Anda di halaman 1dari 10

DESAIN PENELITIAN

A. JUDUL PENELITIAN
PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI MADRASAH ALIYAH NEGERI
2 PONTIANAK KELAS XII
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat
disimpulkan rumusan masalah salam penelitian ini meliputi:
1.

Masalah Umum

2.

Masalah Khusus

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan masalah di
atas adalah:
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.

Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan gambaran dan
pandangan

2.

Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini, mahasiswa khususnya program
studi pendidikan sosiologi dapat menjadikan penelitian ini sebagai
kerangka acuan

E. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Belajar Kognitivisme
Dalam (Khodijah. 2014: 76) mengatakan bahwa teori belajar
kognitif menjelaskan belajar dengan berfokus pada perubahanperubahan proses mental internal yang digunakan dalam upaya
memahami dunia eksternal. Teori-teori kognitif menekankan bahwa
dalam proses belajar pembelajar aktif dalam mengembangkan
permahaman mereka sendiri tentang topik yang mereka pelajari. dari
perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur mental
seseorang yang memberikan kapasitas untuk menunjukkan
perubahan perilaku. Fokus teori kognitif adalah potensi untuk
berperilaku dan bukan pada perilakunya sendiri. Teori belajar
kognitif menekankan pentingnya proses-proses mental berpikir, dan
memfokuskan pada apa yang terjadi pada pembelajar. Proses ini
memungkinkan pembelajar untuk menginterpretasikan dan
mengorganisir informasi secara aktif, inilah prinsip yang mendasari
semua teori kognitif.
Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Khodijah. 2014: 76)
mengemukakan psikologi kognitif merupakan orientasi teoristik
eklektik karena tidak ada teori belajar kognitif yang tunggal, tetapi
lebih pada sekumpulan teori kognitif.
Menurut (Iskandar. 2012: 90) domain kognitif adalah berpikir
berlandaskan menggunakan otak. Bloom mengkategorikan domain

kognitif kepada enam tingkat. Kefahaman (comprehension), aplikasi


(application), analisis (analysis), sintaksis (synthesis) dan penilaian
(evaluation).
Menurut (Khodijah. 2014: 76-77) diantara teori-teori
kognitif yang terkenal adalah teori Cognitive Field dan Informationprocessing theory.
1) Teori Cognitive Field
Menurut Kurt Lewin (dalam Khodijah. 2014: 77)
mengatakan bahwa:
Masing-masing individu berada dalam medan kekuatan yang
bersifat psikologis. Medan di mana individu bereaksi disebut
life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana
individu bereaksi, misalnya; orang-orang yang dijumpainya,
objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia
miliki.
Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat
dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur
kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari
struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan
motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih
penting pada motivasi dari reward. Lewin juga lebih setuju
dengan penggunaan istilah sukses dan gagal dari pada reward
dan punishment.
2) Teori Schema
Menurut (Khodijah. 2014: 77) teori schema
mengemukakan keberadaan struktur pengetahuan yang disebut

dengan schema atau schemata yang memiliki dua bentuk, yaitu:


berbentuk kejadian. Bentuk yang terakhir secara umum disebut
sebagai script. Meski schemata kadang-kadang menyebabkan
kita salah pengertian atau salah mengingat segala sesuatu,
schemata membuat kita mampu memecahkan masalah secara
lebih baik dan sangat membantu dalam mengkategorisasi,
memahami dan mengingat segala sesuatu.
Schema dibentuk melalui sebuah proses abstraksi. Schema
yang sudah terbentuk akan mempengaruhi apa yang diingat
tentang sebuah pengalaman melalui tiga proses, yaitu: seleksi,
pengambilan intisari, dan interpretasi. Schema juga dapat diubah
atau dimodifikasi dengan tiga proses, yaitu: penambahan,
penyesuaian, dan restrukturisasi. Siswa yang adaptif
memperoleh schemata dan memodifikasinya berdasarkan
pengalaman.
Brynes (dalam Khodijah. 2014: 78) mengatakan bahwa:
Ada tiga implikasi utama teori schema dalam praktik
pendidikan, yaitu:
a. Guru harus memandang belajar sebagai perolehan dan
modifikasi schema dan bukan perolehan tanpa makna.
b. Guru harus mengetahui bahwa tanpa berbagai alat bantu
belajar, siswa terkadang hanya menyerap sedikit
pengalaman atau pelajaran.
c. Belajar yang bermakna timbul bila siswa dapat
memasukkan informasi baru ke dalam schema yang telah
ada atau bila mereka dapat menciptakan schema baru
dengan cara analogi terhadap schemata yang lama.
3) Teori Pemrosesan Informasi (Information-Processing Theory)

Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Khodijah. 2014: 78)


mengemukakan bahwa teori ini merupakan salah satu teori
kognitif tentang belajar yang pertama dan paling berpengaruh.
Menurut Byrnes ( dalam Khodijah. 2014: 78)
mengemukakan bahwa teori pemrosesan informasi adalah teori
kognitif tentang belajar yang menggambarkan pemrosesan,
penyimpanan dan perolehan pengetahuan oleh pikiran.
Menurut teori ini, belajar adalah menyangkut tentang bagaimana
informasi dari lingkungan dapat disimpan dalam memori.
Menurut Atkinson dan Shiffrin (dalam Khodijah, 2014: 78)
mengemukakan model proses penyimpanan informasi yang
paling berpengaruh. Menurut Eggen dan Kauchak (dalam
Khodijah, 2014: 78-79) mengemukakan dalam hal ini adalah
model tersebut yang memiliki 3 komponen mayor, yaitu:
penyimpanan informasi (information store), proses kognitif
(cognitive process), dan metakognisi (metakognition).
Menurut Beyer (dalam Iskandar. 2012: 90) mengemukakan
bahwa:
Dalam model berpikirnya yang dikenali sebagai Function
Thinking, domain kognitif merangkumkan beberapa kedapatan
yang terdiri daripada, membuat keputusan (decision-making),
menyelesaikan masalah (problem-solving) dan membangun
konsep (conceptualizing) sebaagai tingkat yang tertinggi. Tahap
seterusnya adalah terdiri dari proses (processing) dan
pemaknaan (reasoning) dan tahap yang terendah sekali adalah
terdiri dari mengingat (recalling) dan menyimpan atau merekam
fakta.

B. Teori Stimulus Respon


Ada banyak teori belajar yang termasuk dalam paradigma
behavioristik. Tiga di antaranya yang terkenal adalah teori
Connectionism dari Thorndike, teori Classical Conditioning dari
Pavlov, dan teori Operant Conditioning dari Skinner. (dalam
Khodijah. 2014: 65)
Menurut Thorndike (dalam Khodijah. 2014: 65)
mengemukakan bahwa seluruh kegiatan belajar adalah didasarkan
pada jaringan asosiasi atau hubungan (bonds) yang dibentuk antara
stimulus dan respons. Karena itu, teori ini disebut juga S-R bond
theory atau S-R psychology of learning. Asumsinya bahwa otak siswa
dapat menyerap dan menyimpan jejak-jejak mental aspek individual
dari sebuah situasi. Bila aspek-aspek tersebut dirasakan, mereka
mengaktifkan jejak mental yang berhubunga. Jejak mental tersebut
pada gilirannya berkaitan secara kolektif dengan respons-respons
khusus. Bila asosiasi tersebut terbentuk utuh, setiap waktu bila
seorang siswa diahadpkan padab suatu situasi maka pasti akan
menunjukkan respons tertentu.
Menurut Ivan Pavlov (dalam Khodijah. 2014: 68-69)
mengemukakan dalam teorinya yaitu Classical Conditioning bahwa
refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilangkan.
a. Refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena
stimulus yang mengganggu (hilang untk sementara), dan

b. Refleks bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses


penyaratan kembali (reconditioning).
Menurut BF. Skinner (dalam Khodijah. 2014: 69)
mengemukakan pendapatnya dalam teorinya Operant Conditioning
yaitu berbeda dengan kedua tokoh behaviorisme sebelumnya yang
lebih menekankan pada respondent respon (reflexive response) yang
timbul karena stimulus tertentu, Skinner lebih menekan pada operant
response (instrumental response) yang timbul dan berkembangnya
diikuti oleh stimulus tertentu. BF. Skinner (dalam Khodijah. 2014: 69)
mengatakan bahwa:
Sebagian besar perilaku manusia adalah berua respons atau jenis
perilaku operant. Kemungkinan modifikasi perilaku tersebut juga
boleh dikatakan tak terbatas. Fokus teori ini adalah bagaimana
menimbulkan, mengembangkan, dan memodifikasi perilaku operant
tersebut dengan penguatan (reinforcement).
Menurut Skinner (dalam Khodijah. 2014: 69), perilaku
terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya.

C. Teori Konstruktivisme
Menurut Fosnot (dalam Khodijah. 2014: 80) mengatakan
bahwa konstruktivis adalah teori tentang pengetahuan dan belajar,
yang menguraikan tentang apa itu mengetahui (knowing) dan
bagaimana seseorang menjaadi tahu (comes to know).
Menurut Rumel Hart & Norman (dalam Khodijah. 2014: 80)
mengatakan bahwa:

konstruktivis memandang ilmu pengetahuan bersifat non-objective,


temporer, dan selalu berubah. Hal ini sesuai dengan pendapat radical
constructivists yang menyatakan bahwa pengetahuan itu terbentuk
terpisah di luar diri si pembelajar. Pengetahuan selalu mengalami
perubahan sejalan dengan proses asimilasi dan akomodasi, karena itu
guru harus memberikan kesempatan pada si pembelajar untuk
membangun konsep yang akurat tentang pengetahuan tersebut.
Menurut Khodijah (2014: 80) dari perspektif kontruktivisme,
belajar dipandang, belajar dipandang sebagai:
Belajar suatu proses pengaturan dalam diri seseorang yang berjuang
dengan konflik antara model pribadi yang telah ada dan hasil
pemahaman yang baru tentang dunia ini sebagai hasil konstruksinya,
manusia adalah makhluk yang membuat makna melalui aktivitas
sosial, dialog, dan debat.
Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Khodijah. 2014: 81)
mengatakan ada empat ciri teori konstruktivis, yaitu:
1) dalam proses belajar, individu mengembangkan pemahaman
sendiri, bukan menerima pemahaman dari orang lain,
2) proses belajar sangat tergantung pada pemahaman yang telah
dimiliki sebelumnya,
3) belajar difasilitasi oleh interaksi sosial, dan
4) belajar yang bermakna meaningful learning) timbul dalam tugastugas belajar autentik.
Menurut Wilson (dalam Khodijah. 2014: 81), inti dari kegiatan
pembelajaran dalam hal ini adalah penataan lingkungan belajar.
Lingkungan belajar berarti tempat di mana si pembelajar dapat bekerja
sama dan saling mendukung satu sama lain, sebagaimana mereka
menggunakan berbagai sarana dan sumber informasi dalam mencapai
tujuan belajar dan aktivitas pemecahan masalah.
Menurut Jean Piaget (dalam Khodijah. 2014: 81)
mengemukakan bahwa teori individual cognitive contructivist
berfokus pada konstruksi internal individu terhadap pengetahuan

Menurut Piaget (dalam Khodijah. 2014: 81-82), perkembangan


kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru
yang sebelumnya tidak ada. Dalam hal ini, perkembangan kognitif
manusia melalui 4 (empat) tahap, yaitu:
1) tahap sensori motoris (0-2 tahun), dimana anak belum
mempunyai konsepsi tentang objek secara tetap. Ia hanya dapat
mengalami hal-hal yang ditangkap melalui indahnya,
2) tahap preoperasional (2-7 tahun), dimana anak mulai timbul
perkembangan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal
yang dapat dijumpai,
3) tahap operasional konkret

D. Teori Koneksionisme

Daftar Pustaka
Khodijah, Nyayu. (2014). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Iskandar. (2012). Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Referensi.

Anda mungkin juga menyukai