Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 4

PEMICU 3
MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI

Disusun Oleh:
Sayed Hamzah

I111 08 081

Dwi Erlinda Putri

I111 10 012

Jalianto

I111 10 062

Ridha Utami

I111 11 003

NurAzmi Ayuningtyas

I111 11 009

Heryanto Andreas

I111 11 019

Inayah

I111 11 027

Made Dwi Pratiwi

I111 11 031

Kresna Adhi Nugraha

I111 11 044

Dinna Hanifah

I111 11 051

Alberikus Kwarta B

I111 11 068

Putri Anggana Dewi

I111 11 078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Pemicu
Shinta 30 tahun tidak dapat pergi ke kantornya karena
merasa kurang enak badan karena seluruh badannya terasa pegalpegal. Selain itu, Shinta mengeluhkan tiba-tiba badannya terasa
panas sekali dan disertai menggigil sehingga Shinta harus
menggunakan selimut tapi tidak ada perbaikan. Keluhan yang
dirasakan

akan

sedikit

membaik

jika

Shinta

meminum

paracetamol.Karena tidak kunjung membaik selama 3 hari ini dan


cenderung memburuk, Shinta segera memeriksakan dirinya ke
dokter, karena sekarang Shinta merasakan sedikit mual dan tidak
ada nafsu makan, ia takut sakit tipus yang dideritanya 6 bulan
yang lalu kambuh kembali. Dari pengakuan Shinta, teman
kostnya mengalami keluhan yang sama. Pada hasil pemeriksaan
dokter didapatkan suhu 39 C, frekuensi nadi 105x/menit,
frekuensi napas 20x/menit dan tekanan darah 110/80 mmHg.
2.

Kata Kunci
a. Perempuan 30 tahun
b. Mengeluh pegal-pegal, bdan panas sekali, disertai
c.
d.
e.
f.
g.
h.

3.

menggigil
Meminum parasetamol
Mual, tidak nafsu makan
Tifus 6 bulan yang lalu
Teman kos memiliki keluhan yang sama
Takikardi
Demam memburuk dalam 3 hari

Rumusan Masalah
Shinta, 30 tahun mengeluh demam yang memburuk dalam
3 hari disertai pegal dan menggigil, serta mual dan tidak nafsu
makan dengan riwayat tifus 6 bulan yang lalu.

4.

Hipotesis

5.

Shinta, 30 tahun suspect demam tifoid.


Pertanyaan Diskusi
a. Bagaimana definisi demam dan apa saja pola demam?
b.
c.
d.
e.

f.
g.
h.

i.

j.

Contohnya?
Bagaimana patogenesis demam?
Bagaimana klasifikasi suhu tubuh?
Kondisi apa saja yang dapat menyebabkan demam?
Virus
1) Respon imun
2) Pemeriksaan penunjang
3) Tatalaksana
Bakteri
1) Respon imun
2) Pemeriksaan penunjang
Parasit
1) Respon imun
Tifoid
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Patogenesis
5) Gejala klinis
6) Pemeriksaan penunjang
7) Tatalaksana
8) Penularan
9) Pencegahan
10) Prognosis
Malaria
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Patogenesis
5) Gejala klinis
6) Pemeriksaan penunjang
7) Tatalaksana
8) Penularan
9) Pencegahan
10) Prognosis
DHF
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Patogenesis
5) Gejala klinis

6) Pemeriksaan penunjang
7) Tatalaksana
8) Penularan
9) Pencegahan
10) Prognosis
k. Perbedaan manifestasi klinis demam tifoid, malaria, DD?
l. Apa yang menyebabkan badan Nn. Shinta pegal-pegal?
m. Mengapa setelah menggunakan selimut Nn. Shinta tidak
mengeluarkan keringat?
n. Bagaimana tatalaksana farmakologi dan non farmakologi
yang tepat untuk pasien ini?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Bagaimana definisi demam dan apa saja pola demam?

Contohnya?
Demam adalah peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau
peradangan.1
Secara

patofisiologis

demam

adalah

peningkatan

thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang


diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di
atas nilai rerata suhu normal di tempat pencatatan yaitu > 38oC. 2
Demam memiliki pola-pola tertentu. Dari pola-pola
demam ini bisa diketahui kemungkinan suatu penyakit yang
diderita. Ada beberapa pola demam yang dikenal dalam literatur
medis, yaitu:
2.1.1

Demam intermiten

Demam intermiten adalah demam dengan variasi


diurnal > 1oC, suhu terendah mencapai suhu normal.3
Demam intermiten juga didefinisikan sebagai suhu badan
turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam 1
hari. Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap
hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang
hari. Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua
yang ditemukan di praktek klinis.

Demam intermiten

dapat ditemukan pada kasus endokarditis bakterialis,


malaria, dan bruselosis.3 Demam intermitten dapat terjadi
pada kasus tifoid yang berupa pagi lebih rendah atau
normal, sore dan malam lebih tinggi.3

Gambar 1. Grafik Demam intermiten


2.1.2

Demam remiten
Demam remiten adalah demam dengan variasi
normal lebar >1oC, tetapi suhu terendah tidak mencapai
suhu normal.3 Pada tipe demam remiten, suhu badan
dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat

dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan


suhu yang dicatat pada demam septik.5 Pola ini
merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan
dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit
tertentu. Penyebab demam remiten adalah sebagian besar
penyakit virus dan bakteri.

Pola Demam Remitten


44
42
40
Pola Demam Remitten

Suhu (C0) 38
36
34
Hari ke-

2.1.3

Gambar 2. Grafik Demam Remiten


Demam kontinyu
Demam kontinu didefinisikan sebagai demam
yang menetap dimana variasi suhu tidak lebih dari
0,5oC.5 Demam kontinyu atau sustained fever ditandai
oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan
fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau
tidak signifikan.2 Demam meliputi penyakit pneumonia
tipe lobular, infeksi kuman gram negatif, riketsia, demam
tifoid, gangguan sistem saraf pusat, tularemia, dan
malaria falciparum.3
Gambar 3. Kurva Demam Kontinu ( Sustained fever)

42
41
40
39
38
Suhu
37
36
35
34
1

10

11

12

Hari ke-

Gambar 4. Contoh Pola Demam Kontinu pada Demam Tifoid


(Memperlihatkan Bradikardi Relatif)

2.1.4

Demam bifasik
Demam saddleback/ pelana/ bifasik : penderita
mengalami

beberapa

hari

demam

tinggi

disusul

penurunan suhu lebih kurang 1 hari, lalu timbul demam


tinggi kembali.3 Tipe demam ini didapatkan pada
beberapa penyakit seperti demam dengue, demam

10

kuning, Colorado tick fever, Rift valey fever, influenza,


poliomielitis, koriomeningitis limfositik.3,6

Gambar 5. Kurva Demam Bifasik


2.1.5

Demam tersiana
Demam tersiana merupakan demam intermitten
yang ditandai dengan periode demam yang diselang
dengan periode normal. Demam tersiana terjadi pada hari
pertama dan hari ketiga.3 Penyakit Malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium vivax mempunyai pola
demam tersiana.3,6

Gambar 5. Kurva Demam Tersiana

11

2.1.6

Gambar 6. Kurva Demam Tersiana pada Malaria Tersiana


Demam kuartana
Demam kuartana, adalah demam intermiten yang
ditandai dengan periode demam yang diselang dengan
periode normal. Demam terjadi pada hari ke-1 dan ke-4. 3
Penyakit Malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
malariae mempunyai pola demam kuartana.3,6

Gambar 7. Pola Demam Kuartana


2.2 Bagaimana patogenesis demam?
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit,
makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal
sebagai pirogen endogen IL-1(interleukin 1), TNF (Tumor Necrosis Factor ),
IL-6 (interleukin 6), dan INF (interferon) yang bekerja pada pusat

12

termoregulasi

hipotalamus

untuk

meningkatkan

patokan

termostat.

Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di


suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
menjadi 38,9 C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar
37 C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon
dingin untuk meningkatkan suhu tubuh.7
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu
tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi
untuk mengatasi berbagai rangsang. Ransangan endogen seperti eksotoksin dan
endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan
yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNF, selain IL-6 dan IFN. Pirogen
endogen ini akan bekerja pada sistem saraf pusat tingkat OVLT (Organum
Vasculosum Laminae Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian medial dan
lateral nukleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai
respon terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis
prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat
jalur COX-2 (cyclooxygenase 2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh
terutama demam. 8
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin
melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1
(machrophage inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh
antipiretik.8
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi
panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat
mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu
naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap
rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan
oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.9
2.3 Bagaimana klasifikasi suhu tubuh?
a. Hipotermi : <35oC
b. Sub normal : <36oC

13

c.
d.
e.
1.
2.
3.
f.

Normal : 36,8+0,40C
Sub Febril : 37,5-380C
Demam : >38oC
mid fever : 38-39oC
moderate fever : 39-40oC
high fever : 40-41oC
Hyperpirexia : >41,2oC
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi

diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan
tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam biasanya
juga mengikuti pola diurnal ini. Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor
individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu
udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu
tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat
pengukuran.10
Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda
Tempat
penguku

Rentang; rerata
Jenis termometer

suhu normal

Demam (oC)

(oC)
Aksila
Air raksa, elektronik 34,7 37,3; 36,4
37,4
Sublingual
Air raksa, elektronik 35,5 37,5; 36,6
37,6
Rektal
Air raksa, elektronik 36,6 37,9; 37
38
Telinga
Emisi infra merah
35,7 37,5; 36,6
37,6
o
o
o
o
Suhu rektal normal 0,27 0,38 C (0,5 0,7 F) lebih tinggi dari suhu oral.
ran

Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral. Untuk
kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38 oC,
suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC.10
2.4 Kondisi apa saja yang dapat menyebabkan demam?
Penyakit-penyakit yang menyebabkan demam11

14

Infeksi
A

Infeksi piogenik local


Apendisitis
Penyakit akibat cakaran kucing
Kolangitis
Abses gigi
Divertikulitis/Abses
Abses kurvatura minor
Abses hati
Limfadenitis mesentrika
Osteomielitis
Abses pancreas
Penyakit inflamasi pelvis
Abses perinefrik/intrarenal
Abses prostat
Sinusitis
Abses subfrenikus

15

Tromboflebitis supuratif
B

Infeksi intravaskuler
Aortitis bakterialis
Endokarditis bakterialis
Infeksi kateter vascular

Infeksi bakteri sistemik


Bruselosis
Campylobacter
Gonokoksemia
Legionella
Leptospirosis
Listeriosis
Penyakit Lyme
Melioidosis
Meningokoksemia
Demam akibat gigitan tikus

16

Demam kambuhan
Slamonelosis
Sifilis
Tularemia
Tifoid
Vibriosis
Yersinia
D

Infeksi mikobakteria
MAI Mikobakteria atipikal lainnya
Tuberkulosis

Infeksi jamur
Aspergilosis
Blastomikosis
Kandidiasis
Koksidiodomikosis
Kriptokokosis

17

Histoplasmosis
Mukormikosis
Parakoksidiodomikosis
Sporotrikosis
F

Bakteri lainnya
Aktinomikosis
Penyakit Cakaran-kucing
Nokardiosis
Bacilus Whipple

Infeksi Riketsia
Penyakit akibat cakaran kucing/angiomatosis baksilaris (Rochalimaea henselae)
Ehrlichiosis
Tifus murin
Demam Q
Cacar riketsia
Demam Bintik Rocky Mountain (Rocky Mountain Spotted Fever)

18

Mikoplasma

Infeksi klamidia
LGV
Psitakosis
TWAR

Infeksi Virus
Demam tungau Coloradi
Coxsackie grup B
CMV
Dengue
EBV
Hepatitis A, B, C, D, dan E
HIV
LCM
Parvovirus B-19

Parasit

19

Amebiasis
Babesia
Penyakit Chaga
Leishmaniasis
Malaria
Pneumocystis carinii
Strongyloides
Toksoplasmosis
Toksikariasis
Trikinosis
L

Dianggap infeksi, agen tidak ditentukan


Penyakit Kawasaki (sindroma kelenjar getah bening mukokutaneus)
Penyakit Kikuchi (limfadenitis nekrotikans)

Neoplasma
A

Ganas
Kolon

20

Limfoma Hodgkin
Limfadenopati imunoblastik
Ginjal
Leukemia
Hati
Granulomatosis limfomatoid
Histiositosis maligna
Limfoma non-Hodgkin
Pankreas
Sarkoma
B

Jinak
Miksoma atrium
Angiomiolipoma ginjal

Penyakit kolagen-vaskuler/penyakit hipersensitivitas


Penyakit Still dewasa
Penyakit Behcet

21

Eritema multiforme
Eritema nodosum
Arteritis sel raksasa/polimialgia rematika
Pneumonitis hipersensitivitas
Vaskulitis hipersensitivitas
Penyakit jaringan ikat campuran
Poliarteritis nodosa
Polikondritis kambuhan
Demam rematik
Artritis rematoid
Lupus ertematosus sistemik
Aortitis Takayashu
Penyakit Weber-Christian
Granulomatosis Wegener
Penyakit granulomatosa
Penyakit Crohn
Hepatitis granulomatosa idiopatik

22

Granuloma garis tengah


Sarkoidosis
Penyakit-penyakit lainnya
Diseksi aorta
Demam obat
Gout
Hematoma
Penyakit hemolitik/hemoglobinopati
Sirosis Laennec
Sindroma pascainfark miokard
Emboli paru rekuren
Tiroiditis subakut (deQuervain)
Infark jaringan/nekrosis
Penyakit keturunan dan metabolic
Insufisiensi adrenal
Netropenia siklik
Ketulian, urtikaria, dan amiloid

23

Penyakit Fabry
Demam Mediterania familial
Hiperimunoglobulinemia D dan demam periodic
Hipertrigliseridemia tipe V
Gangguan termoregulasi
A

Sentral
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular Ensefalitis
Disfungsi hipotalamus

Perifer
Hipertiroidisme
Feokromositoma

Demam faktisius
Demam yang tidak diketahui asalnya yang afebril (<38,3OC)
Hipertermia habitul (irama sirkadian yang berlebih-lebihan)

24

2.5 Virus
2.5.1 Respon imun1
Respon imun terhadap virus yang melibatkan sel T dan sel NK
termasuk dalam system imun selular, sementara yang melibatkan
antibody merupakan system imun humoral. Respon imun humoral efektif
melawan virus hanya saat berada ekstraselular, yaitu pada tahap awal
infeksi atau ketika dikeluarkan dari sel yang lisis. Virus yang masuk ke
dalam tubuh memiliki dua fase kehidupan yaitu fase ekstraselular dan
fase intraselular. Saat virus masih berada pada fase ekstraselular, virus
dapat dikenali oleh BCR sel B. Pada sel-sel yang terinfeksi virus,
umumnya setelah virus masuk ke dalam sel kemudian virus akan
bereplikasi dan mengadakan sintesis protein. Begitu pula pada virus yang
menginfeksi sel dendritik, virus akan bereplikasi dan mengadakan
sintesis protein. Protein virus yang terbentuk ini kemudian didegradasi di
proteosom menjadi fragmen peptide, lalu akan diikat oleh MHC klas I
dan diekspresikan di permukaan sel. Sel dendritik yang terinfeksi virus
kemudian menuju organ limfoid sekunder. Di organ lymphoid sekunder,
kompleks MHC klas I-fragmen peptide pada permukaan sel dendritik
akan dikenali oleh TCR sel T CD8. Kemudian sel T CD8 akan
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (CTL) dan sel
memori. Sel T sitotoksik lalu keluar dari organ limfoid sekunder menuju
jaringan yang terinfeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan
mensekresikan IFN tipe I. IFN tipe I ini berfungsi untuk menstimulasi
ekspresi MHC klas I pada semua sel sehingga sel yang terinfeksi virus
akan dengan mudah dikenali oleh sel T sitotoksik. Setelah TCR sel T
sitotoksik berikatan dengan kompleks MHC klas I-fragmen peptide yang
diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik
kemudian melepaskan granula-granulanya yang berisi enzim perforin,
serglycin dan granzym. Perforin, serglycin, serta granzyme membentuk
suatu kompleks. Perforin dan serglycin berfungsi untuk memfasilitasi

25

masuknya granzyme ke dalam sitosol sel yang terinfeksi virus. Granzyme


yang sudah masuk ke dalam sel yang terinfeksi virus kemudian akan
mengaktifkan pro-caspase 3 menjadi caspase 3. caspase 3 kemudian akan
menginduksi apoptosis dengan cara mengaktifkan protein-protein yang
berperan dalam apoptosis. Salah satu protein yang diaktifkan oleh
caspase 3 adalah CAD (caspase-activated deoxyribonuclease). Sebelum
diaktifkan oleh caspase 3, CAD diikat oleh ICAD (inhibitory-CAD).
Caspase 3 kemudian memecah ICAD sehingga CAD dapat aktif dan
kemudian menginduksi fragmentasi DNA. Selain mengaktifkan caspase
3, granzyme juga berfungsi untuk memecah BID (BH3-interacting
domain death agonist protein) menjadi tBID (truncated BID) yang dapat
merusak membran luar mitokondria sehingga sitokrom-c akan keluar.
Keluarnya sitokrom-c akan menginduksi apoptosis. Ikatan sel T
sitotoksik dengan sel yang terinfeksi virus akan lepas setelah terjadi
apoptosis sel, sel T sitotoksik kemudian menuju sel lain yang terinfeksi
virus untuk selanjutnya bekerja dengan cara yang sama. Sel T sitotoksik
juga mensekresikan IFN. IFN, dan LT, TNF mencegah replikasi
virus serta menginduksi peningkatan ekspresi MHC klas I. Selain
memproses virus yang menginfeksi dirinya sendiri, sel dendritik juga
dapat memproses virus yang menginfeksi sel lain melalui mekanisme
lain, yaitu dengan memfagosit virus secara langsung maupun memfagosit
sel lain yang terinfeksi virus.
2.5.2

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis infeksi oleh virus dapat menggunakan beberapa metode
sebagai berikut:12

1.
2.
3.
4.
5.

Pemeriksaan langsung materi klinis: Mikroskop dan Pewarnaan


Biakan Virus
Deteksi Antigen
Deteksi dan amplifikasi asam nukleat
Hibridisasi asam nukleat

26

6. Mengukur respons imun terhadap infeksi virus


7. Mikroskop electron imun
2.5.3

Tatalaksana
Infeksi virus pada hospes dapat terjadi dalam berbagai pola,
tergantung pada jenis virus dan hospesnya. Secara klinis, infeksi virus
dapat bermanifestasi (apparent infection) atau tidak (inapparent
infection). Menurut lamanya gejala, infeksi virus dapat bersifat akut atau
kronik. Kemungkinan infeksi virus dan hubungan kliniknya:13

No
1

Kemungkinan Infeksi
Infeksi produktif dengan gejala

Contoh
Cacar, influenza,

klinis akut
Infeksi akut dan penyakit akut

berdarah dengue
Herpes labialis oleh virus

dilanjutkan

Herpes simplex.

persisten

dengan
dengan

infeksi

demam

serangan-

serangan klinis akut intermitten


dan infeksi laten pada masa
3

antar serangan.
Infeksi persisten produktif ialah

Hepatitis B kronik persisten.

dengan gejala klinis kronik.


Infeksi persisten laten disertai

Servisitis

transformasi sel atau tidak

transformasi)

dengan

Penyakit

GK

keganasan.

akhir

berupa

uteri

(disertai

Kuru,

sindroma

Creutzfeldt-Jacob

dan

leukoenselopati
progresif

(tidak

multifocal
disertai

transformasi).
Terdapat tiga cara pendekatan untuk melakukan pencegahan dan
pengobatan penyakit viral yaitu: kemoterapi, imunisasi, dan pemakaian
zat-zat yang menginduksi pembentukan interferon atau mekanisme
pertahanan tubuh.

27

Pada demam yang disebabkan oleh virus influenza yang disertai dengan
atau tanpa batuk pilek umumnya, akan dialami selama 1-2 hari dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi. Umumnya penyakit karena virus bisa
sembuh sendiri dengan dibantu minum banyak, makan dan istirahat
cukup. Kadang-kadang tidak diperlukan obat (sembuh tanpa obat).
Pada demam yang disebabkan oleh virus demam berdarah, suhunya turun
naik sepanjang hari, seperti pelana kuda, sehingga disebut saddle fever.
Demam bisa berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, dan pada fase
lanjut biasanya disertai manifestasi perdarahan di bawah kulit lengan,
perdarahan gusi, dan atau mimisan. Bila dibiarkan tanpa penanganan
yang tepat, demam ini bisa disertai syok karena kekurangan cairan di
dalam sel tubuh.
2.6 Bakteri
2.6.1 Respon imun 14
a. Respon imun bakteri ekstraselular
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular
Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama
melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta
makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan
penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri.
Aktivasi kompleme tanpa adanya antibodi juga memegang peranan
penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida
(LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi
komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil
aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi
bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis
bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta beberapa
hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respons
inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta aktivasi
leukosit.

28

Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh


makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis
sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL6 serta beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah
yang termasuk golongan IL-8.
Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag

adalah

merangsang

inflamasi

non-spesifik

serta

meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri.


Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada
endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi,
akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan
yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan
untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam
dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama
yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit T dan B yang menghasilkan
mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam
jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat
membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik
infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis
oleh infeksi bakteri Gram-negatif yang menyebabkan disseminated
intravascular coagulation (DIC) yang progresif serta syok septik
atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang paling
berperan pada syok endotoksin ini.
Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular
Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons
kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida
merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding sel
atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus
independent. Antigen ini dapat langsung merangsang sel limfosit B

29

yang menghasilkan imunoglobin (Ig)M spesifik yang kuat. Selain


itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui
mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh
sitokin.
Respons sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular
melalui sel TCD4 yang berhubungan dengan molekul MHC kelas
II yang mekanismenya telah dijelaskan di atas. Sel TCD4 berfungsi
sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan antibodi,
aktivasi fungsi fagosit dan mikrobisid makrofag. Ada 3 mekanisme
efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan
bakteri
1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis
dengan mengikat reseptor Fc_ pada monosit, makrofag dan
neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur
klasik yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat
reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3 dan selanjutnya
terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat
rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.
2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah
penempelan terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis
untuk eliminasi toksin tersebut.
3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan
mikrobisid MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.
b. Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan
mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di
antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag.
Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular

30

Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme


intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen
intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit
mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan alamiah ini
tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering
menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.
Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular
Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama
diperankan oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme
imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya
untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon a (IFN a).
Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T.
Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara
langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya
muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria.
Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI
adalah produksi sitokin terutama IFN a. Sitokin INF a ini akan
mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk
membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga
menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan
menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi yang
membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah
penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan
nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan
gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan
terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri
intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi

31

mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau


enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi.
Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan
merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan
proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian
ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang
terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk
imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri
persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi imunitas
perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan
jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang
sama.
2.6.2

Pemeriksaan penunjang

Diagnosis infeksi oleh bakteri dan fungi dapat dilakukan melalui:12


1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan langsung specimen : Mikroskop dan pewarnaan


Sistem biakan
Deteksi antigen
Diagnostik molecular

2.7 Parasit
2.7.1 Respon imun1
1) Imunitas Non Spesifik
Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas
nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut
biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh
karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun
pejamu. Respons imun non spesifik utama terhadap protozoa adalah
fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut resisten terhadap efek
bakterisidal makrofag.
Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal
untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan.

32

Beberapa cacing mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif,


tetapi ternyata banyak parasit memiliki lapisan permukaan tebal
sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan
makrofag. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi
terhadap efek lisis komplemen.
2) Imunitas Spesifik.
a) Respon Imun yang Berbeda
Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur,
sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenisitasnya. Hal ini
menimbulkan respons imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi
cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan
merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan
menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan
kadar

imunoglobulin

dalam

sirkulasi

dan

pembentukan

kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga


berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.
b) Infeksi Cacing
Respon pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya
lebih kompleks oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa
ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing
diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2
sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang
produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi
eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat
oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil di aktifkan dan mensekresi
granul enzim yang menginfeksi parasit.
Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain karena
eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibandingkan
enzim proteolitik

dan ROI yang diproduksi nutrofil

danmakrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang

33

produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang


ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing
pada mukosa saluran cerna. Parasit masuk kedalam lumen
saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin
dibantu oleh ADCC. Sitoklin yang dilepas sel T yang dipacu
antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi
bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu
memungkinkan cacing dapat di keluarkan dari tubuh melalui
peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast
seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium
yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal
sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis.
Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan
produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat
cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA
dan melepas protein kationik, MBP, dan neurotoksin. PMN dan
makrofag menempel melalui IgA/IgGdan melepas superoksida,
oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. IgE parasit
diduga banyak ahli hanya merupakan bagian dari peningkatan
masif IgE yang diinduksi

IL-4 oleh sel Th2 dan eksesnya

diduga untuk memenuhi IgER pada permukaan sek mast untuk


dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen parasit.
c) Sel Mast pada Infeksi Cacing
Meskipun sudah diketahui bahwa sitokin Th2 diperlukan
untuk mengeluarkan cacing dari saluran cerna, namun untuk
menentukan jenis

sel efektor yang menjadi sasaran sitokin

tersebut masih sangat sulit. Dewasa ini diketahui ada jalur


efektor multipel yang memacu Th2 dalam usus dan bahwa
kerentanan parasit terhadap mekanisme pertahanan pejamu
bervariasi. Efektor Th2 adalah antibodi, eosinofil, dan sel mast.

34

Namun pada hewan eksperimental, baik antibodi maupun


eosinofil terbukti tidak diperlukan. Pada beberapa infeksi
(Trikinela spiralis) antibodi diperlukan untuk pengeluaran
cacing yang lebih cepat. Sel mast mukosa diperlukan untuk
pengeluaran beberapa spesies seperti strongiluides dan trikinela
tetapi tidak pada trikiuris dan nipostrongilus. Sel mast mengikat
IgE pada permukaan parasit melalui Fc-R dengan afinitas yang
tinggi. Peningkatan mencolok kadar IgE akibat infeksi dengan
cacing saluran cerna mungkin merupakan bagian penting dari
degranulasi sel mast yang terarah untuk melepas mediator atau
merupakan

epifenomen

yang

merupakan

sebagian

dari

peningkatan masif yang di induksi IL-4 yang diproduksi CD4+.


Selain efek toksik, mediator tersebut juga memacu motilitas
usus dan produksi glikoprotein musin oleh sel goblet usus.
Hipersekresi mukus dapat mencegah kontak dan pengambilan
nutrien oleh parasit. Jadi peningkatan sekresi mukus dan
peristaltik usus mungkin sudah cukup untuk mengeluarkan
cacing. Bila tidak ada sel mast, hal sama dapat terjadi terhadap
fisiologis usus. Pengeluaran cacing lain seperti N. Braziliensis
tidak memerlukan sel mast dan lebih dependen atas produksi IL13 dibanding IL-4. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena IL13 merupakan pemicu induksi poten untuk hiperplasi sel goblet
dan diduga sekresi musin merupakan komponen kunci untuk
mengeluarkan N. Braziliensis.
d) Eosinofil Pada Imunitas Cacing
Eosinofil merupakan penanda umum adanya infeksi
cacing dan sudah lama diduga bahwa sitotoksik dan diperlukan
pada destruksi patogen multiselulerberukuran besar. Namun
tidak banyak bukti mengenai peran eosinofil dalam pengeluaran
cacing.bukti yang banyak ditemukan yaitu adanya fungsi

35

sitolitik terhadap fase larva parasit yang bermigrasi ke jaringan.


Eosinofil di duga juga diperlukan untuk menghancurkan larva
yang masuk ke jaringan.
e) Makrofag dan Nitrit untuk Membunuh Parasit
Makrofag merupakan sel terpenting yang memproduksi
sitokin untuk mengoitrol dan menyingkirkan parasit. NO yang
diproduksi makrofag nampaknya sangat berperan untuk
membunuh parasit. NO adalah sitotoksik untuk malaria,
lesmania, T. Cruzi, toxoplasma, skistosoma, dan fungus patogen
kriptokok neoformans. IFN- merupakan sitokin penting oleh
karena dapat mengaktifkan respiratory burst yang menghasilkan
NO. IFN- dapat bekerja sinergeistik dengan IFN- dalam
meningkatkan produksi NO dengan menginduksi sintase oksida
nitrit (NOS). Sitokin TGF- dan IL-10 menghambat produksi
NO oleh makrofag. Jalur NO penting dalam pembunuhan cacing
ekstraselular. Kebanyakan larva cacing dapat dibunuh in vitro
oleh makrofag yang diaktifkan oleh IFN-. Banyak parasit dapat
melawan serangan oksidatif dengan berbagai strategi. Larva
skistosoma terutama mencegah respons Th1. Makrofag yang
diaktifkan oleh sitokin Th1 dapat membunuh larva yang tidak
tergantung pada antibodi. NO reaktif yang diproduksi oleh
makrofag yang diaktifkan atas pengaruh IFN di duga berperan.
f) Malaria
Ada sekitar 150 spesies plasmodium, 4 di antaranya
diketahui dapat menginfeksi manusia yaitu plasmodium
falciparum, P. Vivax, P. Malariae, dan P. Ovale. Siklus hidupnya
cukup kompleks, termasuk perubahan morfologis baik dalam
pejamu manusia dan nyamuk anopheles. Imunitas terhadap
malaria falciparum terjadi sangat perlahan, menunjukkan peran
respons Th1 dan Th2 meskipun berbeda namun sangat penting

36

dalam mengontrol penyakit. Antibodi berperan dalam imunitas


terhadap sporozoit yang disuntikkan ke nyamuk yang dapat
mencegah infeksi hepatosit. Sel CD8+ dapat menghancurkan
parasit yang sudah ada dalam sel hati. Produksi IFN- oleh sel
CD8+ juga berperan dalam mengontrol fase hati. Namun siklus
eritrosit lebih memerlukan perhatian. Pada fase ini parasit
berkembang
memproduksi

dan

menyertai

gejala

sitokin proinflamasi

penyakit.

Sel

Th1

yang memacu aktivasi

makrofag dan dekstruksi sel darah merah terinfeksi. Dengan


progres infeksi, sel Th2 memacu produksi antibodi spesifik,
yang menghambat reinvasi sel darah lebih banyak. Antibodi
berperan dalam dekstruksi sel darah terinfeksi melalui aktivasi
komplemen dan memacu makrofag untuk memakannya melalui
Fc-R. Pada P Falciparum, terjadi produksi

sitokin Th1

berlebihan. Meskipun hal itu diperlukan pada infeksi parasit,


tetapi sering juga disertai dengan komplikasi berbahaya yang
dapat mengancam maut pada malaria serebral. Malaria serebral,
semula di duga disebabkan sel darah merah dengan parasit yang
menempel ke vaskulatur otak yang mengurangi oksigen ke otak.
Meskipun adherens

parasit merupakan faktor penting dalam

terjadinya kerusakan jaringan, dewasa ini di anggap bahwa


penghancuran

parasitdalam

otak

menimbulkan

sitokin

proinflamasi. TNF- yang menimbulkan kerusakan otak. IL10


sangat esensial untuk dapat mencegah kerusakan jaringan otak
yang lebih berat. Sel darah merah yang terinfeksi P falciparum,
menempel pada endotel venul kecil dan menimbulkan
penyumbatan mikrovaskular. Parasit yang di hancurkan dapat
memacu produksi IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi. NO yang
diproduksi oleh endotel otak sebagai rspons terhadap kadar IL-1
dan TNF dalam kadar tinggi dapat menimbulkan gejala serebral

37

melalui hambatan neurotransmisi. Bila sitokin-sitokin tersebut


diberikan melalui suntikan dapat menimbulkan demam dan
gejala nonspesifik malaria. Produksi TNF yang berlebihan
didugamenimbulkan

banyak

komplikasi

malaria

yang

mengancam hidup seperti suhu


tinggi, hipoglikemia, dan malaria serebral.
2.8 Tifoid
2.8.1 Definisi
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan
gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak
berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik
berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi.
Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap
ketiga macam antigen tersebut.15
2.8.2

Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil Gram
negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai
sekurang kurangnya tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik,
terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida ), antigen H ( flagela ) dan
antigen K ( selaput ). Dalam serum penderita terdapat zat anti

2.8.3

(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.16


Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk
dalam masalah kesehatan di negara berkembang. Di indonesia demam
tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insidens tertinggi pada

38

daerah endemik. Terdapat dua sumber penularan s.typhi yaitu pasien


dengan demam tifoid dan, yang lebih sering karier. Di daerah
endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S. Typhi
sedangkan di daerah nonendemik , makanan yang tercemar oleh karier
merupakan sumber penularan tersering. Demam tifoid dan paratifoid
endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik,
lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang
terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah.
1)Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada
perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan.
Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %,
usia 31 40 tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %.15
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa
Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 19
tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate
687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 3 tahun
sebesar 263 per 100.000 penduduk.
2)Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden
rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan
di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam
tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada
tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk
dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000
penduduk.
Diperkirakan menyerang 22 juta orang pertahun dengan angka
kematian mencapai 200.000 jiwa per tahun. Menurut WHO, pada

39

tahun 2013 terdapat sekitar 900.000 kasus di Indonesia, dimana


sekitar 20.000 penderitanya meninggal dunia.
Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan, termasuk di Indonesia. Indonesia dan sebagian besar
Asia Selatan merupakan daerah endemik Demam Tifoid. Anakanak prasekolah dan yang berusia 5-19 tahun seringkali menjadi
penderita penyakit ini akibat perilaku jajan sembarangan yang
makanan maupun minuman yang dikonsumsi tidak tejamin
kebersihannya. Demam tifoid terjadi pada 16-33 juta manusia
setiap tahunnya, dengan meninggal sebanyak 500.000.
Sedangkan, dalam referensi lain mengatakan bahwa diperkirakan
angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh
dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun.
Daerah endemiknya tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia,
Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. 80% kasus
ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh,
LAOS, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Di
Indonesia, mayoritas penderitanya adalah kelompok umur 3-19
tahun (91%) .15
2.8.4

Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
mukosa (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagositosis terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus

40

torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam


sirkulasi

darah

(mengakibatkan

bakteremia

pertama

yang

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh


terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan selsel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala sistemik.5
2.8.5

Gejala klinis
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan
dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur
Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di
rumahnya.17
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata rata 10 20
hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal,
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak
besemangat.18
Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang ditandai
dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama
sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun selama
lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah
kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga
(stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan
(anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi)
dan sebaliknya dapat terjadi diare.
a. Demam
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Pada era pemakaian entibiotik belum seperti pada saat
ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai

41

istilah khusus yaitu step-ladder temperatur chart yang ditandai


dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap
tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama. 8 Dalam minggu ke-2 penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ke-3 suhu badan berangsur
angsur turun 4 kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.17
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah pecah(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor
( coated tongue ), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meterorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri
c.

pada perabaan.
Gangguan kesadaran
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau
delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati
sampai koma.17
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
Status tifosa :
Demam lebih dari tujuh hari
-

Lidah kotor, ujung dan tepinya kemerahan

Gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran

ringan, apati, somnolen, hingga koma.17


Pembagian Gejala Klinis Berdasarkan Masa Virulensi
a. Masa Inkubasi

42

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya


adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit
tidaklah khas, berupa:17

anoreksia
rasa malas
sakit kepala bagian depan
nyeri otot
lidah kotor
gangguan perut (perut kembung dan sakit)
Gambaran klasik demam tifoid (GejalaKhas)
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa
langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam

tifoid

adalah sebagai berikut:


1) Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala
penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut
yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi
39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia,
mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit,
denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan
diare

dan

sembelit

silih

berganti.

Pada

akhir

minggu

pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita


adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau
tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan
tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter
pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejalagejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain
juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan
terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-

43

bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang


dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita
golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4
mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan
atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan.
Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai.
Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi. 18
2) Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari
kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada
minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan
sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadiperlambatan relatif
nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan
peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang
ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Gangguan

pendengaran

umumnya

terjadi.

Lidah

tampak

kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan


darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang
kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi.
Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika
berkomunikasi dan lain-lain. 18
3) Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali
di akhir minggu. Hal itu bjika terjadi tanpa komplikasi atau
berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala- gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru

44

pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung


untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika
keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan
terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. 6
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen
sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian
mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan
telah

terjadinya

perforasi

usus

sedangkan

keringat

dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba


denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. 18
4) Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhanmeskipun pada awal
minggu ini dapatdijumpai adanya pneumonia lobar atau
tromboflebitis vena femoralis. 18
2.8.6

Pemeriksaan penunjang 5
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering
ditemukan leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia.pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam tifoid dapat meingkat. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman
S.thypi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen

45

kuman S.thypi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen


yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah laboratorium. Maksud uji widal adalah
untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid. Yaitu:
1. Agglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Agglutinin H (flagella kuman)
3. Agglutinin vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin tinggi kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu ke empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti
agglutinin H. pada orang yang sembuh, agglutinin O masih tetap
dijumpai selama 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
c. Uji Tubex
Uji tubex mendeteksi antibody anti S.thypi O9 pada serum pasien
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang
terkonjugasi

pada

partikel

latex

yang

berwarna

dengan

lipopilosakarida S. thypi yang terkonjugasi pada partikel magnetic


latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk S.
thypi. Infeksi oleh S.parathyipi akan memberikan hasil negative.
Interpretasi hasil uji tubex
Skor

Interpretasi

46

<2

Negative

Tidak menunjukkan infeksi


tifoid aktif

Borderline

Pengukuran tidak dapat


disimpulkan, ulangi
pengujian, apabila masih
meragukan, lakukan
pengulangan beberapa hari
kemudian.

4-5

Positif

Menujukkan infeksi tifoid aktif

>6

Positif

Indikasi kuat infeksi tifoid

d. Uji Typhidot
Uji thypidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membrane luar salmonella thypi. Ahsil positif pada uji
thypidot

didapatkan

2-3

hari

setelah

infeksi

dan

dapat

mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap


antigen S.thypi seberat 50kD, yang terdapat pada strip selulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar
76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%.
e. Uji IgM Dipstick
Uji ini khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.thypi
pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip
yang mengandung antigen lipopolisakarida S.thypi dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti
IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung

47

uji.pemeriksan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan


campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu
kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan
dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap
garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis
kontrol harus berwarna dengan baik.
f. Kultur Darah
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, aka tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, Karen mungkin
disebabkan hal sebagai berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotic
2) Volume darah yang kurang
3) Riwayat vaksinasi
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat
agglutinin semakin meningkat.
2.8.7

Tatalaksana5
a. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan.
b. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan
tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal.
c. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan
mencegah penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang sering
digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah:
a) Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan
obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang
diberikan adalah 4x500 mg/hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
b) Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hampir sama dengan kloramfenikol.
c) Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama
dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2

48

tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg


trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
d) Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan
menurunkan

demam

lebih

rendah

obat

ini

dibandingkan

untuk
dengan

kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150


mg/kg BB dan digunakan selama 2 minggu.
e) Sefritriakson. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali
f)

2.8.8

sehari, diberikan selama 3-5 hari.


Golongan fluorokuinolon:
Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Penularan
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan
minuman. Jadi makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah
tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa
kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan, pada penularan
adalah :18

Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang


tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta

pengasuh anak.
Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali
contoh untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,
sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan
sebagainya.

49

Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah,

kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan


Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai Jamban keluarga yang

tidak memenuhi syarat


Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna Belum membudaya

program imunisasi untuk tifoid


Dll18
2.8.9

Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi
dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang
dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 4
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan.
Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,
sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12
tahun 0,25 ml dan anak 1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala,
lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan

secara

intramuscular

dan

booster

setiap

tahun.

Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan


anak umur 2 tahun.

50

b. Pencegahan Sekunder19
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa
penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
1) Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan
usaha surveilans demam tifoid.
2) Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya
dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian
cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik
secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang
sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang
cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan
perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas :
diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
3) Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan
harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama,
serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.

51

Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada


trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin
mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman
diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari
penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat,
sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi
ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan
laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada
atau tidak.
2.8.10 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum,
derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat
dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6%, dan
pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.19
2.9 Malaria
2.9.1 Etiologi
Ada 4 jenis plasmodium pada manusia yaitu :20
a. Plasmodium falciparum
Menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertianan yang
maligna (ganas) atau dikenal dengan nama lain sebagai malaria
tropika yang menyebabkan demam setiap hari.
b. Plasmodium vivax
Menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana
benigna (jinak)
c. Plasmodium malariae
Menyebabkan malaria kuartana atau malaria malariae

52

d. Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan
Pasifik Barat, menyebabkan malaria ovale.

2.9.2

Epidemiologi
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di
Indonesia. Berdasarkan API (Annual Parasite Incidence), dilakukan
stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur masuk dalam
stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk
dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria
tinggi.21

2.9.3

Patogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara
parasit, inang dan lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada
terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada
koagulasi

intravaskuler. Oleh

karena

skizogoni

menyebabkan

kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak


sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit
selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin
malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian
eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang
menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya
antibodi terhadap eritrosit.
Limpa

mengalami

pembesaran

dan

pembendungan

serta

pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak


parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit

53

yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis


terjadi hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan
invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit
yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan
biomolekular

sel

untuk

mempertahankan

kehidupan

parasit.

Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport


membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah
terinfeksi P. falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan
kapiler. Selain itu, eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang
tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah
eritrosit yang mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh
sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentuk seperti
bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting
adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A
dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang
tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah
multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:22
1) Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung
parasit tetapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit
sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia jaringan. Pada
hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria
(black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2) Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit
memicu makrofag yang sensitive endotoksin untuk melepaskan

54

berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna


dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor
(TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam
peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit
malaria.

TNF

dan

sitokin

dapat

menimbulkan

demam,

hipoglikemia, dan sindrom penyakit pernapasan pada orang


dewasa.
3) Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit
membentuk

yang

terinfeksi

tonjolan-tonjolan

oleh

(knobs)

Plasmodium
pada

dapat

permukaannya.

Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan


antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang
mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam,
sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit
yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk
gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan
anoksia dan edema jaringan.
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam
sel hepar tanpa menyebabkan reaksi inflamasi, kemudian merozoit
yang dihasilkan menginfeksi eritrosit yang merupakan proses
patologi dari penyakit malaria. Proses terjadinya patologi malaria
serebral yang merupakan salah satu dari malaria berat adalah
terjadinya perdarahan dan nekrosis di sekitar venula dan kapiler.
Kapiler dipenuhi leukosit dan monosit, sehingga terjadi sumbatan
pembuluh darah oleh roset eritrosit yang terinfeksi.

55

Gambar 4. Patogenesis malaria23


Setelah melalui jaringan hati P.falcifarum melepaskan 18-24
merozoit kedalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke
dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi.
Merozoit yang lepas dari fagosit serta filtrasi. Merozoit yang lepas
dari filtrasi serta fagositosis dari limpa akan menginvasi eritrosit .
selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit.
Bentuk aseksual parasit dalam eritosit (EP) inilah yang bertanggung
jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa

56

yang banyak di teliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh


malaria P.falcifarum.
Patogenesis malaria falcifarum di pengaruhi oleh factor parasit
dan factor penjamu (host). Yang termaksud dalam factor parasit adalah
intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan
yang dimaksud dengan factor penjamu adalah tingkat endemisitas
daerah tempat tinggal, genetic, usia, status nutrisi dan status
immunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu
stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 II.
Permukaan stadium cincin akan memampilkan antigen RESA (Ringerythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk
stadium matur. Permukaan membrane EP stadium matur akan
mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan histidin richprotein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP
tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toxin malaria berupa
GPI yaitu glikosilfosfatidilinasitol yang merangsang pelepasan TNF-
dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofak.24
2.9.4

Gejala klinis
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik,
anemia, dan splenomegali. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum
terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, merasa
dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia,
perut tak enak, diare ringan, dan kadang-kadang dingin.5
Secara klinis, gejala penyakit malaria terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu yang diselingi oleh suatu
periode dimana penderita bebas sama sekali dari demam. Gejala klinis
malaria antara lain:25
1) Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan

berkeringat

57

2) Nafsu makan menurun


3) Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah
4) Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi

dengan Plasmodium falciparum


5) Dalam keadaan kronis, gejala seperti di atas, disertai pembesaran

limpa
6) Pada malaria berat, gejala seperti di atas, disertai kejang-kejang
7) Pada anak, makin muda usia, makin tidak jelas gejala klinisnya.

Tetapi yang menonjol adalah adanya diare dan pusat menonjol


karena kekurangan darah serta adanya riwayat kunjungan atau
berasal dari daerah endemis malaria.
Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas, yaitu:
1) Demam berulang yang terdiri dari 3 stadium: kedinginan, panas
dan berkeringat
2) Splenomegali
3) Anemia disertai malaise
2.9.5

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan
adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatif tidak mengenyampingkan
diagnosis malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatif
maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan parasit
malaria melalui aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud
akademis dan tidak sebagai cara diagnosa yang praktis. Adapun

pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui:5


1) Tetesan Preparat Darah Tebal
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria
karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah
tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan.

58

Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan


identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit
(diperkirakan 100 lapang pandangan dengan perbesaran kuat).
Preparat dinyatakan negatif bila telah diperiksa 200 lapang
pandangan dengan perbesaran kuat 700-1000 kali tidak
ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal
dengan mneghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit
10.000/l maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan
50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
2) Tetesan Preparat Darah Tipis
Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila
dengan darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan pasrait dinyatakan
sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar
jumlah eritrosit yang mnegandung parasit per 1000 sel darah
merah. Bila jumlah parasit > 100.000/l darah menandakan
infeksi berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa
penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul
dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan
dengan cat Giemsa atau Leishmans atau Fields dan juga
Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah
dengan hasil yang cukup baik.
3) Tes Antigen (P-F test)
Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine
Rich Protein II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak
memerlukan

latihan

khusus,

sensitivitasnya

baik,

tidak

memerlukan alat khusus.


4) Tes Serologi
Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik
terhadap melaria atau pada keadaan dimana parasit sangat
minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik
sebab antibodi baru terjadi beberapa hari setelah parasitemia.

59

Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi


atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai
infeksi baru; dan test > 1:20 dinyatakan positif. Metode0metode
tes serologi antara lain indirect haemagglutinatio test, immunoprecipitation techniques,ELISA test, radio-immunoassay.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi
amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas
maupun sensitifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun
jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes
ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk
pemeriksaan rutin.
2.9.6

Tatalaksana
Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Kemasan artesunate - amodiaquin yang ada pada program
pengendalian malaria.
a. Kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 2 blister yaitu
blister amodiakuinterdiri dari 12 tablet @ 200mg 153 mg amodiakuin
basa , dan blisterartesunat terdiri dari 12 tablet @ 50 mg. Obat
kombinasi diberikan peroralselama tiga hari dengan dosis tunggal
sebagai berikut : 23
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb
Artesunat = 4 mg/ kgbb
b. Kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 3 blister
(setiap hari 1 blister untuk dosis dewasa), setiap blester terdiri dari :
4 tablet artesunate @ 50 mg
4 tablet amodiaquin @ 150 mg
Primakuin yang beredar di Indonesia dalam bentuk tablet
berwarna coklat kecoklatan yang mengandung 25 mg garam yang
setara 15 mg basa. Primakuin diberikan per-oral dengan dosis tunggal

60

0,75 mg basa/ kgbb yang diberikan pada hari pertama. Primakuin


tidak boleh diberikan kepada: 23
Ibu hamil
Bayi < 1 tahun
Penderita defisiensi G6-PD
Apabila pemberian dosis

obat

tidak

memungkinkan

berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan


berdasarkan golongan umur. Dosis maksimal penderita dewasa yang
dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing 4
2.9.7

tablet, dan primakuin 3 tablet.23


Pencegahan
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk
individu yang non-imun, khususnya pada turis nasional maupun
internasional. Kemo-profilaksis yang dianjurkan ternyata tidak
memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karenanya sangat
dianjurkan

untuk

memperhatikan

tidakan

pencegahan

menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:


1. Tidur
dengan
kelambu
sebaiknya
dengan

untuk

kelambu

impregnated(dicelup pestisida: pemethrin atau deltamethrin)


2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk(mosquitos repellents): gosok,
spray, asap, elektrik.
3. Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau
memakai proteksi (baju lengan panjang, kaos, stocking) nyamuk akan
menggigit pada jam 18.00-06.00. nyamuk jarang pada ketinggian
>2000m.
4. Memproteksi tempat tinggal / kamar tidur dari nyamuk dengan kawat
anti nyamuk.
Bila akan

digunakan

kemoprofilaksis

perlu

diketahui

sensitivitas plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan


klorokuin sensitive( seperti minahasa) cukup profilaksis dengan 2
tablet klorokuin (250 mg klorokuin diphospat) tiap minggu, 1 minggu
sebelum sebelum berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali.
Profilaksis ini juga dipakai pada wanita hamil di daerah endemic atau

61

pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi


malaria). Pada daerah resisten klorokuin dianjurkan dosisiklin 100
mg/hari atau mefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tablet /
minggu ditambah proguanil 200 mg/hari. Obat baru yang digunakan
untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5mg/kgBB/hari; etaquin,
atavaquone/ proguanil(malarone) dan azytromycin.5
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi
malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat.
Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah
endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis,
peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain. Untuk kelompok atau
individu yang akan bepergian atau tugas dalam jangka waktu yang
lama, sebaiknya menggunakan personal protection seperti pemakaian
kelambu, kawat kassa, dan lain-lain.
Oleh

karena

virulensinya

cukup

P. falciparum
tinggi

maka

merupakan

spesies

kemoprofilaksisnya

yang

terutama

ditujukan pada infeksi spesies ini. Sehubungan dengan laporan


tingginya tingkat resistensi P. falciparum terhadap klorokuin, maka
doksisiklin menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan
dosis 2 mg/kgBB selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis
untuk P. vivax dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB
setiap minggu. Obat tersebut diminum 1 minggu sebelum masuk ke
daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali.22
Tabel Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin
Golon

Jumlah

tablet

klorokuin

gan

(dosis tunggal, 1x/minggu)

umur
(thn)
<1
1-4
5-9

62

10-14
>14

1
2

2.9 DHF
2.10.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD
(dengue hemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot, dan/nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. 5
2.10.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan
oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus,
keluarga flaviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter
30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106.
Terdapat 4 seroptipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.5
2.10.3 Epidemiologi
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian
luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000
penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per
100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang
panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di
setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak

63

berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi


virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.
Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah endemik untuk
penyakit DBD, hal ini disebabkan karena letak geografis
Kalimantan Barat yang sebagian besar merupakan dataran
rendah dan merupakan daerah rawa. Di samping itu, budaya
masyarakat

perkotaan

di

Kalimantan

Barat

cenderung

menyimpan persediaan air pada tempat-tempat penampungan air


di sekitar rumahnya. Hal ini akan menjadi tempat perindukan
nyamuk Aedes Aegypti yang paling disukai.
Di Provinsi Kalimantan Barat dalam tiga tahun terakhir berturutturut dari tahun 2007 terjadi kenaikan kasus DBD adalah
sebagai berikut : Pada tahun 2007 terjadi 808 kasus DBD
dengan angka kesakitan 20,24 per 100.000 penduduk. Pada
tahun 2008 terjadi peningkatan kasus menjadi 960 kasus dengan
angka kesakitan sebesar 22,59 per 100.000 penduduk, pada
tahun 2009 terjadi peningkatan kasus yang sangat tinggi menjadi
9.710 kasus dengan angka kesakitan 225 per 100.000 penduduk.
Untuk tahun 2010, mengalami penurunan kasus yang cukup
tajam dari tahun sebelumnya menjadi 677 kasus dengan angka
kesakitan 15 per 100.000 penduduk, dengan penderita
meninggal sebanyak 13 orang (CFR 1,9%) Pada tahun 2011,
berdasarkan rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota,
jumlah kasus DBD meningkat dari tahun sbelumnya yaitu
sebesar 784 kasus dengan angka kesakitan 17,5 per 100.000
penduduk, dengan penderita meninggal sebanyak 10 orang
(CFR 1,3%).5
2.10.4 Patogenesis

64

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD


adalah:
a. Respons humoral berupa pembentukan antibody yang berperan
dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen

dan

sitotoksisitas

yang

dimediasi

antibody.

Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat


replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini
disebut antibody dependent enhancement (ADE);
b. Limfosit T baik respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T
helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2
dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6,
IL-10;
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Trombositopenia

pada

infeksi

dengue

terjadi

melalui

mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang, dan
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari)
menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariot.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis

termasuk

megakariopoiesis.

Kadar

tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia


justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi

terhadap

keadaan

trombositopenia.

Destruksi

trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya

65

koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan pelepasan


ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit.5
2.10.5 Gejala klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat
asimtomatik, atau dapat berupa demam yang khas, demam
dengue, demam berdarah dengue atau syndrome syok dengue.
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari,
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini
pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk
terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.
Gejala utama DHF dapat dikategorikan menjadi empat yaitu
demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan
kegagalan sirkulasi. Gejala klinis DHF diawali dengan demam
mendadak disertai dengan muka kemerahan dan gejala klinis
lain yang tidak khas seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala, dan
nyeri pada otot dan sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan
yaitu perasaan tidak enak pada epigastrium. Keempat gejala
utama DHF adalah sebagai berikut:5
a. Demam
Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak,
tanapa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari,
naik turun tidak mempan dengan obat antipiretik. Biasanya pada
hari ke 3,4,5 demam turun dan ini merupakan fase kritis yang
harus dicermati pada hari ke enam karena dapat terjadi syok.
b. Tanda-tanda perdarahan
Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji
tourniquet (+), petekie, pertdarahan konjungtiva, perdarahan lain
dapat berupa perdarahan gusi, melena, hematemesis, atau
hematuria. Hasil uji tourniquet dikatakan positif jika terdapat

66

lebih dari 10 petekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah


bagisn depan termasuk lipatan siku.
c. Hepatomegali
d. Syok
Syok terjadi setelah demam turun dengan disertai keluarnya
keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral
ekstremitas teraba dingin. Perubahan ini memeprlihatkan gejala
gangguan sebagai akibat dari perembesan plasma.5

2.10.6 Tatalaksana
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue,
terapi utama yaitu terapi suportif. Dengan terapi suportif yang
adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan
yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.

Asupan

cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi
Hematologi

dan

Onkologi

Medik

Fakultas

Kedokteran

Universitas Indonesia telah mneyusun protokol penatalaksanaan

DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:


Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang

dibuat sesuai atas indikasi


Praktis dalam pelaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness
Protokol ini dibagi dalam 5 kategori:

67

1) Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa


Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam
memberikan pertolongan pertama pada pada penderita
DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat
dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan
indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD
Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan haemoglobin

(Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:


Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara
100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan
anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakuakn pemeriksaan Hb, Ht,
Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan
penderita memburuk segara kembali ke Unit Gawat

Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit<100.000 diajurkan untuk

dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau tueun juga

dianjurkan untuk dirawat.


2) Protokol 2: Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di
Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan
masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan
cairan infus kristaloid dengan juumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai
rumus berikut:
1500+{20x(BB dalam kg-20)}

68

Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg:1500+{20x(5520)}=2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan

pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:


Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000
jumalh pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi

pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam.


Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000
maka pemberian cairan sesuai dengan protokol

penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%.


3) Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht>20%
Meningkatnya Ht>20% menunjukkan bahwa tubuh
mnegalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini
terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila
terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5ml/kg/jam. Dua jam kemudian
lakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam pemantauan
keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentian 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7ml/
kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang
ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka
kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka

69

jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi


bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka cairan
infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya

kondisi

menjadi

memburuk

dan

didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai


dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
4) Protokol 4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD
dewasa adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak
terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melenaata
hematokesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5ml/kgBB/jam. Pada
keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb,
Ht dan trombosis serta hemostasis harus segera dilakukan
dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan
laboratorisdidapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular
diseminata (KID). Tranfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi
faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang),
PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Tranfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan

70

perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit


<100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
5) Protokol 5: Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dengan sindrom syok dengue (SSD)
maka hal utama yang harus diingat adalah bahwa renjatan
harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan
renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan
yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan
terhadap tanda-tanda renjatan dini dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama
yangdiberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga
diberikan

oksigen

2-4

liter/menit.pemeriksaan-

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan


darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebbanyak 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan
telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi
nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang
cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat serta
diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi
menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian

71

keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3


ml/kgBB/jam.

Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi

tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis


cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan
belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat
ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi, maka perhatikan nilai Ht. Bila nilai Ht mneingkat
berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila
nilai Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal
bleeding) maka pada penderita diberikan tranfusi darah
segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.5
2.10.7 Penularan
Demam berdarah ditularkan pada manusia melalui gigitan
nyamuk betina Aedes yang terinfeksi virus dengue. Penyakit ini
tidak dapat ditularkan langsung dari orang ke orang. Penyebar
utama virus dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti, tidak
ditemukan di

Hong Kong, namun virus dengue juga dapat

disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes

albopictus.

Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi


lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan nyamuk
betina yaitu bejana yang berisi air jernih.5

2.10.8 Pencegahan
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan
tidak ada pengobatan spesifik untuk menangani infeksi dengue.
Hal ini membuat pencegahan adalah langkah terpenting, dan

72

pencegahan berarti menghindari gigitan nyamuk jika kita tinggal


di atau bepergian ke area endemic.26
Jalan terbaik untuk mengurangi nyamuk adalah menghilangkan
tempat nyamuk bertelur, seperti bejana/ wadah yang dapat
menampung air. Nyamuk dewasa menggigit pada siang hari dan
malam hari saat penerangan menyala. Untuk menghindarinya,
dapat menggunakan losion antinyamuk atau mengenakan
pakaian lengan pajang/celana panjang dan mengamankan jalan
masuk nyamuk ke ruangan.
Penggunaan insektisida untuk memberantas nyamuk dapat
dilakukan dengan malathion. Cara penggunaan malathion adalah
dengan pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (cold
fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat menggunakan
golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid.
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk penyakit
demam berdarah.
Pencegahan

utama

demam

berdarah

terletak

pada

menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam


berdarah. Insiatif untuk menghapus kolam-kolam air yang tidak
berguna (misalnya di pot bunga) telah terbukti berguna untuk
mengontrol penyakit yang disebabkan nyamuk, menguras bak
mandi setiap seminggu sekali, dan membuang hal - hal yang
dapat mengakibatkan sarang nyamuk demam berdarah Aedes
Aegypti.27
Hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan agar
terhindar dari penyakit demam berdarah, sebagai berikut:

27

1. Melakukan kebiasaan baik, seperti makan makanan bergizi,


rutin olahraga, dan istirahat yang cukup
2.

Perhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal dan

melakukan 3M, yaitu menguras bak mandi, menutup wadah

73

yang dapat menampung air, dan mengubur barang-barang bekas


yang dapat menjadi sarang perkembangan jentik-jentik nyamuk,
meski pun dalam hal mengubur barang-barang bekas tidak baik,
karena dapat menyebabkan polusi tanah. Akan lebih baik bila
barang-barang bekas tersebut didaur-ulang;
3. Fogging atau pengasapan hanya akan mematikan nyamuk
dewasa, sedangkan bubuk abate akan mematikan jentik pada air.
Keduanya

harus

dilakukan

untuk

memutuskan

rantai

perkembangbiakan nyamuk
4. Segera berikan obat penurun panas untuk demam apabila
penderita mengalami demam atau panas tinggi
2.10.9 Prognosis
Jika terapi suportif berlangsung adekuat, dan penatalaksanaan
sesuai dengan standar maka pasien berprognosis baik.

BAB III
PEMBAHASAN
1.

Perbedaan manifestasi klinis demam tifoid, malaria, DD?


Ciri khas pola demam pada demam dengue
adalah demam bifasik.

74

Pola demam bifasik tersebut dikarenakan adanya


respon imun dari serangan virus dengue. Pada
awal infeksi, viremia menyebabkan demam tinggi
karena adanya sitokin yang dihasilkan oleh respon
imun akibat virus yang masuk. Virus dengue ini
setelah beredar di dalam darah akan difagosit
oleh makrofag. Virus ini menggunakan makrofag
sebagai tempat replikasinya. Selama melakukan
replikasi,

virus

terhindar

dari

respon

imun,

sehingga respon imun dan sitokin yang dihasilkan


berkurang dan demam mulai turun. Saat proses
replikasi

selesai,

virus

dengue

akan

siap

dikeluarkan lagi melalui lisis sel, sehingga respon


imun mulai meningkat lagi dan menghasilkan
sitokin, sehingga terjadilah demam. Demam yang
meningkat lagi shunya tidak setinggi di awal
infeksi, hal ini dikarenakan pada saat virus keluar
dan

menyerang

lagi,

tubuh

sudah

dapat

mengkompensasi serangan virus tersebut untuk


menetralisirnya. Selain demam ada hal lain yang

75

lebih

penting

untuk

diperhatikan

pada

fase

demam bifasik ini, yaitu adanya kebocoran plasma


yang menjadi masalah serius dalam penanganan
demam berdarah.
Pada demam tifoid dijumpai adanya bradikardi
relatif dan pola demam step-ladder.

Sedangkan pola demam pada malaria adalah


periodic, yaitu episode demam berulang dengan
interval

regular

atau

irregular-

seperti

pada

gambar.

2.

76

3.

4.

Apa yang menyebabkan badan Nn. Shinta pegal-pegal?


Karena terjadi penumpukan laktat sebagai akibat dari
menggigil dalam upaya mempertahankan suhu tubuhnya.
Mengapa setelah menggunakan selimut Nn. Shinta tidak

mengeluarkan keringat?
Demam sebenarnya merupakan akibat dari
perubahan set point hipotalamus. Pirogen seperti virus
dan bakteri menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Saat
bakteri dan virus tersebut masuk ke dalam tubuh, pirogen
bekerja sebagai antigen, memproduksi system imun. Sel
darah putih diproduksi lebih banyak lagi untuk
meningkatkan

pertahanan

tubuh

melawan

infeksi.

Substansi ini juga mencetuskan hipotalamus untuk


mencapai set point. Untuk mencapai set point baru yang
lebih tinggi, tubuh memproduksi dan menghemat panas
dan dibutuhkan beberapa jam untuk mencapai set point
baru dari suhu tubuh. Selama periode ini, orang tersebut
menggigil,gemetar dan merasa kedinginan, meskipun
suhu tubuh meningkat. Fase menggigil berakhir ketika
set point baru, suhu yang lebih tinggi tercapai. Selama
fase berikutnya, masa stabil, menggigil hilang dan pasien
merasa hangat dan kering. Jika set point baru telah
melewati batas atau pirogen telah dihilangkan, terjadi
fase ketiga episode febris. Set point hipotalamus turun,
5.

menimbulkan respon pengeluaran


Bagaimana tatalaksana farmakologi dan non farmakologi yang

tepat untuk pasien ini?


Tatalaksana yang tepat adalah dengan merujuk kepada 5 protokol
tatalaksana demam dengue.
BAB IV
KESIMPULAN

77

Nn. Shinta 30 tahun didiagnosis mengalami demam dengue.

Daftar Pustaka

78

1. Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi
Ke-9. Jakarta: FKUI.
2. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll
J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin:
Springer-Verlag; 2009.h.1-24.
3. Soedarmo, S. S., et al. Demam : Patogenesis dan Pengobatan dalam Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2010.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.364/menkes/sk/v/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid
5. Sudoyo, Aru W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta . Interna Publishing.
6. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007
7. Ganong, WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran, 2002.
8. Nelwan, R.H.H. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo et al. Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid Ketiga. Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2006.
9. Sherwood, L. Fisiologi Manusia. Ed. 6. Jakarta : EGC. 2012.
10. Sutedjo. 2009. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.
11. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrisons Principles of
Internal Medicine); Volume 1. EGC; 616 p.
12. Jawetz, Melnick & Adelbergs Medical Microbiology. McGraw-Hill Medical;
2007. 838 p.
13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Pedoman Pengobatan dasar
di Puskesmas 2007, Jakarta.
14. Munasir, Z. Respon Imun Terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatric.
2001;2(4):193-197.
15. Alan R. Tumbelaka.2003. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
16. Widoyono.
Tropis.
Epidemiologi,
Penularan,
Pencegahan,
dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta. 2011.

79

17. Soedarmo. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2012.
18. Inawati. Demam Tifoid. Surabaya: Departemen Patologi Anatomi Universitas
Wijaya Kusuma;2010
19. Widodo, Djoko, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Demam Tifoid, Ed ke5, InternaPublishing, Jakarta.
20. Soegijanto, Soegeng. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di
Indonesia. Airlangga. Surabaya. 2006.
21. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia, Dalam
Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Volume 1, Triwulan I 2011.
Jakarta.
22. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di
Indonesia. Jakarta.
23. Depkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2008
24. Harijanto P.N MALARIA Epidemologi, Pathogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta. penerbit buku kedoteran EGC. 2000.
25. Soedarto. Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta. 1992.
26. CDC. 2010. Dengue Prevention. Diunduh pada tanggal 4 Oktober 2013 dari
http://www.cdc.gov/
27. Kemenkes RI. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi.
Volume 2. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2008.
28. Hadinegoro, Sri Rezeki H; Soegianto, Soegeng; Suroso, Thomas; Waryadi,
Suharyono, 2001, Tata Laksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia.
Depkes & Kesejahteraan Sosial Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular &
Penyehatan Lingkungan Hidup 2001. Hal 1 33.

80

Anda mungkin juga menyukai