Anda di halaman 1dari 10

REFORMASI ADMINISTRATIF - GAYA AMERIKA

(Review Dari Tulisan Gerald E. Caiden: “Administrative Refom – American Style”)

Oleh :
Hendro Wardhono-Supriyadi-Suprawoto-Budi Rianto-Subiyantoro-Muchtar Setijohadi
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya)

Pengantar
Bahwa reformasi administrasi khususnya di bidang pelayanan publik di Amerika tidak
sebanding dengan banyaknya ide dan atau konsep reformasi administrasi yang digagas oleh
sejumlah pakar di negeri ‘Paman Sam’ itu. Banyak dari konsep yang ditawarkan oleh para pakar
tersebut justeru relatif berhasil diterapkan di banyak negara maju lainnya, tentunya dengan
‘modifikasi’ yang sesuai dengan konteks lokal (contexctual setting). Akan tetapi, dalam aktivitas
pelayanan publik (public service) di Amerika semangat membangun konsep reformasi tersebut
justeru acapkali hanya berada dalam tataran retorik dan belum sama sekali sepenuhnya
diimplementasikan dalam kegiatan administrasi pemerintahan, sehingga dalam beberapa kasus
masih sering dijumpai kegiatan pelayanan publik yang tidak efektif dan efisien yang
mengakibatkan ‘profil’ layanan publik di Amerika dalam beberapa tahun terakhir -dalam
bahasa tulisan ini- justeru telah “kehilangan kehormatannya”.

Konteks
Ketidakpuasan kalangan publik, para prefesional dan krirtik dari kalangan intelektual
selama bertahun-tahun akhirnya mencapai titik kulminasinya. Administrasi publik di Amerika
dituntut untuk membuang pemikirannya yang kuno dan membentuk kembali masa depannya
dengan memperbaiki kinerjanya, citranya, reputasinya dan modus operandinya. Institusi-institusi
dan organisasi-organisasi yang telah berkembang selama lebih dari dua abad terakhir ini
tampaknya tidak siap dan bahkan tidak sesuai untuk menghadapi masa depannya. Dan untuk itu
tindakan harus dilakukan sekarang jika prospeknya adalah untuk memperbaiki, Semakin lama
reformasi ditunda situasi akan semakin buruk (dan bila pemimpin enggan mengambil bagian
tersebut, maka rakyatlah yang akan mengambil inisiatif).
Mencermati dua institusi yang dalam tulisan ini disebut sebagai “Big Bussines’ dan “Big
Government”, hingga saat ini kondisinya cukup mengkhawatirkan karena kedua lembaga
tersebut -dalam operasinya- cenderung bereaksi terlalu lambat sehingga kepercayaan publik
terus merosot. Dalam kasus ‘Big Bussines’ atau identik dengan perusahaan besar, biasanya
kegagalan langsung mendapat respon serta ‘mau tidak mau’ memaksanya untuk melakukan
revitasilisasi dan reformasi. Sedangkan dalam kasus ‘Big Government’ mekanisme seperti itu
jarang sekali dilakukan sehingga kesalahan–kesalahan manajemen dan administrasi terus
terakumulasi (cenderung tidak responsif). Dan untuk mengubah ‘haluan’ tersebut pada umumnya
kalangan publik mengandalkan para ahli yang dapat memahami berbagai fenomena dan masalah
yang muncul. Di sisi lain para profesional dan atau birokrat tidak mau mempedulikan persoalan
tersebut sampai mereka diancam dengan tindakan ‘pembersihan’, pengurangan dan pemotongan
anggaran serta sejumlah ancaman lain, baru mereka akan bertindak dengan cepat untuk
melakukan reorganisasi, rekonstruksi, reformasi dan menciptakan kembali (reinventing).
Dengan begitu mereka memberikan kesan bahwa sejumlah masalah yang muncul (dalam
organisasi) telah ditangani sesuai dengan jalurnya masing-masing sehingga tidak diperlukan
tindakan lebih lanjut.

1
Selanjutnya, kaum profesional berargumen bahwa mereka sebenarnya telah mencoba
melakukan perubahan akan tetapi mereka tidak bisa melakukannya dengan sukses karena mereka
jarang sekali untuk melakukan eksperimen. Kaum profesional (dengan keyakinan mereka lebih
paham) jarang sekali mencoba untuk memahami apa yang diinginkan oleh publik. Mereka yakin
bahwa mereka bertanggung jawab untuk mengatakan pada publik apa yang sebaiknya dilakukan
dan bagaimana sebaiknya hal tersebut dilakukan.
Badan-badan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan PBB telah memperkerjakan para
pakar untuk menjelaskan dasar-dasar reformasi administrasi tetapi cenderung dengan ideolegi
yang pro bisnis dan anti pemerintah. Agenda-agenda mereka mencakup liberalisasi, deregulasi,
downsizing sektor publik, privatisasi, debirokratisasi, reformasi layanan sipil, reformasi
anggaran, penilain kinerja, pengeloaan gaya bisnis, transparansi jangka panjang, komputerisasi
dan mekanisasi serta produktivitas, efisiensi dan akuntabilitas yang lebih tinggi (Caiden, 1991).
Kampanye reformasi administratif global ini sebagian besar adalah hasil ‘kreasi’ para pakar
Amerika. Sebagian besar teori, ukuran-ukuran substantif, model dan contoh hukum berasal dari
Amerika Serikat. Namun mereka nyaris tidak menggoyangkan ‘posisi’ adminitrasi publik
Amerika. Bila berbicara tentang reformasi admnistratif, Amerika Serikat nyaris tidak melakukan
gerakan kecuali beberapa program reformasi yang telah dipublikasikan dengan intens (dan sudah
dirampingkan sedemikian rupa dari konsep aslinya). Tidak seperti negara-negara maju lainnya,
Amerika hampir tidak memiliki infrastruktur reformasi atau suatu badan negara yang didesain
untuk mekanisme pemerintahan Amerika dan secara terus menerus meningkatkan kinerjanya.
Dan itu berarti reformasi administartif di Amerika identik dengan NATO (No Action Talking
Only).
Dalam kenyataannya, Amerika telah jauh ketinggalan, mungkin sebenarnya Amerika-lah
yang lebih membutuhkan reformasi administratif daripada negara-negara maju lainnya. Praktek-
praktek yang dilakukannya terpaku ada teori-teori yang sudaha ketinggalan jaman. Baru pada
beberap tahun belakangan, beberapa profesional yang berkomitmen untuk memperbaiki sistem,
akan tetapi persepsi dari masyarakat luas telah menganggap bahwa sistem permerintahan
Amerika tidak berjalan dengan baik. Tanpa bisa disangkal, dibentuknya komisi Volcker, Winter
dan Clinton-Gore telah menunjukkan bahwa Amerika telah bergabung dengan pegerkan
reformasi administratif, paling tidak sudah berniat. Pembentukan komisi-komisi tersebut adalah
sebagaimana kebiasan yang dilakukan di Amerika, kapan saja kinerja pemerintahan
mengecewakan akan ditunjuk komisi penyelidik nasional untuk mendiagnosa dan memberikan
solusi-solusi praktis. Dalam konteks reformasi administratif di Amerika para eksekutif (birokrat)
diminta untuk melakukan beberapa perubahan sesuai dengan message (pesan) reformasi
administratif antara lain sebagai berikut :
 Memperbaiki keadaan dan menghapuskan lembaga-lembaga yang tidak berfungsi;
 Men-downsizing lembaga-lembaga yang memiliki kinerja yang buruk;
 Mengurangi overlapping dan duplikasi;
 Mengecilkan hierakhi dengan memotong sebagian besar middlle management;
 Menarik dan mempertahnakan pegawai yang berkinerja tinggi;
 Bereksperiman dengan partisipasi langsung (dengan masyarakat);
 Mengontrol pembiayaan-pembiayaan dan proses lobbying kampanye.
Dalam hal ini yang ditekankan adalah bukanlah menciptakan kembali (reinventing)
pemerintahan tetapi me-reformasinya dengan membuat proses anggaran menjadi lebih fleksibel,
melonggarkan prsedur personil dan membebaskan manajer-manajer publik untuk melakukan

2
pengelolaan secara ekonomis, efisien, kreatif dan efektif. Birokrasi yang kaku dan fleksibel harus
dihilangkan.

Diabaikannya Bukti
Meskipun para administrator publik dari seluruh dunia menjadikan Amerika Serikat
sebagai pemandu, Amerika sendiri mengabaikan apa yang telah terjadi di tempat-tempat lain
dalam membentuk kembali administrasinya. Amerika harus menengok negara yang paling dekat
dengannya, yakni Kanada sebagai pemimpin dalam refromasi dan inovasi administratif.
Menariknya, meskipun Big Bussinesdi AS telah mempelajari bangsa Jepang untuk memperoleh
inspirasi, mereka mengabaikan upaya-upaya pemerintah Jepang untuk menelaah Big
Government disana. Ketika para reforman Amerika akhirnya mempelajari pengalamn negara
lain,merke akan menemukan bahwa resep-resep mereka telah memberikan kesuksesan yang
bervariasi di tempat lain dan adakalanya semakin memperburuk masalah bukannya
memperbaiki.
Para reforman kebanyakan mengabaikan apa yang telah dijelaskan oelh Harold Seiman
sebagai “pemerintahan pihak ketiga” yakni pihak federal yang semakin bergantung pada
kontraktor, perusahaan-perusahaan nir-laba dan pemerintahan negara bagian serta lokal untuk
melaksanakan manajemen dan mendukung fungsi-fungsi dan penyampaian layanan. Seiman
menegasakan bahwa garis kewenangan yang jelas dan akuntabilitas tidak dapat dibentuk jika ada
kesepkatan-kesepakatan kontraktual. Kontrak dan atau kesepakatan tersebut tidak akan
mengurangi ukuran pemerintahan atau memperkecil scope tanggung jawab pemerintah, ataupun
membuat pemerintah lebihj terkontrol, terpercaya dan efektif. Masalah sebenarnya adalah
menemukan cara dan alat untuk bisa secara efektif mengelola rantai hubungan dalam
kepentingan publik dengan organisasi-organisasi yang memiliki struktur kewenangan dan
insentif mereka sendiri. Deregulasi mungkin akan semakin memperburuk keadaan jika
institusinya tidak terlebih dahulu diperbaiki.

Asumsi-Asumsi Yang Dipertanyakan


Seringkali debirokratisasi dan dergeluasi menjadi bagian dari masalah dan bukannya
sebagai solusi. Sebagai contoh, audit terhadap Los Angeles City Controller mengungkap bahwa
karcis parkir yang diterbitkan oleh kota dan ditarik oleh Lockheed Information Management
Services Co, mengalami defisit sekiar setengah juta dolar. Kesalahan perhitungan ini dikaitkan
dengan prosedur-prosedur akuntansi yang ceroboh dan pemantauan yang tidak memadai.
Pegawai-pegawai Lockheed yang memutuskan mengenai pembatalan karcis kurang di supervisi
(dengan kecurigaan bahwa karcis dibatalkan secara tidak benar) karena staff kota yang tidak
mencukupi. Terlebih, Lockheed telah menerima perlakukan khusus dari dewan kota New York
ketika menjalankan sebagian operasi parkir di kota itu. Kasus ini hanya contoh kecil dari apa
yang telah berlangsung dalam pemerintahan Amerika selama berpuluh-puluh tahun dan
diperburuk oleh pendekatan-pendekatan bisnis dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang
rutin. Yang diperlukan bukanlah solusi yang rumit, cukup bagi setiap orang untuk melaksanakan
pekerjaan yang seharusnya mereka lakukan sesuai dengan metode-metode pencatatan yang
sederhana yang disertai dengan integritas personal. Tetapi kasus (kecil) ini memunculkan
masalah yang lebih besar, paling tidak dapat dipertanyakan oleh reforman 4 (empat) asumsi yang
mendasarinya :
1. Mengisolasi & Mengabtraksi Manajemen Publik

3
Organisasi-organisasi publik tidak dijalankan untuk kepentingan para anggota atau manajer
mereka. Layanan pos bukan dijalankan demi kepentingan para pegawai dan kepala kantor
pos. Mereformasi layanan pos bukan sekedar menerapkan aturan-aturan manajemen ilmiah.
Setiap administrasi publik bersifat politis, ia merupakan instrumen politik dan didominasi
oleh nilai-nilai politik. Manajemen publik tidak bisa dipisahkan dari politik dan budaya
politik. Sudah sejak lama para adminsitrator negara mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa
bekerja dengan baik karena terlalu banyak gangguan politik dan terlalu sedikit otonomi,
kebebasan dan terlalu sedikit kemampuan untuk berinovasi. Tetapi ketika manajemen publik
dibebaskan dari intervensi politik, dan ketika para pakar menguasai bukan melayani, kondisi
administratif bisa jatuh tenggelam. Penekanan pada otonomi manajerial berarti men-transfer
kekuasaan kepada seseorang (selain dari perwakilan politik yang bisa dimintai tanggung
jawab secara langsung) untuk membuat keputusan-keputusan menurut suatu sistem nilai
tertentu. Administrasi publik dalam demokrasi bukan seperti menjalankan bisnis atau
memberikan komnado kepada tentara. Seperti yang diperingatkan oleh David Rosenbloom
bahwa para reforman kadangkala berupaya untuk membentuk kembali sistem politik untuk
melayani kebutuhan-kebutuhan manajemen yang lebih baik dan bukannya mengembangkan
manajemen yang lebih baik untuk melayani tujuan-tujuan sistem politik.
2. Bergerak Maju Secara Bertahap
Sistem pemerintahan Amerika sudah sejak lama terbelenggu dari susdur pandang
administratif. Ia tidak didesain untuk tindakan yang cepat atau responsif. Keseluruhan
banguna n (organisasi pemerintahan) perlu dirampingkan dan dimodernisasi. Tetapi konsitusi
tidak akan disentuh, demikian pula pembentukan kembali dan pen-desainan kembali entitas-
entitas pemerintahan. Yang dilakukan adalah distribusi kekuasaan yang lebih rasional antar
tingkat-tingkat pemerintahan. Kadangkala waktu dan peristiwa berubah terlalu cepat untuk
bisa diikuti oleh inkrementalisme. Karena itulah upaya untung-untungan dalam reformasi
admnistratif tidaklah cukup, dan harus diganti dengan struktur reformasi administratif yang
permanen dengan menggunakan konsep pengembangan secara berkesinambungan.
3. Mereka Yang Sukses Adalah Yang Paling Paham
Pemerintah Amerika yang mengalami kesulitan seringkali berpaling ke orang-orang sukses
dalam bisnis untuk meminta petunjuk. Bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa
mereka yang sukses lebih paham atau apa yang berlaku dalam bisnis juga akan berlaku dalam
pemerintahan..? “…administrasi publik merupakan sesuatu hal yang berbeda dan harus
diperlakukan secara berbeda”….
4. Memperoleh Lebih Banyak Hasil Dengan Sedikit Upaya
Dalam sektor swsata hal ini berarti memperoleh lebih banyak keuntungan dengan sedikit
biaya dengan syarat bahwa semua eksternalitas ditangani disuatu tempat lain. Berarti akan
menguntungkan mengganti karyawan dengan mesin dengan upah dan tingkat bunga yang
lebih rendah. Dalam konteks pemerintahan, hal ini berarti bahwa pemerintah bisa melakukan
pemghematan jika pemerintah berhenti melakukan apa yang semestinya dilakukan dan
mengurangi semua programnya. Para pegwainya diberhentikan, barang dan jasa publik (yang
sedikit) diberikan kepada mereka yang mampu membayarnya. Para pegawai negeri
dipekerjakan lebih keras dan lebih lama tanpa kompenasi yang sepadan. Dan ini berarti harus
ada salah satu yang rugi. Dan ini bukanlah elit manajerial, karena menurut para reforman,
sektor publik haruslah bersaing dengan mengadopsi tingkat kompensasi yang tidak masuk
akal sementara penghargaan bagi tenaga kerja selebihnya dikurangi atau dibekukan. Para

4
pegawai negeri akan terperangkap dalam treadmill, semakin baik kinerjanya semakin tingi
pula harapan masyarakat kepadanya.

Fokus Pada Sasaran Yang Salah


Tidak ada orang yang menyalahkan niat para reforman untuk memperbaiki proses-proses
administratif, tetapi sebenarnya ada sasaran yang jauh lebih besar dan sesuai. Jika para reforman
benar-benar ingin memberikan suatu dampak, mereka seharusnya menelaah masalah-masalah
yang benar-benar besar, seperti pada tingkatan federal sendiri, persaingan antar layanan (publik),
pengeluaran (biaya) dalam proses operasi intelejen militer dan sispil, program-program
pemberian hak (bantuan) yang keluar jalur , tidak adanya jaminan pendidikan dasar dan layanan
sosial serta kesepakatan-kesepkatan ‘tahu sama tahu’ antara pengatur dengan mereka yang
seharusnya diatur. Para reforman juga seharusnya menanyakan apa yang telah terjadi dengan
upaya-upaya dari badan-badan yang bertanggung jawab atas reformasi manajerial dan finansial.
Banyak dari usulan reformasi yang memiliki arah yang salah serta gagal dalam menunjukkan
bagaimana cara mengatasi permasalahan administrasi publik di Amerika yang lebih dalam tanpa
mengancam akuntabilitas demokratik atau memperkuat kepentingan pribadi dengan
mengorbankan kepentingan publik. Selain itu, sejumlah usulan reformasi tersebut tidak
menjelaskan bagaimana cara untuk menanggulangi budaya politik (dan administratif) yang hanya
melayani diri sendiri, memanfaatkan kantor dan dompet negara demi kepentingan pribadi dimana
para politikus, pelobi, kontraktor dan juga para pegawai pemerintahan turut pula berpartisipasi
dalam sistem pemerintahan yang bobrok.
Robert Denhardt mungkin berada dalam jalur yang lebih baik. Proposalnya untuk
merubah admnistrasi pulik di Amerika didasrkan atas nilai-nilai pelayanan administarsi publik
kepada masyarakat dan responsivitasnya, bukan hanya deregulasi dan debirokratisasi saja. Ia
ingin membuat hasil kerj apemerintah menjadi lebih berarti, bermannfaat dan mempunyai
komitmen tunggi pada kepentingan masyarakat. Ia jua ingin membangun sebuah organisasi yang
kreatif, responsif dan dibubuhi oleh semangat tanggung jawab yang baru. Ia menyatakan bahwa
inilah satu-satunya cara untuk mengembalikan tugas terpenting dalam masyarakat kita
(Amerika), yakni tugas untuk melayani orang lain, kembali ketempatnya yang benar dan
mengembalikan kehormatan dan martabat dari kegiatan pelayanan publik (Denhardt, 1993).

Pengalaman Indonesia : Sebuah Telaah Kritis…


Sejarah administrasi negara Indonesia dimulai ketika perang kemerdekaan usai. Sistem
Administrasi negara Indonesia segera dibentuk untuk menggantikan sistem administrasi kolonial
Belanda. Pegawai-pegawai pada sistem administrasi kolonial digantikan oleh pegawai-pegawai
Indonesia. Akibatnya terjadilah perekrutan besar-besaran untuk mengisi kekosongan pos-pos
yang ditinggalkan oleh pegawai-pegawai pemerintah kolonial. Rekruitmen tidak didasarkan oleh
keahlian dan dengan sumber daya yang belum memadai. Patronage, nepotisme dan feodalisme
masih cukup melekat dalam sistem administrasi negara Indonesia waktu itu. Birokrasi
berkembang menjadi sangat besar dan nilai-nilai tradisional masih ikut mewarnai kehidupan
birokrasi. Jumlah pegawai negeri lebih dari empat juta orang. Saat ini dengan pegawai berjumlah
diatas empat juta orang dan perbandingan dengan jumlah penduduk menunjukkan peningkatan
namun tidak demikian halnya dengan biaya yang disediakan bagi kegiatan operasional para
pegawai (biaya rutin). Pembiayaan rutin (gaji, perlengkapan, dan pemeliharaan bangunan)
kurang mendapat perhatian sebab dana APBN kebanyakan dipergunakan untuk membiayai pos
pengeluaran pembangunan dengan tujuan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan yang

5
tinggi. Ini menunjukkan peranan pemerintah yang masih cukup besar dalam menggerakkan
perekonomian negara.
Dari sisi budaya birokrasi, pengaruh budaya politik amat kentara dalam budaya birokrasi
Indonesia. Budaya paternalistik dan feodalisme yang sangat mewarnai budaya politik telah
merasuki budaya birokrasi di Indonesia. Sistem perencanaan yang sentralistis dan amat detail
telah mengurangi ruang gerak para pegawai untuk berinisiatif dan melakukan inovasi-inovasi.
Kriteria pengawasan yang mengandalkan ketaatan terhadap sistem dan prosedur menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penekanannya masih pada audit terhadap
pertanggung jawaban keuangan telah memacu munculnya formalitas dalam pengawasan dan
pertanggungjawaban pekerjaan (Kasim;1998).Lebih lanjut Kasim (1998) mengungkapkan bahwa
paling tidak ada lima masalah utama yang dihadapi oleh Sistem Administrasi Negara Indonesia
yaitu:
 Derajad sentralisasi yang sangat tinggi.
 Sistem anggaran yang memisahkan anggaran rutin dengan anggaran pembangunan.
 Sulit mencari titik temu dalam sistem perencanaan pembangunan nasional yang memakai
pendekatan dua arah, yaitu kombinasi pendekatan dari atas ke bawah (top down) dan dari
bawah ke atas (bottom up).
 Administrasi negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang
menekankan pada pengaturan semua kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan
perundangan-undangan (rules driven).
 Gabungan dari keempat masalah utama telah menghasilkan pelayanan administrasi yang
kurang memuaskan masyarakat karena prosedur yang berbelit-belit, biaya mahal,
pemberian pelayanan lambat dan ketidakpastian waktu dan biaya, sehingga transaction
cost menjadi tinggi.

Agenda Reformasi
Untuk mengatasi krisis, Indonesia meminta bantuan dana dari IMF sebesar US$ 43 juta.
Persyaratan yang diajukan oleh IMF agar dana bantuan itu cair antara lain adalah perlunya
Indonesia melakukan reformasi struktural. Tujuan reformasi struktural (sebagaimana
direkomendasikan oleh IMF) adalah untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi. Reformasi yang
disarankan oleh IMF seperti yang tertuang dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998
antara lain adalah : Bahwa reformasi struktural diperlukan untuk membawa kembali ekonomi
ketingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dengan mentransformasi high cost economy ke dalam
iklim yang lebih terbuka, kompetitif dan efisien.
Pada butir-butir selanjutnya IMF menyarankan untuk menghapuskan monopoli,
menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi dan perdagangan luar negeri. (Program
Reformasi dan Restrukturisasi ekonomi dan Keuangan, Bappenas, Januari 1998). Walaupun
kemudian dalam perundingan lanjutan antara pemerintah Indonesia dengan IMF ada beberapa
butir yang belum disepakati, 2 butir ditolak, 8 dirundingkan, dan 40 disetujui, pada sebagian
besar butir reformasi struktural disetujui oleh pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan. Dua
butir yang ditolak oleh pemerintah RI adalah pembubaran BPPC per 1 Juni 1998 dan
penghapusan tata niaga cengkeh per 1 Februari 1998, dan monopoli Bulog hanya untuk beras
saja. (Pilar, No.6/April 1998).
Agenda reformasi seperti yang disarankan oleh IMF akan memberikan hasil yang optimal
jika agenda tersebut juga dikaitkan dengan tuntutan pasar yang semakin global. Artinya agenda
tersebut tidak hanya bertujuan menyehatkan perekonomian Indonesia saja tetapi juga untuk

6
meliberalisasi sektor ekonomi dan transparansi dalam penetapan kebijakan publik. Tampaknya
tujuan akhir yang diharapkan oleh banyak pihak, seperti yang tampak dalam beberapa butir letter
of intent tersebut adalah bahwa pemerintah diharapkan mampu menyusun kerangka kelembagaan
yang kuat yang mampu menciptakan dan menjamin berjalannya perekonomian yang sehat
berdasarkan ekonomi pasar, tidak atas dasar monopoli. Bahkan dengan lebih tegas lagi Green
(1998) menyatakan bahwa untuk mempercepat pulihnya arus modal di ASEAN langkah
reformasi yang perlu dilakukan ASEAN adalah memperbaiki sektor keuangan, mendorong
transparansi usaha, melindungi hak cipta, menyingkirkan hambatan perdagangan bebas, dan
cronyism/koncoisme (Kompas, 3 April 1998)
Seperti sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa reformasi mengarah kepada
peningkatan daya saing Indonesia vis a vis negara lain dalam menarik investor dan dalam
bermain di pasar internasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mampu membangun
institusi yang mendukung berjalannya ekonomi pasar di dalam negeri. Reformasi institusi ini
pada gilirannya akan mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain. Pengertian institusi
menurut North (1990) adalah rules of the game in a society or, more formally, the humanly
devised constraints that shape human interaction.....Institutions reduce uncertainty by providing
a structure to everyday life. Dengan mengacu pada definisi yang diberikan oleh North dapat
dielaborasi bahwa sebenarnya di dalam institusi terdapat :
 Norma, budaya dan etika, yang merupakan suatu ketentuan yang tak tertulis tetapi
dipraktekkan;
 Rules, yaitu peraturan-peraturan formal yang tertulis; dan
 Structure, yaitu organisasi.
Dengan menggunakan definisi yang dikemukakan oleh North tersebut reformasi institusi
berarti reformasi dalam budaya, rules dan organisasi. Pertanyaannya adalah reformasi apa yang
harus didahulukan..?

Reformasi Organisasi
Masyarakat pasca produksi massal oleh Drucker (1994) disebut sebagai masyarakat pasca
kapitalis (The Post-Capitalist Society). Dalam masyarakat kapitalis yang merupakan unsur utama
dalam produksi adalah kapital, sumber daya alam, dan sumber daya manusia. Dalam masyarakat
pasca kapitalis unsur utama dalam produksi adalah pengetahuan (knowledge). Perubahan ini turut
mengubah konfigurasi kelompok utama masyarakat pasca kapitalis yaitu: knowledge (based)
workers; yang terdiri dari knowledge executives, knowledge professionals, dan knowledge
employees baik yang berada dalam sektor privat maupun sektor publik. Perubahan-perubahan
lingkungan kerja organisasi birokrasi yang fungsional telah menyebabkan organisasi birokrasi
tidak dapat lagi berfungsi dengan baik. Perubahan-perubahan lingkungan kerja tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut :

7
Perubahan-Perubahan Lingkungan Kerja
SEMULA SEKARANG
Unskilled work Knowledge work
Meaningless repetitive tasks Innovation and caring
Individual work Team work
Functional-based work Project-based work
Single skilled Multiskilled
Power of bosses Power of customers
Coordination from above Coordination among peers
Sumber: Gifford and Pinchot, Elizabeth. (1993).
The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent Organization.
San Fransisco: Berret-Koehler Publishers, Inc.

Perubahan lingkungan telah mempengaruhi para warga negara untuk merumuskan


kembali tuntutannya atas kinerja pemerintah. Warga negara menginginkan tersedianya lebih
banyak pilihan, dan dalam menggunakan pilihan tersebut warga negara dapat menggunakan
rasionya dalam mempertimbangkan pilihan-pilihannya (Self, 1993).Pemerintah juga harus
memikirkan ulang sistem birokrasinya. Konvergensi dua kepentingan ini akan memunculkan
suatu bentuk baru organisasi birokrasi pemerintahan yang lebih fleksible, ramping, dan cair
(fluid).
Administrasi negara diharapkan mampu menciptakan suasana yang lebih kondusif dalam
perekonomian yang didasarkan pada pasar bebas dan menyediakan ruang gerak yang lebih luas
bagi tumbuhnya inovasi dan partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian perlu ada pemisahan antara kegiatan birokrasi dan kegiatan ekonomi pasar.
Administrasi negara tidak masuk dalam kegiatan ekonomi pasar dan sebaliknya ekonomi pasar
tidak masuk dalam birokrasi.
Reformasi organisasi pemerintah ditujukan untuk membentuk organisasi yang ramping,
fleksibel, responsif dan mampu bekerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan. Untuk
menuju organisasi pemerintah yang reponsif dan mampu menciptakan iklim yang sehat dalam
kerangka ekonomi global dan market orientation, maka sistem organisasi birokrasi yang
sekarang digunakan perlu dikaji ulang.

Reformasi Budaya Organisasi


Perubahan produk perundangan-undangan (rule) juga perlu dibarengi dengan perubahan
pada tingkat tata nilai dan budaya. Peraturan adalah produk formal untuk kemudian
dinternalisasikan menjadi budaya organisasi. Produk formal sebaiknya diangkat dari
pengalaman, pengetahuan, kebutuhan dan keinginan seluruh warga negara dan administrasi
negara, kemudian secara bersama-sama merumuskan hal-hal yang tersembunyi untuk kemudian
diformalkan dan setelah itu di internalisasikan lagi menjadi budaya politik bangsa. Proses ini
dilakukan terus-menerus. Setiap anggota organisasi perlu selalu menempatkan dirinya pada
posisi siap belajar bersama-sama dan mengembangkan pengetahuan bersama-sama. Apa yang
dikemukakan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) tentang Knowledge Creation Company dapat
diadopsi dalam sektor publik. Menurut mereka pengetahuan dalam organisasi dapat ditumbuhkan
melalui apa yang mereka sebut “…organizational knowledge creation yaitu, the capability of a
company as a whole to create a new knowledge, dissiminate it throughout the organization, and

8
embody it in products, services, and systems…”. Warga negara dan administrasi negara yang
memiliki pengetahuan dan budaya politik yang baik akan lebih cepat didalam merespons
perubahan-perubahan lingkungan dengan demikian akan mempermudah pencapaian visi dan
misi yang sudah digariskan pada level policy.

9
KEPUSTAKAAN

Al Gore. (1995). Common Sense Government;Works Better Cost Less. New York:
Random House.
BAPPENAS. (1998). Program Reformasi Dan Restrukrturisasi Ekonomi Dan Keuangan.
Bainbridge, C. (1996). Designing for Change; a practical guide to business
transformation. West Sussex: John Willey & Sons Ltd.
Blau, PM. & Meyer, MW. (1987). Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: UI
Press.
Bromley, DW. (1989). Economic Interests &Institutions. New York: Basil Blackwell Inc.
Castells, M. (1996). The Rise of Network Society. Oxford: Balckwell Publishers Inc.
Dahl, RA. (1992). Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: YOI.
Drucker, P. (1994). Post Capitalist Society. New York: Harper Collins Publishers Inc.
Frederickson, GH. (1997). The Spirit of Public Administration. San Fransisco: Jossey
Bass Inc.
Gifford & Pinchot, E. (1993). The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent
Organization. San Fransisco: Berret-Koehler Publishers,Inc.
Gould, CC. (1993). Demokrasi Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hatch, MJ. (1997). Organization Theory. New York: Oxford University Press.

10

Anda mungkin juga menyukai