Anda di halaman 1dari 25

OUTLINE PROPOSAL

PENELITIAN SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN
KEJADIAN ISPA DI DESA PEGANDEKAN, KEC. KEMANGKON,
PURBALINGGA

Nama Kelompok :
1.
2.
3.
4.
5.

Muji Setiani
Resti Sri Wahyuningsih
Slamet Nur Sodri
Lian Ardiyanto
Yeri Budiaji

(131420130330081)
(131420130500098)
(131420130650113)
(131420130210069)
(131420130800128)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


STIKES HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
TAHUN AKADEMIK 2014/2015

OUTLINE PROPOSAL
PENELITIAN SKRIPSI

1. ACUAN OUTLINE
Penelitian Kuantitatif
2. JUDUL PENELITIAN
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA di Desa Pegandekan, Kec.
Kemangkon, Purbalingga
3. LATAR BELAKANG
a. Konsep dasar masalah yang diangkat
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit yang menyerang
pada balita yang terjadi di saluran napas dan kebanyakan merupakan infeksi virus.
Penderita akan mengalami demam, batuk, dan pilek berulang serta anoreksia. Di bagian
tonsilitis dan otitis media akan memperlihatkan adanya inflamasi pada tonsil atau telinga
tengah dengan jelas. Infeksi akut pada balita akan mengakibatkan berhentinya pernapasan
sementara atau apnea (Meadow, 2005 : 153-154).
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh
infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang
parenkim paru (Alsagaf, 2009).
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Menurut para ahli, daya tahan
tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya
belum kuat. Apabila dalam satu rumah anggota keluarga terkena pilek, balita akan lebih
mudah tertular. Dengan kondisi anak yang lemah, proses penyebaran penyakit menjadi
lebih cepat. Resiko ISPA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, akan
tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media akuta (OMA) dan mastoiditis. Bahkan
dapat menyebabkan komplikasi fatal yakni pneumonia (Anonim, 2010).
b. Justifikasi masalah dan lokasi
Rencana penelitian : angka kejadian/besaran masalah yang akan diangkat
ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini
disebabkan masih tingginya angka kematian karena ISPA, terutama pada bayi dan anak

balita. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas ialah penderita penyakit
ISPA. Seluruh kematian balita, proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA ini
mencapai 20-30%. (Purnomo, 2008). Prevalensi ISPA tahun 2007 di Indonesia adalah
25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi
di atas angka nasional. Kasus ISPA pada umumnya terdeteksi berdasarkan gejala
penyakit. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Angka
ISPA tertinggi pada balita (>35%), sedangkan terendah pada kelompok umur 15 - 24
tahun. Prevalensi cenderung meningkat lagi sesuai dengan meningkatnya umur. antara
laki-laki dan perempuan relatif sama, dan sedikit lebih tinggi di pedesaan. ISPA
cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran per
kapita lebih rendah (Riskerdas, 2007). Angka kejadian ISPA di Jawa Tengah pada tahun
2007 mencapai 18,45% (Profil Kesehatan Indonesia, 2007)
Berdasarkan data dari Kantor Sekertariat Desa Pegandekan, pada tahun 2014 jumlah
penduduk Desa Pegandekan sebanyak 2898 jiwa dengan kepadatan penduduk 992
jiwa/km2. Menurut Profil Kesehatan Desa Saat dilakukan pengobatan dan penjaringan 10
besar penyakit yang dilaksanakan setiap hari mulai jam 08.00 sampai 13.00 WIB, pasien
yang datang ke PKD Pegandekan pada tahun 2014 berjumlah 996 orang dan rata-rata
kunjungan perbulan sebanyak 90 orang dan didapatkan jumlah penderita ISPA pada tahun
2014 sebanyak 329 orang. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun lalu 2013 yang
hanya berjumlah 285 orang. Angka kejadian ISPA pada bayi umur 0-1 tahun tahun 2014
berjumlah 35 orang.
Melihat tingginya angka kejadian ISPA dan rendahnya tingkat pemberian ASI eksklusif,
maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan pemberian ASI eksklusif terjadap
kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan di Desa Pegandekan, Kecamatan Kemangkon,
Purbalingga. Lokasi penelitian yang dipilih ialah Desa Pegandekan karena ibu-ibu di
wilayah Pegandekan sebagian bekerja mencari nafkah, mengingat data mata pencaharian
Desa Pegandekan adalah Petani, Buruh, PNS (Profil Kesehatan Desa, 2014)
c. Dampak/urgensitas masalah penelitian
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Menurut para ahli, daya tahan
tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya

belum kuat. Apabila dalam satu rumah anggota keluarga terkena pilek, balita akan lebih
mudah tertular. Dengan kondisi anak yang lemah, proses penyebaran penyakit menjadi
lebih cepat. Resiko ISPA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, akan
tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media akuta (OMA) dan mastoiditis. Bahkan
dapat menyebabkan komplikasi fatal yakni pneumonia (Anonim, 2010).
d. Hasil penelitian sebelumnya
Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa kejadian ISPA lebih besar 4,7 kali
pada anak yang tidak diberi ASI secara eksklusif setelah dikontrol dengan variable luar
yaitu status imunisasi dasar, status gizi, tingkat pendidikan ibu, status perokok pasif, berat
badan saat lahir dan jenis kelamin. Berarti pula ASI eksklusif berhubungan secara
bermakna dengan kejadian ISPA pada bayi.
4. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan Apakah Ada
Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA di Desa Pegandekan Kec.
Kemangkon Purbalingga?
5. TUJUAN PENELITIAN
a. Tujuan Umum
:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif
dengan Kejadian ISPA di Desa Pegandekan Kec. Kemangkon Purbalingga
b. Tujuan Khusus
:
a) Untuk mendeskripsikan pemberian ASI eskklusif
b) Untuk mengetahui factor resiko ISPA
c) Untuk menganalisa hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.

6. KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA


SUB POKOK BAHASAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
a. Pengertian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari. ISPA
merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas
dan bagian bawah. ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk, pilek), gejala
sedang (sesak, wheezing) bahkan sampai gejala yang berat (sianosis, pernapasan

cuping hidung). ISPA yang berat jika mengenai jaringan paru-paru dapat
menyebabkan tejadinya pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian nomor satu pada balita (Riskesdas, 2013).
b. Etiologi
ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronovirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain.
Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak
biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan immunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pneumonia. Penetapan etiologi pneumonia yang dapat
diandalkan adalah biakan dari aspirat paru dan darah. Tetapi pungsi paru
merupakan prosedur yang berisiko dan bertentangan dengan etika jika hanya
dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena itu di Indonesia masih menggunakan
hasil penelitian dari luar negeri.

Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab ISPA atau


etiologinya :
a) Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab
yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan merupakan
transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.
b) Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering
adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae.
c) Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari
pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.
d) Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari pneumonia
adalah bakteri.
e) Pada penelitian lain Streptococcus pneumoniae merupakan patogen paling
banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak kelompok umur.

Menurut WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa di


negara berkembang Streptococcus pneumoniae dan Haemofilus influenzae
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua pertiga) dari hasil isolasi
yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Bakteri
merupakan penyebab utama dari pneumonia pada balita. Diperkirakan besarnya
presentase bakteri sebagai penyebabnya adalah sebesar 50%. Sedangkan di negara
maju, saat ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
c. Tanda gejala klinis
Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea
(kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia
(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak mendapat
pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian.

d. Factor-faktor penyebab ISPA


Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
a) Faktor individu anak
1) Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan
tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan
dan pada balita usia 1-4 tahun (Rahajoe, 2008).
2) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan
dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama
kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan


sakit saluran pernafasan lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram
dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran
pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap
status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa
anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate
lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih
berat infeksinya (Behrman, 1999).
3) Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan
perkembangan anak dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan
dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan
antara lain berdasarkan antopometri : berat badan lahir, panjang badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas. Keadaan gizi yang buruk muncul
sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa
penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk
dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan
terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya
tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan gizi yang kurang akan
lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal
karena faktor daya tahan yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang
ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Rahajoe, 2008).
4) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat
tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit

maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko


terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5%
pada kelompok kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi
akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan
tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bagi antibodi yang
ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang
tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan
terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu
singkat. Karena itu usaha misal pemberian vitamin A dan imunisasi secara
berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai
dua keinginan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu
kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan
perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh,
berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Selain itu vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi.
Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan
mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak
mengalami defisiensi vitamin A (Rahajoe, 2008).
5) Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.
Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi
lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan
pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi
campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah
dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat
dicegah (Behrman, 1999).
6) Jenis Kelamin

Pada umumnya tidak ada insidens ISPA akibat virus atau bakteri
pada laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan
bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak
laki-laki usia di atas 6 tahun(Behrman, 1999).
b) Factor Lingkungan
1) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan
paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi
pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam
rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita
bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih
lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran
tentunya akan lebih tinggi (Rahajoe, 2008).
2) Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke
atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari
ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen
yang optimum bagi pernafasan.
b.) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan
zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
c.) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d.) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e.) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
f.) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.

3) Kepadatan hunian rumah


Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri
kesehatan

nomor

829/MENKES/SK/VII/1999

tentang

persyaratan

kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2. Dengan
kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan
melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat
meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada (Rahajoe, 2008).
c) Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal
dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan
berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai
masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya
(Anonymous, 2010).
Peran aktif keluarga/masyarakat dalam mengenali ISPA sangat penting
karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam
masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita
semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan
anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan
terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini
pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem
pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga
dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab
bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan
berpengaruh pada perjalanan penyakit dari ringan menjadi bertambah berat.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita diantaranya :
1) Pemberian air susu ibu (ASI)

Terdapat banyak penelitian yang meunjukkan hubungan antara


pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai
protieksi terhadap pneumonia, terutama pada 1 bulan pertama. Lopez
mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan lamanya
pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami
ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1
bulan. Cesar JA dan kawan-kawan melaporkan bahwa bayi yang tidak
diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di RS akibat
pneumonia di bandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian
ASI dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap
ISPA bawah selama tahun pertama (Behrman, 1999).
2) Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan
terbalik antara angka kejadian dan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini
berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga berkaitan
dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan
sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati
(Behrman, 1999).
3) Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktorfaktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan.
Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
mempunyai resiko lebih besar mengalami episode anak. Rahman
menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi
pada anak dengan status sosial ekonomi rendah (Behrman, 1999)
4) Penggunaan fasilitas kesehatan
Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang
tidak diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat
mencerminkan tingginya insiden ISPA, yaitu sebesar 60% dari kunjungan
rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat jalan dan
rawat inap RS. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat berpengaruh pada

tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan


fasilitas kesehatan masih rendah ( (Behrman, 1999).
2. ASI Eksklusif
a. Pengertian
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja selama 6
bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh dan
air putih, serta tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit,
bubur nasi dan nasi tim (Kristiyansari, 2009).
b. Kandungan ASI
a) Lemak
Sumber kalori utama dalam ASI adalah lemak. Sekitar 50% kalori ASI
berasal dari lemak. Kadar lemak dalam ASI antara 3,5-4,5%. Walaupun kadar
lemak dalam ASI tinggi, tetapi mudah diserap oleh bayi karena trigliserida
dalam ASI lebih dulu dipecah menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim
lipase yang terdapat dalam ASI. Kadar kolestrol ASI lebih tinggi dari pada
susu sapi, sehingga bayi mendapat ASI seharusnya mempunyai kadar
kolestrol darah lebih tinggi. Disamping kolestrol, ASI mengandung asam
lemak essensial yaitu asam linoleat (Omega 6) dan asam linolenat (Omega 3).
Kedua asam lemak tersebut adalah pembentuk asam lemak tidak jenuh rantai
panjang disebut docosahexaenoic acid (DHA) berasal dari Omega 3 dan
arachidonic acid (AA) berasal dari Omega 6 yang berfungsi sangat penting
untuk pertumbuhan otak anak. Kadar lemak ASI matur dapat berbeda menurut
lama menyusui. Pada permulaan menyusu (5 menit pertama) disebut foremilk
kadar lemak ASI rendah (1-2 g/dl) dan lebih tinggi dapat hindmilk (ASI yang
dihasilkan pada akhir menyusu setelah 15-20 menit). Kadar lemak hindmilk
bisa mencapai 3 kali dibandingkan dengan foremilk.
b) Karbohidrat
Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa, yang kadarnya paling
tinggi dibanding susu mamalia lain (7gr%). Laktosa mudah diurai menjadi
glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase yang sudah ada dalam
mukosa saluran pencernaan sejak lahir. Laktosa mempunyai manfaat lain yaitu

mempertinggi absorbsi kalsium dan merangsang pertumbuhan Lactobasillus


bifidus.
c) Protein
Protein dalam susu adalah kasein dan whey. Kadar protein ASI sebesar
0.9%, 60% diantaranya adalah whey, yang lebih mudah dicerna dibanding
kasein. Dalam ASI terdapat dua macam asam amino yang tidak terdapat dalam
susu sapi yaitu sistin dan taurin. Sistin diperlukan untuk pertumbuhan somatic,
sedangkan taurin untuk pertumbuhan otak. Selain dari ASI, sebenarnya sistin
dan taurin dapat diperoleh dari penguraian tirosin, tetapi pada bayi baru lahir
enzim pengurai tirosin ini belum ada.
d) Vitamin
ASI cukup mengandung vitamin yang diperlukan bayi. Vitamin K
yang berfungsi sebagai katalisator pada proses pembekuan darah terdapat
dalam ASI dengan jumlah yang cukup dan mudah dicerna. Dalam ASI juga
banyak vitamin E, terutama di kolostrum. Dalam ASI juga terdapat vitamin D,
tetapi bayi prematur atau yang kurang mendapat sinar matahari dianjurkan
pemberian suplementasi vitamin D.
e) Zat besi
Bayi aterm normal biasanya lahir dengan hemoglobin tinggi (16-22
gr/dl), yang berukuran cepat setelah lahir. Zat besi yang diperoleh dari
pemecahan hemoglobin digunakan kembali. Bayi tersebut juga memiliki
persediaan zat besi dalam jumlah banyak cukup untuk setidaknya 4-6 bulan.
meskipun jumlah zat besi yang terkandung dalam ASI lebih sedikit dari yang
terkandung dalam susu formula, bioavailabilitas zat besi dalam ASI jauh lebih
tinggi. 70% zat besi dalam ASI dapat diserap, sedangkan hanya 10% jumlah
zat besi dapat diserap dalam susu formula. Perbedaan ini disebabkan
rangkaian interaksi kompleks yang terjadi di usus. Bayi yang diberikan susu
sapi segar atau susu formula dapat mengalami anemia karena perdarahan kecil
di usus.
f) Seng

Defisiensi mineral kelumit ini dapat menyebabkan kegagalan


bertumbuh dan lesi kulit tipikal. Meskipun seng lebih banyak terdapat pada
susu formula dibanding ASI, bioavalabilirasnya lebih besar pada ASI. Bayi
yang diberi ASI mampu mempertahankan kadar seng dalam plasma tetap
tinggi dibanding bayi yang diberi susu formula, bahkan meskipun konsentrasi
seng yang terdapat di dalamnya tiga kali lebih banyak daripada ASI.
g) Kalsium
Kalsium lebih efisien diserap dari ASI dibanding susu pengganti ASI
karena perbandingan kalsium fosfor ASI lebih tinggi. Susu formula bayi yang
berasal dari susu sapi tidak terelakkan memiliki kandungan fosfor lebih tingi
dari pada ASI dan dilaporkan meningkatkan resiko tetanus pada neonatus.
h) Mineral
ASI memiliki kadar kalsium, fosfor, natrium, dan kalium yang lebih
rendah daripada susu formula. Tembaga, kobalt, dan selenium terdapat dalam
kadar yang lebih tinggi. Semakin tinggi bioavailabilitas mineral dan unsur
kelumit ini, dipastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi dan pada saat yang
bersamaan, juga menimbulkan beban penyerapan yang lebih rendah pada
ginjal neonatus dari pada susu pengganti ASI (Prasetyo, 2009).
c. Manfaat ASI
a) Bagi Bayi
1) Mengandung komposisi yang tepat
ASI Berbagai bahan makanan yang baik untuk bayi yaitu terdiri dari
proporsi yang seimbang dan cukup kuantitas semua zat gizi yang
diperlukan untuk kehidupan 6 bulan pertama (Kristiyansari, 2009).
2) ASI meningkatkan kecerdasan bagi bayi
Lemak pada ASI adalah lemak tak jenuh yang mengandung omega 3
untuk pematangan sel-sel otak sehingga jaringan otak bayi yang mendapat
ASI Eksklusif akan tumbuh optimal dan terbebas dari rangsangan kejang
hingga sel-sel saraf otak (Kristiyansari, 2009).
3) Mengandung zat protektif

Bayi yang mendapat ASI lebih jarang menderita penyakit karena


adanya zat protektif dalam ASI (Sunardi, 2008).
4) Lactobasillus bifidus
Laktobasillus bifidus berfungsi mengubah laktosa menjadi asam laktat
dan asam asetat. Kedua asam ini menjadikan saluran pencernaan bersifat
asam sehingga menghambat pertumbuhan Lactobasillus bifidus. Susu sapi
tidak mengandung faktor ini (Sunardi, 2008).
5) Lactoferin
Lactoferin adalah protein yang berikatan dengan besi. Dengan
mengikat zat besi, maka Lactoferin bermanfaat menghambat pertumbuhan
kuman tertentu, yaitu staphylococus, E.coli, dan Entamoeba hystolytica
yang juga memerlukan zat besi untuk pertumbuhannya bakteri tersebut,
lactoferin dapat pula menghambat pertumbuhan jamur Candida.
6) Lizozim
Lizozim adalah enzim yang dapat memecah dinding bakteri
(bakterisidal) dan anti inflamasi, bekerja bersama peroksida dan askorbat
untuk menyerang bakteri E.coli dan sebagian keluarga salmonella.
Keaktifan lizozim ASI beberapa kali lebih tinggi dibanding susu sapi.
Keunikan lizozim lainnya adalah bila faktor protektif lainnya adalah sesuai
tahap lanjut ASI, maka lizozim justru meningkat pada 6 bulan pertama
setelah kelahiran. Hal ini merupakan keuntungan karena setelah 6 bulan
bayi mulai mendapatkan makanan padat dan lizozim merupkan faktor
protektif terhadap kemungkinan serangan bakteri patogen dan penyakit
diare pada periode ini.
7) Komponen C3 dan C4
Kedua komponen ini, walaupun kadar dalam ASI rendah, mempunyai
daya opsonik, anafilatik dan kemotaktik yang bekerja bila diaktifkan oleh
IgA dan IgE yang juga terdapat dalam ASI.
8) Faktor antistreptococus
Dalam ASI terdapat faktor antistreptococus yang melindungi bayi
terhadap infeksi kuman streptococcus.

9) Antibodi
Secara elektroforetik, kromatografik dan radio immunoassay terbukti
bahwa ASI terutama kolostrum mengandung imunoglobin yaitu IgA
sekretorik (SigA), IgE, IgM, dan IgG. Dari semua imunoglobulin tersebut
yang terbanyak adalah SigA. Antibodi dalam ASI dapat bertahan dalam
saluran pencernaan bayi karena tahan terhadap asam dan enzim proteolitik
saluran pencernaan dan membuat lapisan pada mukosanya sehingga
mencegah bakteri patogen dan enterovirus masuk kedalam mukosa usus.
Dalam tinja bayi yang mendapat ASI terdapat bakteri E.coli dalam
konsentrasi yang tinggi sehingga jumlah bakteri E.coli dalam tinja bayi
tersebut juga rendah. Di dalam ASI selain antibodi terdapat E.coli juga
pernah dibuktikan adanya antibodi terhadap Salmonella typhi, Shigella,
dan antibodi terhadap virus seperti rotavirus, polio dan campak. Antibodi
terdapat rotavirus tinggi dalam kolostrum yang kemudian turun pada
minggu pertama dan bertahan sampai umur 2 tahun. Dalam ASI juga
didapatkan antigen terhadap Helicobacter jejuni penyabab diare. Kadarnya
dalam kolostum tinggi dan menurun pada usia 1 bulan dan kemudian
menetap selama menyusui (Sunardi, 2008).
10) Imunitas seluler
ASI yang mengandung sel-sel. Sebagian besar (90%) sel tersebut
berupa makrofag yang berfungsi membunuh dan memfagositosis
mikroorganisme, membentuk C3 dan C4, lizozim dan lactoferin. Sisanya
(10%) terdiri dari limfosit B dan T. Angka leukosit pada kolostrum kirakira 5000/ml setara dengan angka leukosit darah tepi tetapi komposisinya
berbeda

dengan

darah

tepi,

karena

hampir

semuanya

berupa

polimorfonuklear dan mononuklear. Dengan meningkatnya volume ASI


angka leukosit menurun menjadi 2000/ml. Walaupun demikian kapasitas
anti bakterinya sama sepanjang stadium laktasi. Konsentrasi faktor-11
faktor anti infeksi tinggi dalam kolostrum. Kadar SisA, lactoferin, lizozim
dan sel seperti makrofag, neutrofil dan limfosit lebih tinggi pada ASI

prematur dibanding ASI matur. Perbedaan status gizi pada ibu tidak
mempengaruhi konsentrasi faktor anti infeksi dalam ASI
11) Tidak menimbulkan alergi
Pada bayi baru lahir sistem IgE belum sempurna. Pemberian susu
formula akan merangsang aktivitas sistem ini dan dapat menimbulkan
alergi. ASI tidak menimbulkan efek ini. Pemberian protein asing yang
ditunda sampai umur 6 bulan akan mengurangi kemungkinan alergi
12) Mempunyai efek psikologis yang menguntungkan
Waktu menyusui kulit bayi akan menempel pada kulit ibu. Kontak
kulit yang dini ini akan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan
bayi kelak. Walaupun seorang ibu dapat memberikan kasih sayang yang
besar dengan memberikan susu formula tetapi menyusui sendiri akan
memberikan efek psikologis yang besar. Dengan foto infra merah,
payudara ibu menyusui lebih hangat dibanding payudara ibu yang tidak
menyusui (Kristiyansari, 2009). Interaksi yang timbul waktu menyusui
antara ibu dan bayi akan menimbulkan rasa aman bagi bayi. Perasaan
aman ini penting untuk menimbulkan dasar kepercayaan pada bayi (basic
sense of trust) yaitu dengan mulai dapat mempercayai orang lain (ibu)
maka akan timbul rasa percaya pada diri sendiri.
13) Mengurangi kejadian karies dentis dan maloklusi
Insiden karies dentis pada bayi yang mendapatkan susu formula jauh
lebih tinggi dibanding yang mendapat ASI karena kebiasaan menyusui
dengan botol dan dot terutama pada waktu akan tidur menyebabkan gigi
lebih lama kontak dengan sisa susu formula dan menyebabkan asam yang
terbentuk akan merusak gigi. Kecuali itu ada anggapan bahwa kadar
selenium yang tinggi dalam ASI akan mencegah karies dentis. Telah
dibuktikan bahwa salah satu penyebab maloklusi rahang adalah lidah yang
mendorong ke depan akibat menyusu dengan botol dan dot (Sunardi,
2008).
14) Menyebabkan pertumbuhan yang baik

Bayi yang mendapatkan ASI mempunyai kenaikan berat badan yang


baik setelah lahir, pertumbuhan setelah periode perinatal baik dan
mengurangi kemungkinan obesitas. Ibu-ibu yang diberi penyuluhan
tentang ASI dan laktasi, turunnya berat badan bayi (pada minggu pertama
kelahiran) tidak sebanyak ibu-ibu yang tidak diberi penyuluhan.
Alasannya ialah bahwa kelompok ibu-ibu tersebut segera memberikan
ASInya setelah melahirkan. Frekuensi menyusui yang sering (tidak
dibatasi) juga dibuktikan bermanfaat karena volume ASI yang dihasilkan
lebih banyak sehingga penurunan berat badan bayi hanya sedikit.
b) Bagi Ibu
1) Aspek kesehatan ibu
Isapan bayi pada payudara akan merangsang terbentuknya oksitosin
oleh kelenjar hipofisis. Oksitosin membantu involusi uterus dan mencegah
terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penundaan haid dan berkurangnya
perdarahan pasca persalinan mengurangi prevalensi anemia defisiensi besi.
Kejadian karsinoma mammae pada ibu menyusui lebih rendah dibanding
yang tidak menyusui (Kristiyansari, 2009).
2) Aspek keluarga berencana
Menyusui secara murni Eksklusif dapat menjarangkan kehamilan.
Ditemukan rata-rata ibu yang menyusui adalah 24 bulan sedangkan yang
tidak menyusui 11 bulan. Hormon yang mempertahankan laktasi bekerja
untuk menekan hormon ovulasi sehingga dapat menunda kembalinya
kesuburan. Ibu yang sering hamil kecuali menjadi beban sendiri juga
merupakan risiko tersendiri bagi ibu untuk mendapatkan penyakit seperti
anemia, risiko kesakitan dan kematian akibat persalinan (Suryoprajogo,
2009)
3) Aspek psikologis
Keuntungan menyusui bukan hanya bermanfaat bagi bayi tetapi juga
untuk ibu. Ibu akan merasa bangga dan diperlukan, rasa yang dibutuhkan
oleh semua manusia.
c) Bagi Keluarga

1) Aspek ekonomi
ASI tidak perlu dibeli sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk
membeli susu formula dapat digunakan untuk keperluan lain. Kecuali itu,
penghematan juga disebabkan karena bayi yang mendapatkan ASI lebih
jarang sakit sehingga mengurangi biaya berobat (Sunardi, 2008).
2) Aspek psikologis
Kebahagiaan keluarga bertambah karena kelahiran lebih jarang
sehingga suasana kejiwaan ibu baik dan dapat mendekatkan hubungan
bayi dengan keluarga.
3) Aspek kemudahan
Menyusui sangat praktis karena dapat diberikan dimana saja dan kapan
saja. Keluarga tidak repot untuk menyiapkan air masak, botol dan dot yang
harus selalu dibersihkan, orang tidak perlu minta pertolongan orang lain
(Arif, 2009).

d) Bagi Negara
1) Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi
Adanya faktor protektif dan nutrien yang sesuai dalam ASI menjamin
status gizi baik serta kesakitan dan kematian anak menurun. Beberapa
penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi bayi dan
anak dari penyakit infeksi, misalnya diare, otitis media dan infeksi saluran
pernafasan akut bagian bawah (Kristiyansari, 2009).
2) Mengurangi subsidi kesehatan
Subsidi untuk rumah sakit berkurang karena rawat gabung akan
memperpendek lama rawat ibu dan bayi, mengurangi komplikasi
persalinan dan infeksi nosokomial, serta mengurangi biaya yang
diperlukan untuk perawatan sakit. Anak yang diberi ASI lebih jarang
dirawat di rumah sakit dibanding anak yang mendapat susu formula.

3) Menghemat devisa untuk membeli susu formula


ASI dapat dianggap sebagai kekayaan nasional. Jika semua ibu
menyusui Eksklusif selama 6 bulan berapa banyak devisa yang dapat
dihemat oleh negara yang sebelumnya dipakai untuk membeli susu
formula (Sunar, 2009).
4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Anak yang mendapat ASI dapat bertumbuh dan berkembang secara
optimal sehingga kualitas generasi penerus bangsa akan terjamin.
5) Mengurangi polusi
Untuk pembuatan dan distribusi susu formula diperlukan bahan bakar
minyak. Selain itu juga kaleng serta karton kemasan susu juga
menyebabkan pencemaran lingkungan (Sunar, 2009).
6) Alasan Pemberian ASI Eksklusif
ASI diberikan kepada bayi karena mengandung banyak manfaat dan
kelebihan antara lain menurunkan resiko penyakit infeksi misalnya : diare,
infeksi saluran nafas dan infeksi telinga. Di samping itu ASI juga bisa
mencegah penyakit non infeksi misalnya alergi, obesitas, kurang gizi,
asma dan eksem. ASI dapat pula meningkatkan kecerdasan anak.

7. RENCANA HIPOTESIS PENELITIAN


Ho : Tidak ada Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA di Desa
Pegandekan, Kec. Kemangkon, Purbalingga
Ha : Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA di Desa Pegandekan, Kec.
Kemangkon, Purbalingga
8. RENCANA DESAIN PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian ini merupakan Penelitian Deskriptif kuantitatif yang
bertujuan melakukan mengenai fenomena yang ditemukan, baik yang berupa faktor maupun
efek atau hasil. Dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu peneliti melakukan
observasi atau pengukuran variabel pada satu saat (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:138).
9. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
a. Populasi

Populasi adalah Keseluruhan subyek penelitian (Suharsimi Arikunto, 2010:172). Populasi


dalam penelitian ini yaitu seluruh Balita yang terkena ISPA Desa Pegandekan, Kec.
Kemangkon, Purbalingga.
b. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bayi umur 6-12 bulan yang terkena ISPA di Desa
Pegandekan, Kec. Kemangkon, Purbalingga. Menggunakan teknik random sampling.
10. DEFINISI OPERASIONAL
a. Variabel penelitian
Pemberian ASI Eksklusif dan Kejadian ISPA
b. Jenis variable
Variable bebas : Pemberian ASI Eksklusif
Variabel Terikat : Kejadian ISPA
c. Definisi operasional variable
ISPA
: ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian
atau lebih dari saluran nafas yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan.
ASI Eksklusif : Pemberian ASI tanpa makanan Pendamping lain selama usia 0-6 bulan
d. Cara ukur dan alat ukur variable
Cara Ukur dan alat ukur Pemberian ASI Eksklusif : Kuesioner
Cara Ukur dan alat ukur Kejadian ISPA
: Kuesioner
e. Hasil ukur variable/parameter variable penelitian
Hasil Ukur variable Pemberian ASI Eksklusif
: Baik (ASI Eksklusif), Tidak Baik
(Tidak diberi ASI Eksklusif)
Hasil Ukur variable Kejadian ISPA

: Mengalami ISPA, jika memiliki > 2

gejala dari gejala ISPA yang ada, Tidak mengalami ISPA, jika hanya memiliki salah satu
gejala dari gejala ISPA yang ada
f. Skala ukur variable
Skala ukur Pemberian ASI Eksklusif
: Nominal
Skala ukur Kejadian ISPA
: Nominal
11. RENCANA ANALISIS YANG DIGUNAKAN
Chi Square : salah satu jenis uji komparatif non parametris yang dilakukan pada 2 variabel,
dimana skala 2 variabel adalah Nominal
12. JURNAL PENELITIAN TERKAIT
1) Infant feeding patterns and risk of acute respiratory infections in Baghdad/Iraq - Shatha
S. Al-Sharbatti, Lubna I. AlJumaa, 2012
2) Acute respiratory infection and malnutrition among children below 5 years of age in Erbil
governorate, Iraq - D.A.K. Chalabi, 2013

3) Acute Diarrhea and Acute Respiratory Infection among Less than 5 Year Old Children: A
Cross-Sectional Study - V Samya1, A Meriton Stanly, 2015
4) Risk factors for hospital admission due to acute lower respiratory tract infection in
Guarani indigenous children in southern Brazil: a population-based case-control study Andrey M. Cardoso1, Carlos E. A. Coimbra Jr.1 and Guilherme L. Werneck, 2013

Resume
No
Topik
1 Infant feeding

Metode
A case-

Sampel
The study

Result
Formula fed infants had a 2.7 times

patterns and

control

included 137

higher risk (CI: 1. 6-4.68) for ARIs

risk of acute

study was

infants who were

compared to breast fed infants.

respiratory

carried out

hospitalized in

Infants who had undergone a short

the Children

duration

Welfare

months) had a 1.4 times increased

- Shatha S. between

Teaching

risk

Al-Sharbatti,

Hospital

Additional

for ARIs during

associated with higher ARIs were,

infections

in during the

Baghdad/Iraq

Lubna

period
February

I. 1st 2005 -

or

of

breastfeeding

ARI

(CI:

factors

(<3

0.892.23).
that

were

AlJumaa,

May 1st

the period of

male gender (OR= 2.0, CI:1.3-3.3),

2012

2005.

study (a case

low educational level of mothers

definition of

(OR= 6.4, CI:3.2-12.7) and fathers

acute lower

(OR=4.5, CI:2.27-8.78), crowded

respiratory

residence (OR= 4.5, CI: 2.6-7.8),

infection as

positive

given by

household members in the 2 weeks

history

of

ARIs

in

the WHO (1995) prior to the study (OR= 5.5, CI:3.3was

used).The 9.3), family history of asthma (OR =

Control
included
healthy
who

group 2.6, CI:1.4-4.9), and daily smoking


157 of 7 cigarettes in proximity to the
infants infant (OR = 2.0, CI:1.1-3.4). Age,
were birth order, delayed immunization

randomly
selected
two

and malnutrition, were not found to


from significantly increase the infants

primary risk of ARIs.

health

care

centers of the AIKarkh sector of


Baghdad
2

for

Acute

A case

immunization
A total of 190

Children admitted to hospital with a

respiratory

control

children < 5

diagnosis of ARI over a 4-month

infection and

study was

years old who

period in 20062007 (n = 190) were

malnutrition

undertaken

were admitted to

compared with a control group

among

in Raparin

Raparin hospital

without ARI (n = 192). Significantly

children

teaching

with a diagnosis

more ARI cases were male (64.7%

below 5 years

hospital,

of ARI over a

versus 53.1%) and the mean age was

of age in Erbil

which is

period of 4

lower [15.6 (SD 15.4) versus 26.4

governorate,

the

Iraq - D.A.K.

specialized

November 2006

height were lower in the ARI group

Chalabi, 2013

paediatric

to 1 March 2007

but

only months from 1

(SD 19.7) months]. Weight and


there

was

no

significant

hospital in were recruited.

difference in weight-for-age or in

Erbil city.

A control sample

height-for-age.

of 192

significant association between ARI

Children.

and

indicators

according

to

There
of
the

was

malnutrition
Gomez

and

Welcome anthropometric criteria but


3

Acute Diarrhea

Population

It included all

not the Waterlow criteria.


Among the selected 370 under 5

and

based

the <5 years old

children, 51.1% were males, and

Respiratory

cross-

children are

48.9% were females. The Prevalence

Infection

sectional

residing in the

of

study.

area. The data

prevalence of ARI was 12.2%. The

Study area:

was collected

number of episodes for the past 1

among

Acute

Less

than 5 Year Old

Diarrhea

was

7.6%.

The

Children:

A This study

among 370 <5

year among <5 years old children

Cross-Sectional

was done

year old children

was

Study

at the

over a period of

(standard deviation [SD] 1.1, median

Primary

3-month

2) and 2.58 episodes of ARI (median

Health

extending from

2, SD 1.65).

Centre area

November 2012

of Nemam

to January 2012

belonging

by simple

to

random

Poonamall

sampling.

Samya1,

Meriton Stanly,
2015

1.64

episodes

of

diarrhea

e block in
the
Tiruvallur
district,
Tamil
Nadu,
India.
4

Risk factors

Population- The total

The analysis was performed on 120

for hospital

based

Guarani

cases and 201 controls. The risk

admission due

matched

population in the

factors that remained significantly

to acute lower

case

remaining 81

associated with hospitalization due

respiratory

control

villages

to

tract infection

study from

included in this

multivariate

in Guarani

May 2007

study was

regression were: low stable monthly

indigenous

to June

approximately

per

children in

2008 in 81

6000 individuals

(<US$30.00 = OR: 2.77, IC95%:

southern

Guarani

(20% under 5

1.515.10; no income= OR: 1.88,

Brazil: a

villages.

years of age).

IC95%: 1.023.47); large number of

ALRTI

capita

in

the

hierarchical

conditional
household

logistic
income

population-

persons in the household (69 = OR:

based case-

2.03, IC95%: 1.063.88; 1016 =

control study -

OR:

Andrey M.

indoor exposure to fumes from

Cardoso1,

burning firewood used for cooking

Carlos E. A.

(OR: 3.08, IC95%: 1.396.84);low

Coimbra Jr.1

maternal age (OR: 2.77, IC95%:

and

1.425.39); and low birth weight

Guilherme L.

(OR: 6.12, IC95%: 1.4426.13).

Werneck,
2013

5.00,

IC95%:

1.8113.86);

Anda mungkin juga menyukai