Fluralisme Jalaluddin Rakhmat

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 23

Jalaludin Rakhmat:

Rahmat Tuhan Tidak Terbatas

Saya sering bicara tentang Islam di banyak gereja. Lalu banyak orang yang bertanya, sejak kapan Islam
mengajarkan pluralisme? Kalau dalam Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus Johanes
Paulus II. Saya lalu katakan, pluralisme ada sejak zaman Rasulullah.

Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang
beragam itu, masing-masing pemudik disemangati oleh etos bermusabaqah dalam kebajikan. Rahmat
Tuhan yang tak terbataslah yang nantinya akan menentukan mana yang terbaik di antara para pemudik itu,
tanpa memandang perbedaan agama dan golongannya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Kajian
Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (28/9) lalu, dengan Jalaluddin Rakhmat, intelektual Islam-Syiah yang
meluncurkan buku Islam dan Pluralisme, pertengahan September lalu.
Kang Jalal, apa yang mendorong Anda menulis buku Islam dan Pluralisme yang diluncukan
pertengahan September lalu di Universitas Paramadina?
Saya ingin memberi tunjangan atau support teologis dengan rujukan Alquran langsung untuk membenarkan
pluralisme. Sebab, kalau bicara soal Islam, rujukan utama kita adalah Alquran. Karena itu, bab pertama
buku itu bicara soal ayat-ayat Alquran tentang pluralisme. Jadi buku ini ingin memberi argumentasi
keislaman tentang pluralisme dan seakan-akan menjadi sebuah jawaban terhadap Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Kalau MUI mengatakan pluralisme haram, pleace tunjukkan dalilnya dari Alquran dan hadits. Kalau
saya yang mendukung pluralisme ditanya dalil bisa dibenarkankannya pluralisme dalam Islam, nah buku
inilah jawabannya.
Saya jadi ingat buku Gamal Al-Banna Doktrin Pluralisme dalam Alquran yang (terjemahan dari
Arab). Di situ antara lain ditegaskan al-i`tirf biwahdaniyatilLh yaqtadl al-itirf bita`addudiyyati
ghairihi (pengakuan akan keesaan Tuhan mensyaratkan pengakuan akan kebhinekaan lainnya).
Apakan proposisi seperti itu bisa dibenarkan?
Salah satu buku yang banyak saya kutip juga untuk penulisan buku ini termasuk buku Gamal Al-Banna itu.
Menurut saya, buku Al-Banna itu sangat menarik. Pertama, karena posisi Al-Banna yang mendukung
pluralisme memang menarik bagi kita. Sebab, dia pernah juga menjadi seorang fundamentalis. Dia pernah
masuk penjara dan bekerja untuk pembenahan instalasi listrik bersama tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimun
lainnya di Mesir.
Saya kira, Gamal Al-Banna pasti punya hubungan kekeluargaan dengan Hasan Al-Banna (Gamal memang
adik bungsu Hassan Al-Banna, pendiri kelompok Ikhwanul Muslimin, Red). Kita tahulah bahwa Hassan AlBanna adalah idolanya kaum fundamentalis. Dan adiknya ini pernah pula masuk penjara demi
mempertahankan fundamentalismenya. Nah yang menarik bagi saya, dalam posisi yang sangat
fundamentalis itu, kita masih menemukan dalam dirinya pandangan-pandangan yang sangat pluralistik. Dia
hafal Alquran dan memberi argumennya dari Alquranul karim sendiri.
Saya akan beri contoh tentang pandangan Al-Banna yang saya kutip juga dalam buku saya. Dia
mengatakan, Thomas Alva Edison itu pasti akan masuk surga. Sebab, berkat temuannya jutaan umat
manusia dapat diterangi dan kita menikmati kenyamanan-kenyamanan hidup seperti kulkas dan AC. Itu
semua berkat jasa Alva Edison. Orang-orang fundamentalis di sekelilingnya menyangkal, Tak mungkin si
Thomas masuk surga. Dia kan kafir?!
Dengan mengutip Alquran, Al-Banna menjawab: Sekiranya manusia punya wewenang untuk mengelola
perbendaraan kasih sayang Tuhannya (khazinna rahmati Robbi), pastilah mereka akan menahannya untuk
kelompoknya saja. Lalu diujung ayat itu dikatakan, Sesungguhnya manusia itu memang bahil (kaana
qatr). Karena bakhil, surga pun akan mereka tahan dan kavling-kavling untuk kelompok mereka saja.
Bagi orang Islam, surga hanya diperuntukkan bagi orang Islam. Dan

bagi orang Kristen, mungkin ia hanya untuk orang Kristen. Masing-masing mereka menahan perbendaraan
kasih sayang Tuhannya; enggan berbagi-bagi. Nah, ketika membicarakan pluralisme, saya selalu teringat
akan ayat itu: Tuhan tidak ingin membatasi rahmat-Nya hanya untuk kelompok tertentu saja.
Apa yang Anda maksud dengan pluralisme ketika menulis buku itu?
Isme itu adalah sebuah paham. Ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, di dalam dunia akademis
sebetulnya masih bagian dari religious studies atau pendekatan yang sekular untuk memahami gejalagejala keberagamaan. Pluralisme itu bisa berupa paham tapi bisa juga disebut orientasi keberagamaan. Kita
memang harus bisa membedakan pluralisme dan pluralitas. Pluralistas adalah kenyataan sosial ketika kita
menyaksikan adanya masyarakat yang plural atau majemuk. Tapi pluralisme adalah sebuah paham dalam
religious studies.
Banyak orang menyangka pluralisme itu punya definisi macam-macam. Sebenarnya tidak! Di dalam dunia
akademis, sudah ada kesepakatan dan batasan-batasan dalam defenisinya. Misalnya, ada penegasan
bahwa pluralisme itu bukanlah sinkretisme. Pluralisme juga bukan menganggap semua agama sama.
Bukan pula menganggap semua benar. Biasanya, pluralisme dibicarakan dalam tiga bagian atau dalam
posisi berhadapan dengan dua posisi lainnya, yaitu ekslusivisme dan inklusivisme.
Jadi, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, menjawab satu pertanyaan mendasar di dalam
studi keagamaan. Yaitu, siapakah yang akan selamat di akhirat nanti? Atau siapa yang kelak akan
masuk surga?
Karena itu, kalau bicara soal pluralisme, pleace pembicaraan itu dipahami dalam konteks siapa yang akan
selamat di akhirat nanti saja. Bagi kaum ekslusivis, hanya golongan dan agama mereka saja yang akan
selamat. Menurut kaum inklusivis, yang masuk surga hanya orang Islam dan orang-orang lain yang
berakhlak islami. Tapi bagi mereka, Islam tetap sebagai kriteria pertama. Nah, kaum pluralis berpendapat
bahwa orang yang selamat adalah siapa saja, apapun agamanya, selama memberi kontribusi yang baik
bagi kemanusiaan di dunia ini.
Itu kan pertanyaan metafisis. Yang penting bagi kehidupan sosial kan hanya implikasi atau dampak
sosial masing-masing pandangan. Apa pentingnya perspektif pluralis di dalam kehidupan sosial
kita?
Dalam masyarakat yang sangat pluralistik, atau ketika kita berhadapan dengan keragaman dalam teologi,
kepercayaan, dan keyakinan, hanya pluralisme yang dapat diharapkan akan memberi ruang bagi toleransi.
Tapi banyak sekali orang yang menolak pluralisme. Seorang kiai NU di Jawa Timur pernah mengatakan,
Sudahlah, kita tak usah mengurus apakah orang masuk surga atau tidak. Itu bukan urusan kita. Serahkan
saja urusannya ke pada Tuhan! Beliau lupa, jawaban tentang siapa yang akan masuk surga itu akan sangat
mempengaruhi kita dalam memandang agama lain, dan itu akan menjadi bingkai untuk memahami ajaranajaran agama lainnya.
Ketika saya berpendapat bahwa semua orang, apapun agamanya, asalkan beramal saleh, akan masuk
surga, apa yang akan terjadi pada diri saya setelah itu? Saya tentu tidak akan menilai orang lain dari labellabel keagamaannya. Saya jadi tak peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. Kalau berakhlak mulia,
beramal saleh, saya akan berikan segala kemuliaan kepadanya.
Tapi bagi orang Islam yang berpandangan ekslusif, hanya orang Islam saja yang akan masuk surga. Orang
lain tak akan. Apa yang akan tumbuh dari sikap demikian tak lain hanya prasangka-prasangka sosial. Nanti,
kalau ada orang Kristiani yang membantu orang Islam, kita langsung curiga. Bahkan, akan ada dampak etis
yang sangat fatal kalau kita merasa hanya orang Islam saja yang kelak masuk surga. Ketika kita melihat
perilaku kita jauh lebih buruk dari perilaku orang beragama lain, kita akan selalu mencari justifikasi
(pembenaran) untuk kekurangan kita. Kita katakan, mereka berbuat baik, tapi pasti tetap masuk neraka.
Padahal, Alquran sendiri pernah menyindir orang-orang yang berkata demikian. Berkatalah orang-orang
Yahudi: lan tamassana an-nr ill ayyman ma`ddt (kami tidak akan tersentuh api neraka kecuali
sebentar saja). Sebab, kita adalah kekasih-kekasih Allah. Demikian pandangan sebagaian orang Yahudi.
Orang Yahudi juga mengklaim laisat an-nashr `al syai (orang-orang Nasrani itu tidak bakal mendapat

apa-apa). Orang-orang Nasrani membalas, laisat al-yahd `al syai (orang Yahudi juga tidak akan dapat
apa-apa). Tapi di ujung ayat, Alquran menegaskan: Tilka amniyyuhum! (itu hanya angan-angan mereka
saja). Waman ya`mal san yuz bih (siapa saja yang berbuat buruk, tidak perduli apapun agamanya, ia
akan tetap memperoleh balasan).
Apakah gagasan atau sikap pluralistis hanya penting bagi kelompok minoritas, mereka yang merasa
tertindas, dan tidak dapat menentukan hitam-putihnya kehidupan sosial?
Kalau kita baca buku-buku karangan Karen Armstrong, kita akan tahu bahwa di saat kaum muslimin berada
dalam puncak kejayaan peradabannya, justru mereka sangat percaya diri untuk menganut pluralisme.
Armstrong pernah bercerita tentang sindrom martir. Di situ dia terangkan bahwa dulunya, justru orang-orang
Kristen yang selalu siap-siap untuk mati sahid. Dan demi mati syahid, mereka rela mengecam Islam,
memaki-maki Rasulallah, dan melakukan tindakan lainnya. Tapi waktu itu, raja-raja Islam santai-santai saja,
tuh. Sebab mereka tahu, mereka ingin syahid. Mereka dibiarkan saja dan tidak dihukum mati.
Adakah perbenturan antara konsep pluralisme dengan teologi masing-masing agama yang sudah
dimapankan seperti konsep tauhid dalam Islam?
Bagi saya, seorang muslim yang pluralis, pasti akan menganut prinsip tauhid. Seorang kristiani yang
pluralis, pasti akan percaya bahwa Yesus adalah juru selamat semua umat manusia. Jadi pluralisme itu
adalah sebuah orientasi keberagamaan. Kelompok pluralis itu akan ada di kalangan Islam, ada juga di
kelompok Kristiani dan agama lain. Kalangan ekslusivis juga ada di berbagai agama dan masing-masing
bisa merujuk pada kitab suci masing-masing.
Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu berakibat pada perilaku sosial kita. Tapi pluralisme
bukan juga menganggap semua agama sama saja karena dalam Alquran juga sudah dikatkan, walikullin
ja`alna minkum syir`atan wa minhja. Artinya, bagi tiap-tiap agama, telah Kami tetapkan aturan hidup dan
syariat masing-masing. Ditegaskan juga, walau syalLh laja`alakum ummatan whidah (kalau Allah
menghendaki, Dia akan jadikan seluruh agama itu satu saja). Artinya, Allah bisa menjadikan seluruh agama
sama saja.
Tapi Alquran menjelaskan lebih lanjut, walkin liyabluwakum (Dia ingin menguji kalian), bim tkum
(dengan agama yang datang kepada kalian). Karena itu, kita dianjurkan untuk fastabiqul khairt
(berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan), karena ilayya marji`ukum jam`an (hanya kepada-Ku
seluruh agama akan berpulang). Ayat ini perlu dikomentari.
Menurut saya, hampir tak pernah terdapat kata jam`an setelah kata marji`ukum kecuali di dalam ayat ini
saja. Ilayya marji`ukum fa unabbiukum bim kuntum ta`maln; inna ilayn iybahum, tsumma inna `alayn
hisbahum. Kepada-Ku juga kalian akan berpulang dan di situlah Aku akan memberitahu apa yang engkau
lakukan. Semuanya akan berpulang pada Allah dan dia yang akan membuat perhitungan.
Nah, kemarin, saya dikritik Pak Adian Husaini, calon doktor dari ISTAC Malaysia itu. Katanya, pandangan
bahwa hanya kepada Allah seluruhnya akan menuju itu adalah keliru. Saya tidak tanggapi statemennya itu
secara serius dan menganggapnya dagelan saja.
Kalau ada beberapa ayat Alquran yang bisa dianggap bercorak pluralis, sejak kapan pluralisme
mulai dikenal dalam Islam?
Saya sering bicara tentang Islam di banyak gereja. Lalu banyak orang yang bertanya, sejak kapan Islam
mengajarkan pluralisme? Kalau dalam Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus Johanes Palus II.
Saya lalu katakan, pluralisme ada sejak zaman Rasulullah. Dan menurut Karen Armstrong, ketika kaum
muslimin berada dalam posisi yang kuat, mereka berwawawan sangat pluralistis. Kaum muslimin mulai
berpikir dan bersikap ekslusif ketika mereka dipojokkan dan merasa dikalahkan.
Konon, di zaman Rasullah ada seorang sahabat Ansar bernama Abu Husain. Dia punya dua anak. Tiba-tiba
kedua anaknya pindah agama ke Kristen karena terpengaruh pedagang dari Suriah. Lalu dia membawa
kedua anaknya kehadapan Rasulullah. Anak saya masuk Kristen. Apa boleh saya paksa masuk Islam?

tanyanya. Tidak, kata Rasulullah. Lalu dibacakanlah ayat l ikrh fid dn (tidak boleh ada paksaan dalam
agama).
Kang Jalal, kalangan syariat sering khawatir akan ditinggalkannya syariat masing-masing agama
kalau kita berpikiran pluralistis. Apa perlunya saya salat dan puasa Ramadan bila semua jalan
menuju Allah adalah valid dalam perspektif kalangan pluralis?!
Saya jawab dengan analogi juga. Saya punya sekolah SMU plus Muthahhari. Saya katakan pada anak-anak
bahwa semua anak-anak SMU plus Muthahhari berhak ikut ujian akhir, dan anak-anak sekolah lain pun
berhak ikut ujian akhir. Tapi soal lulus atau tidaknya, tidak ditentukan oleh SMU plus Muthahhari. Yang
memutuskan hasil akhirnya, pada prinsipnya adalah amal kita, kerja keras kita. Semua anak Muthahhari
akan mengerti itu. Mereka pasti tidak akan pindah sekolah hanya untuk mendapat hasil baik dalam ujian.
Artinya, kalau semua agama beranggapan bisa beramal saleh di dalam agamanya sendiri-sendiri, itu tidak
berarti kita mesti pindah-pindah agama; pagi Islam, sore Kristen. Tidak sama sekali. Itu juga tidak berarti kita
perlu menjalankan ritual-ritual keagamaan yang berbeda-beda. Setiap umat Islam menjalankan syariat
Islamnya, tapi tak boleh menggunakan syariat itu untuk menilai agama lain.
Jadi pola pikir seperti yang tergambar dalam pertanyaan di atas adalah sebuah kekeliruan. Kalau kita
menganut Islam, kita harus menjalankan syariat Islam semampu kita. Sebab Alquran menyatakan bahwa
setiap agama ada syariatnya masing-masing. Dan di antara bagian dari syariat Islam sebagaimana yang
dirumuskan para ulama fikih adalah tidak bolehnya seorang muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim.
Tapi itu kan urusan syariat, bukan urusan pluralisme. Namun begitu, meski mengaku sebagai seorang
pluralis, saya masih mengikut paham fikih seperti itu. Artinya, anak saya yang muslimah tidak akan saya
kawinkan dengan laki-laki nonmuslim.
Tapi kalau dia punya pandangan berbeda dengan Anda dan memilih jalan hidupnya sendiri?
Saya akan beri dia kebebasan karena ada prinsip l ikrh fid dn (tidak ada paksaan dalam beragama).
Komentar saya begini aja deh. Kan ada ayat Alquran yang berbunyi wam arsalnka ill rahmatan lil
`lamn. Kami tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk menebar kasih ke seluruh alam. Namun,
sebelum sampai pada tahapan rahmatan lil `alamin, kayaknya kita, kaum muslimin ini, mesti melewati dua
tahapan sebelumnya. Tahap pertama adalah rahmatan lil mutamadzhibin. Artinya, yang kita anggap
mendapat rahmat dan akan masuk surga hanya madzhab tertentu saja seperti Ahlus Sunnah. Sementara
yang lain dianggap tidak akan masuk surga.
Lebih tinggi tari tahapan itu adalah rahmatan lil muslimn (rahmat bagi semua orang Islam saja, Red). Di
sini, surga itu dianggap khusus bagi orang atau pengikut Islam. Tapi bagi saya, yang diinginkan Alquran dari
kita dan nabi kita sangat sederhana: wam arsalanka ill rahmatan lil `lamn (menjadi rahmat bagi alam
semesta). Itu penjelasan yang menurut saya sangat sederhana.

Mutiara Terpendam dalam Fushusul Hikam


Oleh Umdah El-Baroroh
Keberhasilan Ibn Arabi dari doktrin tasawufnya adalah kemampuannya untuk keluar dari pemahaman
agama yang dogmatis dan literalis. Bagi Ibn Arabi, semua ajaran agama dalam Alquran maupun Hadis
adalah bentuk dari simbol-simbol kebijaksanaan Tuhan yang harus terus-menerus digali.
Orang mengenalnya sebagai Ibn Arabi. Ia adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Ali Ibn Arabi , digelari Syaikhul
Akbar Muhyiddin Ibn Arabi. Lahir di Mursia, Andalusia, Spanyol, tahun 560 H/1165 M, dan meninggal di
Damaskus, Syria, tahun 638 H/1240 M. Ia adalah sufi yang sangat besar pengaruhnya dalam kajian sufisme
hingga saat ini. Ia telah menulis 289 buku dan risalah. Bahkan menurut Abdurrahman Jami, ia telah menulis
500 buku dan risalah. Sedangkan menurut al-Syarani, karya Ibn Arabi berjumlah 400 buah. Pada Tadarus
Ramadan tahun 1427 H ini, Jaringan Islam Liberal mengkaji tiga karya Ibn Arabi yang paling terkenal, yang

tak hentinya-hentinya dikupas orang. Ketiganya adlah Fushshul Hikam, al-Futhat al-Makkiyyah dan
Turjumnul Asywq.
Sesi pertama diskusi diselenggarakan Selasa, 26 September 2006, lalu, dengan menghadirkan KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (penulis disertasi tentang Ibn Arabi, dosen
pascasarjana UIN Jakarta), dan Mohamad Guntur Romli (aktivis JIL). Berikut liputannya.
Dari sekian judul kitab yang telah ditulis Ibn Arabi, terdapat kitab yang merupakan intisari ajaran tasawufnya,
yaitu Fushusul Hikam. Kautsar Azhari Noer, salah seorang ahli Ibn Arabi di Indonesia, menyebut kitab
Fushus ditulis pada masa kematangan intelektual Ibn Arabi, yaitu 627/1230 atau sepuluh tahun sebelum
wafatnya.
Menurut pengakuan Ibn Arabi sendiri, kitab ini merupakan pemberian nabi Muhammad kepadanya melalui
mimpi. Dalam mimpi tersebut, Nabi mengatakan Ini kitab Fushus Al Hikam. Ambil dan sebarkan kepada
umat manusia agar mereka mengambil manfaat darinya. Berdasarkan cerita itu, tampak bahwa Ibn Arabi
meyakini sepenuhnya bahwa apa yang ia tuliskan dalam kitab tersebut merupakan ilham ilahi. Ia hanyalah
mesin pencetak bagi kitab Fushus yang diberikan Nabi.
Meski sulit diverifikasi kebenarannya, tetapi pengakuan ini telah menyihir ribuan pengikut syaikhul akbar ini
untuk meyakininya. Bahkan kitab yang merupakan intisari ajaran sufisme Ibn Arabi ini telah memecahkan
rekor sebagai kitab paling banyak mendapatkan komentar (syarah) dari para pengikutnya. Tetapi semua
pembaca karya-karya Ibn Arabi mengakui, hampir seluruh karya Ibn Arabi sangat sulit dipahami, tidak
terkecuali Fushushul Hikam.
Kesulitan paling utama dalam membaca karya Ibn Arabi adalah memahami simbol-simbol dan terma-terma
paradoksikal yang digunakannya. Simbol-simbol itu terlihat sekali dalam hampir semua karya-karyanya.
Dalam Fushus, ia menyajikan gagasannya melalui pengungkapan hikmah atau kebijaksanaan 27 orang
nabi. Nama fushus sendiri diambil dari akar kata fasshun yang artinya tatakan atau wadah batu permata
pada cincin. Fushus adalah bentuk plural dari kata fasshun. Sementara hikam adalah bentuk jamak dari
hikmah yang berarti kebijaksanaan. Jadi, fushusul hikam adalah wadah kebijaksanaan. Dengan ukiran
nama yang disematkan pada kitab tersebut, Ibn Arabi berupaya menampilkan simbol-simbol kebijaksanaan
dari para nabi yang hakikatnya merupakan kalimat atau manifestasi sifat Tuhan. Ia memulai pembahasan
kitabnya dengan mengupas mutiara kenabian dari Adam hingga Muhammad.
Adam, menurut Ibn Arabi adalah citra kesempurnaan Tuhan. Melalui Adamlah Tuhan memanifestasikan sifat
ketuhananan-Nya. Ibn Arabi menganggap bahwa Tuhan pada mulanya adalah entitas yang tersembunyi
(kanzun makhfiyy). Ia menampakkan diri ketika menciptakan alam. Tetapi penciptaan alam menurut Ibn
Arabi bukanlah bermula dari sesuatu yang kosong, creatio ex nihilo. Alam mengada begitu Tuhan ada.
Karena, alam semesta adalah cerminan Tuhan. Sebagaimana pantulan gambar dalam cermin, maka
gambar itu ada ketika wujud yang hakiki ada. Pandangan Ibn Arabi tentang alam ini sebenarnya mirip
dengan pandangan para filosof yang menganggap alam itu sebagai sesuatu yang azali.
Sementara ajaran nabi Nuh dimaknai Ibn Arabi sebagai simbolisasi dari problem dualisme tasybih dan
tanzih. Dalam Quran disebut bahwa Nuh berdoa: Qala rabby inny daautu qaumy lailan wanaharan (Surah
Nuh:5). Ibn Arabi memaknai lailan dalam ayat ini dalam maknanya yang esoterik (tanzih), dan naharan
dengan makna eksoterik (tasybih). Pada akhirnya, Nuh dinilai Ibn Arabi lebih mengutamakan ajaran tanzih
atau penyucian Tuhan dari penyerupaan Tuhan dengan patung yang dilakukan umatnya kala itu. Sementara
ajaran Isa dalam Kristen lebih cenderung pada penyerupaan atau tasybih. Dualitas semacam inilah yang
dikritik Ibn Arabi. Menurutnya, Tuhan tidak bisa dilihat secara imanen melalui tasybih saja atau secara
transenden melalui tanzih saja. Dalam sebuah syair ia katakan:
Bila engkau nyatakan transenden (murni), engkau telah membatasi Tuhan. Dan bila engkau nyatakan
imanen (murni), maka engkau telah mendefinisikan Tuhan.
Dalam bagian lain dari kitab Fushus, Ibn Arabi juga mentamsilkan hubungan antara Tuhan dan manusia
dengan mengutip kalimah muhaimiyyah dari Ibrahim. Ibrahim adalah simbol keakraban manusia dengan
Tuhan. Melalui firmannya Tuhan mengangkat Ibrahim sebagai seorang khalil, atau sahabat karib. Tetapi
makna khalil sebenarnya lebih dari sekadar persahabatan. Sahabat karib, menurut Ibn Arabi, masih
menyiratkan keterpisahan. Sementara al-khall adalah percampuran. Oleh karenanya hubungan manusia

dengan Tuhan juga sudah sangat erat dan telah bercampur dalam satu esensi. Karena makhluk menurut
Ibn Arabi sesungguhnya adalah al-haqq dan al-khalq sekaligus.
Mohamad Guntur Romli melihat tamsil-tamsil yang dituliskan Ibn Arabi dalam Fushus sebagai bangunan inti
doktrin Ibn Arabi tentang wahdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti. Guntur menilai Ibn Arabi
sebenarnya sedang membangun doktrinnya dengan meminjam perangkat-perangkat agama yang sudah
mapan. Tetapi yang menjadi ciri khas Ibn Arabi dalam hampir semua karyanya adalah selalu menampilkan
gagasan keagamaan yang tidak lazim. Karenanya, selama hidupnya tak jarang ia mendapat perlawanan
dan kecaman dari berbagai kalangan, terutama kelompok ahli fikih yang terkenal literalis dan formalis.
Ajaran-ajaran tentang wahdatul wujud Ibn Arabi rupanya juga telah terserap atau tampak dalam mistik kaum
kejawen di Indonesia. Ini ditegaskan Gus Dur dalam presentasinya. Konsep manunggaling kawulo gusti,
menurut Gus Dur, adalah konsep yang sama sejenis dengan wahdatul wujud itu. Seperti halnya Ibn Arabi
yang selalu ditentang kaum formalis, penganut kejawen di Indonesia juga selalu mengalami ketegangan
dengan kaum santri. Kaun santri umumnya adalah para pemeluk agama yang setia menjalankan syariat
yang penuh. Sementara kaum kejawen lebih menekankan aspek keyakinan batiniah kepada wujud Tuhan.
Meski demikian, mereka juga mengenal ajaran-ajaran yang sebenarnya menjadi bagian doktrin wahdatul
wujud, misalnya kepercayaan tentang berkah atau weruh sedurunge winarah yang merupakan esensi dari
ajaran kasyaf dalam wahdatul wujud.
Keberhasilan Ibn Arabi dari doktrin tasawufnya adalah kemampuannya untuk keluar dari pemahaman
agama yang dogmatis dan literalis. Bagi Ibn Arabi, semua ajaran agama dalam Alquran maupun Hadis
adalah bentuk dari simbol-simbol kebijaksanaan Tuhan yang harus terus-menerus digali. Bahkan
menurutnya, kebijaksanaan Tuhan yang disampaikan melalui wahyu itu tak terputus hingga sekarang.
Wahyu bagi Ibn Arabi bukanlah sekadar proses inzal (turunnya) sebuah ayat dari Tuhan melalui Jibril. Tapi
lebih dari itu, wahyu baginya adalah proses imajinasi kreatif manusia yang mencari kebenaran Tuhan.
Semangat untuk keluar dari pemahaman agama yang kaku dan dogmatis inilah yang harus terus
dikembangkan dalam khazanah keilmuan Islam saat ini. Ibn Arabi dengan petualangan spiritualnya telah
memberi contoh yang sangat baik. Artinya, memahami Ibn Arabi bukanlah berhenti pada pemahaman
ajaran-ajarannya yang rumit itu. Yang jauh lebih penting untuk terus-menerus dikembangkan adalah
semangat perenungan dan petualangannya yang tak pernah berhenti. []
Dr. Rumadi dan Abd Moqsith Ghazali:
Gus Dur Adalah Jendela, Garansi, Lokomotif
Buku Gus Dur terbaru, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang pekan lalu diluncurkan (21/8), merekam
konsistensi garis besar pemikiran dan sikap Gus Dur dalam soal-soal keagamaan dan kebangsaan. Gus
Dur tetap kokoh di jalur keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah setidaknya kesaksian dua
intelektual muda NU, Dr. Rumadi dan Abd. Moqsith Ghazali kepada Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis
(21/9) lalu.
JIL: Mas Rumadi, buku yang memuat kolom-kolom Gus Dur setelah lengser dari kursi kepresidenan
sudah terbit kemarin. Sebagai salah seorang editornya, apa yang dimaksud Islam Ku, Islam Anda,
Islam Kita, yang dijadikan judulnya itu?
Rumadi: Oh, itu diambil dari salah satu judul tulisan Gus Dur yang ada di dalam buku itu. Judul tulisan itu
sebenarnya menggambarkan pusaran utama keseluruhan pemikiran Gus Dur yang ada di dalam buku itu.
Kalau dilihat mendetail, memang banyak sekali hal-hal yang dibicarakan Gus Dur, sejak soal Islam dan
ketatanegaraan, sampai responnya terhadap masalah-masalah kontemporer seperti kasus Inul dan problem
ekonomi global.
Esai dengan judul Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, yang menjadi judul buku itu sebenarnya tidak panjang.
Tapi dari esai itu kita menyadari bahwa Islam memang beragam. Ungkapan pribadi seseorang dalam
berislam mungkin berbeda atau juga bertentangan dengan apa yang saya alami. Dari situlah kita dapat
melihat adanya Islam yang aku pahami secara pribadi, dan Islam yang Anda pahami menurut Anda sendiri.
Namun meski beragam, kita tetap Islam, dan disitulah mulai dikatakan soal Islam kita.

Jadi judul buku ini menggambarkan Islam yang warna-warni; meski Islamnya satu tapi masing-masing orang
punya pemahaman berbeda-beda tentang Islam.

JIL: Mas Moqsith, dari telaah Anda atas tulisan-tulisan Gus Dur, apakah keragaman Islam itu hanya
ditunjukkan dari sudut pandang sosiologis-antropologis saja, atau juga dalam soal doktrinteologisnya?

Moqsith: Saya kira, tidak hanya keragaman dari sisi sosiologis-antropologis yang sejak lama didengungkan
Gus Dur. Kita tidak bisa mengelak bahwa di dalam soal doktrin, dalam tafsir keagamaan yang paling asasi
pun kita tak mungkin bisa menunggal. Karena itu, ada Islamku, yakni Islam sebagai hasil penafsiran yang
bersifat personal-individual dari seseorang; ada Islam Anda yang berdasarkan penafsiran Anda dan juga
Islam kita, yang menjadi benang merah dari Islamku dan Islam Anda.
Menurut Gus Dur, yang dinamakan Islam kita itu adalah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang universal.
Gus Dur sering mengutip al-Ghazali soal 5 prinsip dasar ajaran Islam. Pertama adalah soal kebebasan
beragama. Gus Dur adalah orang kampung yang saya kira sangat konsisten melakukan pembelaan
terhadap kelompok-kelompok minoritas. Sebab minoritas agama, ras, dan sebagainya itu, merupakan
bagian dari perwujudan tafsir atau pemahaman orang terhadap Islam. Menurut Gus Dur, mereka itu tidak
bisa dihancurkan.
Di samping kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan aspek-aspek kebebasan lain juga terus-menerus
didengungkan Gus Dur. Bagi saya, Gus Dur telah memberi injeksi moral agama ke dalam isu-isu yang
dianggap bersifat profan sekalipun. Dia bicara HAM, demokrasi, pluralisme, dan sebagainya.
JIL: Apa soal baru yang buku ini, Mas Rumadi ?
Rumadi: Bagi saya, yang perlu dari buku ini bukan soal baru atau tidaknya, tapi justru kesaksian akan
konsistensi Gus Dur dalam pikiran-pikiran yang sejak lama ia usung. Saya belum pernah melihat pemikir
Indonesia yang begitu konsisten membela prinsip-prinsip yang ia pegang teguh sebagaimana Gus Dur.
Buah pikirannya bukan hanya diwacanakan dalam bentuk tulisan lalu diseminarkan dlsb., tapi juga
diwujudkannya dengan aksi. Lihatnya bagaimana kukuhnya Gus Dur berpegang pada prinsip antidiskriminasi. Bukan hanya menulis, dia benar-benar memperjuangkan prinsip itu dalam aksi nyata.
Juga konsistensinya dalam pembelaan terhadap pluralitas. Dia tetap melakukan itu meski dianggap kerja
yang tidak populer dan dipandang kontroversial. Tapi dia tetap lakukan pembelaan. Dalam soal pembelaan
atas pluralitas, saya tidak pernah melihat orang sekonsisten Gus Dur. Aktivismenya juga merupakan
cerminan dari apa yang ia pikirkan.
JIL: Mas Moqsith, Anda melihat konsistensi dan kesinambungan dalam gagasan-gagasan keislaman
Gus Dur, atau justru melihat titik-titik kisar perubahan paradigma berpikir?
Moqsith: Saya pertama-tama melihat Gus Dur sebagai sosok santri, dan santri itu dididik berpikir secara
plural oleh tradisi fikih. Sebab, tak mungkin ada pandangan yang tunggal di dalam fikih. Karena itu, orang
yang ahli fikih seperti Gus Dur, tak mungkin menganut satu konsep kebenaran absolut. Itulah saya kira yang
pertama kali mendidik Gus Dur untuk tidak memutlakkan pandangannya sendiri. Di samping fikih, dia juga
banyak belajar ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. Dia juga pembaca sastra yang baik.
Karena itu, medan perhatian Gus Dur terhadap ilmu pengetahuan amatlah luas.
Nah, di sinilah ia berbeda dengan tokoh Indonesia lainnya seperti Prof. Syafii Maarif atau Buya Syafii. Buya
bukanlah pembaca buku dengan dimensi yang sangat luas. Buya terutama adalah seorang sejarawan dan
mungkin juga pembaca buku-buku keislaman yang cukup luas. Tapi bacaan Gus Dur memang luar biasa,
bukan hanya fikih, tapi juga fasih bicara sastra. Ketika masih SMP dan SMA dulu, saya juga sering melihat

Gus Dur sebagai pengamat sepakbola. Ini menunjukkan bahwa perhatian Gus Dur terhadap banyak
dimensi kehidupan sangat besar sekali.

JIL: Selain soal minat bacaan, apa perbedaan lainnya dengan sosok Buya Syafii yang beberapa
bulan lalu juga meluncurkan otobiografinya yang memikat?
Moqsith: Mungkin yang juga berbeda adalah titik berangkatnya. Gus Dur bukanlah seorang ploretar, tapi
datang dari kalangan aristokrat. Kakek dan bapaknya ibarat raja di dalam tradisi NU. Tapi anehnya,
gagasan-gagasan Gus Dur itu potensial menghancurkan dirinya sendiri. Dari politik berwacana, itu
sebenarnya merugikan. Tapi Gus Dur tetap melakukan itu. Gagasan-gagasannya seakan-akan ingin
menghancurkan kelasnya sendiri. Dia kan seorang yang punya otoritas tinggi, tapi tiap hari ia seakan
menghancurkan otoritasnya sendiri.
Itu dapat diamati dari pandangan-pandangan keagamaannya yang di kalangan para kyai cukup
kontroversial. Kerja seperti itu, kalau tak hati-hati, tentu akan melenyapkan kharisma dan lain sebagainya.
Tapi Gus Dur tidak peduli, ia tetap membuat perbedaan. Ia tetap konsisten menghadirkan sudut pandang
yang berbeda dalam melihat banyak persoalan. Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas seperti
Ahmadiah, aliran kepercayaan, dan lain-lain, sudah konsisten ia lakukan sejak dulu dan sampai sekarang.
JIL: Mas Rumadi bisa menunjukkan konsistensi gagasan keislaman Gus Dur lebih rinci lagi?
Rumadi: Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran Gus Dur, masa-masa awalnya memang tak
lempang-lempang amat. Dia pernah mendukung gagasan-gagasan Ihkwanul Muslimin yang dianggapnya
sebagai salah satu ptototipe Islam yang benar. Tapi setelah belajar tentang nasionalisme Arab dan
sosialisme di Irak, dia mulai berubah pikiran. Selanjutnya, perubahan-perubahan itu terus terjadi, terkait
dengan pengalaman hidup Gus Dur sendiri.
Setelah melihat kenyataan Islam Indonesia, dia menemukan ide-ide baru yang pelan-pelan mulai
menggeser cara pandangnya yang lama. Sekarang, yang dia pegang adalah prinsip-prinsip dasar Islam
yang disebutkan tadi. Tapi dia terlihat konsisten dalam prinsip dasar pemikirannya. Dalam aksi politik, ia
memang sering agak sirkus dan zig-zag. Tapi prinsip-prinsip dasar pemikirannya terlalu jelas untuk dilihat.
Tak ada sesuatu yang samara-samar atau kabur. Prinsip-prinsip dasar pemikiran Gus Dur menurut saya
terlalu jelas.
JIL: Anda bisa merinci gagasan-gagasan keislaman apa yang paling penting dari Gus Dur?
Moqsith: Yang sangat popular tentu soal pribumisasi Islam. Ini adalah cara Gus Dur khususnya dan NU
umumnya untuk menolak Arabisasi. Tapi ini juga bukan pikiran yang baru datang dari Gus Dur, karena sejak
dulu para kyai pesantren sudah punya kecenderungan untuk menghadirkan jenis keislaman yang khas
Indonesia, tanpa banyak dicampur unsur Arabisme. Jadi pribumisasi Islam itu hanya stempelnya saja. Gus
Dur berjasa menteorikannya. Gus Dur telah memberi nama terhadap jenis perjuangan yang dilakukan oleh
para ulama Indonesia sejak Walisongo sampai sekarang.
Gagasan Gus Dur yang sampai sekarang masih konsisten juga adalah aspek penolakannya terhadap
negara Islam. Dia mungkin terpengaruh oleh buah pikiran Ali Abdul Raziq (ulama Mesir) yang mengatakan
tidak adanya konsep negara Islam. Sampai sekarang, dengan pilihan itu, dia dicaci-maki dan berhadapan
dengan banyak orang.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang sudah cukup jelas juga adalah visi kebangsaannya. Visi kebangsaan itu
berulang kali dia tuangkan dalam ungkapan bahwa tidak ada ajaran Islam yang mengharuskan untuk
menegakkan negara Islam. Itu berulangkali dia katakan. Dia juga sering mengatakan, Meski saya Islam
dan mayoritas orang Indonesia itu beragama Islam, tidak terbesit sedikit pun di pikiran saya untuk
mendominasi Indonesia ini atas nama Islam. Gus Dur juga seringkali mengatakan bahwa yang ia

perjuangkan adalah Islam berwatak kultural, bukan Islam yang selalu ingin tampil di kelembagaan politik.
Prinsip itu diwujudkannya dengan cara membentuk partai politik yang bervisi kebangsaan.
Saya kira itu pikiran-pikiran dasar Gus Dur. Ia memang punya perhatian besar terhadap isu-isu politik,
persoalan pluralisme dan sebagainya. Tapi yang tidak dilakukan Gus Dur adalah menulis secara serius
pandangannya tentang perempuan. Saya kira, pada aspek itu ada kemiripan antara Gus Dur dengan
almarhum Cak Nur.
JIL: Bisa lebih detil tentang sejarah penyikapan NU atas perjuangan politik yang menginginkan
negara Islam di Indonesia?
Rumadi: Pada masa awalnya, tahun 1945--1955, NU berada dalam blok atau kelompok yang
memperjuangkan tegaknya Islam sebagai dasar negara. Tapi di situ ada polemik antara Gus Dur dan
adiknya, Gus Solah (Solahuddin Wahid). Gus Dur bilang, NU tidak mendukung Islam sebagai dasar negara,
sementara Gus Solah bilang sebaliknya. Saya cenderung mengatakan bahwa NU pada mulanya berada
dalam blok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Tapi sejarah tidak berjalan linier. Di tengah arus, ada masa ketika NU harus mengambil sikap tentang hidup
bernegara. Itu secara jelas diproklamasikan di tahun 1984, dipelopoli langsung oleh Gus Dur. Di situ
dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan dengan Pancasila sebagai dasarnya, merupakan
bentuk yang final bagi NU. Apakah pernyataan final itu cerminan keinginan jamaah NU, atau cerminan
situasi ketika NU tidak bisa berkata lain, tentu akan diuji sendiri oleh sejarah.
Buktinya, dalam perkembangan belakang, ada saja beberapa kompenen NU yang tidak tahan akan godaan
negara Islam. Itu bisa dibuktikan lewat kelompok-kelompok di dalam NU yang membuat partai dengan Islam
sebagai asasnya. Bahkan dalam Muktamar NU tahun 1999, ada juga yang mengusulkan agar NU kembali
ke asas Islam, meski suara itu akhirnya bisa dieliminasi. Saya kira, ini merupakan salah satu bentuk
pergumulan pemikiran NU. Arus besarnya memang masih dikusai kalangan yang menginginkan NKRI. Tapi
riak-riak yang menghendaki dan memimpikan adanya negara Islam tampaknya tak juga pernah mati di
lingkungan NU.
JIL: Gus Dur pernah menulis tentang Islam sebagai faktor komplementer atau pelengkap Indonesia.
Apakah gagasan seperti itu masih dianut mayoritas di NU atau sudah diganti menjadi Islam sebagai
kekuatan hegemonik?
Moqsith: Gagasan Islam sebagai faktor komplementer itu saya kira bukan hanya dimiliki Gus Dur, karena
kyai-kyai lain juga berpikir tentang hal yang sama. Dan sampai sekarang, saya kira gagasan itu masih
cukup kuat. Itu dapat dibuktikan dari pandangan beberapa kyai, termasuk KH Sahal Mahfudz yang menolak
formalisasi syariat Islam atau perda bernuansa syariah Islam. Gus Mus atau KH Mustofa Bisri juga seperti
itu. Artinya mereka ingin menjadikan fikih sebagai dunia di dalam basis kulturalnya saja dan tidak masuk ke
dalam institusi negara. Itu pandangan yang hampir merata di lingkungan kiay-kiay NU. Kyai Sahal telah
menolak fikih dijadikan hukum positif negara, tetapi menerimanya sebagai etika sosial. Karena itu,
keterlibatan Islam di dalam negara yang majemuk ini tidak bisa dalam format ingin mendominasi dan
menjadi satu-satunya faktor penentu. Ia hanya menjadi unsur komplementer saja...
JIL: Sebagai generasi muda NU, seberapa jauh pikiran-pikiran Gus Dur mempengaruhi Anda dan
teman-teman?
Moqsith: Bagi saya, Gus Dur itu adalah jendela bagi warga NU. Melalui jendela itulah warga NU bisa
mengintip, bisa melihat luasnya dunia luar. Keberhasilan Gus Dur terletak dalam cara dia menginspirasi
anak-anak muda di pesantren. Lewat Gus Dur, anak-anak muda mulai belajar menulis dan berpikir secara
kritis. Di tahun 1991, ada rumusan pentingnya melakukan kontekstualisasi pemahaman kitab kuning. Itu
tidak terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan generasi-generasi tua NU seperti Gus Dur, Masdar Farid
Masudi, dan lain-lain. Saya kira di situ terletak peran yang sangat besar dari Gus Dur.
Yang kedua, dari segi gagasan, Gus Dur itu memang mumpuni, terlepas dia adalah seorang Gus, anak dari
bapaknya dan cucu dari kakeknya yang mendirikan NU. Karena itu, ia memiliki otoritas sangat besar untuk
melakukan perubahan-perubahan paradigmatik di lingkungan NU. Apa yang dilakukan Gus Dur akan

gampang diamini anak-anak muda. Resistensi atas gagasan dan gerakannya pun tidak akan terlalu kuat
ketimbang kalau dikatakan dan dilakukan orang lain. Jadi, keluar Gur Dur menjadi jendela, di dalam ia
menjadi garansi bagai anak-anak muda. Kalau anak-anak muda dikritik para kyai, Gus Dur akan memberi
penjelasan-penjelasan dengan menggunakan bahasa kyai, dlsb.
JIL: Anda optimistis atau pesimistis akan perkembangan intelektual anak-anak muda NU setelah Gus
Dur?Moqsith: Saya kira ke depan kita tak bisa lagi bersandar pada individu atau tokoh. Itu harus diakhiri.
Apa yang dilakukan anak muda NU sekarang adalah institusionalisasi gagasan-gagasan Gus Dur. Itu sudah
berkembang melalui lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang dikembangkan sejumlah NGO/LSM di
beberapa daerah. Kalau terus mengandalkan tokoh, sejumlah tokoh memiliki keterbatasan. Ketika Gus Dur
menjadi politisi dalam pengertian yang sesungguhnya, susah mengikuti alur permainannya yang bagai
sirkus.
Untungnya anak-anak muda NU mampu menentukan barometer: yang harus kita ikuti dari Gus Dur adalah
Gus Dur yang makro, bukan Gus Dur yang mikro, seperti istilah almarhum Cak Nur. Gus Dur yang kulli
bukan Gus Dur yang juzi. Itu saya kira patokan yang baik bagi kita dalam melakukan gerakan perubahan
sosial di tengah-tengah masyarakat. Saya kira, gagasan-gagasan Gus Dur tetap relevan karena ia lebih
banyak bukan gagasan yang tentatif. Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam, saat ini makin relevan
seiring makin maraknya orang berpikir tentang negara Islam dan mengintensifkan Arabisasi terhadap Islam.
JIL: Bagi Anda seperti apa kedudukan Gus Dur bagi generasi muda NU?
Gus Dur bukan hanya jendela tapi juga lokomotif. Di belakang Gus Dur terdapat banyak anak muda
NU yang disebut progresif atau apapun namanya. Semaunaya tidak ada yang terlepas dari inspirasi
Gus Dur. Tapi memang ke depan kita tidak bisa bersandar pada Gus Dur atau figur seorang tokoh.
Tapi gagasan-gagasannya memang tetap perlu disosialisasikan, diterjemahkan ke dalam tindakantindakan yang lebih riil. Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah liberal dalam
Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif,
ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu,
Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.
Dalam Islam, persoalan batasan (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur),
menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan,
apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat
kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum
selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih
menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan.
Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada kewajiban, yaitu kewajiban
seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol,
menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk
menyeimbangkan neraca antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki
sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (afalul ibad).
Otonom

atau

tidak?

Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya,
mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui halhal itu, manusia harus menungguh wahyu dari "langit"? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah
mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai "yang baik" dan "yang jahat"? Apakah manusia secara
moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya?
Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan
Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh
agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama.
Golongan kedua adalah Mu'tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat
mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan
bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah
diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin

10

matang.
Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu'tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan
menerima pendapat Mu'tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan
akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai
"yang baik" dan "yang jahat". Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi
dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia,
manakala wahyu itu mengalami "vulgarisasi", yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan
sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai
sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu,
bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal
manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang
terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu
dapat
dipahami
dengan
tepat
adalah
integritas
akal
manusia
itu
sendiri.
Salah satu hadis Nabi mengatakan, "al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali'a 'alaihin naas".
Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang
lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia,
berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian?
Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran
pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah
sebabnya, sebuah hadis mengatakan "innamal a'malu bin niyyaat", sesungguhnya segala tindakan tidaklah
akan menjadi tindakan yang "genuine" tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh
bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, "niyyatul mu'min khairun min 'amalihi", niat dan dorongan
emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas
manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh
agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia.
Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang
pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang
terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam
memandang "dunia manusia" sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena
itu wahyu turun sebagai suatu "leviathan" yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh
martabat, sebagai "khalifah" yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi.
Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai "leviathan" semacam
itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai "barang" yang sama
sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk
oleh
Prof.
Khaled
Abou
El
Fadl.
Dalam situasi yang sudah "vulgar" semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia
itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah
gunanya sebuah agama? Qur'an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai "keledai yang mengangkut
berjilid-jilid kitab", matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan
pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan
berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu
kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan
otonominya sebagai subyek moral telah
disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba,
"ad dinu huwal 'aql, la dina liman la 'aqla lahu", agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak
mempunyai
akal.
Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang
mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu.
Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas
pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang
subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu,
diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, "Aku
(Allah) adalah 'kanzun makhfiyy, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan
manusia." Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk
"menggali" dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin
terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom.

11

Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia
ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu
takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam
tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena
adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia
terdalam
dari
wahyu.
Ibadah
sebagai
I-Thou
Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke
arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah
besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah "menyembah" Tuhan.
Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat "wa ma khalaqtul jinna wal insa illa
liya'budun," dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam
kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah
penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada
kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman
seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah
ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam
mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus
versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak
sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata "ibadah" sebagai
penyembahan, atau "worship" dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif
dalam
sejumlah
hal.
Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang "disembah" adalah obyek yang "mati", di-reifikasi, difiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara
subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia,
penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan "I-it", "aku-dan-dia".
Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah "dibendakan". Allah yang disembah adalah Allah
yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah "idol". Saya berpandangan
bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang
tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka "I-Thou", aku-Engkau. Agama yang
didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan "I-it" hanya akan memerosotkan martabat
manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia
dalam
model
I-Thou;
bukan
penyembahan,
tetapi
proses
dialogal
yang
kreatif.
Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia
sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur'an mengatakan, " qad
tabayyanar rushdu minal ghayy", telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. "Fa man sya'a fal yu'min wan
man sya'a fal yakfur," jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh
mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur'an dan
Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama
hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak
ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu
sebagai
agama
fitrah,
menjadi
agama
hukum
yang
ditegakkan
atas
paksaan.
Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak "ruwet" dan panjang ini adalah bahwa dengan
membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi
kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam
manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam liberal" dipahami dalam kerangka semacam ini.
Kata "liberal" di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif
yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali
dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita
telah
memulihkan
kembali
integritas
wahyu
dan
Islam
itu
sendiri.
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab
agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.[]

12

Bahaya Islam Liberal


Oleh Abu Hamzah Agus Hasan Bashari
Islam adalah dien al-haq yang diwahyukan oleh Allah ta'ala kepada Rasul-Nya yang terakhir Muhammad:
"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkanNya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi." (QS. 48: 28) Sebagai rahmat bagi semesta
alam
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS 21:107)
Dan sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah ta'ala:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS 3:19)
Islam adalah agama yang utuh yang mempunyai akar, dimensi, sumber dan pokok-pokok ajarannya sendiri.
Siapa yang konsisten dengannya maka ia termasuk Al-Jama'ah atau Firqah Najiyah (kelompok yang
selamat) dan yang keluar atau menyimpang darinya maka ia termasuk firqah-firqah yang halikah (kelompok
yang binasa).
Diantara firqah halikah adalah firqah Liberaliyah. Liberaliyah adalah sebuah paham yang berkembang di
Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang berbeda. Dalam tesisnya yang berjudul
Pemikiran Politik Barat Ahmad Suhelani, MA menjelaskan prinsip-prinsip pemikiran ini. Pertama, prinsip
kebebasan individual. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip masyarakat pasar bebas. Keempat,
meyakini eksistansi Pluralitas Sosio - Kultural dan Politik Masyarakat. (Gado-Gado Islam Liberal; Sabili no
15 Thn IX/81).
Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu.
Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam
Liberal (JIL). Suatu penamaan yang pas dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya.
Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haqq tetapi pada hakikatnya suara
mereka itu adalab bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan
oleh Rasul Muhammad, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bid'ah yang ditawarkan oleh orangorang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah.
Maka dalam makalah ini akan kita uraikan sanad (asal usul) firqah liberal (kelompok Islam Liberal atau
Kelompok kajian utan kayu), visi, misi agenda dan bahaya mereka.
Sanad (asal-usul) Firqah Liberal
Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti
Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk
mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada al-Qur'an dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal
bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti
adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi'ah. Ada
Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam
pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897)
memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam. (Charless Kurzman: xx-xxiii)
Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-18%) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil
kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang
kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of
Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali
memandang bahwa Nabi Muhammad adalah Pelopor Agung Rasionalisme. (William Montgomery Waft:
132).

13

Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu'tazilah berusaha
menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki
tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar'ah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq
(1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena
Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang
mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh al-Qur'an hanyalah sistem demokrasi tidak yang lain. (Charless:
xxi,l8).
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir al-quran
model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang
fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan
keanekaragaman pemikiran diluar Islam. (Mu'adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir alQur'an, Jurnal Salam vol.3 No. 1/2000 hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt: 143).
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di
Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik
menurutnya. Ia mengatakan al-Qur'an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju
oleh al-Qur'an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan. (Fazhul Rahman: 21;
William M. Watt: 142-143).
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan
firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wachid. (Adiyan Husaini
dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88). Nurcholis Madjid
telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme
agama dengan menyatakan: Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian
(relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang
universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama (Nurcholis
Madjid: 239)
Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengusung ide-ide Nurcholis
Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya.
Demikian sanad Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan
lain-lain. Akan tetapi kalau kita urut maka pokok pikiran mereka sebenarnya lebih tua dari itu. Paham
mereka yang rasionalis dalam beragama kembali pada guru besar kesesatan yaitu Iblis Ia'natullah alaih.
(Ali Ibn Abi aI-'Izz: 395) karena itu JIL bisa diplesetkan dengan Jalan Iblis Laknat. Sedang paham
sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara berakhir sanadnya pada masyarakat Eropa yang mendobrak
tokoh-tokoh gereja yang melahirkan moto Render Unto The Caesar what The Caesar's and to the God what
the God's (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada
Tuhan). (Muhammad Imarah: 45) Karena itu ada yang mengatakan: Cak Nur Cuma meminjam pendekatan
Kristen yang membidani lahirnya peradaban barat
Sedangkan paham pluralisme yang mereka agungkan bersambung sanadnya kepada lbn Arabi (468-543 H)
yang merekomendasikan keimanan Fir'aun dan mengunggulkannya atas nabi Musa 'alaihis salam
(Muhammad Fahd Syaqfah: 229-230)
Misi Firqah Liberal
Misi Firqah Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya: rnenghancurkan) gerakan islam fundamentalis
(www.islamlib.com). mereka menulis: sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah
dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandanganpandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan
mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan
keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok -kelompok agama yang ada.
Sebut saja antara islam dan Kristen. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan
humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.

14

Yang dimaksud dengan Islam Fundamentalis yang menjadi lawan firqah liberal adalah orang yang memiliki
lima ciri-ciri; yaitu:
1. mereka yang digerakkan oleh kebencian yang mendalam terhadap Barat,
2. mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali
masa lalu itu
3. mereka yang bertujuan menerapkan syariat Islam
4. mereka yang mempropagandakan bahwa islam adalah agama dan negara,
5. mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan.
Demikian yang dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon (Muhammad Imarah : 75)
Agenda dan Gagasan Firqah Liberal
Dalam tulisan berjudul Empat Agenda islam Yang Membebaskan; Luthfi AsySyaukani, salah seorang
penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam
Liberal.
Pertama, agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan
parlementer (demokrasi) sama saja.
Kedua, mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat
semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam.
Ketiga, emansipasi wanita dan
Keempat kebebasan berpendapat (secara mutlak).
Sementara dari sumber lain kita dapatkan empat agenda mereka adalah
(1) pentingnya konstekstualisasi ijtihad
(2) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
(3) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
(4) permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara
(lihat Greg Bertan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pustaka Antara Paramadina 1999: XXI)
Bahaya Firqah Liberal
1. Mereka tidak menyuarakan Islam yang diridhai oleh Allah, tetapi menyuarakan pemikiran-pemikiran
yang diridhai oleh Iblis, Barat dan pan Thaghut lainnya.
2. Mereka lebih menyukai atribut-atribut fasik dari pada gelar-gelar keimanan karena itu mereka benci
kepada kata-kata jihad, sunnah, salaf dan lain-lainnya dan mereka rela menyebut Islamnya dengan
Islam Liberal. Allah berfirman:
"Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman". (QS. Al-Hujurat 11)
3. Mereka beriman kepada sebagian kandungan al-Qur'an dan meragukan kemudian menolak
sebagian yang lain, supaya penolakan mereka terkesan sopan dan ilmiyah mereka menciptakan
jalan baru dalam menafsiri al-Qur'an. Mereka menyebutnya dengan Tafsir Kontekstual, Tafsir
Hermeneutik, Tafsir Kritis dan Tafsir Liberal
Sebagai contoh, Musthofa Mahmud dalam kitabnya al-Tafsir al-Ashri 1i al Qur'an menafsiri ayat (
-Faq tho 'u aidiyahumaa- ) dengan maka putuslah usaha mencuri mereka dengan memberi
santunan dan mencukupi kebutuhannya. (Syeikh Mansyhur Hasan Salman, di Surabaya, Senin 4
Muharram 1423).
Dan tafsir seperti ini juga diikuti juga di Indonesia. Maka pantaslah mengapa rasulullah bersabda:

15

"Yang paling saya khawatirkan atas adaalah orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah
dengan Al-Qur'an."
Orang-orang yang seperti inilah yang merusak agama ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai
pembaharu Islam padahal merekalah perusak Islam, mereka mengajak kepada kepada Al-Qur'an
padahal merekalah yang mencampakkan Al-Qur'an. Mengapa demikian ? Karena mereka bodoh
terhadap sunnah. (Lihat Ahmad Thn Umar al-Mahmashani: 388-389)
4. Mereka menolak paradigma keilmuwan dan syarat-syarat ijtihad yang ada dalam Islam, karena
mereka merasa rendah berhadapan dengan budaya barat, maka mereka melihat Islam dengan hati
dan otak orang Barat.
5. Mereka tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi, para sahabatnya dan seluruh orang-orang
mukmin. Bagi mereka pemahaman yang hanya mengandalkan pada ketentuan teks-teks normatif
agama serta pada bentuk-bentuk Formalisme Sejarah Islam paling awal adalah kurang memadai
dan agama ini akan menjadi agama yang ahistoris dan eksklusif (Syamsul Arifin; Menakar Otentitas
Islam LiberaL .Jawa Pos 1-2-2002). Mereka lupa bahwa sikap seperti inilah yang diancam oleh
Allah:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali." (QS. An-Nisaa' 115).
6. Mereka tidak memiliki ulama dan tidak percaya kepada ilmu ulama. Mereka lebih percaya kepada
nafsunya sendiri, sebab mereka mengaku sebagai pembaharu bahkan super pembaharu yaitu
neo modernis. Allah berfirman:
Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi," mereka
menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah,
sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah
beriman," mereka menjawab, "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah
beriman." Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.
(QS. Al-Baqarah 11-13).
7. Kesamaan cita-cita mereka dengan cita-cita Amerika, yaitu menjadikan Turki sebagai model bagi
seluruh negara Islam. Prof. Dr. John L. Esposito menegaskan bahwa Amerika tidak akan rela
sebelum seluruh negara-negara Islam tampil seperti Turki.
8. Mereka memecah belah umat Islam karena gagasan mereka adalah bid'ah dan setiap bid'ah pasti
memecah belah.
9. Mereka memiliki basis pendidikan yang banyak melahirkan pemikir-pemikir liberal, memiliki media
yang cukup dan jaringan internasional dan dana yang cukup.
10. Mereka tidak memiliki manhaj yang jelas sehingga gagasannya terkesan asbun dan asal comot
Lihat saja buku Charless Kurzman, Rasyid Ridha yang salafi (revivalis) itupun dimasukkan kedalam
kelompok liberal, begitu pula Muhammad Nashir (tokoh Masyumi) dan Yusuf Qardhawi (tokoh Ihwan
al-Muslimin). Bahayanya adalah mereka tidak bisa diam, padahal diam mereka adalab emas,
memang begitu berat jihad menahan lisan. Tidak akan mampu melakukannya kecuali seorang yang
mukmin.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang
baik atau hendaklah ia diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

(Lihat Husain al-Uwaisyah: 9 dan seterusnya).


Ahlul batil selain menghimpun kekuatan untuk memusuhi ahlul haq. Allah ta'ala berfirman:

16

"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagisebagian yang lain. JIka kamu
(hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi
kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." (QS. Al-Anfaal 73).
Sementara itu Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menyebut mereka berbahaya sebab mereka itu
sederhana tidak memiliki landasan keilmuwan yang kuat dan tidak memiliki aqidah yang mapan.
(lihat Bahaya Islam Liberal: 40, 64-65)

Maraji':
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Belakangan ini kita mengenal istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis". Istilah ini cukup
populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional maupun internasional. Istilah
"fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis" ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap
gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin,
Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang 'dituduhkan' oleh
media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan
memberikan gambaran yang 'negatif' terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan
'kredibilitas' mereka di mata dunia.
Apa sesungguhnya makna istilah fundamentalisme? Bagaimana asal-usul istilah tersebut, dan siapakah
sebenarnya kaum "fundamentalisme" itu? Insya Allah, artikel ini akan membahasnya secara mendalam.
Istilah 'ushuliyah' (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut,
adalah berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah 'ushuliyah'
dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang
berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak
orang.
Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang
sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara
bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang
berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan
dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat
komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda
pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.
Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan
orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan
pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada
orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak.
Istilah yamin (kanan) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan
orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam,
dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sehingga
mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatanperbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan
ketenangan.
Oleh karena itu, Imam Abdul Hamid bin Badis (1307-1359 H) berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dengan do'anya, "Ya Allah jadikanlah aku di dunia termasuk kelompok orang-orang yasar (kiri) dan
jadikanlah aku di akhirat termasuk kelompok orang-orang yamin (kanan)". Tentunya sesuai dengan
pemahaman pemikiran Islam, bukan pemahaman pemikiran Barat.
Asal Usul Fundamentalisme di dunia Barat
Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang
berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan

17

Millenium". Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang
kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.
Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks
agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun,
walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajiankajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang
fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia
selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan "mimpi Yohana" (kitab Mimpi 20-1-10)
secara literal.
Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20,
terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya,
lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita,
menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk
sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk
mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal
dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitasuniversitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga
menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran,
penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela "hak-hak" orang-orang yang berperilaku
seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua
adalah "fundamentalisme" dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.
Makna Istilah Ushuliyah dalam Wacana Pemikiran Islam
Dalam visi Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik
kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah "fundamentalisme". Kita hanya
menemukan kata dasar istilah itu yaitu al-ashlu dengan makna 'dasar sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk
pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS Ibrahim :
24).
Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial) dan
masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, "Asal segala sesuatu
adalah boleh atau suci." Dan, "ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.
Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa
asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga, 'yang rajih' atau 'yang
paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif)
Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar.
Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang
dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil
perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits.
Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak
mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini.
Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam
kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh
ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokokpokok tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa
yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta (5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah
satu probabilitas hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan
substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran
Kristen.

18

Terlepas dari pemahaman itu, apakah dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik
yang lama maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang menyikapi teks-teks suci
seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni menggunakan penafsiran literal atas Al-Qur'an dan AsSunnah, serta menolak segala metafor dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu jelasjelas bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa sikap aliran atau mazhab ini
terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama persis dengan aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil
dan "kitab suci" mereka? Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran "fundamentalisme Islam"
dengan pengertian Barat yang negatif terhadap istilah "fundamentalisme" ini?
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama,
baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum zhahiriyah, maupun kelompok besar mayoritas
dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majas (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga
hampir tercapai ijma bahwa nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam istilah ushul fikih disebut
"nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan
ijtihad. Sedangkan, perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu:
ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, ada yang secara
berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam.
(Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm 210-232, Kuwait, 1972)
Berikut ini beberapa definisi tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir Islam :
1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Dalam kitab Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan "penakwilan"
sebagai : "Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah hakiki ke dilalah majasi, tanpa melanggar kaidah bahasa
Arab dalam proses itu. Seperti menanamkan sesuatu dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang
setelahnya, yang mengiringinya, dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam pendefinisian macam-macam
kalam majasi."
2. Imam Al-Ghazali (1058-1111M)
Beliau telah meluaskan skup takwil yang dapat diterima itu menjadi lima tingkat terhadap keberadaan
sesuatu yang dibicarakan oleh nasih itu. Kelima tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki), wujud hissi
(indrawi), wujud khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud syibhi (keserupaan). Dengan tingkatantingkatan penakwilan yang lima ini, orang yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup
tashdiq (pembenaran terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan mendustakan agama
atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap orang yang meletakkan suatu redaksional hadits
dan suatu nash dari Al-Qur'an, pada salah satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang
membenarkan agama. Karena, pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua
tingkatan ini, dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah dusta semata. Dan, itu
adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang yang melakukan penakwilan tidak menjadi kafir
selama ia menetapi kaidah-kaidah penakwilan.
Kemudian beliau menegaskan, bahwa seluruh mazhab Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh
kelompok Umat Islam pada akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat membatasi
diri dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M). Sementara, kalangan Asy'ariyah dan
Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam dalam kajian rasio, maka mereka banyak melakukan
penakwilan terhadap makna-makna zahir teks dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan,
Muktazilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan penakwilan.
3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905M)
Beliau menjadikan "pendahuluan atas akal atas zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya"
sebagai pokok dari pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah sepakat kecuali seditkit orang yang
tidak memikirkannya bahwa jika ada pertentangan antara akal dan naql maka diambil pemahaman yang
ditunjukkan oleh akal. Kemudian, bagian naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan
penerimaan atas keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk memahaminya, serta
menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan yang kedua adalah menakwilkannya, sambil

19

memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dakan menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan
apa yang dipahami oleh akal.
4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M)
Beliau menafikan kemungkinan perbedaan, "Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan
nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat ilmiah tidak akan
berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara, yang zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan
sesuai dengan yang qath'i (pasti). Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk
diikuti, hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang hanif (lurus) dapat
menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara keimanan yang ghaib dan menggunaan akal.
Dan kepada model pemikiran yang menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami
mengajak manusia. (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271)
Demikianlah sikap para pemikir Islam terhadap majas (metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nashnash, yang sama sekali tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme", seperti yang dikenal oleh Kristen
Barat.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun mazhab-mazhab Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal
nash-nash dan menolak seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok
"fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan karena kondisi "kontemporer Islam" tidak
berbeda dengan "generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern maupun
kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan "fundamentalisme" Kristen Barat.
Dengan demikian, kita menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan
pengertian istilah "fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam
warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun
kontemporer. Kaum 'fundamentalis' di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi akal,
metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran
literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang
merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal
atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan.
Fakta ini menjadikan kasus istilah ushuliyah (fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh
kerancuan pemikiran yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara pemahaman-pemahaman yang
berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang diciptakan oleh peradaban-peradaban yang berbeda
atas suatu istilah yang sama, yaitu dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu.
Sedangkan, istilah "fundamentalisme" dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing dari realitas
Islam, yang dijejalkan oleh kekuatan "agresi media massa". Karena, fundamentalisme di Barat bermakna
'orang-orang kaku', sementara dalam warisan intelektual Islam menunjukkan kaum yang ahli tajdid
(pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum.
***
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh
Agung Primamorista
primamoristaagung@tpj.co.id
Referensi :

Seize The Moment, Dr. Richard Nixon


Fundamentalisme-Fundamentalisme Kontemporer, Dr. Roger Garaudy
Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal, Ibnu Rusyd
Lisanul Arab, Ibnu Manzhur
Karl Marx, Evolution of His Thought, Dr. Roger Garaudy
Faishal Tafriqah Bainal Islam waz-Zandaqah, Imam Al-Ghazali
Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf
Perang Terminologi Islam Versus Barat, Dr. Muhammad Imarah

20

Fundamentalisme dalam Persfektif Barat dan Islam, Dr. Muhammad Imarah


Masa Depan Fundamentalisme Islam, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Karakteristik Metode Islami, Dr. Muhammad Imarah

Di Louvre Saya Terpana


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Berada di sana, saya seperti tepat dalam babak sejarah yang sambung-menyambung sejak zaman
Babilon (di Louvre juga dipajang patung Hammurabi dengan Codex Hammurabi-nya), hingga
zaman modern. Di dalam musium itu, waktu persis seperti digambarkan lagu "Bengawan Solo": air
mengalir sampai jauh. Sejarah menjadi aliran waktu yang menjangkau kawasan-kawasan terjauh.
Kita yang duduk di abad XXI, satu dengan kesadaran historis masa lalu yang panjang.
Minggu kemarin (12/6), saya tiba di Paris: kota tumpah darah pencerahan yang membuat Rifaah Tahtawi
takjub dan menginspirasi Muhammad Abduh untuk melontarkan kalimat terkenal itu, "Aku melihat Islam (di
Paris), meski tidak ada orang Islam; Aku melihat orang Islam di Kairo, tetapi tak melihat Islam di sana". Saya
menginap tidak jauh dari salah satu "square" masyhur di Paris, Place de la Concorde, melalui jalan besar
Avenue des Champs Elysee, bersambung ke gerbang yang menjadi salah satu "landmark" kota "asmara"
itu, Arc de Triomphe Etoile.
Saya langsung jalan kaki ke taman kota. Pagi itu mungkin terindah sepanjang musim semi: cerah, matahari
berkilau-kilau, tapi temperatur tak tinggi, juga tak terlalu rendah (saya jadi ingat hadis Nabi, "sebaik-baik
perkara ada di tengah-tengah"). Ribuan turis bertebaran di situ dari pelbagai suku bangsa. Di pusat Place
de la Concorde itulah berdiri tegak obelis atau tugu batu yang menjadi pusat berkumpul para turis.
Saya tak tahu bahwa taman itu berdekatan dengan musium terbesar di dunia, Louvre atau Musee du
Louvre. Momen ketika saya sadar kawasan itu dekat Louvre, persis seperti pengalaman sufi tentang "kasfy"
atau penyingkapan. Saya langsung jalan kaki menuju musium dengan semangat menyala-nyala. Luas
kawasan musium mungkin sama dengan lima desa Jawa "diikat" jadi satu "ombyokan". Arsitektur
gedungnya antik, dengan gaya Gotik yang melambangkan "grandeur" yang menjadi ciri khas kekaisaran
Perancis selama berabad-abad.
Louvre sungguh menakjubkan, karena koleksinya kaya-raya. Mungkin butuh waktu sebulan untuk
mengeksplorasi seluruh isinya. Inilah musium terbesar di dunia dengan koleksi yang melimpah. Begitu
masuk, kita akan bertemu piramid kaca, "Piramid Pei". Di ruang lobby yang luas, saya bingung harus masuk
bagian mana. Terlalu banyak pilihan menarik untuk ditonton.
Sejak lama, saya memang ingin melihat lukisan-lukisan dari masa klasik dan romantik. Saya ingin melihat
langsung karya-karya seniman besar seperti Michaelangelo, Leonardo da Vinci, Jacques-Luis David,
Francois Gerard, Eugene Delacroix, Theodore Gericault, dan Jean-Auguste-Dominique Ingre yang salah
satu lukisannya "The Turkish Bath" pernah diulas Fatima Mernissi dalam bukunya, Shecherazade Goes
West.
Selama tiga jam, saya berkeliling di bagian yang memajang lukisan-lukisan klasik. Saya takjub terkagumkagum di hadapan lukisan besar Jacques-Luis David yang berukuran raksasa, 6.21 x 9.79 m, dan berjudul
panjang: The Consecration of Emperor Napoleon and the Coronation of Empress Josephine in the
Cathedral of Notre Dame, Paris, 2nd December 1804.
David hidup di zaman sebelum kamera modern yang bisa menangkap suatu obyek dengan detil ditemukan.
Tapi pelukis-pelukis besar zaman klasik mencoba memotret dunia secara detil, dengan anatomi serta
permainan warna yang mengagumkan. Saya kira, lukisan berbeda dengan fotografi karena ia memotret
dunia dengan interpretasi. Jika fotografi hanyalah fotokopi, lukisan adalah "penciptaan kembali" dunia
dengan tafsiran yang kreatif. David butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan lukisan itu.
Sejak membaca Mernissi yang saya sebut di atas, saya selalu bermimpi dapat melihat langsung lukisanlukisan Jean-Auguste-Domonique Ingres (1780-1867). Seniman besar Perancis ini terkenal dengan lukisan-

21

lukisan tentang perempuan-perempuan mandi, "The Bathers". Mernissi pernah mengulas salah satu lukisan
Ingres, yaitu "Mandi Turki" atau "Turkis Bath". Puluhan harem telanjang berbadan montok dan eksotis, ia
lukis untuk menggambarkan kehidupan harem di istana raja-raja Turki. Lukisan Ingres itulah salah satu
bentuk ketakjuban Barat atas Timur yang "eksotis", sebagaimana pernah diulas Edward Said dalam
Orientalism.
Kritik Mernissi atas Ingres adalah: seluruh perempuan di lukisannya, ia gambarkan sebagai obyek yang
pasif dan menyerah, sementara lukisan-lukisan Persia atau literatur Timur justru menggambarkan mereka
begitu "powerful" dan karena itu ditakuti raja-raja. Mernissi melihat sejenis "domestifikasi" atau penaklukan
"timur" oleh "pandangan barat".
Saat berkeliling di ruang yang memajang lukisan-lukisan Italia zaman pencerahan, saya tiba-tiba melihat
puluhan orang berkerumun di sebuah lukisan. Ternyata, di sanalah terdapat lukisan paling masyhur
Leonardo Da Vinci, "Senyum Monalisa" atau "Potret Lisa Gherardini". Lukisan itu sengaja diletak di tempat
terpisah, terlindungi kaca tebal disertai sabuk pembatas seperti yang digunakan bank untuk mengatur antri
nasabah. Para pengunjung berkerumun di hadapan lukisan itu seperti menghadap sebuah obyek yang suci.
Setelah tiga jam berkeliling, saya tak punya daya lagi, walau masih ingin melihat bagian-bagian lain. Melihat
"barang cantik" dalam jumlah banyak dan berkelebihan, kadang dapat menghilangkan pesona barangbarang itu. Kecantikan, kadang perlu dinikmati secara "cicilan", a drop by drop. Barangkali, karena itulah
wahyu diturunkan ke Nabi Muhammad secara dicicil. Wahyu yang datang "menggelontor" secara
"grosiran", sudah pasti akan membuatnya kehilangan daya tarik dan daya pikat.
Saya masih menyimpan tenaga untuk jalan-jalan ke musium lain yang memajang karya-karya modern, yaitu
Pompidou Center. Konon, di sanalah karya-karya Matisse, Picasso, Kandinsky, Mondrian, Salvador Dali,
Magritte, Chagall, dll. dipajang.
Saya kira, Louvre dan Pompidou Center telah memperlihatkan bahwa peradaban Barat memang raksasa.
Bagi orang-orang Islam fundamentalis, karya-karya itu mungkin hanya "barang najis" yang diharamkan,
sehingga tak layak dikoleksi. Tapi bagi saya, lukisan itu mencerminkan tahap-tahap kehidupan rohaniah
yang terus berkembang di Barat. Berdiri di hadapan lukisan Louis David, Anda tak bisa lain kecuali
mengagumi suatu "jenius" yang dahsyat.
Berada di sana, saya seperti tepat dalam babak sejarah yang sambung-menyambung sejak zaman Babilon
(di Louvre juga dipajang patung Hammurabi dengan Codex Hammurabi-nya), hingga zaman modern. Di
dalam musium itu, waktu persis seperti digambarkan lagu "Bengawan Solo": air mengalir sampai jauh.
Sejarah menjadi aliran waktu yang menjangkau kawasan-kawasan terjauh. Kita yang duduk di abad XXI,
satu dengan kesadaran historis masa lalu yang panjang.
Soal historisitas inilah yang hilang dari kesadaran kaum muslim modern. Dalam kesadaran muslim modern,
waktu ibarat mal-mal Jakarta yang diciptakan kemarin sore: gemerlap, penuh kontras, tapi miskin
kedalaman. Mal-mal bisa memberi ilustrasi yang baik tentang struktur kesadaran orang-orang Islam
fundamentalis abad XXI. Dalam kesadaran itu, "jenius-jenius" besar seperti Ibn Khaldun, Ibn Rushd, Ibn
Bajjah, Ibn Thufail dan Abu Bakr al-Razi, begitu saja dilupa dan dihancurkan, persis seperti bangunanbangunan kuno yang diroboh untuk mengalah pada mall-mall modern.
Kaum fundamentalis memang berambisi untuk menjangkau masa antik di zaman Nabi lewat jargon "kembali
kepada Alquran dan Sunnah". Tapi yang sebetulnya terjadi adalah penghancuran kesadaran historis itu
sendiri. Karena itu, umat Islam perlu membangun "colosseum" dan "Louvre"-nya sendiri, demi mengingat
kembali sejarah intelektual Islam yang raksasa sepanjang 14 abad.
Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal

Hak cipta 2001-2006, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: redaksi@islamlib.com

22

23

Anda mungkin juga menyukai