KONSEP DASAR
1. Definisi
Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus
yang disebabkan oleh Salmonella thypii, yang ditularkan melalui makanan, mulut
atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella thypii (Hidayat,
2006).
Menurut Nursalam et al. (2008), demam tipoid adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih
dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
Salmonella thypii ( Arief Mansjoer, 2000).
2. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah jenis Salmonella typhosa, kuman ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora.
b. Memiliki paling sedikit 3 macam antigen, yaitu antigen O (somatic yang
terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen
Vi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, biasanya terdapat zat
anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
Salmonella terdiri atas beratus-ratus spesies, namun memiliki susunan antigen
yang serupa, yaitu sekurang-kurangnya antgen O (somatik) dan antigen H
(flagella). Perbedaan diantara spesies tersebut disebabkan oleh faktor antigen dan
sifat biokimia.
Mekanisme masuknya kuman di awali dengan infeksi yang terjadi pada
saluran pencernaan, basil diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu masuk ke
dalam peredaran darah samapai keorgan-organ lain, terutama hati dan limpa.
Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga
1
organorgan tersebut akan membesar disertai dengan rasa nyeri pada perabaan,
kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar
keseluruh tubuh terutama dalam kelenjar limfoid usus halus, sehingga
menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak penyeri; tukak
tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam
disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada saluran pencernaan
disebabkan oleh kelainan pada usus.
3. Patofisiologi
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
2
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara
3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa
inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
3
4. Pathway
4
5. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi typhoid 10-20 hari. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan
terlihat lemah dan lesu disertai demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung
selama 3 minggu.
Minggu pertama peningkatan suhu tubuh naik turun. Biasanya suhu tubuh
meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari. Pada minggu kedua
suhu tubuh terus meningkat dan pada minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun
dan kembali normal.
Pada gangguan di saluran pencernaan, terdapat napas berbau tidak sedap, bibir
kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen
dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limfa
membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terjadi konstipasi tetapi juga
terdapat diare atau normal menurut Ngastiyah (2005). Umumnya klien
mengalami penurunan kesadaran yaitu apatis sampai somnolent, jarang terjadi
stupor, koma, atau gelisah kecuali terjadi penyakit berat dan terlambat
mendapatkan pengobatan.
6. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit
pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-
5
kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
B. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
C. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam
typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa
faktor:
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang
lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b.Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap Salmonella thypii terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
d.Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
6
D. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella thypii terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella thypii, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.
E. Pemeriksaan Tubox
Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit
demam tifoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman
Salmonella (lipopolisakarida O9) melalui pemeriksaan IgM Anti Salmonella
(Tubex TF). Pemeriksaan ini lebih spesifik, lebih sensitif, dan lebih praktis
untuk deteksi dini infeksi akibat kuman Salmonella thypii. Keunggulan
pemeriksaan Tubox TF antara lain bisa mendeteksi secara dini infeksi akut
akibat Salmonella thypii, karena antibody IgM muncul pada hari ke 3
terjadinya demam. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan ini
mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella (lebih dari
7
95%). Keunggulan lain hanya dibutuhkan sampel darah sedikit, dan hasil
dapat diperoleh lebih cepat.
7. Penatalaksanaan Medis
1. Perawatan
Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam hilang atau 14 hari untuk
mencegah komplikasi perdarahan usus.
Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya kondisi
bila ada komplikasi perdarahan.
2. Diet
Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang
kerja usus dan tidak mengandung gas, dapat diberikan susu 2 gelas sehari
Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam
selama 7 hari.
3. Obat-obatan
Obat-obat yang dapat di berikan pada klien dengan thypoid yaitu :
8
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari
antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan
carier.
9
4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-
15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48
jam.
8. Komplikasi
Komplikasi biasanya terjadi pada usus halus, namun hal tersebut jarang
terjadi. Apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak, maka dapat berakibat
fatal. Gangguan pada usus halus ini dapat berupa:
a. Perdarahan usus
Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit, perdarahan tersebut
hanya dapat ditemukan jika dilakukan pemeriksaan feses dengan bezidin. Jika
perdarahan banyak, maka dapat terjadi melena yang bisa disertai nyeri perut
dengan tanda-tanda renjatan. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu
ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian usus distal ileum.
b. Perforasi
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan
terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis
10
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang (defence muscular), dan nyeri tekan.
9. Prognosis
Prognosis demam tifoid pada anak baik bila pasien segera berobat. Mortalitas
pada pasien yang dirawat adalah + 6%. Prognosis ini menjadi buruk bila terdapat
gambaran klinis yang berat seperti demam tinggi (hiperpireksia) atau febris
kontinua, kesadaran sangat menurun (sopor, koma, atau delirium), terdapat
komplkasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, serta perforasi.
11
harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Pada minggu kedua, pasien terus berada dalam
keadaan demam. Saat minggu ketiga, suhu berangsur turun dan normal
kmbali pada akhir ketiga.
4) Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak
seberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen; jarang terjadi stupor,
koma, atau gelisah (kecuali bila penyakitnya berat dan terlambat
mendapat pengobatan). Selain gejala-gejala tersebut, mungkin dapat
ditemukan gejala lainnya, seperti pada punggung dan anggota gerak
dapat ditemukan reseola(bintik-bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minmggu pertama
demam), kadang ditemukan juga bradikardi dan eptistaktis pada anak
yang lebih besar.
5) Pemeriksaan fisik
a) Mulut: terdapat nafas yang berbau tidak sedap, bibir kering, dan
pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated
tongue), sementara ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan
jarang disertai tremor.
b) Abdomen: dapat ditemukan keadaan perut kembung
(meterorismus), bisa terjadi konstipasi, diare, atau normal.
c) Hati dan limfe: membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
6) Pemeriksaan laboratorium
a) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia,
limfositosis relatif, dan aneosinofilia pada permukaan yang sakit.
b) Kultur darah (biakan, empedu) dan widal.
12
Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam
darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering
ditemukan dalam urin dan feses
c) Pemeriksaan widal, pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat
anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih
merupakan kenaikan yang progesif.
d) Pemeriksaan dipstick
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas
sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial
yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam
tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita
yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan
tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia b.d. Penyakit/Peningkatan metabolisme tubuh
b. Diare b.d. Inflamasi gastrointestinal
c. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubih
d. Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan aktif
13
e. Nyeri akut b.d. agen cidera fisik
3. Intervensi
14
c. Mual dan muntah teratasi
d. Asupan makanan dan cairan
klien terpenuhi
4 Nyeri akut b.d. NOC : Pain Control NIC : Pain Management
agen cedera fisik
Setelah dilakukan asuhan a. Melakukan pengkajian nyeri secara
keperawatan selama 3x24 jam komprehensif termasuk lokasi,
diharapkan nyeri klien akan karakteristik, kapan dimulain atau
menurun dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
dan faktor pencetus
Indikator A T b. Observasi reaksi nonverbal dari
1. Mengetahui 3 4 ketidaknyamanan
kapan nyeri c. Gunakan teknik komunikasi
dimulai terapeutik untuk mengetahui
2. Mendiskrip 3 4 pengalaman nyeri klien
sikan faktor d. Kaji budaya yang mempengaruhi
sebab dan respon nyeri klien
akibat 3 4 e. Eksplore pengetahuan dan
3. Menggunak kepercayaan klien tentang nyeri
an tindakan f. Evaluasi bersama klien dan tenaga
pencegahan 3 5 kesehatan tentang ketidakefektifan
4. Menggunak kontrol nyeri di masa lalu
an g. Kontrol lingkungan yang dapat
analgesik memperburuk nyeri misalnya suhu
yang ruangan atau kebisingan
dianjurkan 3 5 h. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
5. Menggunak (farmakologi, nonfarmakologi dan
an sumber interpersonal)
yang i. Ajarkan tentang teknik non
tersedia 2 4 farmakologi
6. Mengenali j. Gunakan kontrol nyeri sebelum nyeri
gejala nyeri bertambah berat
Keterangan :
1 : Tidak Pernah
mendemonstrasikan
2 : Jarang
3 : Kadang-kadang
4 : Sering
5 : Konsisten
15
nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh Setelah dilakukan perawatan a. Kaji adanya alergi makanan
selama 3 x 24 jam status b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
nutrisi klien akan membaik
menentukan nutrisi yang dibutuhkan
dengan indicator :
c. Berikan diet tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
Indikator A T d. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
1. Intakae 3 4
kalori
nutrisi
2. Intake 3 4 e. Kaji kemampuan pasien untuk
cairan mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
3. Energy 3 4 f. Makan sedikit-sedikit namun sering
4. Hidrasi 3 4 untuk mencegah muntah
4. Implementasi
NO TANGGAL/JAM DX KEP IMPLEMENTASI
1 1 a. Memonitor suhu setiap 3 jam
b. Memonitor IWL
c. Memonitor watna dan suhu tubuh
d. Memonitor TTV
e. Memonitor Wbc, Hb, Hct
f. Memonitor intake dan output cairan
g. Berkolaborasi pemberian antipuretik
h. Berkolaborasi pemberian cairan IV
i. Mengompres pasien dengan air hangat
16
2 2 a. Menginstruksikan kepada keluarga untuk mencatat
warna, jumlah, frekuensi dan konsistensi dari feses
b. Mengevaluasi intake makanan yang masuk
c. Mengobservasi turgot kulit secara rutin
d. Menginstrusikan kepada keluarga untuk makan makanan
rendah serat, tinggi protein, dan tinggi kalori jika
memungkinkan
e. Berkolaborasi pemberian cairan IV
f. Berkolaborasi pemberian obat diare
3 3 a. Memonitor status hidrasi pasien
b. Mempertahankan catatan intake dan output cairan
c. Memonitor TTV
d. Memonitor masukan makanan dan cairan dan hitung
intake kalori harian
e. Berkolaborasi pemberian cairan IV
4 4 a. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, kapan dimulain atau
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan faktor pencetus
b. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri klien
d. Mengkaji budaya yang mempengaruhi respon nyeri klien
e. Mengeksplore pengetahuan dan kepercayaan klien
tentang nyeri
f. Mengevaluasi bersama klien dan tenaga kesehatan
tentang ketidakefektifan kontrol nyeri di masa lalu
g. Mengontrol lingkungan yang dapat memperburuk nyeri
misalnya suhu ruangan atau kebisingan
h. Melakukan penanganan nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan interpersonal)
i. Mengajarkan tentang teknik non farmakologi
j. Menggunakan kontrol nyeri sebelum nyeri bertambah
berat
17
5 5 a. Memonitor turgor kulit
b. Memonitor mual dan muntah
c. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan nutrisi
yang dibutuhkan
d. Memberikan diet tinggi serat untuk mencegah konstipasi
e. Memonitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
f. Mengkaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk makan sedikit-sedikit namun sering
untuk mencegah muntah
5. Evaluasi
P : Hentikan Intervensi
18
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta :
EGC
Nursalam, et al. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Bayi dan Klien. Jakarta:
Salemba
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
19