Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

DEMAM TIFOID

disusun oleh:

dr. Meutia Gebrina

NPM: 1406666605

Pembimbing:

dr. Adityo Susilo, SpPD

DIVISI TROPIK INFEKSI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM CIPTO MANGUNKUSUMO

2017
BAB 1

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella enterica. Bakteri Salmonella diklasifikasikan lagi menjadi serovar Typhi, Paratyphi,
dan lain-lain. Demam tifoid dapat bersifat ringan sampai dengan kondisi yang berat. Infeksi
Salmonella menular melalui asupan makanan yang terkontaminasi.

Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah dengan insidens demam tifoid yang tinggi.
Insidens yang tinggi artinya adalah jumlah kasus >100 kasus dalam 100.000 individu per tahun.
Wilayah lain dengan insidens tinggi di antaranya adalah Asia Tengah, Asia Selatan, dan juga
Afrika Selatan.1

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Di Indonesia, demam tifoid


banyak ditemukan pada usia 3 sampai 19 tahun. Laporan dari Ditjen Bina Upaya Kesehatan
Masyarakat Depkes RI tahun 2010, demam tifoid menempati urutan ke-3 penyakit pada pasien
rawat inap di rumah sakit di Indonesia.1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Tahun 2008, demam tifoid terjadi pada 81,7 orang dari setiap 100.000 penduduk, dengan
angka kejadian terbanyak terjadi pada usia 2-15 tahun. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun
2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia adalah 1,7%, dengan prevalensi tertinggi pada usia
5-14 tahun.

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia, namun memang
gambaran tepatnya sulit diperkirakan karena sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya dan
masih banyak kasus yang underdiagnosed. Pada banyak negara, penyakit yang disebabkan oleh
Salmonella typhi lebih banyak daripada penyakit yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi,
dengan perbandingan 10:1. Infeksi yang disebabkan oleh S. paratyphi sedikit lebih ringan
daripada infeksi akibat S. typhi.

2.2 Etiologi

Bakteri dari genus Salmonella sebenarnya terdiri dari banyak spesies, yang semuanya
dapat beradaptasi baik di tubuh manusia ataupun hewan, sehingga menimbulkan penyakit. S.
typhi dan S. paratyphi merupakan spesies yang menyerang manusia, sementara serovar lainnya
menyerang saluran cerna berbagai hewan.

Nama Salmonella berasal dari nama penemu bakteri tersebut, yakni dr. Daniel Salmon.
Spesies Salmonella yang mengakibatkan demam tifoid adalah Salmonella enterica. Bakteri ini
terdiri dari banyak serovar yang di antaranya memiliki kemiripan 95-99%. Serovar dari
Salmonella enterica di antaranya adalah Salmonella enterica serovar Typhi (penyebab demam
tifoid, hanya dapat menyerang manusia, menular melalui makanan yang tercemar), Salmonella
enterica serovar Typhimurium (merupakan penyebab utama keracunan makanan, dapat
menyerang manusia dengan keparahan yang lebih ringan, dan juga menyerang tikus), dan
Salmonella enterica serovar Enteritidis (awalnya menyerang ayam ternak, yang kemudian bisa
menyerang manusia melalui rantai makanan).

2.3 Patogenesis

Bakteri Salmonella masuk bersama dengan makanan melalui saluran cerna. Di lambung,
sebagian bakteri dapat mati. Kemudian di usus, bakteri berkembang biak, dan apabila respons
imunitas humoral mukosa kurang baik, bakteri akan menembus sel-sel epitel lalu ke lamina
propria untuk berkembang biak di sana. Makrofag memfagosit bakteri dan membawanya ke plak
Peyeri ileum distal dan kelenjar getah bening mesenterika. Di dalam makrofag, kuman
Salmonella dapat bertahan hidup. Melalui duktus torasikus, bakteri akan masuk ke sirkulasi
darah mengakibatkan bakteremia pertama, bersifat asimtomatik. Bakteri akan menyebar ke organ
retikuloendotelial. Kuman akan meninggalkan sel fagosit lalu berkembang biak di luar sel, lalu
masuk kembali ke sirkulasi darah, sehingga terjadi bakteremia kedua yang bersifat simtomatik.

Diagram berikut menunjukkan proses patogenesis demam tifoid beserta komplikasinya.


2.4 Manifestasi Klinis

Infeksi Salmonella dapat menimbulkan salah satu dari tiga manifestasi klinis yang
berbeda. Tiga manifestasi tersebut adalah enterokolitis nontifoid, penyakit fokal nontifoid, dan
juga demam tifoid. Enterokolitis nontifoid muncul setelah masa inkubasi 6-72 jam, disertai
dengan tinja cair tanpa berdarah.

Gejala yang terjadi pada demam tifoid sangat bervariasi, sebanyak 10-15% merupakan
penyakit yang berat. Gejala tidak muncul sejak tubuh terinfeksi. Masa inkubasi demam tifoid
berkisar antara 10 sampai dengan 14 hari. Gejala minggu pertama serupa dengan infeksi pada
umumnya, yaitu demam, sakit kepala, anoreksia, nyeri-nyeri sendi, obstipasi atau diare. Pada
saat demam, suhu tubuh meningkat perlahan-lahan, dan muncul terutama pada sore sampai
malam hari. Pada minggu kedua, gejala demam tampak lebih jelas, disertai pula dengan
bradikardia relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, sampai
dengan gangguan kesadaran.
Kasus kecurigaan demam tifoid dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

1. Confirmed case
Pasien dengan demam persisten (38oC) selama 3 hari atau lebih dengan pemeriksaan
laboratorium ditemukannya S.typhi pada darah, sumsum tulang, cairan usus
2. Probable case
Pasien dengan demam persisten (38oC) selama 3 hari atau lebih dengan pemeriksaan
laboratorium seropositif atau positif pada test deteksi antigen tanpa kultur
3. Chronic carrier
Pasien yang mengekskresikan S.typhi pada feses atau urinnya selama lebih dari 1
tahun setelah onset demam tifoid akut, walaupun sebagian kecil pasien tanpa riwayat
demam tifoid sebelumnya

Terdapat sebuah sistem skoring yang dikembangkan oleh RHH Nelwan untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid. Demam tifoid dapat ditegakkan secara klinis apabila skor
mencapai angka lebih dari 13. Berikut adalah sistem skoring yang dimaksud.

Gejala Skor
Demam <1 minggu 1
Sakit kepala 1
Lelah 1
Mual 1
Anoreksia 1
Nyeri perut 1
Muntah 1
Gangguan motilitas usus 1
Insomnia 1
Hepatomegali 1
Splenomegali 1
Demam < 1 minggu 2
Bradikardia relatif 2
Lidah tifoid 2
Melena 2
Penurunan kesadaran 2

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan lab yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid. Pada pemeriksaan darah secara umum (darah rutin), yang khas adalah dapat
ditemukannya leukopenia. Namun pada kenyataannya, jumlah leukosit dapat normal atau bahkan
meningkat ketika ada infeksi sekunder. Dari hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia ataupun
limfopenia. Jumlah trombosit dapat mengalami sedikit penurunan.

Pemeriksaan Widal

Uji Widal merupakan uji adanya antibodi terhadap kuman Salmonella. Antibodi ini
disebut sebagai aglutinin. Terdapat 3 jenis aglutinin, yaitu aglutinin O (antibodi terhadap tubuh
kuman), aglutinin H (antibodi terhadap flagela), dan aglutinin Vi (terhadap simpai kuman),
namun yang dapat digunakan untuk diagnosis demam tifoid adalah aglutinin O dan H saja.

Pada kondisi akut, aglutinin O muncul terlebih dahulu (di hari 6-8) dibandingkan
aglutinin H (di hari 10-12). Aglutinin mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam, yang
kemudian meningkat dan mencapai puncaknya di minggu keempat. Aglutinin O masih ada
sampai 4-6 bulan, sementara aglutinin H masih ada sampai 9-12 bulan.

Uji Typhidot

Uji ini bertujuan mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap Salmonella. Pemeriksaan ini
akan menimbulkan hasil positif pada demam hari ke 2-3. IgG dapat bertahap selama 2 tahun.
Dalam periode tersebut, pemeriksaan IgM dapat memberikan hasil yang negatif.
Tubex test

Tubex test mendeteksi adanya IgM di dalam darah yang merupakan antibodi terhadap
antigen O9 yang ditemukan hanya pada S. typhi. Infeksi Salmonella lainnya, misalnya paratyphi
A, akan menunjukkan hasil negatif.

Kultur darah

Kultur darah bertujuan untuk menemukan mikroorganisme di dalam darah. Namun,


pemeriksaan ini sangat spesifik, sehingga apabila hasilnya negatif, tidak berarti menyingkirkan
demam tifoid. Hasil kultur negatif dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya:

1. Sudah diberikan antibiotik


2. Volume darah tidak cukup

Sebuah penelitian di India membandingkan berbagai modalitas pemeriksaan terhadap


demam tifoid. Berikut adalah tabel perbandingannya.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demam tifoid mencakup aspek farmakologis dan nonfarmakologis.


Penatalaksanaan nonfarmakologis di antaranya adalah istirahat, bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan dan mencegah komplikasi. Kebersihan individu dan lingkungan juga sangat perlu
dijaga agar tidak menularkan penyakit ke lingkungan sekitar. Selain itu, diet juga merupakan
faktor yang penting dalam penatalaksanaan demam tifoid. Asupan nutrisi yang kurang akan
menurunkan keadaan umum sehingga memperlama proses penyembuhan penyakit. Dahulu, diet
dimulai dengan bubur saring yang kemudian konsistensinya ditingkatkan perlahan-lahan sampai
diet biasa. Namun kemudian diketahui bahwa diet biasa (konsistensi padat) namun rendah
selulosa dapat diberikan kepada pasien demam tifoid dengan cukup aman.

Penatalaksanaan farmakologis untuk demam tifoid mencakup antimikroba dan


pengobatan simtomatik. Antimikroba yang diberikan untuk demam tifoid di antaranya adalah
sebagai berikut.

1. Kloramfenikol
Kloramfenikol digunakan dengan dosis 4x500 mg, baik peroral maupun intravena. Obat
diberikan sampai dengan 7 hari bebas demam.
2. Tiamfenikol
Tiamfenikol diberikan dengan dosis yang sama seperti kloramfenikol. Komplikasi
hematologi lebih rendah daripada kloramfenikol.
3. Kotrimoksazol
Kotrimoksazol diberikan dengan dosis 2x960 mg selama 2 minggu. Efektivitasnya
hampir sama dengan tiamfenikol.
4. Ampisilin, amoksisilin
Efektivitasnya lebih rendah. Dosis obat 50-150 mg/kgBB, diberikan selama 2 minggu.
5. Sefalosporin generasi ke-3
Obat golongan ini yang terbukti efektif adalah seftriakson, dengan dosis 1-4 gram per
hari. Obat diberikan drip dalam dekstrosa 100 ml selama 30 menit, selama 3-5 hari.
6. Fluorokuinolon
Terdapat beberapa obat yang dapat diberikan untuk demam tifoid, di antaranya:
- Norfloksasin 2x400 mg selama 14 hari
- Siprofloksasin 2x500 mg selama 6 hari
- Ofloksasin 2x400 mg selama 7 hari
- Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
- Levofloksasin 1x500 mg selama 5 hari
7. Azitromisin
Azitromisin dengan dosis 2x500 mg memiliki beberapa keuntungan dibandingkan obat
lainnya, misalnya mengurangi durasi rawat inap, mengurangi angka relaps, dan akan
terkonsenterasi di dalam sel
8. Kombinasi obat antibiotik
Kombinasi antibiotik diindikasikan pada pasien dengan toksik tifoid, peritonitis, atau
syok septik.

Tabel berikut menunjukkan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati demam tifoid.

Pasien demam tifoid dengan toksik tifoid atau dengan syok septik dapat diberikan pula
kortikosteroid berupa deksametason dengan dosis 3x5 mg. Pada ibu hamil, antibotik yang dapat
diberikan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.
Penatalaksanaan pada karier tifoid diklasifikasikan berdasarkan ada/tidak adanya
kolelitiasis dan skistosomiasis. Berikut adalah menunjukkan penatalaksanaan terhadap karier
tifoid.

- Tanpa kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan:
a. Ampisilin 100 mg/kgbb/hari + probenesid 30 mg/kgbb/hari
b. Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari + probenesid 30 mg/kgbb/hari
c. Trimetropim-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari
- Disertai kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen di atas selama 28 hari atau kolesistektomi + salah satu
regimen terapi dengan ciprofloxacin 750 mg/2 kali/hari atau norfloksasin 4000 mg/2
kali/hari
- Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius
Pengobatan ditujukan pada eradikasi S. Haematobium dengan prazikuantel 40 mg/kgbb
dosis tunggal atau metrifonat 7,5-10 mg/kgbb bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.
Setelah eradikasi S. Haematobium baru diberikan regimen terapi di atas.

2.7 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat berupa komplikasi intestinal dan ekstraintestinal.

1. Perdarahan intestinal
Infeksi di plak Peyeri dapat bersifat dalam dan kemudian dapat mengakibatkan
perdarahan. Lebih lanjut luka ini dapat mengakibatkan perforasi usus. Perdarahan minor
sering terjadi, mencakup 25% kasus demam tifoid, dan biasanya tidak membutuhkan
transfusi darah. Namun apabila terjadi perdarahan hebat, dengan volume darah 5
ml/kgBB/jam, pasien membutuhkan tatalaksana bedah segera. Keterlambatan
penanganan akan mengakibatkan mortalitas yang tinggi sampai 10-32%.
2. Perforasi usus
Sebanyak 3% dari pasien yang dirawat dapat mengalami perforasi usus. Gejalanya adalah
nyeri perut hebat, terutama di kanan bawah abdomen, yang kemudian nyeri menyebar ke
seluruh perut. Nyeri juga disertai dengan gejala ileus, misalnya bising usus melemah, dan
hilangnya pekak hati akibat pneumoperitoneum. Kondisi ini dapat mengakibatkan syok.
Pada kondisi ini pemberian antibiotik tidak hanya untuk kuman Salmonella, tetapi juga
untuk kuman-kuman anaerob. Biasanya digunakan antibiotik spektrum luas, yaitu
ampisilin dan kloramfenikol, yang juga disertai dengan antibiotik untuk kuman anaerob
misalnya gentamisin atau metronidazol.
3. Komplikasi hematologi
Apabila terjadi koagulasi intravaskular diseminata, dapat dilakukan pemberian transfusi
darah berupa trombosit ataupun faktor-faktor koagulasi.
4. Hepatitis tifosa
Dapat terjadi pembesaran hati yang juga disertai peningkatan enzim transaminase, yang
tidak relevan terhadap kenaikan bilirubin. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.
5. Pankreatitis tifosa
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase dapat membantu mendiagnosis komplikasi ini.
Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik intravena seperti seftriakson atau kuinolon.
6. Miokarditis
Kuman salmonella dapat secara langsung mengakibatkan perubahan pada
elektrokardiografi. Miokarditis dapat bersifat asimtomatik dan dapat pula simtomatik
seperti keluhan sakit dada, sesak napas, aritmia, atau bahkan sampai syok kardiogenik.
Apabila perubahan EKG bersifat menetap menunjukkan prognosis yang buruk.
7. Toksik tifoid
Gejala demam tifoid yang disertai dengan manifestasi neuropsikiatrik disebut sebagai
toksik tifoid, atau demam tifoid berat. Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa
penurunan kesadaran, mioklonus, skirofrenia, psikosis, mania, polineuritis perifer, dan
lain-lain. Kasus toksik tifoid diberikan antibiotik kombinasi kloramfenikol dan ampisilin,
serta ditambahkan deksametason 3x5 mg.
BAB 3

KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang endemis di Indonesia, dan
penegakan diagnosisnya sebenarnya bukanlah sesuatu yang mudah. Demam tifoid dapat
mengakibatkan kondisi yang sangat berat bahkan sampai terjadi kematian.

Penularan demam tifoid yang melalui rute fekal-oral sebenarnya merupakan kunci
penting pengendalian demam tifoid. Makanan dan air yang diasup harus dipastikan kebersihan
dan higienitasnya supaya tercemar dan mencegah penularan demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo D. Demam Tifoid. In: Setiati S AI, Sudoyo AW, Simadibrata K, Setiyohadi B,
Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI ed. Jakarta: InternaPublishing;
2015. p. 549-58.
2. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, Nawawi S, Kandun N. Program pengendalian demam
tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, Juni 2016,
99 108
3. Manangazira P, Glavintcheva I, Gonese GM, Bara W, Chimbaru A, Ameda I. Guidelines
for the management of typhoid fever. World Health Organization. July 2011.
4. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Salmonellosis. In: Harrisons Principles of Internal Medicine 17th ed. McGraw-Hill
Companies, 2008.
5. World Health Organization. Guidelines for the management of typhoid fever. 2011.
6. Zulkarnain I. Pathophysiology and diagnosis of thyphoid fever. JADE 2013.
7. Klochko A. Salmonellosis clinical presentation. Medscape 2016.
8. Brusch JL. Typhoid fever. Medscape 2016.
9. Maheshwari V, Kaore NM, Ramnani VK, Sarda S. A Comparative evaluation of different
diagnostic modalities in the diagnosis of typhoid fever using a composite reference
standard: a tertiary hospital based study in Central India. Journal of Clinical and
Diagnostic Research. 2016 Oct, Vol-10(10): DC01-DC04.

Anda mungkin juga menyukai