak diperbolehkan oleh FDA karena didapati laporan kehilangan
penglihatan pada 3 pasien setelah injeksi steroid intranasal dengan menggunakan
Kenalog. Keamanan mungkin bergantung pada ukuran partikel obat yang spesifik;
dimana obat-obat dengan berat molekul yang besar seperti Aristocort lebih aman dan
sedikit berkemungkinan untuk ditransfer ke daerah intracranial. Hindari injeksi
langsung ke dalam pembuluh darah.8
Steroid oral adalah terapu untuk polip nasal yang paling efektif. Pada orang
dewasa, sebagian besar penulis menggunakan prednisone (30-60 mg) selama 4-7 hari
dan di taper untuk 1-3 minggu. Dosis untuk anak-anak bervariasi, tetapi dosis
maksimum biasanya 1 mg/ kgBB/ hari selama 5-7 hari, dan di taper sampai 1-3
minggu. Responsivitas terhadap kortikosteroid terlihat bergantung pada ada atau
tidaknya eosinofil; yang mana, pasien polip nasal dan rhinitis alergi atau asma
seharusnya merespon terhadap pengobatan ini.8
Pasien dengan polip yang tidak didominasal oleh eosinofil (misalnya pasien
dengan systic fibrosis [CF], primary ciliary dyskinesia syndrome, atau Young
syndrome) mungkin tidak dapat merespon terhadap steroid. Penggunaan jangka
panjang steroid oral tidak direkomendasikan karena banyaknya efek samping potensial
yang dapat ditimbulkan (seperti retardasi pertumbuhan, DM, hipertensi, efek
psikotropik, efek samping pada GI, katarak, glaucoma, osteoporosis, dan nekrosis
aseptic pada kepala femoral).8
Banyak penulis menganjurkan pemberian steroid nasal untuk polip nasal, baik
sebagai terapi primer atau sebagai terapi lanjutan setelah dilakukan pemberian steroid
oral ataupun pembedahan. Kebanyakan steroid nasal (misalnya fluticasone,
beclomethasone, budesonide) efektif mengurangi gejala dan meningkatkan aliran udara
di hidung ketika diukur secara objektif (pada pasien kontrol dan placebo). Pada 19 studi
yang dilakukan, ditemukan hasil yang sama. Preparasi steroid topical seperti
fluticasone, mometasone dan budesonide menunjukkan perbaikan gejala nasal pada
pasien dengan polip nasal. Beberapa studi mengindikasikan fluticasone memiliki onset
kerja yang lebih cepat dari beclomethasone. 8
10. PROGNOSIS
Kekambuhan polip nasal merupakan hal yang umum terjadi setelah terapi
medis ataupun pembedahan jika ditemukan polip nasal benigna multipel. Satu polip
nasal yang besar jarang menyebabkan kekambuhan.8
G. DAFTAR PUSTAKA
1. Hanis IF, Raharjo SP, Arfandi RB, Djufri NI. 2010. Hubungan antara
Stadium Polip Nasal dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah
berdasarkan Gambaran Timpanogram. Tesis. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
2. Fransina, Sedjawidada R, Akil A, Perkasa F, Punagi AQ. 2008. The Decrease Of
Nasal Polyp Size After Cox-2 Inhibitor Treatment In Comparison With
Corticosteroid Treatment. Makassar: FK Hasanuddin.
3. Ferguson BJ, Orlandi RR. 2006. Chronic hypertrophic rhinosinusitis and nasal
polyposis. Di dalam: Bailey et al (eds) Head & Neck Surgery Otolaryngology.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. Hal 393-98.
4. Erbek et al. 2007. The Role of Allergy in the severity of nasal polyposis. Am
J Rhinol 21: 686-90.
5. Tos M, Larsen PL. 2001. Nasal polyps: origin, etiology, pathogenesis, and
structure. Di dalam Kennedy et al (eds), Diseases of the Sinuses Diagnosis
and Management. London: B.C. Decker. Hal 57-9.
6. Fokkens W, Lund V, Mullol J. Chronic Rhinosinusitis with or without nasal
polyps. Dalam: International Rhinology. EPOS 2007. Hal 8-20.
7. Kirtreesakul V. 2002. Update on nasal polyps: etiopathogenesis. J Med
Assoc Thai 88(12): 1966-72.
8. McClay JE. 2014. Nasal Polyps. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/994274-overview#a0199. [Accessed on 16
November 2014].
11. King CH. Allergic and Polips. In: Allegic ENT Practice A Basic Guide.
Thieme, New York. Stutgart 1998: 370-1.
12. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 5. FKUI
Jakarta 2001:96-8.
13. Newton JR, Ah-See KW. 2008. A review of nasal polyposis. Therapeutics
and Clinical Risk Management 4(2): 507-12.
14. Assanasen P, Naclerio RM. 2001. Medical an surgical management of nasal
polyps. Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery 9:2736
15. Tos M, Larsen PL. 2001. Nasal polyps: origin, etiology, pathogenesis, and
structure. Di dalam Kennedy et al (eds), Diseases of the Sinuses Diagnosis
and Management. London: B.C. Decker. Hal 57-59.
16. Bernstein JM. 2001. Nasal polyps. Dalam: Kennedy et al (eds), Diseases of
the sinuses diagnosis and management. London: B.C Decker. Hal 69-71.
17. Bachert et al. 2003. An up date on the dignosis and treatment of sinusitis and
nasal polyposis. Allergy 58:176-191.