Anda di halaman 1dari 55

PRESENTASI KASUS

DIABETES MELLITUS TIPE II DENGAN URETEROLITHIASIA PADA


WANITA PARUH BAYA DENGAN KEKHAWATIRAN DAN KESALAHAN
PERSEPSI TERHADAP PENYAKITNYA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga
PUSKESMAS NGAMPILAN YOGYAKARTA

Disusun oleh
DITA ANISSA FITRIANI
20100310173
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus
DIABETES MELLITUS TIPE II DENGAN URETEROLITHIASIA PADA
WANITA PARUH BAYA DENGAN KEKHAWATIRAN DAN KESALAHAN
PERSEPSI TERHADAP PENYAKITNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga
di Puskesmas Ngampilan Yogyakarta
Disusun oleh :

Dita Anissa Fitriani


20100310173
Dipresentasikan pada :
Hari, Tanggal : Rabu 28 Oktober 2015
Tempat : Puskesmas Ngampilan Yogyakarta
Menyetujui,
Dokter Pembimbing Universitas

Dokter Pembimbing Puskesmas

dr. Titik Hidayati, M.Kes.

dr.Khairani Fitri
Mengetahui,
Kepala Puskesmas Ngampilan

dr. Dina Kartika Sari

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus bagian
Ilmu Kedokteran Keluarga yang berjudul diabetes mellitus tipe ii dengan batu
saluran kemih pada wanita paruh baya dengan kekhawatiran dan kurangnya
pengetahuan terhadap penyakitnya. Penulis menyadari selesainya penyusunan
laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Dina Kartika Sari, selaku Kepala Puskesmas Ngampilan
2. dr. Khairani Fitri, selaku dokter pembimbing puskesmas
3. dr. Titiek Hidayati, M.Kes., selaku dosen pembimbing universitas
4. dr. Nur, dr. Anita, serta seluruh staf dan karyawan Puskesmas
Ngampilan
5. Semua pihak yang telah mendukung penulisan laporan ini
Dalam penulisan laporan ini penulis masih memiliki banyak kekurangan. Kritik
dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan laporan ini.

Yogyakarta,

28 Oktober 2015
Penyusun

Dita Anissa Fitriani

DAFTAR ISI

Contents
PRESENTASI KASUS................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................. iv
BAB I...................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.

LATAR BELAKANG MASALAH.........................................................1

B.

RUMUSAN MASALAH.....................................................................2

C.

TUJUAN PENULISAN.......................................................................2

D.

MANFAAT PENULISAN....................................................................3

BAB II..................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 4
A.

Diabetes Mellitus............................................................................... 4

B.

Batu Saluran Kemih..........................................................................12

BAB III.................................................................................................. 30
PRESENTASI KASUS.............................................................................. 30
A.

IDENTITAS PASIEN........................................................................30

B.

ANAMNESIS................................................................................. 30

C.

PEMERIKSAAN FISIK....................................................................33

D.

PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................36

E.

HOME VISITE............................................................................... 37

F.

Diagnosis Kerja...............................................................................45

G.

Penatalaksanaan..............................................................................45

BAB IV.................................................................................................. 47
PEMBAHASAN...................................................................................... 47
A.

ANALISIS KASUS.........................................................................47

B.

PENERAPAN PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA.........................47

C.

DIAGNOSIS HOLISTIK.................................................................48

Diabetes mellitus tipe II dengan batu saluran kemih pada wanita paruh baya dengan
kekhawatiran dan kurangnya pengetahuan terhadap penyakitnya.........................48
D.

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................48

E.

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF........................................48

BAB V................................................................................................... 50
PENUTUP.............................................................................................. 50
A.

KESIMPULAN...............................................................................50

B. SARAN........................................................................................ 50
Daftar Pustaka...................................................................................... 51

BAB I
PENDAHULUAN

A LATAR BELAKANG MASALAH


Diabetes mellitus merupakan penyakit yang terus meningkat jumlahnya dan
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia sangat tinggi, ada hampir 4 juta
kematian akibat diabetes setiap tahun dan diabetes mellitus termasuk lima besar
penyebab kematian dibanyak Negara (Novitasari, 2011). Diabetes mellitus tipe 2
merupakan tipe diabetes yang paling banyak ditemukan dari pada diabetes
mellitus tipe 1. Hal ini disebabkan banyaknya faktor resiko yang berkaitan dengan
diabetes mellitus tipe 2 tersebut seperti obesitas, gaya hidup, dan pola makan yang
buruk (Charles dan Ivar, 2011).
Angka insiden diabetes mellitus tipe 2 berada pada angka tertinggi di negara
berkembang. Di Indonesia khususnya, dari seluruh populasi penderita diabetes
mellitus, kurang lebih 90% pasien mengalami Diabetes Mellitus tipe 2 yaitu tidak
tergantung insulin (Baynes, 2003).
DM tipe 2 merupakan jenis DM yang paling banyak diderita di seluruh dunia.
Prevalensi penyakit ini terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah penderita sekitar
150 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderita bertambah
menjadi dua kali lipat. Penanganan yang tidak adekuat pada Diabetes Melitus
akan menimbulkan komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal,
jantung, pembuluh darah kaki, dan syaraf. Pemantauan status metabolik pasien
DM merupakan hal yang penting. Pengendalian DM yang baik berarti menjaga
kadar glukosa darah dalam kisaran normal. Dengan pengendalian DM yang baik,
diharapkan pasien terhindar dari komplikasi DM (Charles dan Ivar, 2011).
Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar
dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari

penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti. Dari data dalam
negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita batu
ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke
tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002,
peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu
ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy) yang secara
total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi terbuka)
(Netter,2006).

B RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang dapat dirumuskan
adalah: Bagaimana pendekatan ilmu kedokteran keluarga dalam menangani
pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dan Batu Saluran Kemih?

C TUJUAN PENULISAN
1

Tujuan umum
Presentasi Kasus ini diajukan untuk memenuhi sebagian syarat
mengikuti ujian kepaniteraan klinik program pendidikan profesi di bagian
Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Puskesmas Ngampilan
Yogyakarta.

Tujuan khusus
Untuk memahami penyakit Diabetes Mellitus dan komplikasinya
pada pasien serta menerapkan prinsip-prinsip pelayanan kedokteran
keluarga dalam mengatasi masalah penyakit dalam keluarga.

D MANFAAT PENULISAN
Berikut adalah beberapa manfaat penulisan laporan kasus kepaniteraan
klinik ilmu kedokteran keluarga mengenai penyakit hipertensi grade I :
1

Manfaat untuk puskesmas


Sebagai sarana kerja sama yang saling menguntungkan untuk dapat

meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dan mendapat umpan


balik dari hasil evaluasi dokter muda dalam rangka mengoptimalkan peran
puskesmas
2

Manfaat untuk mahasiswa


Sebagai sarana keterampilan dan pengalaman dalam upaya pelayanan

kesehatan dengan menerapkan prinsip kedokteran keluarga.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
1

Pengertian

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
(Sudoyo et.al 2006).
2. Diagnosis
Menurut Perkeni (2011) Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik DM seperti di bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Diagnosis DM dapag dilihat dari 3 tanda utama :


Gambar 2.1, tanda utama Diabetes Mellitus

Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesiikdibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaanini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus.

Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dibagi
dalam 4 jenis yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun.
Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat
ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang
merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh
karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
5

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif
insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya
glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadapadanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi
perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi
perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang.
DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin
lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama
kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional
memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 510 tahun setelah melahirkan.
4

Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2
memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko
kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan
partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara
komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk
6

mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/


komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan
kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan
glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
2. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai
dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan
diet cukup serat sekitar 25g/hari.
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing minimal 30 menit.
Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda
dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
4.

Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,


pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
a. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
1) Pemicu sekresi insulin:
Sulfonilurea Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang Sulfonilurea kerja
panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta

malnutrisi
Glinid Terdiri dari repaglinid dan nateglinid Cara kerja sama dengan sulfonilurea,
namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. Obat ini baik untuk
mengatasi hiperglikemia postprandial
7

2) Peningkat sensitivitas insulin:


Biguanid Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai

dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.


Tiazolidindion Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut

glukosa

sehingga

meningkatkan

ambilan

glukosa

perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi


cairan.
3) Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin). Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan
fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta
pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis Metformin tidak
mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. Metformin
mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan
pemberian sesudah makan.
4) Penghambat glukosidase alfa :
Acarbose Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus. Acarbose
juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.
Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang
kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.
b. OBAT SUNTIKAN
1). Insulin
Insulin kerja cepat
Insulin kerja pendek
Insulin kerja menengah
Insulin kerja panjang
8

Insulin campuran tetap

2). Agonis GLP-1/incretin mimetik Bekerja sebagai perangsang penglepasan


insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon
Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea Efek samping
antara lain gangguan saluran cerna seperti mual muntah.
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami
bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua
pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus
menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan
latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar
glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah
belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO. Pemberian OHO dimulai
dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya.
Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat
sebelum makan. Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan.
Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak
bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau
sebelum makan. Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum
terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO.
Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda,
misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi
terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang
pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO
bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja
menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur. Bila
dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO
dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini
diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial.
Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x
basal dan 3 x prandial. Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan
9

cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali
setahunKriteria pengendalian DM Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan
terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.
Metformin sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, mempunyai beberapa
efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan
produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya di hati dan otot.
Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin menurunkan
absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas insulin melalui efek
penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan invitro membuktikan
efek metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity dari reseptor dan
transporter, supresi dari mitochondrial respiratory chain, peningkatan insulinstimulated receptor phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi
translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways.
Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik, tetapi
juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas dan morbiditas
justru datang dari berbagai komplikasi kronik tersebut. Dalam mencapai tujuan ini,
Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk kendali
glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis, stress
oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan redistribusi lemak. Metformin terbukti
dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensitivitas insulin, dan mengurangi
lemak visceral. Pada penderita perlemakan hati (fatty liver), didapatkan perbaikan
dengan penggunaan Metformin.
Metformin juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap komplikasi
makrovaskular. Selain berperan dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi
terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif. Metformin dalam memperbaiki
fungsi saraf, khususnya spatial memory function dan peranan proteksi Metformin
dalam karsinogenesis. Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena
berbagai macam kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal,
payudara, dan kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens
keganasan pada pasien yang menggunakan Metformin.
10

Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American
Diabetes Association/European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD)
dan the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of
Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai
monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin
dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih
minimal dan tidak meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini
pertama juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin
terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga mendapatkan
efikasi Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa
darah. Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada
pasien dengan berat badan normal.
5. Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati.
- Komplikasi Jangka Pendek

Ketoasidosis Diabetikum
Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Hipoglikemik

- Komplikasi Jangka Panjang :


A. Mikrovaskular

Retinopati, katarak : penurunan penglihatan


Nefropati :gagal ginjal
Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak
Kelainan pada kaki : ulserasi, atropati

B. Makrovaskular

Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard


Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, stroke
Sirkulasi : claudication, iskemik
11

B Batu Saluran Kemih


1
a

Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih Bagian atas


Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masingmasing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan
adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga
11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm
dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3.
Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah
dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari


korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.

Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal

Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah


korteks

Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf
atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul


dan calix minor.

Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.

Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
12

Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 2.2 Anatomi Ginjal, CW Urology


Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/
Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul.
Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang
membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang
memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1)
nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang
relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang
13

terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke
dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut
sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari
aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah
memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris
yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal

melalui

segmen

T10-L1

atau

L2,

melalui

n.splanchnicus

major,

n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus (Scanlon,2007)

Ureter

Gambar 2.3 Anatomi Ureter


Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica
urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing
satu untuk setiap ginjal.
14

Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan
m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis.
Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung
secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria. Adanya katup ureterovesical mencegah aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat
beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis
renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam vesica urinaria.
Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan
ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus,
serta pleksus hipogastricus superior dan inferior (Scanlon, 2007)
C Definisi Batu Saluran Kemih
Batu ginjal adalah massa keras seperti batu yang berada di ginjal dan
salurannya dan dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih,
atau infeksi.

Gambar 2.4 Batu Ginjal


Sinonim
Nephrolithiasis, kidney stones, renal stones, urinary stones, urolithiasis,
ureterolithiasis, kidney calculi, renal calculi, ureteral calculi, urinary calculi, acute
nephrolithiasis, urinary tract stone disease

15

D Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaankeadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis terdapat
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang.
Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh
seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan
sekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
1

Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.

Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.

Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:

Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang
lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah stone belt
(sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai
penyakit batu sauran kemih.

Iklim dan temperatur

Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

Diet
16

Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih.
5

Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau
kurang aktivitas atau sedentary life (Purnomo, Basuki 2007).
Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran kemih tetapi
hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar. Beberapa teori
pembentukan batu adalah :
1

Teori Nukleasi : Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh
(supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.

Teori Matriks

: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine

(albumin,globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya


kristal-kristal batu.

Teori Penghambat Kristalisasi : Urine orang normal mengandung zat-zat


penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat,
mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu
berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.

Patogenesis
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu
pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu
(Soeparman, dkk. 2001).
17

Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik


maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap
berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada
keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan
lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. (Soeparman, dkk. 2001)
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum
cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel
pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahanbahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup
besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi oleh
suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, laju aliran urine di dalam
saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu (Soeparman, dkk. 2001).
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu
magnesium ammonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu
jenis lainnya.

Gambar 2.5 Batu Oxalat

Batu struvit
18

Batu struvit, disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Batu dapat tumbuh menjadi
lebih besar membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks
ginjal. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea
atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine
menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti
pada reaksi: CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2.1
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya
adalah matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu
triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat
pula terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.1

Gambar 2.6 Batu Struvit


suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium,
ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat
(MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena
terdiri atas 3 kation Ca++ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama
batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea
diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter,
Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak menyebabkan
infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah
urea.1
Batu Kalsium

19

Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80%
dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalium
oksalat, kalium fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut
Factor terjadinya batu kalsium adalah:
1

hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250300 mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat tiga macam penyebab
terjadinya hiperkalsiuri, antara lain:
a

hiperkalsiuri absortif yang terjadi karena adanya peningkatan


absorbsi kalsium melalui usus.

hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan


reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.

hiperkalsiuri resorbtif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi


kalsium tulang yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme
primer atau tumor paratiroid.

Hiperoksaluri

hiperurikosuri

hipositraturia

hipomagnesiuria

Batu asam urat


Batu jenis lain

Manifestasi Klinis
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat karena
distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat bermanifestasi
tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu saluran kemih
merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan yang disampaikan
oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang
telah terjadi (Guyton and Hall, 2007)

20

Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang.
Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik
terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik
itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan
dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat saluran
kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic junction),
dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang (flank) yang sering
menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter distal sering ke
kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan ini. Nyeri non kolik terjadi
akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra,
teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal,
retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam-menggigil (Guyton and
Hall, 2007).

II.7 Diagnosis
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan
diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi
saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat
radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu
sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi (Soeparman, 2001)
Batu kalsium akan memberikan bayangan opak, batu magnesium amonium
fosfat akan memberikan bayangan semiopak, sedangkan batu asam urat murni akan
memberikan bayangan radiolusen. Batu staghorn dapat diidentifikasi dengan foto
polos abdomen karena komposisinya yang berupa magnesium ammonium sulfat
atau campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga akan nampak
bayangan radioopak.5
21

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang


dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan
menentukan sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara
terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total. Cara ini
dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup
sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan lumen
saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama tindakan
pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu (Purnomo,2010)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan
diagnosis dan rencana terapi antara lain:
1

Foto Polos Abdomen


Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat
dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara
batu lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio lusen). Urutan
radioopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1.

Tabel 2. 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih


Jenis Batu

Radioopasitas

Kalsium

Opak

MAP

Semiopak
22

Urat/Sistin

Non opak

Pielografi Intra Vena (PIV)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain
itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak
yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV belum dapat
menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi
ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu
pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat
menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai
echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.

Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.

Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai fungsi


ginjal.

Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.

Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.

DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase


alkali serum (Graaf, 2001).

Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi
untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu
telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi
sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter
atau hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus
segera dikeluarkan (De jong, 2014)

23

Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti


diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu
yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
Pilihan terapi antara lain :
1

Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti disebutkan
sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi bertujuan untuk
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum,
berupa :
b

Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari

- blocker

NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat
lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi
dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan observasi bukan
merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasienpasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi
ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera
dilakukan intervensi (Glenn, 1991)

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip
kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin generasi lama
dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik fokusnya lebih sempit
dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga memudahkan dalam
pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter. Hal ini yang tidak terdapat
pada mesin generasi lama, sehingga pemanfaatannya untuk terapi batu ureter
sangat terbatas. Meskipun demikian mesin generasi baru ini juga punya
kelemahan yaitu kekuatan tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk
batu yang keras perlu beberapa kali tindakan.
24

Gambar 2.7 ESWL Batu Ginjal

Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi
obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan
gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada ESWL generasi
terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal
sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang operasi
akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai posisi
batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah akan keluar bersama air seni.
Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis. Pada
Tahun 1971, Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro penghancuran
batu ginjal menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974, secara resmi
pemerintah Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi ESWL. Kemudian
pada awal tahun 1980, pasien pertama batu ginjal diterapi dengan ESWL di kota
Munich menggunakan mesin Dornier Lithotripter HMI. Kemudian berbagai
penelitian lanjutan dilakukan secara intensif dengan in-vivo maupun in-vitro.
Barulah mulai tahun 1983, ESWL secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di
Jerman. Di Indonesia, sejarah ESWL dimulai tahun 1987 oleh Prof.Djoko
Raharjo di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru
Perancis ini sudah dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti
Rumah Sakit Advent Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis
yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing
generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama menggunakan air
atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan gelombang kejut. Air dan

25

gelatin mempunyai sifat akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga
tidak akan menimbulkan rasa sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan
gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan
ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, masih harus ditinjau efektivitas
dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal
dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara
ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal
laim yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh
ESWL atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit
pecah dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh digunakan oleh
penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan fungsi
ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan
anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan
terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk
wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya
3

Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke
dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil
pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik,
dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi
laser.10
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a

PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang


berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi

26

ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan


atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.8
PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara teoritis
dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi dalam prakteknya
sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan ESWL. Meskipun
demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat masih ada
tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL adalah membuat akses ke kalik atau
pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan
nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu
ureter diambil secara utuh atau dipecah dulu.8
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat
diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter
bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera
dapat diketahui berhasil atau tidak. Kelemahannya adalah PNL perlu
keterampilan khusus bagi ahli urologi. Sebagian besar pusat pendidikan
lebih banyak menekankan pada URS dan ESWL dibanding PNL.8
b

Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan


memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),

ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak bisa


untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat
pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk
menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman
masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut.8

ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya


melalui alat keranjang Dormia).
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah

secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu
ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter.
Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung dengan tuntunan URS.
Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel URS telah menambah cakupan
penggunaan URS untuk terapi batu ureter (Sjamsuhidayat, 2014)
27

Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu
masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara
lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran
ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus
menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah
tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis,
atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan
obstruksi atau infeksi yang menahun (Oswari, 1995)
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih
dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa
dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun demikian
dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja,
terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu
ureter yang besar.

Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tandatanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang
melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan.
Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih
50% dalam 10 tahun.

28

BAB III
PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S.R.P

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 50 tahun

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Pedagang

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Alamat

: Ngestiharjo, Kasihan Bantul

Nomor RM

:01618601

Tanggal Pemeriksaan : 22 Oktober 2015


Tanggal Homevisite I : 23 September 2015
Tanggal Homevisite II: 26 September 2015

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kontrol penyakit gula dan meminta rujukan ke poliklinik urologi RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta
2.

Penyakit Sekarang
Pasien datang ke puskesmas Ngampilan untuk control penyakit gula. Pasien
mengaku terkena penyakit gula sejak 6 bulan yang lalu. Saat itu paien mengalami
keluhan sering merasa haus, terlalu sering buang air kecil (>20x perhari), dan mudah
lapar. Pasien merasa terganggu dengan keluhan tersebut dan datang ke puskesmas
29

Ngampilan untuk periksa, kemudian dilakukan pengecekan gula darah sewaktu dan
mendapatkan hasil GDS : 516 mg/dL. Pasien dinyatakan menderita Diabetes
Mellitus tipe 2 atau penyakit gula. Sejak saat itu, pasien rutin mengkonsumsi obat
gula darah rutin Metformin 2x/hari diminum pagi dan malam setelah makan,
mengatur makan dengan pola diit DM. Keluhan dirasakan membaik. Riwayat mata
kabur, tekanan darah tinggi, kaku-kaku atau kram pada tangan dan kaki disangkal.
Pasien juga mengalami Batu Saluran kemih yang telah dioperasi pada
tanggal 14 September 2015, sebelumnya pasien merasakan nyeri perut pinggang dan
perut hingga pingsan. Kemudian dibawa ke IGD RS PKU Muhammadiyah,
dilakukan pemeriksaan dan didiagnosis Batu Saluran Kemih pada Ureter dan
pembengkakan ginjal. Saat ini masih terpasang DJ Stent di saluran kemihnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Tekanan Darah Tinggi (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Stroke (-)
Riwayat Penyakit Asma (-)
Riwayat opname (+) 1 bulan yang lalu
Riwayat Gastritis (-)
Riwayat Alergi Obat (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Tekanan Darah Tinggi (-)
Riwayat Penyakit Ginjal (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Stroke (-)
Riwayat Penyakit Asma (-)
Riwayat Alergi Obat (-)
5. Riwayat Personal Sosial
Pendidikan
Pasien merupakan lulusan SLTA di Tasikmalaya, dan tidak mempunyai

masalah selama menempuh pendidikan.


Pekerjaan
Pasien berjualan batik di malioboro setiap hari, namun pasien berhenti
berjualan setelah menderita penyakit batu saluran kemih. Suami bekerja
sebagai PNS (di kantor BPKS) dengan penghasilan bersih kurang lebih Rp.
3.500.000. pasien merasa penghasilan tersebut cukup untuk kebutuhan

sehari-hari karena putra sulung pasien telah bekerja sebagai fotografer.


Sosialisasi
30

Hubungan dengan keluarga baik, dan tidak ada masalah dengan tetangga

sekitar rumah.
Gaya Hidup
Pola makan teratur, 3x sehari dengan porsi belum sesuai diit DM 1700 kkal,
minum 3 L/ hari. berolahraga aerobic 3x seminggu selama 30 menit sebelum
operasi batu saluran kemih, istirahat cukup dengan waktu tidur 8 jam/ hari.
Sebelum didiagnosis DM, pasien makan tak terkontrol dang sering minum

minuman kemasan.
Pernikahan
Pasien menikah pada tahun 1987 saat itu pasien berusia 22 tahun. Pada saat
ini pasien dikaruniai 3 orang anak laki-laki. Pasien merasa bahagia dan
harmonis dengan kelurganya karena selalu didukung dan disemangati oleh
suami serta anak-anaknya.

6. Review System

Sistem Neurologi : Tidak ada keluhan

Sistem Kardiovaskular : tidak ada keluhan

Sistem Respirasi : tidak ada keluhan

Sistem Gastrointestinal : tidak ada keluhan

Sistem Urologis : Post Operasi Batu saluran Kemih, masih terpasang double J
stent pada saluran kencing. Tidak ada keluhan.

Sistem Integumentum : Tidak ada keluhan

Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan.

7. Anamnesis Illnes
Perasaan
Setelah terdiagnosis penyakit gula, pasien merasa sedih dan khawatir
umurnya tidak panjang, pasien takut kaki di amputasi. Pasien juga khawatir

terhadap penyakit saluran kemih yang akan berpengaruh terhadap ginjalnya.


Ide
Menurut pasien penyakit adalah peningkatan gula darah yang akan
menimbulkan banyak komplikasi bagi tubuh, salah satunya penyakit ginjal.
Harapan
31

Gula darah terkontrol dan tidak menimbulkan komplikasi lebih banyak.


Efek terhadap fungsi social dan ekonomi
Penyakit Batu Saluran Kemih yang diderita pasien mengganggu aktivitas
pasien, sehingga pasien berhenti bekerja.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum

: Baik.

2. Kesadaran

: compos mentis.

3. Tanda vital :
Tekanan darah

: 120/70 mmHg.

Nadi

: 80 x/menit, teratur, isi, dan tegangan cukup

Respirasi

: 18 x/menit.

Suhu

: 36,5 C.

4. Antropometri :
Berat badan

: 55 kg.

Tinggi badan

: 155 cm.

IMT
5. Status Gizi
6. Status Generalis :

: 55 /(1,55)2 = 22,89
: Normal

Bentuk kepala

: Mesocephal.

Rambut

: Tidak dilakukan pemeriksaan.

7. Pemeriksaan Mata :

Palpebra

: Edema (-/-)

Exoftalmus

: Tidak didapatkan

Konjungtiva

: Anemis (-/-)

Sklera

: Ikterik (-/-)

Pupil

: Reflek cahaya (+/+), isokor


32

Lensa

: OS jernih, OD jernih, Arcus enilis +/+

Pemeriksaan oftalmoskopi

: tidak dilakukan

Visus

: Mata kanan

: 6/6

Mata kiri

: 6/6

8. Pemeriksaan Telinga :

Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)

Pemeriksaan otoskop

: tidak dilakukan

Test fungsi pendengaran

: tidak dilakukan

9. Pemeriksaan Hidung

: Sekret (-/-)

10. Pemeriksaan Leher :


Kelenjar tiroid

: Tidak membesar

Kelenjar lnn

: Tidak membesar, Nyeri tekan (-)

Retraksi suprasternal

: (-)

33

Pemeriksaan thorax

Pulmo :
Tabel 3.1 Px. Pulmo
Paru-paru kiri
-inspeksi: dinding dada simetris, retraksi

interkostal (-), ketinggalan gerak (-).

interkostal (-), ketinggalan gerak (-).

-palpasi: vocal fremitus kanan = kiri

-palpasi: vocal fremitus kiri = kanan

normal.

normal.

-perkusi : sonor (+).

-perkusi : sonor (+).

-auskultasi: suara dasar vesikuler(+),

-auskultasi: suara dasar vesikuler(+), ronchi

ronchi basah kasar (-), wheezing (-), ronchi

basah kasar (-), wheezing (-),ronchi basar

basar basal (-).

basal (-).

Paru-paru kanan
-inspeksi: dinding dada simetris, retraksi

Cor :

Inspeksi
Palpasi

: Iktus kordis tak tampak


: Iktus kordis teraba, tidak kuat
angkat trill ()
Heavy (-), pulsus para sternalis (-),
pulsus epigastrika (-)
: Batas jantung

Perkusi

Kanan atas: SIC II linea para


sternalis dex.
Kiri atas: SIC II linea para sternalis
sin.
Kanan bawah: SIC IV linea para
sternalis dex.
Kiri bawah: SIC VI linea axial
anterior sin.
S1 & S2 reguler, Bising jantung (-)

Auskultasi
Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi

: supel (+), benjolan (-), venektasi (-), tanda radang (-), spider naevi (-).

34

Auskultasi

: peristaltik (+) 13x/menit, bruit aorta (-).

Perkusi

: timpani pada semua lapang abdomen, pekak hepar (-), nyeri ketok

kostovertebra (-/-)

Palpasi

: supel (+), nyeri tekan (-), teraba massa (-).

Hepar

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Ginjal

: Tidak dilakukan

Pemeriksaan Ekstremitas

Superior : deformitas (-), edem (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), ikterik (-), akral hangat
(+).

Inferior : deformitas (-), edema (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (+), ikterik (-), akral hangat
(+).

Pemeriksaan Kulit :

Luka diabetik (-), Turgor < 2 detik dan elastisitas cukup.


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Gula Darah


Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan Gula darah
Tanggal
11 Agustus 2015
9 September 2015
22 Oktober 2015

Gula Darah
GDP
: 176 mg/dl
GD2JPP : 363 mg/dl
GDP
: 141 mg/dl
GD2JPP : 202 mg/dl
GDP
: 127 mg/dl
GD2JPP : 161 mg/dl

E. HOME VISITE
1. Denah Rumah

35

Gambar 3.1 Denah Rumah


2. Keadaan Rumah
a. Lokasi

: Pasien tinggal disebuah rumah yang terletak di

perkampungan yang terletak di Ngestiharjo, Kasihan Bantul


b. Kondisi rumah
: Bangunan permanen, berdinding tembok, atap dari
genting dan langit-langit.
c. Luas rumah
: 7,5x16 m, jumlah penghuni rumah ada 5 orang
d. Lantai rumah
: Lantai keramik bersih
e. Pembagian kamar : Terdapat sebuah ruang tamu, 2 kamar tidur, ruang
keluarga, 1 kamar mandi, 1 dapur dan tempat makan di lntai 1 dan terdapat 1
kamar tidur, 1 kamar mandi dan area jemuran pada lantai 2.
f. Pencahayaan
: Cahaya yang masuk cukup, jendela ruang sering dibuka,
udara yang masuk dirasakan cukup berasal dari jendela dan ventilasi. Pasien
36

jarang menyalakan lampu pada siang hari. Pencahayaan diukur dengan cara
manual yaitu pemeriksaan kemampuan membaca di dalam ruangan tanpa
menggunakan alat bantu penerangan, terdapat lampu yang dapat dinyalakan
berwarna putih terang.
g. Kebersihan dan tata letak barang dalam ruangan

: Ruangan dan kamar

mandi Nampak kurang bersih dan barang tampak penuh.


h. Sanitasi dasar
: Kebutuhan air sehari-hari terpenuhi dengan air
sumur, jamban terletak di dalam. Secara fidik air tidak berwarna, tidak berasa dan
berbau. Kesimpulan, air sudah cukup layak untuk dijadikn sumber air.
3. Kondisi Pasien
Saat dilakukan kunjungan, pasien sedang bersantai di ruang tamu. Saat ditanya
tentang keluhan penyakitnya, pasien mengatakan tidak ada keluhan. Namun, hari itu
merupakan jadwal kontrol post operasi batu saluran kemih, pasien ke poliklinik
urologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Food Recall 24 jam
Data food recall pda hari sabtu 24 Oktober 2015
Tabel 3.3 Food Recall 24 jam
Waktu

Jenis makanan

Bahan

Ukuran
URT
Berat

Kalori

Oatmeal
Susu

1 mangkuk
1 gelas

(gr)
200
200

Pisang

1 Buah

150

50

Nasi Putih

Beras

gelas

100

175

Sayur Asem

Melinjo
Jagung
Terong

gelas
bonggol
buah

25
25
25

12,5
22,5
7

Tahu goreng

Tahu
Minyak

1 biji
sdm

100
5

80
45

2 potong

50
5

80
45

Pagi

Bubur Oat

Selinga

dengan susu
Pisang

n pagi
Siang

Tempe goring

goreng
Tempe

sdg

145
130

37

Selinga

Minyak

sdm

Goreng
Ubi jalar
Pisang
Gula

buah
buah
1 sdm

35
32,5
13

45
20
50

Tepung Beras
Santan
Beras

2 sdm
1/6 gelas
gelas

6
20
100

45
25
175

Sayur Asem

Melinjo
Jagung
Terong

gelas
bonggol
buah

25
25
25

12,5
22,5
7

Tahu goreng

Tahu
Minyak

1 biji
sdm

100
5

80
45

2 potong

50
5

80
45

Timus

n sore

Malam

Apem
Nasi Putih

Tempe goreng

goring
Tempe
Minyak

sdg
sdm

Goreng
Total : 1464 Kkal.
5. Genogram
Keluarga Ny. SRP dibuat pada tanggal 23 Oktober 2015

38

Gambar 3.2 Genogram

6. Family Map

39

Gambar 3.3 Family Map


7. Bentuk Keluarga
Bentuk keluarga ini adalah nuclear family (keluarga inti) yang terdiri dari suami, istri
serta anak-anak kandung.
8. Family life cycle
Menurut Duvall (1967) Tahap 6, Family as launching center (Keluarga dengan
anak pertama sudah dapat hidup mandiri).
9. Family APGAR
Tabel 3.4 Family Apgar
KRITERIA

PERTANYAAN

HAMPIR

KADANG- TIDAK

SELALU

KADANG ADA (0)

(2)
ADAPTASI

Bagaimana

anggota

keluarga

(1)

saling membantu satu sama lain


disaat

membutuhkan

sesuatu?Apakah

pasien

puas

dengan keluarga karena masingmasing anggota keluarga sudah


40

menjalankan

kewajiban

sesuai

dengan seharusnya?
PARTNERSHIP

Bagaimana

anggota

keluarga

berkomunikasi satu sama lain


tentang masalah-masalah tertentu
seperti

liburan,

pengeluaran

yang

finansial,
besar

dan

masalah pribadi? Apakah pasien


puas dengan keluarga karena
dapat

membantu

memberikan

solusi

terhadap

permasalahan

yang dihadapi ?
PERTUMBUHAN Bagaimana perubahan anggota
keluarga

selama

tahun-tahun

terakhir, apakah pasien diberi


kebebasan

untuk

mengembangkan diri?
Apakah pasien puas
kebebasan

yang

dengan
diberikan

keluarga untuk mengembangkan


kemampuan pasien miliki?
KASIH SAYANG

Apakah

jika

pasien

sakit,

keluarganya memberi perhatian,


perduli, dan menunjukkan kasih
sayangnya

dengan

merawat?Apakah pasien puas


dengan

kehangatan

yang

diberikan keluarga?

41

KEBERSAMAAN Bagaimana anggota Keluarga

anda berbagi waktu, ruang, dan


uang?
Apakah

pasien

puas

dengan

waktu yang disediakan keluarga


untuk menjalin kebersamaan
TOTAL

10

Skor klasifikasi APGAR :


8-10 Fungsi keluarga baik
4-7
Disfungsi keluarga sedang
0-3
Disfungsi keluarga berat
Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 10, ini menunjukan
fungsi keluarga baik.
10. Family Life Line
Tabel 3.5 Family Life Line
Tahun
2008
2015
2015

Usia
40
47
47

Life event
Ayah Meninggal
Didiagnosis DM
Dipaksa pindah dari

Severity of Illness
Stress Psikologis
Stress Psikologis
Stress Psikologis

rumah dinas

11. Family SCREEM


Tabel 3.6 Family Screem
ASPEK
SOCIAL

SUMBER DAYA
Interaksi

antar

PATOLOGI

pasien

dengan anggota keluarga


dan tetangga sekitar baik.
CULTURAL

Pasien hanya percaya pada


allah tentang penyakitnya,
bukan kepada hal ghaib

RELIGIUS

Keluarga pasien beragama


islam,

rajin

sholat,
42

mengikuti pengajian.
ECONOMY

Suami

bekerja

sebagai

PNS (di kantor BPKS)


dengan penghasilan bersih
kurang

lebih

Rp.

3.500.000. pasien merasa


penghasilan tersebut cukup
untuk kebutuhan seharihari karena putra sulung
pasien

telah

bekerja

sebagai fotografer.

EDUCATION

Mengetahui dampak kadar Mengetahui


gula darah tinggi.

dampak

kadar

gula darah tinggi. Percaya


bahwa

DM

dapat

disembuhkan dengan terapi


kotoran kambing.
MEDICAL

Akses

ke

kesehatan
namun

pelayanan

(PKM)

pasien

jauh,

memiliki

kendaraan untuk mencapai


puskesmas.

12. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Tabel 3.7 PHBS

43

No

Jawaba

Indikator / Pertanyaan

Skor

Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

Pemberian Asi eksklusif pada bayi usia 0 - 6 bulan

Menimbang berat badan balita setiap bulan

Menggunakan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan

Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun

Menggunakan jamban sehat

Melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk di rumah dan

lingkungannya sekali seminggu


8

Mengkonsumsi sayuran dan atau buah setiap hari

Ya

Melakukan aktivitas fisik atau olahraga

Ya

10

Tidak Merokok

Ya

Pasien termasuk kategori berperilaku hidup bersih dan sehat

F. Diagnosis Kerja
Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Ureterolithiasis
G. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit DM beserta komplikasinya dan

pentingnya kontrol gula darah 1 bulan sekali, dan cek Hba1C setiap 3 bulan sekali.
Edukasi pasien dan keluarga tentang ureterolithiasis dan pentingnya kontrol sesuai

anjuran dokter selama masa pengobatan ureterolithiasis.


Melakukan konsling CEA untuk menangani ketidaktahuan dan kesalahan persepsi

tentang pengobatan DM pasien.


Mengajak pasien ke psikolog puskesmas agar pasien dapat bercerita dan dapat mengatasi

kekhawatirannya dan manajemen stress.


Edukasi gizi tentang diit DM sesuai dengan IMT pasien yang dikategorikan normal yaitu
22,89, sehingga perhitungan kalori dihitung dengan rumus :
44

Kebutuhan Kalori: BB x 2530 kkal


= 55 kg x 25 30 kkal
= 1375 1650 Kkal
Diit terdiri dari protein 10 % - 20 %, namun karen pasien mengalami ureterolithiasis,
maka pasien dianjurkan untuk diit protein hanya 10 % dari kebutuhan kalori perhari. 45

% - 65 % Karbohidrat nasi atau pengganti, dan lemak 20 % - 25 %.


Edukasi pasien agar memenuhi saran dokter urologi untuk banyak meminum air putih

sebayak 3 L/ hari, untuk membantu penanganan Ureterolithiasis.


Melakukan evaluasi kalori yang dikonsumsi dengan food recall, menurut data dari food
recall pasien dalam 24 jam, pasien sudah memenuhi target diit DM sesuai dengan BB dan

IMT.
Sarankan pasien untuk berolahraga ringan yang disesuaikan dengan kondisi tubuh pasien
yang juga sdang menderita ureterolithiasis, seperti jalan cepat minimal 3x seminggu

selama 30 menit.
Melakukan senam kaki DM untuk mencegah komplikasi.
Memberikan edukasi kepada keluarga pasien agar tetap mempertahankan untuk
memberikan support kepada pasien dalam angka pemulihan BSK, kontrol dan minum

obat rutin DM
Skrining keluarga untung diabetes mllitus.
2. Farmakologis
R/ Metformin tab mg 500 no XX
S 1-0-1

45

BAB IV
PEMBAHASAN
A. ANALISIS KASUS
Diagnosis klinis pada pasien ini adalah Diabetes mellitus tipe II dengan
Ureterolithiasis, Diagnosis tersebut didapatkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan yang mengarah pada Diabetes
Mellitus tipe II dan Batu Saluran Kemih. Berdasarkan anamnesis pasien menderita
Diabetes Mellitus sejak bulan april 2015 (6 bulan yang lalu), dengan keluhan sering
merasa haus, sering buang air kecil, dan sangat mudah merasa lapar. Pasien rutin
kontrol ke puskesmas setiap satu bulan sekali dan atau pada saat pasien merasakan
keluhan yang menurutnya tidak nyaman untuk mengambil obat dan untuk cek gula
darahnya. Pasien mengaku minum obat DM dan diit teratur setiap hari sesuai
anjuran dokter dan petugas gizi puskesmas, akan tetapi pada pemeriksaan serial
dari gula selama 3 bulan terakhir berkisar antara GDP : 141-276, GD2JPP : 161
363. Salah satu penyebab tekanan gula darah tidak stabil adalah factor pikiran
pasien yang mengalami stress Karen sejak dua minggu yang lalu dipaksa pindah
dari rumah dinas.
Pasien juga mengalami Batu Saluran Kemih (Ureterolithiasis), namun telah dioperasi
satu bulan yang lalu di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan masih dalam proses
pemulihan. Sebelumnya pasien merasakan nyeri perut pinggang dan perut hingga
pingsan. Kemudian dibawa ke IGD RS PKU Muhammadiyah, dilakukan pemeriksaan
dan didiagnosis Batu Saluran Kemih pada Ureter dan pembengkakan ginjal. Faktor
yang mempengaruhi Batu Saluran Kemih pada pasien ini merupakan akibat dari
gaya hidup pasien, yaitu pada saat berjualan pasien sering meminum minuman
kaleng, namun penyakit ini juga dipengaruhi oleh penyakit Diabetes Mellitus pasien.

B. PENERAPAN PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA


1. Primary Care : Prinsip ini sudah diterapkan pada pasien ini, dimana pasien datang periksa
ke pelayanan primer terlebih dahulu yaitu ke puskesmas
2. Personal Care : Pelayanan yang diberikan memberikan kenyamanan kepada pasien
3. Holistik Care : Saat menegakkan diagnosis, pasien pada kasus ini dilihat tidak hanya dari
segi klinisnya saja tetapi juga menanyakan dari segi psikis, adakah masalah atau beban
pikiran yang mempengaruhi perjalanan penyakit pasien.

46

4. Comprehensive care : Dalam menangani kasus pada pasien ini, dilakukan


penatalaksanaan secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, dan kuratif serta
Continuing care : Memonitor keadaan pasien, sementara terapi berupa rehabilitative dan
paliatif belum diperlukan pada pasien ini.
5. Emphasis on Preventive Medicine : Penekanan Pada Usaha Pencegahan Penyakit
berkembang menjadi lebih baik dengan edukasi pemahaman penyakit dan modifikasi
gaya hidup pada pasien.
6. Patient-centered Care, Family Focused and Community-oriented Care : Pada kasus ini
telah dilakukan eksplorasi mengenai aspek disease dan illness dari pasien ini, yaitu
Diabetes Mellitus Tipe II, Batu Saluran Kemih. Tetapi pemahaman pasien mengenai
penyakit tersebut masih kurang sehinga pasien merasakan kecemasan akan penyakitnya
dan mengkonsumsi sesuatu yang tidak lazim dikonsumsi untuk obat Diabetesnya.
7. Collaborative Care : Pada pasien ini dapat dilakukan kolaborasi dengan bidang lain
seperti ahli gizi untuk mengatur pola makan dan juga psikolog untuk membantu
mengobati kecemasan pasien.
C. DIAGNOSIS HOLISTIK
Diabetes mellitus tipe II dengan batu saluran kemih pada wanita paruh baya dengan
kekhawatiran dan kurangnya pengetahuan terhadap penyakitnya.
D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab :

Hba1c
Fungsi ginjal : Ureum, Creatinin
Urinalisa

E. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
1 Non Farmakologis
Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit DM dan BSK dan pentingnya
modifikasi gaya hidup dalam pengelolaan penyakit dan pentingnya kontrol setiap

bulan.
Melakukan konsling CEA untuk menangani ketidaktahuan dan kesalahan persepsi

tentang penyakitnya.
Mengajak pasien ke psikolog puskesmas agar pasien dapat bercerita dan dapat
mengatasi kekhawatirannya dan manajemen stress.
47

Kalori yang dikonsumsi di food recall masih kurang cukup. Edukasi gizi tentang

diit DM dengan jumlah protein rendah, yaitu 10 % dari kalori total perhari.
Berolahraga ringan, seperti jalan cepat minimal 3x seminggu selama 30 menit.
Melakukan senam kaki DM untuk mencegah komplikasi.
Memberikan edukasi kepada keluarga pasien agar tetap mempertahankan untuk
memberikan support kepada pasien dalam angka pemulihan BSK, kontrol dan

minum obat rutin DM


Skrining keluarga untung diabetes mllitus.
2 Farmakologis
R/ Metformin tab mg 500 no XX
S 1-0-1

BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil laporan kasus, analisis catatan medis, dan kunjungan rumah dapat ditarik
kesimpulan bahwa diagnosis pasien yaitu Diabetes mellitus tipe II dengan batu saluran kemih
pada wanita paruh baya dengan kekhawatiran dan kurangnya pengetahuan terhadap penyakitnya.
1. Penyakit Diabetes Mellitus dan Batu Saluran Kemih yang dialami oleh pasien dapat
mengganggu aktivitas pasien.
2. Dokter keluarga melalui puskesmas dapat menjadi salah satu bagian yang berperan
dalam menangani kasus diabetes secara holistik, mulai dari promotif, preventif, dan
48

kuratif serta dalam memantau hasil terapi.


B. SARAN
1. Bagi Pasien
a.Mematuhi pola diet DM.
b. Olahraga ringan rutin 30 menit sebanyak 3-5 x perminggu.
c.Pertahankan konsumsi obat rutin dan kontrol
2. Bagi puskesmas
a.Terus melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara menyeluruh
dengan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
b. Terus melakukan kerja sama dalam bidang pendidikan ilmu kesehatan dengan
instansi-instansi pendidikan agar terdapat kerja sama yang saling menguntungkan
kedua belah pihak.

Daftar Pustaka

American Diabetes Association. Standards of medicalcare for patients with diabetes mellitus.
Diabetes Care.2008;35(Suppl 1):S33-S49
Baynes, JW. 2003. Role of oxidative stress in diabetic complications. A new perspective onan old
paradigm. Diabetes; 48:1-9.
Charles, J., dan Ivar, F. (2011). Relationship Polychlorinated Byphenyls With Diabetes Tipe 2
and Hipertesion. Environmental Monitoring of TheJournal. 13(4): 241-251.
Glenn, James F. 1991. Urologic Surgery Ed.4. Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher.
Guyton A.C., Hall J.E. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. p.1010-76.
49

Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
Novitasari, D., Sunarti, dan Arta, F. (2011). Emping Garut (Maranta arundinacea Linn) Sebagai
Makanan Ringan dan Kadar Glukosa Darah Angiostensin II Plasma Serta Tekanan Darah Pada
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Media Medika Indonesia. 45(1): 53-57.
Oswari, Jonatan; Adrianto, Petrus. 1995. Buku Ajar bedah, EGC: Jakarta
PERKENI. 2011. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Semarang:
PB PERKENI.
Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto: Jakarta
Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed. US: FA Davis Company;
2007.
Sjamsuhidayat. De jong, wim. Buku ajar ilmu Bedah. Hlmn 1024-1034. EGC : Jakarta.
Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hlmn 378. Balai Penerbit FKUI : Jakarta
Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI; 2006.

50

Anda mungkin juga menyukai