LANDASAN TEORI
II.1
pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti
pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan
upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah
jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan
tunggal kerajaan (Negara).
Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat telah mengubah sifat upeti
(pemberian) yang semula dilakukan dengan cuma-cuma dan bersifat memaksa tersebut,
kemudian dibuatlah suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa
tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi adanya unsur
keadilan tersebut, maka rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam
pemungutan pajak, yang hasilnya nanti akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat itu
sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup
banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak. Akan tetapi, terlalu
banyaknya undang-undang yang dikeluarkan pada saat itu mengakibatkan masyarakat
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang yang
dibuat pada saat itu ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan,
dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah besamasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk melakukan reformasi undangundang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan
10
mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang bersifat lebih mudah
dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan
11
pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang
semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang
tersebut adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh).
UU No. 8 Tahun 1983 Tentang PPN dan PPnBM.
UU No. 12 Tahun 1985 Tentang PBB.
UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai (BM).
Dengan berkembangnya waktu, pemerintah akhirnya melakukan perubahan
12
2009.
Bea Materai
UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.
2. Pajak Daerah (UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah),
-
antara lain :
13
Pajak Provinsi, terdiri dari : Pajak kendaraan bermotor, Bea perolehan nama
kendaraan bermnotor, Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, Pajak rokok dan
Dilihat dari segi administrative yuridis, pajak digolongkan menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu :
1. Pajak Langsung, artinya pajak ini dipungut secara periodik, yakni dipungut secara
berulang-ulang dengan menggunakan penetapan sebagai dasarnya. Dan jika dilihat
dari segi ekonomis apabila beban pajak tidak dikenakan kewajiban atau diterapkan
untuk membayar pajak dengan pihak yang benar-benar memikul pajak merupakan
pihak yang sama. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
2. Pajak Tidak Langsung, artinya pajak ini dipungut secara tidak berulang-ulang. Dan
dari segi ekonomis apabila pihak wajib dapat mengalihkan beban pajaknya kepada
pihak lain, atau dengan kata lain antara mereka yang wajib pajaknya kepada pihak
lain, dengan benar-benar memikul beban pajak itu merupakan pihak yang berbeda.
Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Berdasarkan titik tolak pemungutannya, pajak dibedakan menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu :
1. Pajak Subjektif, merupakan pajak yang pengenaannya berpangkal pada diri orang
atau badan yang dikenai pajak (Wajib Pajak). Pajak ini dimulai dengan menetapkan
14
mencapai tujuan, dan sebagainya sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya
sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut, pajak
dipakai sebagai alat kebijakan.Misalnya, pajak atas minuman keras yang ditinggikan
untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
II.1.5 Teori Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak atau
memberikan justifikasi pemberian hak kepada Negara untuk memungut pajak, yaitu:
15
1.
Teori Asuransi,
Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena teori ini Negara melindungi
semua rakyat dan rakyat membayar premi kepada Negara.
2.
Teori Kepentingan,
Bahwa Negara berhak memungut pajak karena penduduk Negara tersebut mempunyai
kepentingan pada Negara, makin besar kepentingan penduduk kepada Negara maka
makin besar pula pajak yang harus dibayarnya kepada Negara.
3.
Teori
ini
mengusulkan
supaya
didalam
hal
pemungutan
pajak
pemerintah
Teori Bakti,
Mengajarkan bahwa penduduk adalah bagian dari suatu Negara oleh karena itu
penduduk terikat pada Negara dan wajib membayar pajak kepada Negara dalam arti
berbakti pada Negara.
5.
16
Negara dimana Wajib Pajak tinggal berhak mengenakan pajak terhadap semua Wajib
Pajak. Siapa saja yang bertempat kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala
penghasilan yang diperoleh di Indonesia, maupun diperolehnya di luar Indonesia.
2.
Asas Sumber
Pengenaan pajak tergantung adanya sumber di suatu Negara. Siapapun yang menerima
penghasilan dari Indonesia, akan dikenakan pajak oleh Negara Indonesia, baik bagi
Wajib Pajak bertempat tinggal di Indonesia, maupun di luar negeri.
3.
Asas Kebangsaan
Asas ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu Negara, dimana
setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indoneisa diperlukan untuk membayar
pajak.
Stelsel Nyata
Stelsel Campuran
17
Merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun
dihitung berdasarkan anggapan dan akhir tahun disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya.
melaporkan pajaknya sendiri. Intinya, pajak yang dipungut melalui usaha atau kerja dari
Wajib Pajak itu sendiri atau dengan kata lain Wajib Pajak sendirilah yang melakukan
pembayaran pajaknya.
Di Indonesia, caranya seperti berikut : Wajib Pajak menghitung berapa besarnya
Pajak Penghasilan yang dia miliki, kemudian memungut besarnya pajak milikinya
tersebut, kemudian membayarkan ke Bank yang tunjuk sebagai penerima pembayaran
pajak. Hal yang paling penting adalah melaporkan pajaknya dengan media SPT (Surat
Pemberitahuan) ke Kantor Pajak.
2.
(petugas pemungut pajak). Dalam sistem ini, pemungutan pajak dilakukan oleh
pemerintah, jadi yang menghitung dan memungut besaran pajak dari masyarakat adalah
petugas negara atau dilakukan oleh pihak negara.
3. Withholding Tax System
18
Pemungutan dan pemotongan pajak dalam sistem ini dilakukan oleh pihak ketiga selain
negara dan Wajib Pajak sendiri. Contohnya, dapat kita lihat pada pemungutan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi yang bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan.
Perusahaan biasanya, BUMN akan memotong dan memungut pajak dari penghasilan
bulanan yang dimiliki pegawainya. Dalam hal ini, perusahaan sebagai pihak ketiga.
Sistem ini juga berlaku di Indoenesia terutama pada kantor-kantor BUMN.
perjanjian kontraktual dimana dua atau lebih pihak menjalankan aktivitas ekonomi yang
tunduk pada pengendalian bersama.
Joint Venture adalah suatu unit terpisah yang melibatkan dua atau lebih peserta
aktif yang dijadikan sebagai mitra. Joint Venture merupakan kerjasama pemerintah dan
swasta dimana tanggung jawab dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal
penyediaan struktur. Terkadang disebut sebagai aliansi strategis yang meliputi berbagai
mitra, termasuk organisasi nirlaba, sektor bisnis dan umum. Menurut Peter Mahmud,
19
Joint Venture merupakan suatu kontrak antara dua perusahaan untuk membentuk satu
perusahaan baru, dimana perusahaan baru inilah yang disebut dengan perusahaan Joint
Venture. Sedangkan pengertian lain, menurut Erman Rajagukguk, Joint Venture adalah
suatu kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional yang
didasarkan pada perjanjian. Jadi pengertian ini lebih condong pada Joint Venture yang
bersifat internasional.
Adanya pengertian Joint Venture dari kedua pendapat tersebut, bahwasanya Joint
Venture ialah suatu perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dalam pengaturan Joint
Venture tersebut berada di luar KUH Perdata, karena Joint Venture termasuk ke dalam
perjanjian yang tidak bernama serta tidak diatur dalam KUH Perdata. Berdasarkan
pengertian dari kedua tokoh diatas, maka dapat kita ketahui adanya unsur-unsur yang
terdapat dalam Joint Venture, antara lain :
1. Kerjasama yang terjadi antar pemilik modal asing dan pemilik modal nasional.
2. Membentuk perusahaan baru antara perusahaan asing dan nasional.
3. Didasarkan pada suatu perjanjian atau kontraktual.
Meskipun banyaknya penyebutan yang digunakan dalam istilah lain dari bentuk
ventura bersama, namun semuanya sama-sama mengandung pengertian bahwa bentuk
aliansi ini merupakan suatu perikatan atau kerjasama antara dua badan atau lebih, untuk
menjalankan suatu aktivitas ekonomi yang terikat oleh suatu perjanjian kontraktual yang
membentuk suatu pengendalian bersama. Dengan pertimbangan bahwa istilah yang
digunakan untuk kerjasama bentuk model ini adalah ventura bersama, maka dalam
penulisan ini penulis menggunakan istilah Ventura Bersama/ Joint Venture, sementara
pihak yang berada dalam perikatan atau kerjasama disebut Venturer.
II.2.2 Ciri - ciri Umum Joint Venture
20
1. Dua atau lebih venture diikat oleh suatu perjanjian kontraktual (contractual
arrangement).
2. Perjanjian kontraktual tersebut menciptakan pengendalian bersama (joint control).
Walaupun suatu entitas hukum yang dikendalikan bersama (jointly controlled entity)
memenuhi definisi Joint Venture, akan tetapi perlakuan akuntansinya bagi para venturer
dan investor tidak diatur dalam PSAK No. 12.
II.2.3 Perjanjian Kontraktual (Contractual Arrangement)
Keberadaan perjanjian kontraktual membedakan Joint Venturedengan investasi
dalam perusahaan asosiasi yang investornya mempunyai pengaruh signifikan (PSAK
No. 15 tentang Akuntansi Untuk Investasi Dalam Perusahaan Asosiasi). Aktivitas yang
tidak disertai dengan perjanjian kontraktual yang menciptakan pengendalian bersama
(joint control) bukan merupakan Joint Venturemenurut PSAK No. 12.
Perjanjian kontraktual dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya dengan
suatu kontrak antar para venturer. Apapun bentuknya, perjanjian kontraktual biasanya
tertulis dan mengatur hal-hal tertentu seperti:
a. Aktivitas, jangka waktu dan kewajiban pelaporan dari Joint Venture tersebut.
b. Penunjukan pengurus Joint Venture dan hak suara para venturer.
c. Partisipasi finansial masing-masing venturer.
d. Cara pembagian output, pendapatan, beban atau hasil usaha Joint Venture kepada
para venturer.
Perjanjian kontraktual menciptakan pengendalian bersama terhadap Joint
Venture.Persyaratan tersebut menghendaki agar tidak ada satupun venturer yang dapat
mengendalikan sendiri aktivitas tersebut.Perjanjian tersebut mengatur pengembilan
keputusan penting yang memerlukan persetujuan dari seluruh venturer dan pengambilan
keputusan yang cukup mendapat persetujuan mayoritas para venturer.
21
II.2.5 Persamaan Dan Perbedaan Antara Joint Operation Dan Joint Venture
Bila dilihat dari pengertian dari masing-masing bentuk kerjasama ini,
berdasarkan Surat Dirjen Pajak Nomor S-323/PJ.42/1989 tentang masalah perpajakan
bagi bentuk kerjasama operasi, mendefinisikan Joint Operation sebagai kumpulan dua
badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek penggabungan yang
bersifat sementara sampai proyek tersebut selesai. Sedangkan Menurut Peter Mahmud,
Joint Venture merupakan suatu kontrak antara dua perusahaan untuk membentuk satu
22
perusahaan baru, dimana perusahaan baru inilah yang disebut dengan perusahaan Joint
Venture.
Meskipun banyaknya pengertian lain yang digunakan dalam bentuk ventura
bersama, namun semuanya sama-sama mengandung pengertian bahwa bentuk aliansi ini
merupakan suatu perikatan atau kerjasama antara dua badan atau lebih, untuk
menjalankan suatu aktivitas ekonomi yang terikat oleh suatu perjanjian kontraktual yang
membentuk suatu pengendalian bersama.
Dilihat dari penerapannya, bentuk penggabungan seperti ini bukanlah merupakan
Subjek Pajak dari pengenaan PPh Badan, namun penghasilan yang diperoleh atas bagi
hasil pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi atau
bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya, tetap merupakan Objek Pajak dan
dikenakan pada masing-masing badan yang menjadi anggota dalam menjalankan JO/ JV
tersebut. Meskipun macam bentuk penggabungan ini tidak dikenakan PPh Pasal 25 dan
PPh Pasal 29 di badan usahanya, tetapi mereka tetap diwajibkan memungut PPh Pasal
21/ 26, PPh Pasal 23, serta transaksi PPN atas setiap transaksi yang berkaitan dengan
penjualannya. Oleh karena itu bentuk penggabungan (Joint Operation dan Joint Venture)
ini harus memperoleh NPWP untuk tujuan administrasi dalam pemungutan PPh dan
PPN. Bentuk kerjasama ini tidak
membayar PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29, namun diwajibkan memotong dan memungut
PPh Pasal 21/ 26, PPh Pasal 23 dan PPN, serta menyetorkan ke kas Negara dan
melaporkannya ke KPP.
berbeda. Pernyataan ini dapat mengidentifikasikan 3 (tiga) jenis bentuk ventura bersama
yaitu, pengendalian bersama operasi, pengendalian bersama aset, dan pengendalian
bersama entitas. Yang secara umum dijelaskan sebagai, dan memenuhi definisi dari
ventura bersama. Karakteristik umum seluruh ventura bersama adalah sebagai berikut:
-
Banyak aktivitas dalam industri penambangan minyak, gas dan mineral yang
dilaksanakan melalui PBA misalnya, beberapa perusahaan minyak dapat mengendalikan
dan mengoperasikan bersama saluran minyak (oil pipeline). Masing-masing venturer
menggunakan saluran tersebut untuk mengangkut produknya dan memikul bagiannya
25
atas beban pengoperasian saluran tersebut dalam proporsi yang telah disepakati. Contoh
lain pengendalian bersama aset adalah bila dua perusahaan mengendalikan bersama
suatu properti, masing-masing venturer mendapat bagian atas pendapatan sewa dan
memikul bagiannya atas beban yang terjadi.
Sehubungan dengan bagian partisipasi (interest) venturer dalam pengendalian
bersama aset, setiap venturer membukukan dan menyajikan dalam laporan keuangannya
masing-masing:
a. Bagiannya (share) atas asset yang dikendalikan bersama, diklasifikasikan menurut
sifat dari aset tersebut, bukan sebagai investasi. Sebagai contoh bagiannya atas
saluran minyak diklasifikasikan sebagai aktiva tetap.
b. Setiap kewajiban yang menjadi tanggungannya sendiri, misalnya pinjaman bank
yang digunakan untuk membiayai partisipasinya pada Joint Venture.
c. Bagiannya (share) atas setiap kewajiban bersama yang ditanggung bersama oleh
para venturer sehubungan dengan Joint Venture.
d. Bagiannya (share) atas output Joint Venture,dan bagiannya atas beban bersama yang
terjadi pada Joint Venture tersebut, dan
e. Beban yang menjadi tanggungannya sendiri sehubungan dengan partisipasinya
dalam Joint Venture, misalnya bunga atas pinjaman bank yang digunakan untuk
membiayai partisipasinya pada Joint Venture.
Perlakuan akuntansi PBA mencerminkan substansi dan realitas ekonomi dan
bentuk formal Joint Venture. Pembukuan tersendiri untuk Joint Venture tersebut dapat
dibatasi misalnya pada beban bersama yang terjadi, yang akhirnya harus ditanggung
bersama oleh para venturer sesuai dengan pembagian yang telah disepakati. Laporan
keuangan tersendiri wajib disusun untuk Joint Venture tersebut apabila jumlahnya
material dan proyek kerjasama diselesaikan dalam jangka panjang. Jenis, bentuk, dan isi
laporan keuangan disesuaikan dengan kebutuhan venturer dan perjanjian kontraktual.
26
27
Pengusaha kecil diberikan pilihan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak
menjadi Pengusaha Kena Pajak. Artinya, hukumnya tidak wajib.
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, menyebutkan bahwa, yang termasuk
Pengusaha Kena Pajak yaitu :
a. Pengsuaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa
Kena Pajak (dalam tahap pra operasi/ belum berproduksi komersial), artinya
perusahaan tersebut belum memulai usahanya, tetapi dari kegiatan persiapan yang
dilakukan seperti pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa
Pengusaha ini berniat akan melakukan panyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena
Pajak.
b. Bentuk kerjasama operasi (Joint Operation/ Joint Venture) yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak. Apabila Joint Operation/ Joint
Venture tersebut hanya merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan
BKP/ JKP tetap dilakukan sendiri-sendiri oleh peserta Joint Operation/ Joint
Venture, maka Joint Operation/ Joint Venture tersebut tidak perlu dikukuhkan
menjadi
Venturedianggap
seolah-olah
merupakan
entitas
dari
perusahaan
28
Pajak ini muncul pada saat Joint Venturemelakukan pembayaran atau pengakuan
biaya sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilaukan oleh orang
pribadi dalam negeri. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor
36 Tahun 2008, tariff pajak yang berlaku menurut ketentuan dalam Pasal 21 Undangundang Pajak Penghasilan adalah :
1). Orang Pribadi
-
29
konsultan, dan jasa lainnya akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari
jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Mengenai jasa lain yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan
Undang-undang 36/ 2008. Dengan diterbitkannya PMK-244/PMK.03/2008 tanggal 31
Desember tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf C
Undang-undang Pajak Penghasilan. Pada tahun 2009, pasal 23 mempunyai dua macam
tarif. Karena sebelum tahun 2009, tarif pasal 23 hanya terdiri dari satu tarif 15% (dari
bruto maupun netto), dan sekarang tarif pasal 23 terdiri dari 2% dan 15% dari jumlah
bruto. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan hanya menjelaskan jenis jasa lain
yang dimaksud dalam pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, tanpa mencantumkan
perkiraan penghasilan netto seperti aturan PPh Pasal 23 terdahulu. Apabila ada jasa yang
tidak tercantum, maka jasa tersebut tidak akan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Seperti jasa konstruksi misalnya, maka atas Jasa Konstruksi tidak dipotong PPh Pasal
23, melainkan dikenakan pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2).
3. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
PPh pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa, atas penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap objek pajak penghasilan PPh Pasal 4
ayat (2) hanya sekali dikenakan dan tidak perlu dihitung lagi dengan tarif pajak Pasal 17
Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Apabila wajib pajak
atas penghasilannya telah dipotong final, maka :
30
1. Atas penghasilan tersebut tidak perlu dihitung lagi dalam SPT Tahunan (Badan atau
Orang Pribadi), hanya dilaporkan saja. Sehingga, apabila seluruh penghasilannya
merupakan penghasilan bersifat final, maka tidak ada PPh terutang atau SPT Nihil.
2. Apabila PPh yang bersifat final dipotong pihak lain, maka berhak meminta bukti
pemotongannya.
3. Yang menjadi objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final, antara lain :
a. Penghasilan berupa bunga deposito/ tabungan, diskonto SBI dan Jasa Giro (Pasal 4
Ayat (2) huruf a Undang-undang PPh Jo Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 Jo
KMK 51/ KMK. 04/ 2001.
b. Bunga obligasi dan surat utang Negara, Pasal 4 Ayat (2) huruf a Undang-undang PPh
Jo Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2009.
c. Bunga simpanan anggota yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi, (Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan Pasal 17 (7) Jo Peraturan Pemerintah No. 15
Tahun 2009.
d. Penghasilan berupa hadiah undian, (Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-undang PPh Jo
Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000.
e. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, dan transaksi penjualan saham
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura (PP Nomor 4 Tahun 1995).
f. Penghasilan dari transaksi pengalihan Hak Atas Tanah dan/ atau Bangunan (harta
berupa tanah dan/ atau bangunan dan usaha real estate), dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf d
Undang-undang PPh jo Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2008.
g. Persewaan tanah dan/ atau bangunan, dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996
jo Peraturan Pemerintah No. 05 Tahun 2012.
31
32
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 PP No. 28 Tahun 1988 jo.
Pengumuman Dirjen Pajak No. PENG-139/ PJ. 63/ 1989, terutang PPN.
Pada Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012, untuk penyerahan Jasa Kena
Pajak, ditegaskan bahwa Penyerahan Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai
jika dilakukan di dalam daerah pabean meskipun JKP tersebut nantinya akan
dimanfaatkan di luar daerah pabean. Penyerahan BKP/JKP untuk pemakaian sendiri baik
untuk tujuan produktif maupun tujuan konsumtif termasuk dalam pengertian penyerahan
yang terutang PPN.Namun PPN tidak dipungut khusus untuk pemakaian sendiri
BKP/JKP untuk tujuan produktif, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk
melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapat fasilitas dibebaskan dari
pengenaan PPN.
Telah diundangkan pada tanggal 3 Januari 2012 peraturan Pemerintah Nomor 1
tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
Beberapa hal yang baru adalah, penjelasan lebih mendalam tentang tanggung
jawab renteng. Pembeli BKP/ JKP baru tidak dapat dikenakan tanggung jawab renteng
jika tidak dapat membuktikan bahwa dia telah membayar PPN dan/ atau PPnBM kepada
penjual atau jika PPN dan/ atau PPnBM tersebut dapat ditagih kepada penjual.
33
Jika kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka pembeli BKP/ JKP dapat
ditagih PPN dan/atau PPnBM dengan menggunakan ketetapan pajak. PP Nomor 1 Tahun
2012 juga menghapus PP Nomor 144 Tahun 2000, sehingga jenis BKP/JKP serta kriteria
dan/ atau rincian BKP/ JKP akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan
dengan batasan sesuai Pasal 4A UU PPN.
II.2.9
1). Administrative Joint Venture, sering disebut sebagai Kerjasama Operasi dan 2). Non
Administrative Joint Venture. Dari segi permodalan, Joint Venture tidak terbagi atas
saham. Modal kerja Joint Venture berupa kelebihan kemampuan dari masing-masing
anggotanya yang dapat berupa : kemampuan penguasaan teknologi, financial support
yang kuat, spesialisasi keahlian, atau bahkan fasilitas penugasan semata.
1). Administrative Joint Venture
Dalam tipe Joint Venture ini, kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner
ditanda tangani atas nama Joint Venture. Dalam hal ini Joint Venture dianggap seolaholah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggung
jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas Joint Venture, bukan pada
masing-masing anggota Joint Venture. Masalah pembagian modal kerja atau pembagian
proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian
hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pda porsi
pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Venture
Agreement.
2). Non-Administrative Joint Venture
34
Joint Venture dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi
sering disebut dengan konsorsium. Di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat
langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini hanya bersifat
sebagai alat koordinasi.Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada
masing-masing anggota.
II.2.10
tegas bagaimana cara pemutusan kontrak, dan apakah dimungkinkan pemutusan secara
sepihak, dan apakah konsekuensinya jika terjadi pihak yang memutuskan secara sepihak.
Oleh karena itu, selain mekanisme atau proses yang jelas tentang pemutusan
kontrak, harus pula diatur konsekuensinya, atau kompensasi tertentu jika terjadi
pemutusan sepihak.
II.2.11
perjanjian
Joint
Venture
dalam
36
8. Perjanjian Joint Venture tentang penulisan laporan pertanggung jawaban masingmasing pihak.
Perjanjian Joint Venture merupakan sebuah keharusan untuk lancarnya pelaksanaan
kerja sama bisnis antar anggota Joint Venture. Hal ini juga dibicarakan oleh semua
anggota/ pihak yang akan bergabung dalam bisnis Joint Venture ini, sehingga
keselarasan dapat tercapai untuk mencapai sebuah kesuksesan.
II.2.12
harus dapat memahami ketentuan perpajakan yang ada (menyangkut hak dan
kewajibannya), disesuaikan dengan karakteristik usaha yang dijalankan. Berdasarkan
pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), bahwa subjek PPh terdiri
dari Orang Pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak, Badan dan Badan Usaha Tetap (BUT).
Walaupun bentuk kerjasama ini bukan merupakan Subjek Pajak, namun ia tetap
berkewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Berdasarkan Surat
Dirjen Pajak Nomor : S-323/PJ.42/1989 dinyatakan bahwa pemberian NPWP kepada
bentuk ventura bersama (Joint Venture) semata-mata hanya untuk keperluan
pemotongan/ pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPN atas
transaksi yang dilakukan atas nama ventura bersama.
II.2.13
37
38
Sering terjadi perselisihan mengenai tanggung jawab atas biaya yang sudah
dikeluarkan, manakala ternyata perusahaan Joint Venture gagal didirikan. Oleh karena
itu, kontrak Joint Venture harus mengantisipasi hal tersebut. Jika perlu disertai dengan
ketentuan ganti rugi jika ada pihak yang gagal melaksanakan kewajibannya.
II.2.14 Perlakuan Perpajakan Atas Ventura Bersama (Joint Venture)
A.
pajak badan. Hal ini dipertegas dengan rulling yang pernah dikeluarkan oleh pihak
Direktorat Jendral Pajak (DJP) Nomor SE-44/PJ./1994 Tanggal 24 Oktober 1994 yang
menyebutkan bahwa Joint Venture bukan subjek PPh Badan. Penegasan terakhir
mengenai posisi DJP ini dapat dibaca juga pada private ruling yang dikeluarkan oleh
pihak DJP melalui suratnya dengan Nomor: S-823/PJ.312/2002 tertanggal 24 Oktober
2002.
Meski demikian, merefer pada ketentuan Pasal 1 a UU KUP Nomor 16/2000 dan
Pasal 1 (2) huruf 1 UU PPN Nomor 18/2000, Joint Venture termasuk dalam ketegori
sebagai Wajib Pajak yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut atau pemotong pajak tertentu dan pengusaha kena pajak (PKP) yang
melakukan penyerahan barang/ jasa kena pajak.
Sehingga apabila Joint Venture telah memiliki NPWP, dengan statusnya bukan
sebagai objek pajak PPh badan, maka tidak ada kewajiban bagi Joint Venture untuk
melaporkan SPT 1771 karena bagian profit didistribusikan kepada para anggotanya
(dilaporkan dalam SPT PPh Badan anggota). Registrasi NPWP untuk Joint Venture,
lebih banyak ditujukan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan di bidang
withholding income taxes dan PPN.
39
B.
Kewajiban Withholding Income Taxes (PPh 4 Ayat 2 final, 21, 22, 23,26)
Secara garis besar, kewajiban withholding income taxes Joint Venture terkait
dengan pola atau bentuk Joint Venture yang dilakukan. Apabila seluruh transaksi antara
Joint Venture dengan pihka ketiga (khususnya subkontraktor) dilakukan atas nama Joint
Venture, maka Joint Venture berkewajiban untuk melakukan withholding (pemotongan/
pemungutan) atas pembayaran-pembayaran tersebut. Misalnya, apabila penyewaan
gedung kantor dilakukan atas nama Joint Venture kepada pemilik, maka kewajiban PPh
Pasal 4 Ayat 2 (final) sebesar 10% berada di tangan Joint Venture. Begitu pula jika Joint
Venture membayar gaji/ upah kepada karyawannya, maka Joint Venture terutang PPh 21/
26. Lebih jauh, apabila pihak Joint Venture melakukan pembayaran bunga dan jasa-jasa
sebagaimana diatur dalam Keputusan DJP No.KEP-305/2001, maka Joint Venture
terutang PPh Pasal 23.
Dalam hal masing-masing anggota Joint Venture
membayarkan sewa gedung, gaji/ upah, bunga dan jasa-jasa lain tersebut, maka Joint
Venture tidak terutang withholding income taxes PPh Pasal 4 Ayat 2 (final), PPh 21/ 26,
dan PPh 23. Kewajiban withholding income taxes akan menjadi tanggung jawab masingmasing anggota Joint Venture.
Apabila Joint Venture memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal
23, mengacu pada ketentuan Surat Edaran DJP Nomor SE-44/PJ./1994, maka
pemotongan PPh Pasal 23 oleh pemilik proyek dapat dilakukan dengan cara :
1). Pengajuan splitting/ pemecahan dan overbooking/ pemindahbukuan bukti
pemotongan PPh Pasal 23 atas nama Joint Venture kepada para anggotanya di KPP,
tempat Joint Venture terdaftar/ berkedudukan, untuk kemudian diklaim sebagi kredit
40
pajak dalam SPT PPh badan para anggota Joint Venture. Hal ini dilakukan pada kasus
pemotongan PPh Pasal 23 oleh pemilik proyek yang telah terlanjur dilakukan atas nama
Joint Venture.
2). Pemilik proyek membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas nama Joint Venture
dengan qq anggota (NPWP anggota Joint Venture) dengan menyebutkan jumlah pajak
porsi masing-masing anggota Joint Venture. Ini dapat diterapkan apabila pemotongan
Pasal 23 belum dibukukan.
C.
1).
Apabila seluruh transaksi dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama
Joint Venture, maka wajib untuk dikukuhkan sebagai PKP. Konsekuansinya, Joint
Venture berkewajiban untuk menerbitkan faktur pajak atas setiap billing yang timbul
akibat penyerahan BKP/ JKP dan melaporkan SPM PPN setiap bulannya. Perlu
diperhatikan di sini mengenai PPN masukan yang dapat diklaim oleh Joint Venture
dalam SPM yang dilaporkannya.
mengkreditkan PPN masukan sepanjang faktur pajak dengan jelas ditunjukan atas
NPWP Joint Venture. Setiap faktur pajak yang ditujukan dan atas nama anggota, tidak
dapat dikreditkan oleh Joint Venture sebagai PPN masukan.
2).
Sebaliknya, jika transaksi dengan pihak lain secara faktual dilakukan atas nama
keluaran para anggota Joint Venture. Dalam hal Joint Venture menunjuk Joint Venture
leader/ coordinator, setiap pembayaran imbalan jasa yang diberikan oleh leader/
coordinator kepada anggota lainnya, tetap terutang PPN.
D.
1).
Apabila salah satu anggota Joint Venture adalah WPLN, maka yang bersangkutan
Apabila Joint Venture menganut konsepsi KSF, dapat terjadi Joint Venture tidak
II.2.15
yang berisikan tentang tata cara pembubaran, likuidasi, dan konsekuensi hukumnya bagi
42
para pihak, juga konsekuensi terhadap pihak ketiga, termasuk karyawan, yang harus
dipenuhi oleh para pihak atau perusahaan Joint Venture yang terbentuk. Masalah
pembubaran Joint Venturejuga diatur dalam anggaran dasar perusahaan Joint Venture,
tetapi lebih baik jika dalam kontrak Joint Venturejuga diatur secara lebih lengkap.
Isi dari pernyataan pembubaran perusahaan Joint Venture, antara lain :
1.
2. Apabila perusahaan bubar sebagaimana diatur dalam angka (1) huruf a dan huruf b,
Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kakayaan perusahaan.
3.
4.
43