Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung masih merupakan masalah utama baik di negara maju maupun
berkembang. Gagal jantung merupakan penyebab utama perawatan pasien di rumah
sakit Amerika Serikat, dan merupakan kasus yang memakan biaya terbanyak per
tahunnya. Sekitar 500.000 kasus baru ditemukan setiap tahun, dan tak kurang dari 5
juta orang di Amerika kini menderita gagal jantung.1 Meskipun telah banyak
kemajuan dan studi untuk terapi gagal jantung, namun penyakit ini tetap menjadi
penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2 Di Indonesia terdapat 1.687 pasien
gagal jantung per tahun dengan angka rawat ulang sekitar 29%.3 Berdasarkan data
epidemiologi, sekitar 25% pasien gagal jantung disertai dengan gangguan konduksi
intraventrikular, terutama Left Bundle Branch Block (LBBB).4
Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) merupakan pilihan terapi gagal
jantung sistolik kronik yang tidak memberi respon yang optimal dengan obat dan
adanya bukti gangguan elektrik jantung. Dasar dari CRT adalah menyelaraskan
pompa ventrikel kiri dan kanan.5 Indikasi pemasangan CRT telah dikemukakan pada
beberapa pedoman pengobatan gagal jantung. Keuntungan terbesar dari pemasangan
CRT (hiperresponder) didapatkan pada pasien dengan komplek QRS lebar, LBBB,
wanita, dan kardiomiopati non-iskemik. Sedangkan respon terendah didapatkan pada
pasien dengan kompleks QRS sempit dan non-LBBB.6
Makalah ini menyajikan kasus pasien yang memenuhi kriteria responder.
Tujuan dari pemaparan kasus ini adalah membahas mengenai implantasi CRT mulai
dari indikasi, prediktor respon dan luaran pascaimplantasi.

BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien usia 44 tahun dibawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo ( IGD RSCM) dengan keluhan utama nyeri ulu hati yang
semakin memberat sejak kurang lebih 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Nyeri ulu hati sebenarnya sudah dirasakan sejak tiga hari SMRS. Nyeri seperti
ditusuk-tusuk, hilang timbul, tidak dipengaruhi aktivitas maupun makanan. Nyeri
berkurang apabila pasien mengkonsumsi ISDN di bawah lidah. Demam tidak ada.
Nafsu makan biasa. Batuk tidak ada. Sesak ada, sesak bertambah saat beraktivitas,
pasien lebih nyaman apabila tidur dengan dua bantal, kadang pasien mengeluh
terbangun di malam hari karena sesak. Pasien juga mengeluh nyeri di dada sebelah
kiri, nyeri seperti ditekan, menjalar ke punggung, hilang timbul. Pasien mengeluh
dada terasa berdebar-debar dan berkeringat banyak. Mual ada, namun tidak muntah.
Buang air besar dan buang air kecil biasa.
Sejak 3 tahun yang lalu, pasien sering mengeluh dada terasa sesak, pasien
berobat ke Poli Jantung RSCM, dikatakan ada penyumbatan pembuluh darah di tiga
pembuluh darah. Pasien kemudian menjalani operasi CABG. Namun pasien masih
sering mengeluhkan nyeri dada setelah operasi. Setelah CABG, pasien sudah 3 kali
menjalani kateterisasi. Pasien rutin kontrol dan minum obat: Ascardia 1x160 mg,
Simarc 1x2 mg, Simvastatin 1x20 mg, Ativan 1x1 tablet, Laxadin 3x1 sendok takar,
Spironolakton 1x25 mg, Bisoprolol 1x2,5, ISDN 3x5 mg, Lasix 1x40 mg. Pasien
kemudian menjalani pemeriksaan ekhokardiografi. Pasien kemudian direncanakan
pasang CRTD, namun masih menunggu alat. Pasien sudah menjalani rawat inap
sebanyak 20 kali dalam tiga tahun terakhir.
Dari riwayat penyakit dahulu, tidak didapatkan riwayat menderita diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit paru, penyakit ginjal. Pada riwayat penyakit keluarga,
tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
ginjal, asma. Pasien sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak. Pasien
2

mempunyai kebiasaan merokok selama lebih dari 20 tahun, merokok 2 bungkus per
hari, rokok filter, namun sudah berhenti sejak 3 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik di ruangan, pasien tampak sakit sedang, compos
mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 89 kali per menit, frekuensi
pernapasan 20 kali per menit, suhu 36,5 derajat Celcius, saturasi oksigen 99%
dengan oksigen 3 liter per menit melalui nasal kanul dan Visual Analog Scale (VAS)
1. Pemeriksaan mata, telinga, hidung, tenggorokan dan mulut tidak menunjukkan
adanya abnormalitas. Pada pemeriksaan leher didapatkan tekanan vena jugularis 5+0
cmH2O. Pemeriksaan KGB tidak ditemukan teraba. Pemeriksaan dinding dada tidak
menunjukkan adanya abnormalitas. Dari pemeriksaan paru tidak ditemukan adanya
abnormalitas. Pada pemeriksaan jantung kami menemukan bunyi jantung I dan II
reguler, terdapat murmur sistolik derajat 3/6 di katup trikuspid (punctum maximum).
Pada pemeriksaan abdomen kami dapatkan nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 3
jari bawah lengkung kostae dan 2 jari bawah processus xyphoideus, konsistensi
kenyal, tepi tumpul. Kami tidak menemukan adanya edema pada pemeriksaan
ekstremitas. Dari pemeriksaan kelenjar getah bening (KGB), kami tidak
mendapatkan adanya KGB yang teraba. Pada pemeriksaan laboratorium saat pasien
masuk IGD didapatkan: Hb 15,4 g/dL, leukosit 8.980/mm3, trombosit 172.000/mm3.
Pemeriksaan hitung jenis: 1/3/3/55/28/11. PT: 15,7 (11,1) dan APTT: 46,9 (33,6);
ureum 36,9 mg/dL; kreatinin 0,8 mg/dL; elektrolit: Na/K/Cl 140/3,5/107. Asam urat:
10,4; SGOT/SGPT: 23/17; Albumin: 3,91 mg/dL; gula darah sewaktu: 120 mg/dL;
CK 54; CK-MB 17,4; Troponin T 11,71.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) tanggal 7 April 2015 didapatkan
interpretasi sebagai berikut: irama sinus, deviasi sumbu ke kiri, QRS rate 70 kali per
menit, gelombang P normal, interval PR 0,2 detik, durasi QRS 0,12 detik, inversi
gelombang T di I, aVL, V5, V6, ST depresi di I, aVL. LVH dan RVH tidak ada.
Premature Ventricular Contraction (PVC) ada RSR` di V5 dan V6. Gelombang Q di
II, III, aVF.

Gambar 1. EKG tanggal 7 April 2015


Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan ekokardiografi tanggal 24 Februari
2015 dengan hasil: pelebaran dimensi ruang jantung di atrium kiri dan ventrikel kiri,
diameter akhir diastolik (ED) 86 mm, diameter akhir sistolik (ES) 76 mm, dinding
ventrikel kiri tidak menebal; hipokinetik gerakan dinding ventrikel kiri di semua
segmen, terdapat regurgutasi trikuspid ringan, regurgitasi mitral ringan, regurgitasi
pulmonal ringan, terdapat penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraksi
ejeksi 10 20 %, LV fungsi sitolik menurun, fungsi diastolik ventrikel kiri
pseudonormal, terdapat penurunan fungsi sistolik ventrikel kanan, nilai TAPSE 12
mm, tidak terdapat trombus, terdapat efusi pleura minimal. Pada analisa disinkroni
didapatkan perlambatan gerakan dinding ventrikel kiri dari septum ke posterior
D-shaped LV, diskinetik septal tidak dapat dinilai. Terdapat perlambatan
intraventrikuler RVOT vs LVOT : RVOT lebih cepat dari LVOT 48 ms.; LV pre
ejection interval ( LVPEI) onset QRS to onset LVOT 185 ms; Tissue doppler
septal vs lateral left ventrikel septal lebih dulu dibanding lateral 16 ms. Pada

pemeriksaan kor angiografi didapatkan Coronary Artery Disease (CAD) 3 Vessels


Disease (VD) dan Left Main Disease post CABG.
Daftar masalah pada pasien ini adalah angina pektoris tidak stabil Grace 76 Killip 2, Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease post CABG (2012), CHF FC II
dengan low EF (10-20%), dispepsia, hiperurisemia asimtomatik, hepatomegali
dengan abdominal pain, PVC jarang, LBBB. Pada hari perawatan kedua di ruangan,
pasien mengeluh nyeri di dada kiri seperti tertusuk disertai nyeri ulu hati. Skala nyeri
visual saat itu adalah 10, tekanan darah 80/50 mmHg dengan nadi 89 kali per menit,
dan frekuensi napas 26 kali per menit. Tidak terdapat perubahan pada pemeriksaan
EKG. Pasien didiagnosis sebagai syok kardiogenik, angina pektoris tidak stabil
dengan riwayat angina pektoris tidak stabil berulang Grace 76 Killip 2, CAD 3 VD
post CABG (2012), CHF fc II dengan low EF (10 21%), dispepsia, hiperurisemia
asimtomatik, hepatomegali dengan abdominal pain, PVC jarang, LBBB. Pasien
mendapat terapi oksigen 3 liter per menit via nasal kanul, dobutamin dengan dosis 3
g/kgBB/menit, morfin bolus 2,5 mg dilanjutkan drip 7,5 mg per 24 jam. Pasien
kami konsulkan ke divisi kardiologi, disarankan untuk alih rawat ke ICCU, dapat
diberikan inotropik, morfin dapat dilanjutkan. Pada evaluasi hari ketiga, keluhan
nyeri dada berkurang, VAS 2, hemodinamik mulai baik, dobutamin dan morfin
mulai dihentikan, pasien disarankan untuk persiapan pemasangan CRT-D. Pasien
mendapat anti koagulan (Enoxaparin) selama tujuh hari. Pada hari perawatan ke
tujuh, pasien tidak merasakan keluhan nyeri dada maupun sesak. Keluhan nyeri ulu
hati juga sudah hilang, Enoxaparin dihentikan dan diganti dengan pemberian heparin
2x5000 unit sub kutan. Selama perawatan pemasangan CRT-D belum mampu
laksana karena masalah administrasi sehingga pada hari perawatan ke-11, pasien
dipulangkan dan direncanakan pemasangan CRT-D dari Poliklinik Jantung Terpadu
RSCM.

BAB III
DISKUSI

Terapi resinkronisasi saat ini telah berkembang pesat dalam hal teknologi dan
indikasi. Pada awalnya terapi resinkronisasi hanya ditujukan bagi pasien dengan
gangguan irama berupa bradikardia simptomatik, baik oleh karena kelainan fungsi nodus
sinus maupun hambatan konduksi setingkat nodus atrioventrikular. Namun dalam
dekade terakhir ini terapi resinkronisasi telah mengalami perluasan pemakaian yaitu
untuk pasien dengan gagal jantung kronik yang dikenal sebagai

Cardiac

Resynchronization Therapy (CRT).6 Saat ini CRT telah menjadi terapi baku pada gagal
jantung sistolik kronik yang tidak membaik dengan obat. Data hasil survei tahun 2009
mencatat jumlah pemasangan CRT pada tahun tersebut di kawasan Asia-Pasifik adalah
1.827.7
A. Patofisiologi disinkronisasi jantung
Disinkroni jantung merupakan hal yang kompleks dari berbagai perspektif.
Pemanjangan interval atrioventrikular pada saat kontraksi sistolik dapat mengganggu
pengisian diastolik awal. Tekanan atrium tibatiba menurun pada saat relaksasi atrium.
Jika kontraksi ventrikel terlambat, tekanan diastolik ventrikel kiri akan melebihi tekanan
atrium dan menyebabkan regurgitasi mitral diastolik. Hilangnya preload ventrikel
mengurangi kontraktilitas ventrikel kiri karena hilangnya mekanisme Starling.
Perlambatan konduksi inter- dan intra-ventrikular menyebabkan disinkroni kontraksi
dinding ventrikel kiri, gangguan efisiensi jantung dan menurunkan volume sekuncup
dan tekanan darah sistolik. Koordinasi otot papilaris yang buruk akan menyebabkan
regurgitasi mitral sistolik fungsional. Gangguan tersebut menyebabkan remodeling
ventrikel kiri yang buruk.7
CRT membantu mempertahankan sinkroni atrioventrikular, sinkroni inter- dan
intra- ventrikular, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, menurunkan regurgitasi mitral
fungsional, menginduksi reverse remodeling ventrikel kiri. Hal ini dibuktikan dengan
6

meningkatnya waktu pengisian ventrikel kiri dan fraksi ejeksi ventrikel kiri, serta
menurunnya volume sistolik akhir dan diastolik akhir, regurgitasi mitral dan diskinesia
septum.6
B. Indikasi
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology
(ESC) pada tahun 2012 mengenai diagnosis dan tatalaksana gagal jantung akut dan
kronik, CRT direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan irama sinus, kelas
fungsional NYHA III dan IV, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang secara persisten berkurang,
walaupun telah mendapatkan terapi farmakologi yang optimal. Pada pasien dengan
morfologi EKG LBBB, durasi QRS 120 mdet, dan fraksi ejeksi 35%, yang
diperkirakan akan bertahan hidup dengan status fungsional yang baik untuk > 1 tahun,
untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian dini. Begitu pula pasien dengan kelas
fungsional NYHA II, dengan morfologi QRS LBBB, durasi QRS 130 mdet, fraksi
ejeksi 30%, yang diperkirakan akan bertahan hidup dengan status fungsional yang
baik, untuk mengurangi risiko rawat inap karena gagal jantung dan risiko kematian dini
dengan kelas rekomendasi adalah 1A. Adapun alur tatalaksana untuk pasien gagal
jantung dapat dilihat pada Gambar 2.8
Dalam dua dekade terakhir terdapat kemajuan signifikan dalam hal terapi
farmakologis gagal jantung, sehingga mortalitas dan perawatan ulang berkurang. Meski
demikian data observasional masih menunjukkan angka morbiditas dan mortalitas gagal
jantung yang tinggi.2,5 Selain farmakologis, terapi gagal jantung dengan alat/device juga
menunjukkan hasil signifikan yang terbukti dari berbagai studi. Beberapa studi
membuktikan bahwa CRT mampu memberi perbaikan pada kualitas hidup dan kelas
NYHA. Studi terdahulu membuktikan adanya perbaikan fungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi). Angka kematian akibat gagal jantung juga terbukti menurun, seperti dibuktikan
dalam studi beberapa studi. Perawatan ulang dibuktikan menurun signifikan pada studi
beberapa studi. Sinkronisasi ventrikel oleh CRT akan meningkatkan isi sekuncup, fraksi
ejeksi, mengurangi derajat regurgitasi mitral, mengurangi tekanan atrium kiri,
mengurangi wall stress dan remodelling, mengurangi insiden aritmia serta meningkatkan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan penggunaan oksigen.9
7

Gambar 3 Pilihan terapi pada pasien dengan gagal jantung kronik simtomatik.6
Apabila kondisi pasien dihubungkan dengan algoritma yang dibuat oleh
pedoman ESC, tampak pasien telah mendapatkan terapi diuretik untuk mengurangi
gejala kongesti, juga telah diberikan penyekat enzim konversi angiotensin (ACEinhibitor) dalam dosis optimal, pemberian beta blocker dalam dosis optimal. Dengan
dosis obat yang optimal, pasien masih mengalami NYHA kelas fungsional II dengan
tingkat rawat inap ulang yang tinggi tiap tahunnya. Pada pasien fraksi ejeksi ventrikel
kiri diketahui 10 20 %. Pada EKG pasien didapatkan 0,12 detik sehingga berdasar
algoritma pasien terindikasikan untuk dilakukan pemasangan CRT-P atau CRT-D.

C. Parameter untuk Menilai Respon CRT


Kematian merupakan hal yang tidak terhindarkan, namun salah satu luaran terapi
adalah peningkatan survival. Beberapa studi menunjukkan berkurangnya angka
kematian pada pasien gagal jantung lanjut yang dilakukan pemasangan CRT.11
Dari sudut pandang pasien, sesak napas dan nyeri dada merupakan gejala yang
membatasi aktivitas dan merupakan hal tersering yang menyebabkan konsultasi ke
dokter. Pada salah satu studi menunjukkan CRT mengurangi gejala hanya pada pasien
dengan NYHA kelas fungsional III atau lebih, dan tidak menunjukkan dampak pada
pasien dengan NYHA kelas fungsional I atau II jika dibandingkan dengan terapi
medikamentosa yang optimal.12 Namun penelitian lain mengatakan terdapat 20-30%
pasien dengan NYHA kelas fungsional III atau IV yang tidak menunjukkan respon
terhadap CRT.13
Sejak pertama kali CRT dikenalkan, reverse remodeling ventrikel kiri telah
diidentifikasi sebagai salah satu kunci dari efek menguntungkan yang terkait CRT. Suatu
studi menunjukkan volume akhir sistolik ventrikel kiri (LVESV) yang berkurang sekitar
10% setelah CRT menghasilkan luaran yang sangat baik, dan pasien yang menunjukkan
reverse remodeling yang signifikan, memiliki angka bertahan hidup hampir 90% dalam
3 tahun dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami reverse remodeling hanya
50%.5 Dari penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat rawat inap ulang dan kematian
sangat berkaitan dengan perubahan pada LVESV; pasien yang masih menunjukkan
dilatasi pada saat LVESV memiliki angka kejadian tertinggi (sekitar 70% dalam 3 tahun)
dibandingkan dengan yang menunjukkan perubahan bermakna dari LVESV (sekitar 6%
dalam 3 tahun).6 Dengan menggunakan reverse remodeling sebagai luaran CRT, nilai
respon tampaknya independen terhadap nilai kelas fungsional NYHA, bahkan lebih
rendah pada pasien dengan gagal jantung lanjut. Gambar 4 menunjukkan bukti pada
penelitian-penelitian mengenai hal tersebut.7

Gambar 3. Perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri setelah CRT pada pasien
gagal jantung dengan kelas fungsional NYHA yang berbeda. Dibandingkan dengan
fraksi ejeksi sebelum CRT (batang biru), terdapat peningkatan fraksi ejeksi yang
bermakna pada seluruh studi setelah 3-6 bulan terapi (batang merah) atau selama
pemantauan yang lebih lama (batang hijau).7

D. Prediktor Respon CRT


Dalam memprediksi respon terapi maka mekanisme yang mendasari dari terapi
harus dimengerti dengan baik. Pemahaman mengenai pengaruh seluler, biologis, atau
faktor-faktor biohumoral dalam respon CRT masih terbatas namun diharapkan
berkembang untuk kedepannya.7
Aturan lebar kompleks QRS merupakan kunci yang menentukan respon terhadap
CRT. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan CRT secara progresif kurang
efektif dalam mengurangi LVESV, frekuensi rawat inap, dan laju kematian, seiring
dengan berkurangnya lebar kompleks QRS. Pada nilai 120-140 mdet, odds ratio untuk
semua penyebab kematian mendekati 1, dan tidak ada perubahan yang tampak pada
fraksi ejeksi maupun LVESV.13
10

Tabel 1 Outcome CRT pada berbagai kelas fungsional NYHA7

Salah satu penelitian menunjukkan EKG berpola LBBB tipikal merupakan


prediktor kuat untuk respon terhadap CRT.13 Manfaat CRT pada pola seperti LBBB,
mirip dengan pasien dengan LBBB pada model eksperimental. Indeks ekhokardiografi
disinkroni terbaik menunjukkan konfigurasi LBBB pada EKG merupakan prediktor
respon terhadap CRT. CRT menjadi kurang efektif dalam memperbaiki hemodinamik
pada model binatang RBBB.7 Pada pasien RBBB, CRT hanya memberikan sedikit
pengurangan angka rawat inap namun memiliki angka kematian yang lebih tinggi, atau
memiliki kejadian aritmia mayor yang lebih tinggi dibandingkan grup kontrol (hanya
ICD).9 Oleh karena itu, konfigurasi LBBB merupakan kriteria yang sangat penting, lebar
kompleks QRS hanya mengindikasikan beratnya gangguan konduksi.

11

Gambar 4. Kemungkinan untuk respon terhadap CRT.7


Hal lain yang merupakan prediktor respon CRT adalah jumlah jaringan ikat yang
merupakan prediktor kuat untuk non-respon. Beberapa pemeriksaan dibutuhkan untuk
mengukur lokasi dan besarnya jaringan ikat, diantaranya adalah MRI.7
Situasi setelah implantasi CRT penting untuk memprediksi respon terhadap CRT.
Kriteria yang sangat jelas adalah munculnya bukti elektrikal dan mekanikal dari
resinkronisasi. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya durasi QRS dan perubahan bentuk
QRS (indikasi adanya fusi dari gelombang aktivasi ventrikel kiri dan kanan). Fusi yang
sesuai membutuhkan posisi lead yang tepat. Penelitian menunjukkan pemacuan pada
dinding posterolateral dapat mencapai respon mekanis yang paling baik terhadap CRT.7
Melihat dari kasus yang telah dipaparkan, pasien laki-laki, usia 44 tahun dengan
diagnosis CHF FC II dengan low EF (1020 %) dan CAD 3 VD post CABG (iskemik).
Pasien sering mengalami sesak napas dan nyeri dada, serta sudah 20 kali menjalani
perawatan, pada pasien diputuskan untuk dilakukan pemasangan CRT-D, dan diharapkan
terjadi perubahan kelas fungsional yang signifikan dan berkurangnya dimensi ruang
jantung.

12

BAB IV
KESIMPULAN

Gagal jantung merupakan masalah utama kardiovaskuler yang menyebabkan morbiditas


dan mortalitas yang tinggi meskipun telah banyak kemajuan terapi gagal jantung.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi, elektrokardiografi serta ekokardiografi. Terapi farmakologis
telah berkembang pesat sebagai terapi awal pada gagal jantung kronik, namun beberapa
kasus tidak memberikan respon yang optimal. Cardiac Resynchronization Therapy
(CRT) merupakan salah satu terapi mekanik pada gagal jantung yang tidak mendapat
respon optimal dengan terapi farmakologis dan terdapat bukti adanya disinkroni
ventrikel.
Pada kasus ini, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan adanya keluhankeluhan yang mengarah pada gejala dan tanda gagal jantung, riwayat adanya coronary
artery disease dan sudah dikonfirmasi dari pemeriksaan ekokardiografi yang ditandai
penurunan fraksi ejeksi. Pada pemeriksaan elektrokardiografi juga ditemukan adanya
LBBB yang dapat menimbulkan disinkroni kontraksi ventrikel kiri dan kanan. Pasien
diterapi dengan terapi farmakologi sesuai guideline ESC dan dipulangkan dari
perawatan ketika gejala klinis perbaikan dengan perencanaan dilakukan pemasangan
CRT-D. Tata laksana aktual pasien pada kasus ini sudah sesuai dengan telaah literatur.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Aronow WS. Epidemiology, Pathophysiology, Prognosis, and Treatment of
Systolic and Diastolic Heart Failure. Cardiology in Review 2006; 14:10824
2. Scow DT, Smith ED Snaughnessy AF, Combination Therapy with
Angiotensin Converting Enzyme and Angiotensin Receptor Blocker in Heart
Failure, Am Fam Physician 2003; 68: 1795-8
3. Siswanto BS S, Munawar M, Kusmana D, Hanafiah A, Waspadji A. Predictor
of mortality and rehospitalization of acute decompensated heart failure at six
months follow up. Critical care and Shock. 2006;9:61-67
4. Eriksson P, Hansson PO, Eriksson H, Dellborg M. Bundle-branch block in a
general male population: The study of men born 1913. Circulation.
1998;98:2494-2500
5. Epstein AE, DiMarco JP, Ellenbogen KA, Estes NA, Freedman RA, Gettes
LS, et al, American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice G, American Association for Thoracic S, Society of
Thoracic S. Acc/aha/hrs 2008 guidelines for device-based therapy of cardiac
rhythm

abnormalities:

report

of

the

american

college

of

cardiology/american heart association task force on practice guidelines


(writing committee to revise the acc/aha/naspe 2002 guideline update for
implantation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices): Developed

14

in collaboration with the american association for thoracic surgery and


society of thoracic surgeons. Circulation. 2008;117:e350-408
6. Hanafy DA, Rahadian A, Tondas AE, Hartono B, Tanubudi D, Munawar M,
Yamin M, Raharjo SB, Y Y. Pedoman terapi memakai alat elektronik
kardiovaskular implan (aleka). Jakarta: Centra Communications; 2014:39-63.
7. Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, Bordachar P, Boriani G,
Breithardt OA, et al. 2013 esc guidelines on cardiac pacing and cardiac
resynchronization therapy: The task force on cardiac pacing and
resynchronization therapy of the european society of cardiology (esc).
Developed in collaboration with the european heart rhythm association
(ehra). European heart journal. 2013;34:2281-2329
8. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein
K, et al. Esc guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012: The task force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012 of the european society of cardiology. Developed
in collaboration with the heart failure association (hfa) of the esc. European
journal of heart failure. 2012;14:803-869
9. Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, Bordachar P, Boriani G,
Breithardt OA, et al. 2013 esc guidelines on cardiac pacing and cardiac
resynchronization therapy: The task force on cardiac pacing and
resynchronization therapy of the european society of cardiology (esc).
Developed in collaboration with the european heart rhythm association
(ehra). European heart journal. 2013;34:2281-2329
10. Yu CM, Hayes DL. Cardiac resynchronization therapy: State of the art 2013.
European heart journal. 2013;34:1396-1403
11. Dreger H, Maethner K, Bondke H, Baumann G, Melzer C. Pacing-induced
cardiomyopathy in patients with right ventricular stimulation for >15 years.
Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology :
journal of the working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac
cellular electrophysiology of the European Society of Cardiology.
2012;14:238-242

15

12. Curtis AB. Biventricular pacing for atrioventricular block and systolic
dysfunction. The New England journal of medicine. 2013;369:579
13. Moss AJ, Hall WJ, Cannom DS, Klein H, Brown MW, Daubert JP, Estes NA,
3rd, Foster E, Greenberg H, Higgins SL, Pfeffer MA, Solomon SD, Wilber D,
Zareba W, Investigators M-CT. Cardiac-resynchronization therapy for the
prevention of heart-failure events. The New England journal of medicine.
2009;361:1329-1338

16

Anda mungkin juga menyukai