PEMICU 3
MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI
Disusun Oleh:
Sayed Hamzah
I111 08 081
I111 10 012
Jalianto
I111 10 062
Ridha Utami
I111 11 003
NurAzmi Ayuningtyas
I111 11 009
Heryanto Andreas
I111 11 019
Inayah
I111 11 027
I111 11 031
I111 11 044
Dinna Hanifah
I111 11 051
Alberikus Kwarta B
I111 11 068
I111 11 078
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Pemicu
Shinta 30 tahun tidak dapat pergi ke kantornya karena
merasa kurang enak badan karena seluruh badannya terasa pegalpegal. Selain itu, Shinta mengeluhkan tiba-tiba badannya terasa
panas sekali dan disertai menggigil sehingga Shinta harus
menggunakan selimut tapi tidak ada perbaikan. Keluhan yang
dirasakan
akan
sedikit
membaik
jika
Shinta
meminum
Kata Kunci
a. Perempuan 30 tahun
b. Mengeluh pegal-pegal, bdan panas sekali, disertai
c.
d.
e.
f.
g.
h.
3.
menggigil
Meminum parasetamol
Mual, tidak nafsu makan
Tifus 6 bulan yang lalu
Teman kos memiliki keluhan yang sama
Takikardi
Demam memburuk dalam 3 hari
Rumusan Masalah
Shinta, 30 tahun mengeluh demam yang memburuk dalam
3 hari disertai pegal dan menggigil, serta mual dan tidak nafsu
makan dengan riwayat tifus 6 bulan yang lalu.
4.
Hipotesis
5.
f.
g.
h.
i.
j.
Contohnya?
Bagaimana patogenesis demam?
Bagaimana klasifikasi suhu tubuh?
Kondisi apa saja yang dapat menyebabkan demam?
Virus
1) Respon imun
2) Pemeriksaan penunjang
3) Tatalaksana
Bakteri
1) Respon imun
2) Pemeriksaan penunjang
Parasit
1) Respon imun
Tifoid
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Patogenesis
5) Gejala klinis
6) Pemeriksaan penunjang
7) Tatalaksana
8) Penularan
9) Pencegahan
10) Prognosis
Malaria
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Patogenesis
5) Gejala klinis
6) Pemeriksaan penunjang
7) Tatalaksana
8) Penularan
9) Pencegahan
10) Prognosis
DHF
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Patogenesis
5) Gejala klinis
6) Pemeriksaan penunjang
7) Tatalaksana
8) Penularan
9) Pencegahan
10) Prognosis
k. Perbedaan manifestasi klinis demam tifoid, malaria, DD?
l. Apa yang menyebabkan badan Nn. Shinta pegal-pegal?
m. Mengapa setelah menggunakan selimut Nn. Shinta tidak
mengeluarkan keringat?
n. Bagaimana tatalaksana farmakologi dan non farmakologi
yang tepat untuk pasien ini?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Contohnya?
Demam adalah peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau
peradangan.1
Secara
patofisiologis
demam
adalah
peningkatan
Demam intermiten
Demam intermiten
Demam remiten
Demam remiten adalah demam dengan variasi
normal lebar >1oC, tetapi suhu terendah tidak mencapai
suhu normal.3 Pada tipe demam remiten, suhu badan
dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat
Suhu (C0) 38
36
34
Hari ke-
2.1.3
42
41
40
39
38
Suhu
37
36
35
34
1
10
11
12
Hari ke-
2.1.4
Demam bifasik
Demam saddleback/ pelana/ bifasik : penderita
mengalami
beberapa
hari
demam
tinggi
disusul
10
Demam tersiana
Demam tersiana merupakan demam intermitten
yang ditandai dengan periode demam yang diselang
dengan periode normal. Demam tersiana terjadi pada hari
pertama dan hari ketiga.3 Penyakit Malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium vivax mempunyai pola
demam tersiana.3,6
11
2.1.6
12
termoregulasi
hipotalamus
untuk
meningkatkan
patokan
termostat.
13
c.
d.
e.
1.
2.
3.
f.
Normal : 36,8+0,40C
Sub Febril : 37,5-380C
Demam : >38oC
mid fever : 38-39oC
moderate fever : 39-40oC
high fever : 40-41oC
Hyperpirexia : >41,2oC
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi
diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan
tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam biasanya
juga mengikuti pola diurnal ini. Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor
individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu
udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu
tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat
pengukuran.10
Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda
Tempat
penguku
Rentang; rerata
Jenis termometer
suhu normal
Demam (oC)
(oC)
Aksila
Air raksa, elektronik 34,7 37,3; 36,4
37,4
Sublingual
Air raksa, elektronik 35,5 37,5; 36,6
37,6
Rektal
Air raksa, elektronik 36,6 37,9; 37
38
Telinga
Emisi infra merah
35,7 37,5; 36,6
37,6
o
o
o
o
Suhu rektal normal 0,27 0,38 C (0,5 0,7 F) lebih tinggi dari suhu oral.
ran
Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral. Untuk
kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38 oC,
suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC.10
2.4 Kondisi apa saja yang dapat menyebabkan demam?
Penyakit-penyakit yang menyebabkan demam11
14
Infeksi
A
15
Tromboflebitis supuratif
B
Infeksi intravaskuler
Aortitis bakterialis
Endokarditis bakterialis
Infeksi kateter vascular
16
Demam kambuhan
Slamonelosis
Sifilis
Tularemia
Tifoid
Vibriosis
Yersinia
D
Infeksi mikobakteria
MAI Mikobakteria atipikal lainnya
Tuberkulosis
Infeksi jamur
Aspergilosis
Blastomikosis
Kandidiasis
Koksidiodomikosis
Kriptokokosis
17
Histoplasmosis
Mukormikosis
Parakoksidiodomikosis
Sporotrikosis
F
Bakteri lainnya
Aktinomikosis
Penyakit Cakaran-kucing
Nokardiosis
Bacilus Whipple
Infeksi Riketsia
Penyakit akibat cakaran kucing/angiomatosis baksilaris (Rochalimaea henselae)
Ehrlichiosis
Tifus murin
Demam Q
Cacar riketsia
Demam Bintik Rocky Mountain (Rocky Mountain Spotted Fever)
18
Mikoplasma
Infeksi klamidia
LGV
Psitakosis
TWAR
Infeksi Virus
Demam tungau Coloradi
Coxsackie grup B
CMV
Dengue
EBV
Hepatitis A, B, C, D, dan E
HIV
LCM
Parvovirus B-19
Parasit
19
Amebiasis
Babesia
Penyakit Chaga
Leishmaniasis
Malaria
Pneumocystis carinii
Strongyloides
Toksoplasmosis
Toksikariasis
Trikinosis
L
Neoplasma
A
Ganas
Kolon
20
Limfoma Hodgkin
Limfadenopati imunoblastik
Ginjal
Leukemia
Hati
Granulomatosis limfomatoid
Histiositosis maligna
Limfoma non-Hodgkin
Pankreas
Sarkoma
B
Jinak
Miksoma atrium
Angiomiolipoma ginjal
21
Eritema multiforme
Eritema nodosum
Arteritis sel raksasa/polimialgia rematika
Pneumonitis hipersensitivitas
Vaskulitis hipersensitivitas
Penyakit jaringan ikat campuran
Poliarteritis nodosa
Polikondritis kambuhan
Demam rematik
Artritis rematoid
Lupus ertematosus sistemik
Aortitis Takayashu
Penyakit Weber-Christian
Granulomatosis Wegener
Penyakit granulomatosa
Penyakit Crohn
Hepatitis granulomatosa idiopatik
22
23
Penyakit Fabry
Demam Mediterania familial
Hiperimunoglobulinemia D dan demam periodic
Hipertrigliseridemia tipe V
Gangguan termoregulasi
A
Sentral
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular Ensefalitis
Disfungsi hipotalamus
Perifer
Hipertiroidisme
Feokromositoma
Demam faktisius
Demam yang tidak diketahui asalnya yang afebril (<38,3OC)
Hipertermia habitul (irama sirkadian yang berlebih-lebihan)
24
2.5 Virus
2.5.1 Respon imun1
Respon imun terhadap virus yang melibatkan sel T dan sel NK
termasuk dalam system imun selular, sementara yang melibatkan
antibody merupakan system imun humoral. Respon imun humoral efektif
melawan virus hanya saat berada ekstraselular, yaitu pada tahap awal
infeksi atau ketika dikeluarkan dari sel yang lisis. Virus yang masuk ke
dalam tubuh memiliki dua fase kehidupan yaitu fase ekstraselular dan
fase intraselular. Saat virus masih berada pada fase ekstraselular, virus
dapat dikenali oleh BCR sel B. Pada sel-sel yang terinfeksi virus,
umumnya setelah virus masuk ke dalam sel kemudian virus akan
bereplikasi dan mengadakan sintesis protein. Begitu pula pada virus yang
menginfeksi sel dendritik, virus akan bereplikasi dan mengadakan
sintesis protein. Protein virus yang terbentuk ini kemudian didegradasi di
proteosom menjadi fragmen peptide, lalu akan diikat oleh MHC klas I
dan diekspresikan di permukaan sel. Sel dendritik yang terinfeksi virus
kemudian menuju organ limfoid sekunder. Di organ lymphoid sekunder,
kompleks MHC klas I-fragmen peptide pada permukaan sel dendritik
akan dikenali oleh TCR sel T CD8. Kemudian sel T CD8 akan
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (CTL) dan sel
memori. Sel T sitotoksik lalu keluar dari organ limfoid sekunder menuju
jaringan yang terinfeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan
mensekresikan IFN tipe I. IFN tipe I ini berfungsi untuk menstimulasi
ekspresi MHC klas I pada semua sel sehingga sel yang terinfeksi virus
akan dengan mudah dikenali oleh sel T sitotoksik. Setelah TCR sel T
sitotoksik berikatan dengan kompleks MHC klas I-fragmen peptide yang
diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik
kemudian melepaskan granula-granulanya yang berisi enzim perforin,
serglycin dan granzym. Perforin, serglycin, serta granzyme membentuk
suatu kompleks. Perforin dan serglycin berfungsi untuk memfasilitasi
25
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis infeksi oleh virus dapat menggunakan beberapa metode
sebagai berikut:12
1.
2.
3.
4.
5.
26
Tatalaksana
Infeksi virus pada hospes dapat terjadi dalam berbagai pola,
tergantung pada jenis virus dan hospesnya. Secara klinis, infeksi virus
dapat bermanifestasi (apparent infection) atau tidak (inapparent
infection). Menurut lamanya gejala, infeksi virus dapat bersifat akut atau
kronik. Kemungkinan infeksi virus dan hubungan kliniknya:13
No
1
Kemungkinan Infeksi
Infeksi produktif dengan gejala
Contoh
Cacar, influenza,
klinis akut
Infeksi akut dan penyakit akut
berdarah dengue
Herpes labialis oleh virus
dilanjutkan
Herpes simplex.
persisten
dengan
dengan
infeksi
demam
serangan-
antar serangan.
Infeksi persisten produktif ialah
Servisitis
transformasi)
dengan
Penyakit
GK
keganasan.
akhir
berupa
uteri
(disertai
Kuru,
sindroma
Creutzfeldt-Jacob
dan
leukoenselopati
progresif
(tidak
multifocal
disertai
transformasi).
Terdapat tiga cara pendekatan untuk melakukan pencegahan dan
pengobatan penyakit viral yaitu: kemoterapi, imunisasi, dan pemakaian
zat-zat yang menginduksi pembentukan interferon atau mekanisme
pertahanan tubuh.
27
Pada demam yang disebabkan oleh virus influenza yang disertai dengan
atau tanpa batuk pilek umumnya, akan dialami selama 1-2 hari dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi. Umumnya penyakit karena virus bisa
sembuh sendiri dengan dibantu minum banyak, makan dan istirahat
cukup. Kadang-kadang tidak diperlukan obat (sembuh tanpa obat).
Pada demam yang disebabkan oleh virus demam berdarah, suhunya turun
naik sepanjang hari, seperti pelana kuda, sehingga disebut saddle fever.
Demam bisa berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, dan pada fase
lanjut biasanya disertai manifestasi perdarahan di bawah kulit lengan,
perdarahan gusi, dan atau mimisan. Bila dibiarkan tanpa penanganan
yang tepat, demam ini bisa disertai syok karena kekurangan cairan di
dalam sel tubuh.
2.6 Bakteri
2.6.1 Respon imun 14
a. Respon imun bakteri ekstraselular
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular
Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama
melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta
makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan
penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri.
Aktivasi kompleme tanpa adanya antibodi juga memegang peranan
penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida
(LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi
komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil
aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi
bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis
bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta beberapa
hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respons
inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta aktivasi
leukosit.
28
adalah
merangsang
inflamasi
non-spesifik
serta
29
30
31
Pemeriksaan penunjang
2.7 Parasit
2.7.1 Respon imun1
1) Imunitas Non Spesifik
Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas
nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut
biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh
karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun
pejamu. Respons imun non spesifik utama terhadap protozoa adalah
fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut resisten terhadap efek
bakterisidal makrofag.
Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal
untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan.
32
imunoglobulin
dalam
sirkulasi
dan
pembentukan
33
34
epifenomen
yang
merupakan
sebagian
dari
35
36
dan
menyertai
gejala
sitokin proinflamasi
penyakit.
Sel
Th1
sitokin Th1
parasitdalam
otak
menimbulkan
sitokin
37
banyak
komplikasi
malaria
yang
Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil Gram
negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai
sekurang kurangnya tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik,
terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida ), antigen H ( flagela ) dan
antigen K ( selaput ). Dalam serum penderita terdapat zat anti
2.8.3
38
39
Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
mukosa (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagositosis terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
40
darah
(mengakibatkan
bakteremia
pertama
yang
Gejala klinis
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan
dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur
Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di
rumahnya.17
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata rata 10 20
hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal,
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak
besemangat.18
Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang ditandai
dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama
sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun selama
lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah
kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga
(stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan
(anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi)
dan sebaliknya dapat terjadi diare.
a. Demam
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Pada era pemakaian entibiotik belum seperti pada saat
ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai
41
pada perabaan.
Gangguan kesadaran
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau
delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati
sampai koma.17
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
Status tifosa :
Demam lebih dari tujuh hari
-
42
anoreksia
rasa malas
sakit kepala bagian depan
nyeri otot
lidah kotor
gangguan perut (perut kembung dan sakit)
Gambaran klasik demam tifoid (GejalaKhas)
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa
langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam
tifoid
dan
sembelit
silih
berganti.
Pada
akhir
minggu
43
pendengaran
umumnya
terjadi.
Lidah
tampak
44
terjadinya
perforasi
usus
sedangkan
keringat
Pemeriksaan penunjang 5
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering
ditemukan leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia.pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam tifoid dapat meingkat. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman
S.thypi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
45
pada
partikel
latex
yang
berwarna
dengan
Interpretasi
46
<2
Negative
Borderline
4-5
Positif
>6
Positif
d. Uji Typhidot
Uji thypidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membrane luar salmonella thypi. Ahsil positif pada uji
thypidot
didapatkan
2-3
hari
setelah
infeksi
dan
dapat
47
Tatalaksana5
a. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan.
b. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan
tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal.
c. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan
mencegah penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang sering
digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah:
a) Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan
obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang
diberikan adalah 4x500 mg/hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
b) Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hampir sama dengan kloramfenikol.
c) Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama
dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2
48
demam
lebih
rendah
obat
ini
dibandingkan
untuk
dengan
2.8.8
Penularan
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan
minuman. Jadi makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah
tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa
kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan, pada penularan
adalah :18
pengasuh anak.
Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali
contoh untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,
sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan
sebagainya.
49
Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi
dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang
dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 4
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan.
Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,
sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12
tahun 0,25 ml dan anak 1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala,
lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan
secara
intramuscular
dan
booster
setiap
tahun.
50
b. Pencegahan Sekunder19
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa
penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
1) Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan
usaha surveilans demam tifoid.
2) Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya
dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian
cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik
secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang
sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang
cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan
perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas :
diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
3) Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan
harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama,
serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
51
52
d. Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan
Pasifik Barat, menyebabkan malaria ovale.
2.9.2
Epidemiologi
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di
Indonesia. Berdasarkan API (Annual Parasite Incidence), dilakukan
stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur masuk dalam
stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk
dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria
tinggi.21
2.9.3
Patogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara
parasit, inang dan lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada
terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada
koagulasi
intravaskuler. Oleh
karena
skizogoni
menyebabkan
mengalami
pembesaran
dan
pembendungan
serta
53
sel
untuk
mempertahankan
kehidupan
parasit.
54
TNF
dan
sitokin
dapat
menimbulkan
demam,
yang
terinfeksi
tonjolan-tonjolan
oleh
(knobs)
Plasmodium
pada
dapat
permukaannya.
55
56
Gejala klinis
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik,
anemia, dan splenomegali. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum
terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, merasa
dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia,
perut tak enak, diare ringan, dan kadang-kadang dingin.5
Secara klinis, gejala penyakit malaria terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu yang diselingi oleh suatu
periode dimana penderita bebas sama sekali dari demam. Gejala klinis
malaria antara lain:25
1) Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan
berkeringat
57
limpa
6) Pada malaria berat, gejala seperti di atas, disertai kejang-kejang
7) Pada anak, makin muda usia, makin tidak jelas gejala klinisnya.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan
adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatif tidak mengenyampingkan
diagnosis malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatif
maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan parasit
malaria melalui aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud
akademis dan tidak sebagai cara diagnosa yang praktis. Adapun
58
latihan
khusus,
sensitivitasnya
baik,
tidak
59
Tatalaksana
Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Kemasan artesunate - amodiaquin yang ada pada program
pengendalian malaria.
a. Kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 2 blister yaitu
blister amodiakuinterdiri dari 12 tablet @ 200mg 153 mg amodiakuin
basa , dan blisterartesunat terdiri dari 12 tablet @ 50 mg. Obat
kombinasi diberikan peroralselama tiga hari dengan dosis tunggal
sebagai berikut : 23
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb
Artesunat = 4 mg/ kgbb
b. Kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 3 blister
(setiap hari 1 blister untuk dosis dewasa), setiap blester terdiri dari :
4 tablet artesunate @ 50 mg
4 tablet amodiaquin @ 150 mg
Primakuin yang beredar di Indonesia dalam bentuk tablet
berwarna coklat kecoklatan yang mengandung 25 mg garam yang
setara 15 mg basa. Primakuin diberikan per-oral dengan dosis tunggal
60
obat
tidak
memungkinkan
untuk
memperhatikan
tidakan
pencegahan
untuk
kelambu
digunakan
kemoprofilaksis
perlu
diketahui
61
karena
virulensinya
cukup
P. falciparum
tinggi
maka
merupakan
spesies
kemoprofilaksisnya
yang
terutama
Jumlah
tablet
klorokuin
gan
umur
(thn)
<1
1-4
5-9
62
10-14
>14
1
2
2.9 DHF
2.10.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD
(dengue hemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot, dan/nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. 5
2.10.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan
oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus,
keluarga flaviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter
30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106.
Terdapat 4 seroptipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.5
2.10.3 Epidemiologi
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian
luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000
penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per
100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang
panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di
setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
63
perkotaan
di
Kalimantan
Barat
cenderung
64
dan
sitotoksisitas
yang
dimediasi
antibody.
pada
infeksi
dengue
terjadi
melalui
mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang, dan
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari)
menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariot.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis
termasuk
megakariopoiesis.
Kadar
terhadap
keadaan
trombositopenia.
Destruksi
65
66
2.10.6 Tatalaksana
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue,
terapi utama yaitu terapi suportif. Dengan terapi suportif yang
adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan
yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi
Hematologi
dan
Onkologi
Medik
Fakultas
Kedokteran
67
Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit<100.000 diajurkan untuk
dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau tueun juga
68
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg:1500+{20x(5520)}=2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan
69
kondisi
menjadi
memburuk
dan
70
oksigen
2-4
liter/menit.pemeriksaan-
71
albopictus.
2.10.8 Pencegahan
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan
tidak ada pengobatan spesifik untuk menangani infeksi dengue.
Hal ini membuat pencegahan adalah langkah terpenting, dan
72
utama
demam
berdarah
terletak
pada
27
73
harus
dilakukan
untuk
memutuskan
rantai
perkembangbiakan nyamuk
4. Segera berikan obat penurun panas untuk demam apabila
penderita mengalami demam atau panas tinggi
2.10.9 Prognosis
Jika terapi suportif berlangsung adekuat, dan penatalaksanaan
sesuai dengan standar maka pasien berprognosis baik.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
74
virus
terhindar
dari
respon
imun,
selesai,
virus
dengue
akan
siap
menyerang
lagi,
tubuh
sudah
dapat
75
lebih
penting
untuk
diperhatikan
pada
fase
regular
atau
irregular-
seperti
pada
gambar.
2.
76
3.
4.
mengeluarkan keringat?
Demam sebenarnya merupakan akibat dari
perubahan set point hipotalamus. Pirogen seperti virus
dan bakteri menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Saat
bakteri dan virus tersebut masuk ke dalam tubuh, pirogen
bekerja sebagai antigen, memproduksi system imun. Sel
darah putih diproduksi lebih banyak lagi untuk
meningkatkan
pertahanan
tubuh
melawan
infeksi.
77
Daftar Pustaka
78
1. Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi
Ke-9. Jakarta: FKUI.
2. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll
J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin:
Springer-Verlag; 2009.h.1-24.
3. Soedarmo, S. S., et al. Demam : Patogenesis dan Pengobatan dalam Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2010.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.364/menkes/sk/v/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid
5. Sudoyo, Aru W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta . Interna Publishing.
6. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007
7. Ganong, WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran, 2002.
8. Nelwan, R.H.H. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo et al. Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid Ketiga. Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2006.
9. Sherwood, L. Fisiologi Manusia. Ed. 6. Jakarta : EGC. 2012.
10. Sutedjo. 2009. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.
11. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrisons Principles of
Internal Medicine); Volume 1. EGC; 616 p.
12. Jawetz, Melnick & Adelbergs Medical Microbiology. McGraw-Hill Medical;
2007. 838 p.
13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Pedoman Pengobatan dasar
di Puskesmas 2007, Jakarta.
14. Munasir, Z. Respon Imun Terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatric.
2001;2(4):193-197.
15. Alan R. Tumbelaka.2003. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
16. Widoyono.
Tropis.
Epidemiologi,
Penularan,
Pencegahan,
dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta. 2011.
79
17. Soedarmo. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2012.
18. Inawati. Demam Tifoid. Surabaya: Departemen Patologi Anatomi Universitas
Wijaya Kusuma;2010
19. Widodo, Djoko, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Demam Tifoid, Ed ke5, InternaPublishing, Jakarta.
20. Soegijanto, Soegeng. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di
Indonesia. Airlangga. Surabaya. 2006.
21. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia, Dalam
Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Volume 1, Triwulan I 2011.
Jakarta.
22. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di
Indonesia. Jakarta.
23. Depkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2008
24. Harijanto P.N MALARIA Epidemologi, Pathogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta. penerbit buku kedoteran EGC. 2000.
25. Soedarto. Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta. 1992.
26. CDC. 2010. Dengue Prevention. Diunduh pada tanggal 4 Oktober 2013 dari
http://www.cdc.gov/
27. Kemenkes RI. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi.
Volume 2. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2008.
28. Hadinegoro, Sri Rezeki H; Soegianto, Soegeng; Suroso, Thomas; Waryadi,
Suharyono, 2001, Tata Laksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia.
Depkes & Kesejahteraan Sosial Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular &
Penyehatan Lingkungan Hidup 2001. Hal 1 33.
80