Anda di halaman 1dari 10

Norma nofita sari pemberian tindakan ambulasi dini terhadap penurunan intensitas

nyeri pada asuhan keperawatan tn. S dengan post alaparatomi di ruang hcu bedah
rumah sakit dr. moewardi Surakarta, 2015, stikes kusuma husada Surakarta 2015
Pengaruh mobilisasi terhadap kesembuhan luka pada pasien post laparatomi abdus
salam 2012
1. Konsep laparatomi
a. Pengertian laparatomi
Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan denga cara membuka
dinding abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen (Jitowiyono, 2010).
Laparatomi merupakan penyayatan operasi melulai dinding abdominal
midline atau flank untuk melakukan visusalisasi organ didalam
abdominal(Boden, 2005).
b. Etiologi
Indikasi laparatomi adalah trauma abdomen (tumpul atau tajam)/
rupture hepar, peritonitis, perdarahan saluran pencernaan (Internal
Bloodong), sumbatan pada usus halus dan besar, dan massa pada
abdomen (Jitowiyono, 2010).
Kasus-kasus yang terdapat pada kasus laparatomi, yaitu: hernotorni.
Gasterektomi, kolesistoduodenostomi, heparatokmi,
splenorafi/splenotomi, apendektomi, kolostomi, dan fistultomi atau
fistulektomi (Jitowiyono, 2010).
Ruben eka mulya, pemberian mobilisasi dini terhadap lamanya
penyembuhan luka post operasi apendektomi pada asuhan keperawatan
ny. S di ruang kantil 2 rsud karanganyar stikes kusuma husada Surakarta,
2015.
c. Jenis laparatomi
1) Midline incision
2) Paramedia, yaitu : sedikit ketepi dari garis tengah (kurang lebih 2,5
cm), panjang (12,5 cm)
3) Trasverse upper abdomen incison, yaitu : inisisi dibagian atasa,
misalnya pembedahan colesistotomy, splenektomy
4) Transverse lower abdomen incision, yaitu : insisi dibagian tasa,
misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy
5) Tranvsverse lower abdomen incision, yaitu: insisi melintang di bagian
bawah kurang lebih 4 cm diatas anterior spinal ilaka, misalnya : pada
operasi apndektomi.
Perawatan post laparatom adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasie-pasien yang telaj menjalani operasi pembedahan
perut.
d. Tujuan perawatan post laparatomi:
a) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan

b) Mempercepat penyembuhan
c) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi
d) Mempertahankan konsep diri pasien
e) Mempersiapkan pasien pulang
e. Indikasi
1) trauma abdomen (tumpul/atau tajam)
2) rupture hepar
3) peritonitis
4) perdarahan saluran pencernaan
5) Sumbatan pada usus halus dan usus bedar
6) Massa pada abdomen
HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DENGAN PENYEMBUHAN LUKA PADA PASIEN POST
OPERASI LAPARATOMY DI RUANG MAWAR RUMAH SAKIT SLAMET RIYADI
SURAKARTA Marjiyanto, Lilis Murtutik, Anik Suwarni Jurnal Ilmu Keperawatan
Indonesia Vol. 1, No. 1, Juli 2013
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen, bedah
laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang
dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan. (Medicastore, 2012).
Tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah
laparatomi yaitu: Herniotorni, gasterektomi, kolesistoduo-denostomi,
hepateroktomi, splenorafi/ splenotomi, apendectomy, kolostomi, hemoroidek-tomi
dan fistulotomi atau fistulektomi. Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan
dengan teknik sayatan arah laparatomi adalah berbagai jenis operasi uterus,
operasi pada tuba fallopi dan operasi ovarium, yaitu: histerektomi baik itu
histerektomi total, histerektomi sub total, histerektomi radikal, eksenterasi pelvic
dan salingo-coforektomi bilateral. Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan
laparatomi pada bedah digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan
pada pembedahan organ lain.

Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan berupa insisi dari


permulaan panggul atau sebagian dinding abdomen. Operasi ini
dilakukan untuk memeriksa masalah yang berhubungan dengan organorgan
pada abdomen seperti perut, hati, usus, ginjal, dan kandung
kemih. (Yagnik, 2007). Sedangkan, menurut Sjamsuhidajat dan Jong
(2005), bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan
pada daerah abdomen hingga ke cavitas abdomen yang dapat dilakukan
pada bedah digestif dan kandungan (obgyn).
Jenis tindakan laparatomi terbagi dua yakni tindakan bedah
digestif dan tindakan bedah kandungan. Adapun tindakan bedah digestif
yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu,

herniotomi, gasterektomi, kolisistoduodenistomi, hepaterektomi,


splenektomi, apendektomi, kolostomi, dan fistulotomi atau fistulektomi.
Sedangkan, tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan
tindakan laparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi
pada tuba fallopi dan operasi ovarium yang meliputi histerektomi, baik
histerektomi total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingingoferaktomi
bilateral. (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005)
Insidensi absolute untuk laparatomi antara lain, eviserasi di isi
abdomen, adanya udara bebas intraperitoneal, lavage abdomen yang
mendapatkan darah, dan renjatan persisten tanpa adanya cedera toraks,
spinal atau ekstremitas yang bermakna. (Eliastam, Sternbach &
Bresler, 1998)
Indikasi laparatomi antara lain :
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
b. Peritonitis
c. Perdarahan saluran pencernaan
d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar
e. Massa pada abdomen
Yagnik (2007) mengemukakan tujuan laparatomi, antara lain :
a. Memeriksa dinding anterior perut dan dinding posterior perut (Jika
perforasi dicurigai pada bagian dinding posterior).
b. Memeriksa duodenum untuk melihat adanya perforasi, keganasan,
diverticula dan lainnya.
c. Mengidentifikasi pertemuan duodenum dan jejunum.
d. Memeriksa colon ascendens, colon transversum, dan colon
descendens.
e. Memeriksa bagian retrovaginal pada kantung retrovesical untuk
mengangkat tumor.
f. Memeriksa bagian retroperitoneum, jika pada organ retroperitoneal
dicurigai adanya keadaan patologi.
2. Jenis Pembedahan
a. Bedah Digestif
Bedah digestif adalah pembedahan yang dilakukan pada organorgan
pencernaan. Beberapa diantara pembedahan itu adalah :
(Schwartz, 2000)
1) Apendektomi
Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat
apendiks yang mengalami inflamasi. Pembedahan ini
diindikasikan pada diagnosa apendisitis yang telah ditegakkan.
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu
atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan

pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu bisa pecah.


Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan
menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum).
Appendisitis bisa terjadi akibat penyempitan atau
penyumbatan yang menimbulkan timbunan lender di dalam
rongganya. Bila terjadi genangan lender disitu, kuman di dalam
usus besar bisa tumbuh cepat disana. Bila peradangan itu pecah,
maka kotoran manusia beserta kumannya menyebar ke rongga
perut. Makanya, bila peradangan ini tak dioperasi, bisa
mengakibatkan kematian. Penyumbatan usus buntu terjadi karena
pembesaran kelenjar dindingnya. Ini biasa terjadi pada anakanak.
Pada orang dewasa, penyumbatan terjadi karena gumpalan
tinja yang membatu, atau biji-bijian yang masuk ke dalamnya, cacing,
bahkan tumor.
2) Kolisistektomi
Kolisistektomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk
menangani pasien dengan batu empedu dan tumor empedu.
Operasi ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu :
a) Kolisistektomi terbuka, diindikasikan untuk kolik biliaris
rekuren yang diikuti oleh kolisistisis akut. Komplikasi
untuk prosedur ini yaitu cedera duktus biliaris, biasnya
terjadi kurang dari 0,2 % pada pasien.
b) Kolisistektomi laparaskopik, indikasi awal hanya pasien
dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya kolisistisis
akut. Keuntungan secara teoritis dari prosedur ini
dibandingkan prosedur konvensional yaitu mengurangi perawatan di rumah
sakit dan jumlah biaya yang
dikeluarkan. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insidensi
komplikasi mayor seperti misalnya cedera duktus biliaris
yang lebih sering selama operasi.
c) Kolisistostomi, sangat bermanfaat bagi pasien dengan
kolisistisis akut yang menderita sakit kritis atau beberapa
alasan lainnya yang tidak menggunakan anastesi umum
atau kolisistektomi formal. Operasi ini dilakukan melalui
insisi subkosta kecil.
3) Splenektomi
Splenektomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk
mengatasi penyakit karena gangguan hematologi seperti :
anemia hemolitik, purpura trobositopenik idiopatik, purpura
trombositopenik trombotik, hiperslenisme sekunder,
metaplasia myeloid, penyakit Hodgkin, limfoma, leukemia,

dan penyakit gangguan hemolitik lainnya.


Teknik operasi dengan melakukan insisi pada subkosta
kiri atau garis tengah. Komplikasi dari operasi ini meliputi
atelektasis lobus bawah kiri, hematoma subfrenik dan abses,
fistula pankreas dan pancreatitis, dan trombositosis. Infeksi berat pasca
splenektomi (OPSI) jarang terjadi dan terjadi lebih
sering setelah splenektomi untuk penyakit daripada
splenektomi untuk trauma.
4) Gasterektomi
Gasterektomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk
mengatasi penyakit yang menyerang lambung (gaster).
Pembedahan ini biasanya menjadi pilihan terakhir yang
dilakukan setelah melakukan terapi lain sebelumnya dan
mengalami komplikasi lain seperti perforasi, perdarahan atau
obstruksi. Beberapa penyakit lambung yang menggunakan
terapi pembedahan ini antara lain : disfungsi lambung, penyakit ulkus
(ulserasi peptic duodenum, ulserasi peptik
lambung, neoplasia lambung, dan keganasan lainnya).
5) Herniotomi
Herniotomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan
sebagai terapi pengobatan untuk penyakit hernia. Hernia
merupakan protusi/penonjolan isi rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga yamg bersangkutan. Pada
umumnya semua hernia harus diperbaiki, kecuali jika ada
keadaan lokal atau sistemik dari pasien yang tidak
memungkinkan hasil yang aman. Pengecualian yang mungkin
dari hal umum ini adalah hernia dengan leher lebar dan kantung
dangkal yang diantisispasi membesar secara perlahan.
6) Hemoroidektomi
Hemoroidektomi adalah pembedahan yang dilakukan
pada rectum dan anus untuk mengobati penyakit hemoroid.
Pembedahan adalah cara terakhir yang dilakukan apabila
pengobatan lain telah gagal untuk menyembuhkan penyakit
tersebut.
b. Bedah Kandungan
1) Seksio Sesarea
Seksio sesarea adalah pengeluaran janin melalui insisi
abdomen. Teknik ini digunakan jika kondisi ibu menimbulkan
distress pada janin. Kelainan yang sering memicu tindakan ini
adalah malposisi janin, plasenta previa, diabetes ibu, berat janin
lebih dari 3500 gram, disproporsi sefalopelvis janin-ibu, ekstensi
kepala yang berlebihan, prolaps tali pusat, disfungsi uterus,

mioma uteri, kematian perinatal atau trauma lahir sebelumnya,


kesukaran persalinan sebelumnya, peningkatan umur ibu, dan
ketuban pecah dini bila persalinan tidak secara spontan lebih dari
12 jam. seksio secarea dapat merupakan prosedur elektif atau
darurat. Digunakan peralatan laparatomi dasar dan peralatan
obstetrik lain. (Gruendemann & Fernsebner, 2005)
Tujuan melakukan seksio sesarea adalah untuk
mempersingkat lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya
robekan serviks dan segmen bawah rahim. Robekan pada serviks
dan segmen bawah rahim mudah terjadi bila anak dilahirkan
pervaginam karena daerah tersebut pada plasenta previa banyak
mengandung pembuluh darah. Tindakan seksio sesarea pada
plasenta previa, selain dapat mengurangi kematian bayi, terutama
juga dilakukan untuk kepentingan ibu. Oleh karena itu, seksio
sesarea juga dilakukan pada plasenta previa walaupun anak sudah
mati. (Sastrawinata, 2004)
2) Histerektomi
Pada beberapa kasus dan biasanya pada kasus dengan
penyulit perdarahan obstetri yang parah, tindakan histerektomi
pascapartum mungkin dapat menyelamatkan nyawa. Operasi
dapat dilakukan dengan laparatomi setelah persalinan
pervaginam, atau dilakukan bersamaan dengan sesar (disebut
histerektomi sesar). Sebagian histerektomi peripartum dilakukan
untuk menghentikan perdarahan akibat atonia uterus yang tak
teratasi, perdarahan segmen bawah uterus yang berkaitan dengan
insisi sesar atau implantasi plasenta, laserasi pembuluh besar
uterus, mioma besar, displasia serviks yang parah, dan karsinoma
in-situ. Gangguan implantasi plasenta, termasuk plasenta previa
dan berbagai plasenta akreta yang sering berkitan dengan cesar
berulang, sekarang menjadi indikasi tersering untuk histerektomi
cesar. (Leveno et al, 2009)
c. Range of motion (ROM) Exercise
Latihan ROM merupakan aktivitas terapeutik yang
mengutamakan pergerakan sendi. Latihan ini dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut: (Timby, 2009)
1) Untuk melenturkan sendi sebelum memulai suatu program latihan.
2) Untuk memelihara mobilitas dan kelenturan sendi pada klien tirah
baring dalam jangka waktu yang lama.
3) Untuk mencegah ankylosis (kehilangan permanen pergerakan sendi).
4) Untuk mengevaluasi respons klien saat mengikuti program latihan
yang bersifat terapeutik.
5) Selama latihan ROM, klien dibantu untuk melangkah agar sendi yang

jarang digunakan kembali aktif seperti sendi yang normal. Bila


memungkinkan, klien boleh latihan secara aktif pada beberapa sendi
sedangkan perawat membantu hingga klien mampu mandiri.
Tabel 2.1 Posisi dan deskripsi gerakan Range of motion : (Timby, 2009)
Posisi Deskripsi
Flexi Melipat dengan bentuk sudut yang berpotongan diantara dua
tulang yang saling berdampingan
Ekstensi Meluruskan dengan menambah sudut yang dibentuk oleh dua
tulang yang saling berdampingan hingga 180 derajat.
Hyperekstensi Menambah sudut yang dibentuk oleh dua tulang yang saling
berdampingan melebihi 180 derajat.
Abduksi Memindahkan / melangkah menjauhi garis tengah tubuh.
Adduksi Memindahkan / melangkah mendekati garis tengah tubuh.
Rotasi Memutar anggota tubuh dari satu sisi ke sisi yang lain.
Rotasi
eksternal
Memutar keluar, menjauh garis tengah tubuh.
Rotasi internal Memutar ke dalam, mendekati garis tengah tubuh.
Sirkumduksi Membentuk lingkaran.
Pronasi Pemutaran lengan bawah ke dalam
Supinasi Gerakan memutar lengan bawah ke luar.
Plantar flexi Membengkokkan telapak kaki.
Dorsal flexi Mengarahkan kaki ke arah dorsum atau sisi depan (anterior).
Inverse Menggerakkan telapak kaki mendekati garis tengah.
Eversi Menggerakkan telapak kaki menjauhi garis tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, M., Dayrit, MW. & Siswadi, J. (2008). Prinsip dan praktik
keperawatan perioperatif. EGC : Jakarta.
Bastable, Susan. (2002). Perawat sebagai pendidik. EGC : Jakarta.
Behtash N, Zarchi K, Ganjoei, A. (2006). Uterine involvement in advanced
epithelial ovarian cancer. Eur J Gynaecol, vol 31 (1), p 99.
Berman, A., Snyder, S., Kozier, B. & Erb, G. (2009). Buku ajar praktik
keperawatan klinis Kozier Erb. EGC : Jakarta.
Craven, RF. & Hirnle, CJ. (2000). Fundamentals of nursing : Concepts,
process,
and practice, ed 5. Wesley Publishing Company : California.
Sopiyudin. (2009). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan, ed 4.
Salemba medika : Jakarta.
Departemen Kesehatan Indonesia. (2008). Paparan menteri kesehatan R.I.
dalam
rangka ratas bidang kesehatan dengan presiden dan wakil presiden,
diakses tanggal 5 Desember 2010,

<http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/538/1/RATA
S%2019%20FEB2008%20FINAL.pdf>
Dinas Kesehatan Sulsel. (2008). Presiden pimpin rapat terbatas dinas
kesehatan,
diakses tanggal 10 November 2010, <http://dinkessulsel.
go.id/view.php?id=426&jenis=Berita>
Eliastam, M., Sternbach, George L. & Bresler, MJ. (1998). Penuntun
kedaruratan
medis. EGC : Jakarta.
Gruendemann, BJ & Fernsebner, B. (2005). Buku ajar keperawatan
perioperatif
vol.2 praktik. EGC : Jakarta.
Herjulianti, E., Indriani, TS. & Artini, S. (2001). Pendidikan kesehatan gigi.
EGC
: Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul & Uliyah, Musrifatul. (2008). Ketrampilan dasar praktik
klinik kebidanan, ed 2. Salemba Medika : Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah,
ed
2. Salemba Medika : Jakarta.
Johnson, JY., Temple, JS. & Carr, P. (2005). Prosedur perawatan di rumah :
Pedoman untuk perawat. EGC : Jakarta.
Laurens, Joyce M (2005). Arsitektur dan perilaku manusia. Grasindo : Jakarta.
Leahy, sJulia M & Kizilay, P. (1998). Foundation of nursing practice (A nursing
approach). WB Sounders Company : USA.
Leveno, Kenneth J, et al. (2009). Obstetri Williams : Panduan ringkas, ed 21.
EGC : Jakarta.
Mahardini, Fina. (2009). Hubungan antara tingkat pengetahuan perawat
dengan
perilaku pencegahan penularan dari klien HIV-AIDS di ruang Melati
RSUD Dr. Mawardi Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta :
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nashrulloh, Muhammad. (2009). Hubungan antara tingkat pengetahuan
perawat
dengan tindakan keperawatan dalam penanganan pasien pasca bedah
dengan general anastesi di Ruang Al Fajr dan Al Hajji RS. Islam
Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nasution, Evi S. (2010). Pengetahuan ibu tentang mobilisasi dini pasca
persalinan normal pervaginam di dusun IX desa Bandar Klippa Kec.
Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Tahun 2010. Karya tulis tidak diterbitkan.
Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Rineke
Cipta
: Jakarta.

Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian dan


keperawatan. Salemba medika : Jakarta.
Okwerita. (2008). Pengaruh penyuluhan terhadap pelaksanaan mobilisasi
dini
pasien paska bedah sesar di ruangan kebidanan RSUD Sungai Dareh
2008. Skripsi tidak diterbitkan. Padang : Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang.
Proudman, CJ.,Smith, JE., Edwards, GB, & French, NP. (2002). Patterns of
mortality and morbidity surgical colic cases. Equine vet J, vol 34 (5), p
432.
Sastrawinata, Sulaiman. (2004). Ilmu kesehatan reproduksi : Obstetri
patologi, ed
2. EGC : Jakarta.
Sastroasmoro, S & Ismael , S. (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian
klinis,
ed 3. Sagung Seto : Jakarta.
Sawitri, Kuning. (2008). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang
Mobilisasi dengan Perilaku Perawat dalam Mobilisasi Dini pada Pasien
Decompensasi Cordis di Ruang ICU-ICCU RS Islam Kustati Surakarta.
Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Schwartz, Seymour I. (2000). Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. EGC :
Jakarta.
Setiyawan. (2008). Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dengan perilaku
perawat dalam upaya pencegahan dekubitus di RS. Cakra Husada Klaten.
Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sjamsuhidajat & Jong. (2005). Buku ajar ilmu bedah. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. (2002). Buku ajar keperawatan
medikalbedah
Brunner & Suddarth, ed 8. EGC : Jakarta.
Suhartatik. (2002). Gambaran tingkat pengetahuan pasien post operasi
laparatomi tentang mobilisasi di instalasi rawat inap BRSD Kabupaten
Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. EGC : Jakarta.
Suratun., Heryati., Manurung, S. & Raenah, Een. (2008). Seri asuhan
keperawatan : Klien gangguan sistem muskuloskeletal. EGC : Jakarta.
Vogin, Gary. (2004). Laparascopy can decrease need for open procedurs in
trauma. Medscape medical news.
Wiyono, Narko & Arifah, Siti. (2008). Pengaruh ambulasi dini terhadap
pemulihan peristaltik usus pasien paska operasi fraktur femur dengan
anastesi umum di RS Kustati Surakarta. Journal news in nursing, vol. 1(2),
p. 57-62.

Wulandari, Wahyu. (2010). Hubungan antara tingkat pengetahuan perawat


tentang
pencegahan infeksi nosokomial dengan perilaku cuci tangan di RSUD. Dr.
Moewardi Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Yagnik, Vipul. (2007). Fundamentals of operative surgery. BI Publications Prt
Ltd : New Delhi.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN PERILAKU
PERAWAT PADA MOBILISASI DINI PASIEN PASCA LAPARATOMI
DI RSUP. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ANDI JUMRIATNA
K
C12107030
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

Anda mungkin juga menyukai