NIM : F1B012064
yang
terkait,
sehingga
pada
akhirnya
sebuah
kebijakan
publik
dapat
Lester dan Joseph, merumuskan 6 tahap dalam siklus pembuatan kebijakan. Langkah
pertama melakukan identifikasi permasalahan Pemerintah dan menyusun agenda, kedua
merumuskan kebijakan yang akan dibuat, ketiga menerapkan kebijakan yang akan
diputuskan, keempat melakukan evaluasi kebijakan, kelima menyusun penyempurnaan
kebijakan dan yang terakhir mengakhiri suatu kebijakan. Dari siklus tersebut jelas secara
berurut dengan sistematis Lester bersama Joseph merumuskan bagaimana siklus pembuatan
kebijakan seharusnya.
Stage 6
Policy
Termination
Stage 1
Agenda Setting
Stage 2
Stage 5
Policy
Formulation
Policy Change
Stage 4
Policy Evaluation
Stage 3
Policy
Implementation
kelompok sasaran yang terkena (dampak) dan dampak yang lebih luas dari kebijakan di
dalam masing-masing sektor sosial (hasil).
Hogwood dan Peters (1983) mengusulkan gagasan tentang suksesi kebijakan untuk
menggarisbawahi bahwa kebijakan baru berkembang dalam suatu lingkungan yang telah
dipadati dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum kebijakan
baru menjadi bagian utama dari lingkungan pembuatan kebijakan sistemik, sering kebijakan
lain bertindak sebagai hambatan utama bagi pengadopsian dan implementasi kebijakan baru
dalam ukuran tertentu. Pada saat yang sama, kebijakan membuat efek samping dan menjadi
penyebab masalah kebijakan berikutnya lintas sektor (misalnya, konstruksi jalan yang
mengarah ke masalah lingkungan) serta dalam sektor-sektor (misalnya, subsidi untuk produk
pertanian menyebabkan overproduksi) dan, karenanya, kebijakan baru itu sendiri
(kebijakan menjadi penyebab dirinya sendiri, Wildavsky 1979, 83-85).
I.
kebijakan. Karena masalah kebijakan yang nantinya akan dibuat agenda setting. Masalah
kebijakan (lester dan stewart,2000) adalah kondisi yang menimbulkan ketidak puasan
masyarakat sehingga perlu dicari penyelesaianya. Sedangkan agenda setting adalah suatu
tahap diputuskanya masalah yang menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat menjadi suatu
kebijakan (Ripley, 1985)
Agenda setting merupakan sebuah langkah awal dari keseluruhan tahapan kebijakan.
Sehingga agenda setting menjadi tahap yang sangat penting dalam analisis kebijakan. Agenda
setting adalah tahap penjelas tahapan kebijakan lainya. Didalam masalalah kebijakan dan
agenda setting ini nantinnya akan dapat diketahuai kearah mana kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah apakah berpihak kepada rakyat atau sebaliknya.Dalam penentuan kebijakan
public sangatlah dipengaruhi oleh factor lingkungan.
A. Agenda Setting: Pengakuan Masalah dan Seleksi Isu
Pembuatan kebijakan mensyaratkan pengakuan dari masalah kebijakan. Soal
pengakuan itu sendiri membutuhkan masalah sosial yang telah didefinisikan sebagai sesuatu
yang memerlukan kebutuhan intervensi negara. Langkah kedua bahwa masalah yang diakui
sebenarnya dimasukkan ke dalam agenda untuk mempertimbangkan secara serius aksi publik
4 | Teori Kebijakan Publik
(agenda setting). Agenda tidak lebih dari daftar subjek atau masalah ynag pejabat-pejabat
pemerintahan, dan orang-orang di luar pemerintah yang erat berhubungan dengan orangorang pejabat-pejabat, menaruh perhatian serius pada waktu tertentu. (Kingdom 1995, 3)
Hasil agenda setting adalah seleksi antara beragam masalah dan isu. Ini adalah proses
penataan masalah strategi kebijakan mengenai potensi dan instrumen yang membentuk
pengembangan kebijakan pada tahap berikutnya dari siklus kebijakan. Jika asumsi ini
diterima bahwa tidak semua permasalahan yang ada bisa menerima tingkat perhatian yang
sama dan beberapa tidak diakui sama sekali (Baumgartener dan Jones 1993, 10), pertanyaan
tentang mekanisme agenda setting muncul. Apa yang dianggap sebagai masalah kebijakan?
Bagaimana dan kapan masalah kebijakan menjadi agenda pemerintah? Dan mengapa masalah
lain dikecualikan dari agenda? Selain itu, siklus perhatian masalah, dan pasang surut solusi
berhubungan dengan masalah spesifik yang menjadi aspek relevan dari studi kebijakan yang
memiliki perhatian terhadap agenda setting.
Penelitian sistematis dalam agenda setting terlebih dahulu muncul sebagai bagian dari
kritik terhadap pluralisme dalam Amerika Serikat. Salah satu pendekatan klasik
mengemukakan bahwa perdebatan politik dan karenanya, agenda setting muncul dari konflik
antara dua aktor, dengan aktor politik yang kurang kuat yang ingin meningkatkan perhatian
pada masalah (ekspansi konflik) (Schattschneider, 1960). Yang lainnya menyarankan bahwa
agenda setting ialah hasil dari suatu proses penyaringan isu dan masalah, sehingga nonkeputusan (isu-isu dan masalah yang sengaja dikeluarkan dari agenda formal). Langkah
penting dalam proses agenda setting adalah memindahkan suatu masalah dari pengakuan
sering dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan atau aktor yang terkena
dampak ke agenda politik formal.
Pertemuan dari sejumlah faktor dan variabel yang berinteraksi menentukan apakah isu
kebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan. Faktor-faktor ini mencakup kondisikondisi material lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), dan aliran
dan siklus ide dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi masalah dan menghubungkan
mereka dengan solusi (proposal kebijakan). Dalam konteks itu, konstelasi kepentingan antara
aktor yang relevan, kapasitas lembaga yang bertanggungjawab untuk bertindak secara efektif,
dan siklus persepsi masalah publik serta solusi yang berhubungan dengan masalah yang
berbeda adalah sangat penting.
Sementara model agenda setting sebelumnya berkonsentrasi pada aspek ekonomi dan
sosial sebagai variabel penjelas, pendekatan yang lebih baru menekankan peran gagasan,
yang dinyatakan dalam wacana publik dan profesional (misalnya, komunitas epistemis; Haas
1992), dalam membentuk persepsi masalah tertentu. Baumgartner dan Jones (1993, 6)
memperkenalkan gagasan monopoli kebijakan sebagai monopoli dalam pemahaman politik
dari masalah kebijakan tertentu dan pengaturan kelembagaan yang memperkuat citra
kebijakan tertentu, mereka menyatakan bahwa agenda setting dan perubahan kebijakan
terjadi ketika monopoli kebijakan menjadi semakin diperdebatkan dan sebelumnya (atau
setidaknya non-aktif) aktor yang tidak berkepentingan dimobilisasi. Mengubah gambar
kebijakan sering terkait dengan perubahan tempat kelembagaan di mana masalah-masalah
diperdebatkan (Baumgartner dan Jones, 1993;2002).
1. Karakteristik Masalah Kebijakan
Untuk menelaah isi atau masalah kebijakan, menurut Ripley perlu dipahami terlebih
dahulu kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Contoh : Penaikan Harga Bahan Bakar
Minyak. Masalah kebijakan dalam penaikan harga BBM adalah dari segi naiknya harga
minyak mentah dunia yang berpengaruh pada perekonomian suatu Negara. Dengan naiknya
harga minyak mentah dunia, pemerintah memiliki permasalahan tentang BBM apakah
nantinya pemerintah akan menaikan atau akan tetap pada harga awal. Jika pemerintah
menaikan harga BBM masalah dari kebijakan akan luas dampaknya. Terutama dari segi
ekonomi mengingat daya beli masyarakat kita yang masih rendah. Sehingga masyarakat
miskin akan bertambah. Atau dari segi social, dengan biaya produksi yang tingggi para
pengusaha akan menekan biaya produksi, dan biasanya pengusaha dalam upay penekanaan
biaya produksi akan mem-PHK karyawan.
Dengan masalah yang vital dan menyangkut masyarakat banyak. Pemerintah dituntut
untuk bijak dalam mengambil kebijakan ini, karena masalah ini menyangkut masyarakat
banyak. Dan pemerintah itu sendiri.
a. Sifat Masalah-Masalah Kebijakan
Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatankesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik. Informasi
mengenai sifat, cakupan, dan kepelikan/keruwetan suatu masalah dihasilkan dengan
menerapkan prosedur analisis-kebijakan dalam memahami masalah. Perumusan masalah,
6 | Teori Kebijakan Publik
yang merupakan fase penelitian kebijakan di mana para analis menelaah berbagai formulasi
masalah yang saling berbeda dari para pelaku kebijakan, tidak dapat dipungkiri merupakan
kegiatan yang paling penting dari para analis kebijakan. Perumusan masalah merupakan
sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua
fase analisis kebijakan dewasa ini. Memahami masalah kebijakan adalah sangat penting,
karena para analis kebijakan kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan
masalah yang salah daripada karena memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang
tepat.
b. Ciri-ciri Masalah
Contoh-contoh berikut ini akan membuat kita berhati-hati untuk tidak menerima
begitu saja masalah kebijakan, karena pemahaman atau akal sehat sehari-hari acapkali
menyesatkan ketika kita berurusan dengan hal-hal rumit seperti masalah-masalah kebijakan.
Uraian berikut ini menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan:
Kondisi
eksternal
yang
menimbulkan
suatu
permasalahan
didefinisikan,
terhadap masalah tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang
konstan; dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah
dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang."
Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesatuan mekanis: melainkan sistem yang
bertujuan (teleologis), di mana (1) tidak ada dua anggotanya yang sama persis di dalam
semua atau bahkan setiap sifat-sifat atau perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap
anggota mempunyai pengaruh pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3)
sifat-sifat dan perilaku setiap anggota, dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara
8 | Teori Kebijakan Publik
keseluruhan, tergantung pada sifat-sifat dan perilaku paling tidak dari salah satu anggota
system; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu pengaruh yang tidak
bebas atau tidak independen pada sistem secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sistem
masalahkejahatan, kemiskinan, pengangguran, inflasi, energi, polusi, kesehatantidak
dapat dipecah ke dalam rangkaian yang independen tanpa menimbutkan risiko menghasilkan
solusi yang tepat terhadap masalah yang salah.
Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih besar
yaitu, berbeda secara kualitatifdaripada sekedar jumlah dari bagian-bagiannya. Suatu
tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah masing-masing batu tetapi tidak sebagai
suatu piramida.
2. Proses Membentuk Agenda Kebijakan
Agenda setting merupakan kegiatan membuat masalah publik menjadi masalah
kebijakan. Agenda,menurut Jones diartikan sebagai suatu istilah yang pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan suatu isu yang dinilai oleh publik perlu diambil suatu
tindakan.
Menurut Darwin, agenda adalah suatu kesepakatan umum,yang belum tentu tertulis tentang
adanya suatu masalah publik hang perlu menjadi perhatian bersama dan menuntut campur
tangan pemerintah untuk memecahkannya.
Sementara itu, proses penyusunan agenda kebijakan menurut Anderson secara runtut
adalah:
a. Private Problems
Penyusunan agenda kebijakan diawali dari suatu masalah (problems) yg muncul di
masyarakat. Masalah ini dapat diungkapkan oleh seseorang sebagai masalah pribadi (private
problem). Masalah private merupakan masalah-2 yg mempunyai akibat terbatas atau hanya
memyangkut satu ataunsejumlah kecil orang yg terlikbat langsung. Kemudian berkembang
lebih lanjut menjadi masalah publik (public problem).
b. Public Problems
Masalah publik diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat yang luas,
termasuk akibat-akibat yang mengenai orang -orangnyg terlibat secara tidak langsung.
9 | Teori Kebijakan Publik
Masalah publik tersebut kemungkinan akan berkembang menjadi isue kebijakan (policy
issues).
c. Issues
Issues menurut John,adalah problema publik yang saling bertentangan satu sama lain
(controversial public problems). Issues dapat diartian juga sebagai per bedaan-perbedaan
pendapat di masyarakat trntang persepsi dan solusi (policy action) terhadap suatu masalah
publik. Issues kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan
yang aktual dan potensial,tetapi juga mencermknkan pertentangan pandangan mengenai sifat
masalah itu sendiri. Dengan begitu, isu kebijakan merupakan hadil perbebatan tentang
definisi,klasifikasi,eksplanasi dan evaluasi masalah (Dunn,1995:97). Issues kebijakan tadi
kemudian mengalir dan masuk dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah merupakan
sejumlah daftar masalah di mana para pejabat publik menaruh perhatian yang serius pada
waktu tertentu. Agenda pemerintah,menurut Cobb dan Elder dalam John (1984), dibedakan
menjadi 2 macam,yaitu agenda sistemik dan agenda institusional.
d. Systemic Agenda
Agenda sistemik merupakan semua isu yang pada umumnya dirasakan oleh para
anggota masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut memang
berada dalam yurisdiksi kewenangan pemerintah. Semakin besar suatu isu maka akan
mencapai status pada agenda sistemik dan kemudian pindah ke agenda formal atau
institusional. Pada dasarnya, proses ini akan terjadi bila suatu masalah memiliki beberapa
karakteristik, seperti spesifisitas,signifikansi sosial, relevansi temporal, kompleksitas, dan
kategoris diutamakan.
e. Institusional agenda
Setelah adanya proses agenda sistematis dalam isu kebijakan baru masuk ke agenda
institutional yang merupakan serangkaian masalah yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritas.
Menurut Cobb dan Elder, tiga prasyarat yang dianggap diperlukan untukmasalah dalam
memperoleh status dalam agenda sistemik: (1) perhatian luas atau setidaknyakesadaran akan
masalah ini, (2) menjadi perhatian bersama dari sebagian ukuran darimasyarakat bahwa
beberapa
jenis
tindakan
yang
diperlukan
menjadi
obat
masalah
ini,
dan
(3) persepsi bersama bahwa masalah ini merupakan masalah yang tepat untuk beberapa satua
n pemerintah dan jatuh dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan proses agenda setting
terdiri dari tiga tahap menurut Davies, (1) inisiasi, (2) difusi, dan (3) pengolahan. Pada
tahapinisiasi, masalah publik menciptakan permintaan untuk tindakan. Pada tahap difusi,
tuntutanini dialihkan ke isu-isu bagi pemerintah. Pada tahap pengolahan, masalah diubah
menjadiagenda. Davies juga berpendapat bahwa banyak isu yang dimulai dalam pemerintah
sendiridaripada asumsi umum bahwa masalah muncul dalam masyarakat umum dan bekerja
dengancara mereka ke dalam agenda pemerintah.
Proses penyusunan agenda yang sudah dipilah pemerintah dan dimasukan menjadi
isumerupakan sesuatu yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Karena masalah publik
yangditangani pemerintah tak hanya meliputi satu aspek atau publik, sehingga proses
penangananmasalah tersebut menjadi suatu isu pemerintah dan kemudian dipecahkan
menjadi satukebijakan dapat memakan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses
tersebut, peranmedia dibutuhkan untuk mendengungkan masalah public yang ada. Seperti
yang diketahuimedia berfungsi mengamati atas suatu permasalahan (Harold laswell dalam
Alwi Dahlan,2008) kemudian di publikasikan agar masalah public dapat memperoleh
perhatian masyarakat.
B. Tipologi Isu Kebijakan & Perumus Agenda Kebijakan
Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem
masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu
kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual
atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat
dari masalah-masalah itu sendiri.
Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan
jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan. Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan
sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major
issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara
jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi
pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasiorganisasi pemerintah. Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat
harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan
11 | Teori Kebijakan Publik
mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada
tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan federal, negara bagian, dan
lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi
kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinisikan
kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua. Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional
issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaanpertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu
minor (minor issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyekproyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu
liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Jones menyatakan bahwa not all problems become public, not all public problems
became issues, and not all issues are acted on in government agenda. ( tidak semua masalah
dapat menjadi masalah umum/public, dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu,
dan tidak semua issu dapat menjadi agenda pemerintah).
Apabila menginginkan suatu kebijakan publik mampu memecahkan masalah publik
(public problem), masalah publik harus dirumuskan menjadi masalah kebijakan (policy
problems). Menurut Tomas Dye, tahapan mendefinisikan masalah itu disebut Agenda Setting.
Kondisi masyarakat yang tidak didefinisikan sebagai masalah dan alternatif solusi tidak
pernah diusulkan, tidak akan pernah menjadi isu kebijakan (policy issues). Kegiatan
menjadikan masalah publik (public problems) menjadi masalah kebijakan (policy problems)
sering disebut dengan penyusunan (agenda setting). Agenda setting adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam proses inilah
ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda
publik dipertarungkan.
Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting) dimulai dari kegiatan fungsional,
meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara pada
terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh
pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui
kebijakan publik. Produk riil dari proses penyusunan agenda pemerintah adalah
terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi opini publik, kemudian
menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan
penyelesaiannya.
12 | Teori Kebijakan Publik
Sederhana
Agak Sederhana
Rumit
Pengambilam ke-
Banyak
putusan
Tebatas
Terbatas
Tak terbatas
Alternatif
Konsensus
Konsensus
Konflik
Kegunaan (nilai)
Tidak pasti
Tidak diketahui
Hasil
Dapat dihitung
Tak dapat
Probabilitas
dihitung
Masalah yang agak sederhana (Moderately structured problems) adalah masalahmasalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang
secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tuiuan-tujuan
jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian, hasi1 dari alternatif-alternatif
itu belum tentu meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin
kesalahan yang diterima (risiko); hasil-hasil itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang berarti
bahwa probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang
agak sederhana adalah simulasi atau permainan kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan
"dilema tahanan." Dalam pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang
terpusat, di mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus
memperoleh pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan
hukuman. Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing
tahanan yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika tidak
ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan dengan
tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan kejahatan yang lebih
serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi jika hanya salah seorang yang
mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima hukuman percobaan, sementara yang lain
akan menerima hukuman maksimum. Pilihan "optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan
asumsi bahwa masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah
untuk mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun
hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman mereka.
Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika hasilnya tidak pasti
tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang "rasional" dapat memberi kontribusi
terhadap irasionalitas kolektif dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan
masyarakat secara keseluruhan.
Masalah
yang
rumit (Ill-structured
problems) adalah
masalah-masalah
yang
mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau
tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan
agak sederhana mencerminkan korsensus, maka karakteristik utama dari masalah-masalah
yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif
keebijakan dan hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan
risiko dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-hubungan
deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah. Contoh
14 | Teori Kebijakan Publik
masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh, yaitu, suatu masalah
di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan tunggal yang disukai oleh semua
orang. Sementara masalah yang sederhana atau agak sederhana mengandung urutan-urutan
pilihan yang transitif-yaitu, jika alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan
alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka alternatif A1 lebih disukai daripada
alternatif A3masalah yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif.
Kebanyakan masalah kebijakan yang paling penting cenderung rumit (ill-structured).
Satah satu pelajaran dari ilmu politik, administrasi publik, dan disiplin lainnya adalah bahwa
masalah-masalah yang, sederhana atau agak sederhana jarang dijumpai dalam lingkungan
pemerintahan yang kompleks. Sebagai contoh, merupakan hal yang tidak realistis untuk
menganggap keberadaan satu atau beberapa pembuat keputusan dengan pilihan (manfaat)
yang sama, karena kebijakan-kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang saling
berhubungan yang dibuat dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan di sepanjang periode
waktu yang panjang. Konsensus adalah jarang, karena pembuatan kebijakan publik
cenderung menimbulkan konflik di antara para pelaku kebijakan yang saling bersaing.
Akhirnya, merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau jarang untuk dapat
mengindentifikasi seluruh alternatif pemecahan masalah, dan hal ini untuk sebagian karena
hambatan-hambatan pada perolehan informasi, dan juga karena kadang-kadang sulit untuk
mencapai formulasi permasalahan yang memuaskan. Alasan mengapa masalah yang rumit
adalah sangat penting bagi analisis kebijakan publik telah diringkaskan sejumlah ilmuwan
sosial.
2. Siapa yang Merumuskan Agenda Kebijakan?
Kingdon menyatakan bahwa terdapat tiga pihak yang memiliki pandangan
atau perspektif berbeda mengenai siapa yang berhak untuk menyusun agenda setting, yaitu 1)
Pandangan elit, 2) Pandangan kaum pluralist, dan 3) Pandangan pemerintah daerah.
a. Perspektif Elitis
Stewart menyatakan bahwa kaum elit beranggapan bahwa kekuatan atau pengaruh
yang dimiliki oleh elit dapat mendominasi atau mempengaruhi pembuatan keputusan publik.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas R Dye pada buku The Irony of Democracy
menjelaskan bahwa elit akan berusaha untuk mempertahankan sistem yang ada,
yakni kekuasaan di tangan elit - dengan segala hal yang dapat dilakukannya. Kaum elit yang
15 | Teori Kebijakan Publik
dimaksud
yang
juga pihak yang memiliki kekuasaan dalam bisnis (elit bisnis) dan juga kekuasaan dalam
militer (elit militer).
b. Perspektif Pluralis
Kaum pluralist beranggapan bahwa pihak yang memiliki kepentingan (interest group)
memiliki dominasi untuk menyusun agenda untuk pembuatan kebijakan. Mereka
beranggapan bahwa agenda setting merupakan proses yang terjadi akibat aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh kelompok kepentingan yang dominan. Kelompok dominan tersebut akan
memberikan upaya dalam bentuk tekanan terhadap pemerintah agar keeinginannya terdapatdi
agenda
setting,
atau
bahkan
memberikan
tekanan
agar
keinginannya
sampai
Subgovernment
menganggap
bahwa
terdapat
aktor
dalam
menetapkanagenda setting, yaitu: 1) Anggota kongres pada komite atau lembaga yang isunya
dipilih; 2)Birokrat yang bertanggung jawab untuk kebijakan tersebut; 3) kelompok-kelompok
yangmengalami isu yang di angkat. Douglas Cater menyatakan bahwa hubungan antara
ketigaaktor tersebut saling terikat, namun subgovernment bekerja dengan serangkaian
hubungan pertukaran, dimana penilaian yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok klien
diperdagangkan untuk sumbangan kampanye untuk anggota kongres, informasi dari pejabat
instansi untuk anggota kongres diperdagangkan untuk apropriasi yang menguntungkan
keagen dari kongres, dan pertukaran personil terjadi antara klien kelompok dan lembaga.
Peran apa yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses penyusunan agenda
pemerintah (Agenda Setting)?
1. Let it happen (membiarkan hal itu terjadi):
a. Pemerintah cenderung berperan sebagai pihak yang pasif dalam penyusunan
agenda pemerintah.
b. Pemerintah hanya berusaha untuk menjaga saluran informasi komunikasi dan
penyelesaian masalah publik berjalan secara alami, tanpa intervensi aktif dari
policy maker.
c. Kondisi ini terjadi juga karena pembuat kebijakan tak mampu menjangkau
individu atau kelompok yang terkena akibat dari suatu masalah karena terlalu
kompleks dan luasnya ruang lingkup masalah tersebut.
d. Masalah publik masuk menjadi agenda pemerintah bersifat pluralistik, tergantung
bagaimana publik menyampaikan sejumlah tuntutan (atau kuantitas tekanan pada
pembuat kebijakan).
e. Kelompok yang diuntungkan adalah yang memiliki akses informasi dan
karenanya secar aktif melakukan komunikasi politik dengan pembuat kebijakan.
f. Model ini tidak sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan, karena
realitasnya
adalah
kelompok2
dalam
masya.
Tidak
memiliki
akses
masya.
yang
biasanya
tidak
mampu
melakukan
akses
Issue itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan
kesadaran masyarakat.
Adanya persepsi dan pandangan atau pendapat publik yang luas, bahwa beberapa
tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah itu.
Adanya persepsi yang sama dari masyarakat, bahwa masalah itu adalah merupakan
suatu kewajiban dan tanggung jawab yang syah dari beberapa unit pemerintahan
(Cobb dan Elder dalam Jones 1984).
Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah
selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam beberapa fase
berikut (Jones, 1996):
1. Problem definition agenda pada fase ini masalah publik dirumuskan dan mendapat
perhatian serius dari pembuat kebijakan.
2. Proposal agenda pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah menuju
pemecahan masalah.
3. Bargaining agenda pada fase ini usulan-usulan kebijakan ditawarkan untuk
memperoleh dukungan secara aktif dan serius.
4. Continuing agenda pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus
pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi kebijakan publik.
Kondisi Nondecision-making
Peter Bachrach dan Morton Baratz (dalam Islamy, 2005) memberikan pendapat
mengenai tindakan untuk tidak membuat keputusan (nondecision-making) yang diambil oleh
para pembuat kebijakan merupakan suatu cara dengan mana tuntutan-tuntutan untuk
melakukan perubahan terhadap pengalokasian keuntungankeuntungan dan hak-hak istimewa
pada masyarakat dapat ditekan atau dihilangkan bahkan sebelum sempat disampaikan, atau
dibiarkan tetap tertutup; atau dimatikan sebelum hal tersebut memperoleh kekuatan untuk
bisa muncul dalam arena pembuatan kebijakan yang sesuai. Penolakan tersebut mungkin
dapat dilakukan dengan cara:
1. Menggunakan kekuatan (kekuasaan) tertentu, atau dengan kata lain menggunakan
tekanan;
2. Mungkin juga menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (ataupun para pembuat
kebijakan) untuk menolak pembuatan keputusan dan kebijakan tersebut; dan
3. Karena untuk mempertahakan status-quo sehingga pembuat keputusan tidak
merumuskan kebijakan dengan alasan untuk menghindari atau menghilangkan konflik
yang terjadi diantara para pembuat kebijakan.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendapat Thomas Dye
mengenai definisi kebijakan publik yaitu bahwa membuat keputusan ataupun tidak membuat
keputusan pada dasarnya sama-sama membawa konsekuensi bagi masyarakat.
II.
berubah ke dalam program pemerintah. Formulasi kebijakan dan adopsi mencakup definisi
tujuan apa yang harus dicapai dengan kebijakan dan pertimbangan alternatif tindakan
yang berbeda. Beberapa penulis membedakan antara perumusan (alternatif untuk tindakan)
19 | Teori Kebijakan Publik
dan adopsi akhir (keputusan formal untuk mengambil kebijakan). Karena kebijakan tidak
akan selalu diformalkan ke program terpisah dan pemisahan yang jelas antara formulasi dan
pengambilan keputusan sangat sering mungkin terjadi, kita memperlakukan mereka sebagai
sub tahapan satu panggung dari siklus kebijakan.
Dalam upaya mencoba untuk memperhitungkan gaya, pola, dan hasil yang berbeda
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, studi tentang tahap kerangka siklus
telah sangat berorientasi teori. Selama dua dekade terakhir ini, koneksi berbuah dengan teori
keputusan organisasi yang telah berkembang. Pada saat yang sama, studi perumusan
kebijakan telah lama sangat dipengaruhi oleh upaya untuk memperbaiki praktek dalam
pemerintah dengan memperkenalkan teknik dan alat perumusan keputusan yang lebih
rasional. Hal ini menjadi paling nyata selama masa kejayaan perencanaan politik dan
kebijakan reformasi di 1960-an dan 1970-an. Analisis kebijakan adalah bagian dari koalisi
reformasi yang terlibat dalam pengembangan alat-alat dan metode untuk mengidentifikasi
kebijakan yang efektif dan hemat biaya (Wittrock, Wegner, dan Wollmann 1991, 43-51;
Wollmann 1984).
Ilmuwan politik berpendapat (Lindblom 1968; Wildavsky 1979) bahwa pengambilan
keputusan tidak hanya terdiri dari pengumpulan informasi dan pengolahan (analisis), tetapi
terutama terdiri dari resolusi konflik dalam dan diantara aktor-aktor publik dan swasta dan
pemerintah departemen (interaksi). Dalam hal pola interaksi antar departemen, Mayntz dan
Scharpf (1975) berpendapat bahwa biasanya mengikuti jenis koordinasi negatif (berdasarkan
urutan partisipasi departemen yang berbeda setelah program kebijakan awal telah disusun)
bbukan dari usaha ambisius dan kompleks koordinasi positif (penyatuan solusi kebijakan
yang disarankan sebagai bagian dari penyusunan), sehingga mengarah ke proses khas
pembuatan kebijakan yang reaktif. Tujuan ilmu politik berbasis analisis kebijakan ialah untuk
menyarankan pengaturan kelembagaan yang akan mendukung pembuatan kebijakan yang
lebih aktif.
Pemerintah dan PNS lebih tinggi tidak sepenuhnya lepas dari masyarakat yang lebih
luas ketika merumuskan kebijakan; sebaliknya, mereka terus-menerus berinteraksi dengan
aktor-aktor sosial dan membentuk pola hubungan yang agak stabil (jaringan kebijakan).
Sedangkan keputusan akhir dari kebijakan tertentu tetap berada di wilayah lembaga yang
bertanggungjawab (terutama kabinet, menteri, DPR), keputusan ini didahului oleh proses
negosiasi pembentukan kebijakan lebih atau kurang informal, dengan menteri departemen
20 | Teori Kebijakan Publik
(dan unit dalam departemen), kelompok kepentingan terorganisir dan, tergantung pada sistem
politik, anggota parlemen terpilih dan rekan mereka sebagai pemain utama. Sejumlah
penelitian kebijakan dengan yakin berpendapat bahwa proses-proses dalam tahap awal
pembuatan keputusan sangat mempengaruhi hasil akhir dan sangat sering membentuk
kebijakan yang lebih besar daripada proses akhir dalam arena parlemen (Kenis dan
Schneider, 1991). Selain itu, penelitian ini menjadi argumen yang kuat dalam membantah
model rasional perumusan keputusan. Alih-alih pilihan rasional antara kebijakan alternatif,
hasil pengambilan keputusan dari tawar-menawar antara aktor-aktor yang beragam dalam
subsistem kebijakan yang hasil yang ditentukan oleh sumber daya konstelasi dan kekuatan
(substensial dan kelembagaan) kepentingan aktor yang terlibat dan proses penyesuaian yang
saling menguntungkan partisan. Dengan demikian, membentuk gaya khas (Lindblom
1959,1979) dari pembentukan kebijakan semacam ini, terutama dalam alokasi anggaran
(Wildavsky 1964,1988).
A. Alternatif / Solusi Masalah Kebijakan
masalah
dalamsuatu
lingkup
masalah?ataukah
hanya
ditujukan
padacontohnya semata?
sejumlah
tujuan
dan
sasaran
yang
yang
dipergunakan
oleh
ditetapkan,
aktor-aktor
kebijakan
dalam
sehingga
dapat
publik.
Alternatif kebijakan dapat dikatakan sebagai tahapan politik dengan mengajukan berbagai
solusi potensial bagi masalah yang dihadapi pembuat kebijakan publik. Pilihan yang paling
mungkin diputuskan bukan untukmengambil tindakan khusus, melainkan untuk penemuan
penyelesaian masalah dengan jalan yang terbaik.
Cara Menentukan Alternatif atau Solusi Masalah Kebijakan
Tahap I : Mengidentifikasi Alternatif Kebijakan
Dalam situasi masalah yang sama, mungkin saja diidentifikasi alternatif yang
pernah dibuat, tetapi diperlukan juga kreativitas analis kebijakan untuk
menemukan
alternatif-alternatif
kebijakan
yang
baru
dan
diidentifikasi
Tujuan:
kebijakan
Menggunakan analogi
Menilai
alternatif
berdasarkan
kemampuan
darimasing-masing
alternatif
dalam
berdasarkan
kemampuan
masing-masing
alternatif
dalam
Social
Rationality, berkaitan
dengan
perbandinganalternatif
berdasarkan
sosial,atau
dengan
kata
lain,
apakah
suatu
alternatif
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi
penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh
Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau aktor tidak
resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi
mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan
mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba
untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal
kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya perlu memahami pula sifat-sifat
semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang
atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta
saling mengawasi.
Interaksi Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik
Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang
sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri.
Interaksi aktor dan kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang
dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas. Menurut howlett dan
Ramesh dalam Madani (2011:36) menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah
mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik
berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di
dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor
kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai
konsern terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap
perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat ahli, maka
dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang
terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan publik. Aktor kebijakan ini dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat,
kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.
Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa: Dengan
memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor yang terlibat
27 | Teori Kebijakan Publik
dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan
macam dan tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah
kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua
kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan
yang lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).
C. Model-Model Perumusan Kebijakan
Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para
ahli antara lain : Model Institusional, Model ElitMassa, Model Kelompok, Model Sistem
Politik, Model Rational-Comprehensive, Model Incremental, Model Mixed-Scanning.
Model-model ini bertujuan untuk menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang sangat
rumit, dan sekaligus mudah dimengerti. Untuk pemahaman lebih lanjut maka dapat
dijabarkan model tersebut sebagai berikut :
1. Model Institusional. Model ini merupakan model yang tradisional dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada
struktur organisasi pemerintah karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada
lembaga-lembaga pemerintah. Maka kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan
dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah.
2. Model Elit Massa. Menurut
sebagai
pelayan
rakyat
melainkan
lebih
bertindak
sebagai
group)
yang
dapat
mengajukan
dan
memaksakan
kepentingan-
dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya
dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah
yang akan digunakan untuk:
6. Komprehensif : Merupakan model yang terkenal dan juga paling luas dterima
dikalangan para pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya model ini terdiri dari
beberapa elemen yaitu :
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan (intended
goal). Model Rational Comprehensive didasarkan atas teori ekonomi atau konsep
manusia ekonomi (consept of an economic man). Dalam model ini konsep rasionalitas
sama dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan
yang rasional itu adalah suatu kebijakan yang sangat efisiendimana rasio antara
nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi
dibandingkan dengan alternative-alternatif yang lain.
7. Incramental : Model penambahan, yang berawal dari kritik terhadap model rasional
komprehensif akhirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalisme. Dalam
aplikasinya, bahwa ia berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut
dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model rasional
komprehensif. Model ini bersifat deskriptif, artinya bahwa model ini menggambarkan
secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan.
8. Mixed Scanning : Model ini merupakan upaya mengambungkan antara model rasional
dengan model incremental. Amitai Etzioni (1967) memperkenalkan teori sebagai
suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental,
menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang
menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusankeputusan pokok dan menjalankannya seteleh keputusan itu tercapai. Pada dasarnya
model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. (Nugroho, 2004:124) .
D. Faktor-Faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan
a. Faktor Politik.
Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor
kebijakan (policy aktor), baik aktor aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri,
panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, media
massa, LSM dan lain-lain).
b. Faktor Ekonomi / Finansial.
Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan
menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam
negara/daerah, seperti yang kita ketahui bersama, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah
kepada Kabupaten/Kota di Indonesia, sejak saat itu pula semua daerah sudah berlomba-lomba
untuk membuat/memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan
keuangan daerah, sehingga banyak pula daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami
defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan masyarakat.
c. Faktor Administrasi / Organisatoris.
pembangunan tersebut, maka disinilah yang diperlukan sekali Sinergi antara masyarakat dan
pemerintah sehingga mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama dalam membangun
daerahnya.
f. Faktor Pertahanan dan keamanan.
Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara/daerah, misalnya dalam pembangunan
gerbang batas negara/daerah yang kadang-kadang dapat menimbulkan konflik antar daerah
dan masyarakat, maka itu yang sangat diperlukan disini adalah melakukan sosialisasi dengan
berbagai pihak yang terkait dan koordinasi antara negara dengan negara atau antara daerah
yang berbatasan.
III.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat
administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya
diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai: Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusankeputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar
dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran
ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan
untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.Implementasi kebijakan merupakan tahap
yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat
teoritis. Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: Policy implementation is the
application by government`s administrative machinery to the problems. Kemudian Edward
32 | Teori Kebijakan Publik
III (1980:1) menjelaskan bahwa: policy implementation, is the stage of policy making
between establishment of a policyAnd the consequences of the policy for the people whom
it affects.
Berdasakan penjelasan di atas,
Tachjan (2006i:25)
menyimpulkan
bahwa
Alokasi sumber daya, yaitu bagaimana anggaran didistribusikan? Personil yang mana
yang akan mengeksekusi program? Unit organisasi yang mana yang akan
bertanggungjawab untuk eksekusi?
kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu inovasi konseptual yang paling penting dari
penelitian kebijakan pada 1970-an. Sebelumnya, pelaksanaan kabijakan ini tidak diakui
sebagai tahap yang terpisah di dalam atau elemen dari proses pembuatan kebijakan.
Awalnya, implementasi dipandang dari perspektif yang kemudian disebut pendekatan
top-down. Pelaksanaan studi generasi pertama sehingga berbagi pemahaman hirarki, topdown pemerintahan, setidaknya sebagai ukuran normatif bagi penelitian hasil implementasi.
Penelitian Implementasi tertarik dalam mengembangkan teori tentang pekerjaan apa. Salah
satu cara untuk melakukan ini adalah menilai efektivitas berbagai jenis instrumen kebijakan
33 | Teori Kebijakan Publik
berdasarkan teori tertentu tentang hubungan sebab dan akibat. Instrumen kebijakan telah telah
diklasifikasikan ke dalam peraturan, keuangan, informasi, dan alat kebijakan organisasi.
Perspektif bottom-up menyarankan sejumlah reorientasi analisis yang kemudian
diterima dalam penerapan yang lebih luas dan literatur kebijakan. Pertama, peran sentral
lembaga implementasi dan personil mereka dalam membentuk hasil kebijakan yang
sebenarnya telah mengakui; khususnya pola mengatasi tuntutan yang beragam dan
bertentangan yang sering dikaitkan dengan kebijakan adalah tema penelitian yang berulang.
Kedua, fokus pada kebijakan tunggal dianggap sebagai masukan ke dalam proses
pelengkapan implementasi, jika tidak diganti, oleh perspektif yang dianggap kebijakan
sebagai hasil dari pelaksanaan hasil dari interaksi pelaku yang berbeda dan program yang
berbeda.
Singkatnya, penelitian implementasi memainkan peran utama dalam memicu
penelitian kebijakan melangkah jauh dari suatu negara terpusat, yang terutama tertarik dalam
meningkatkan internal administrasi dan kapasitas pemerintah dan meningkatkan desain
program dan implementasi. Sejak akhir tahun 1980-an, penelitian kebijakan terutama tertarik
pada pola interaksi negara-masyarakat dan perhatiannya telah bergeser terhadap pengaturan
institusional bidang organisasi dalam masyarakat yang lebih luas (misalnya, kesehatan,
pendidikan, atau bagian ilmu). Jaringan kebijakan dan negosiasi mode koordinasi antara
aktor-aktor publik dan swasta tidak saja (analitis) dianggap sebagai pola meresap yang
mendasari pembuatan kebijakan-kontemporer, namun juga (normatif) dianggap sebagai cara
yang efektif dari pemerintahan yang mencerminkan kondisi modern masyarakat. Studi
pembuatan kebijakan semakin
mancakup semua jenis aktor di bidang organisasi dan peraturan, dengan demikian
mengurangi kerangka siklus kebijakan.
A. Aktor-aktor yang Terlibat dalam Implementasi
Proses implementasi program dalam sebuah kebijakan, tentunya ada aktor-aktor yang
terlibat. Aktor-aktor itu bisa berasal dari masyarakat sipil, pemerintahan,maupun pihak
swasta. Masyarakat sipil misalkan organisasi komunitas, organisasi inisering merancang
kebijakan politik yang berlabel masyarakat. Dengan sendirinyamasyarakat, baik itu individu
maupun kelompok terlibat dalam implementasi programyang telah legislasi. Kemudian, aktor
dari pemerintahannya seperti birokrasi yangmenjadi agen administrasi yang paling
34 | Teori Kebijakan Publik
begitu,
unit-unit
birokrasi
menempati
posisi
dominan
dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik
dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan. Birokrasi sebagai aktor
adminitratif yang memiliki tanggungjawab dalam implementasi kebijakan. birokrasi
merupakan aktor yang memiliki wewenang dalam implementasi kebijakan publik karena
birokrasi merupakan lembaga yang diberi mandat dari legeslatif.
2. Organisasi Komunitas
Organisasi ini adalah target dari implementasi kebijakan itu sendiri. Organisasi
komunitas melakukan teknik implementasi kebijakan, yaitu untuk mengukur kesesuaian
peleksanaan kebijakan.
3. Badan Legislatif
Legeslatif bisa dikatakan sebagai aktor imlementasi kebijakan ketika mereka ikut
serta dalam membuat kebijakan yang bersifat spesifik dan detail. Hal ini untuk
mempengaruhi adminitrasi.
4. Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan, lembaga peradilan sebagai aktor implementasi kebijakan, didalam
kebijakan jika terjadi kesalahan adminitratif atau adanya pengaduan dari masyarakat yang
merugikan masyarakat yang menjadi perkara hukum.
5. Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah kelompok non-pemerintah yang memiliki kekuasaan
untuk mempengaruhi dan menekan kebijakan, dan orientasi dari kelompok ini adalah
keuntungan.
dan van Horn menyatakan bahwa standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur
sehingga dapat terwujud. Apabila standar dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka akan terjadi
multi tafsir dan akan mudah menimbulkan konflik di antara para pelaksana sebagai
implementor. Selain itu perlu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik
sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human
resources). Dalam banyak kasus, selain sumber daya, implementasi sebuah program perlu
dukungan dan koordinasi dengan lembaga lain. Dengan demikian, diperlukan koordinasi dan
kerjasama antar lembaga untuk keberhasilan suatu program.
Kelebihan dan kelemahan pendekatan top-down
Kelebihan:
Masyarakat hanya sebagai objek dari sebuah kebijakan sehingga peran pemerintah
lebih optimal dan masyarakat tidak ikut bekerja.
Kelemahan:
Seringkali pendekatan top down tidak tepat sasaran karena salah dalammerumuskan
solusi atas masalah publik.
Model instruksi/SOP yang serta kontrol prosedur yang terlalu ketat seringkali
membuat implementasi kebijakan gagal mencapai tujuan kebijakan.
Relevansi Implementasi
Kebijakan yang relevan dengan pendekatan ini yaitu kebijakan yang dapatmereduksi
masalah- masalah yang sifatnya kontroversial, berdampak luasterhadap kelangsungan
mayoritas masyarakat serta masalaha publik yang tidakdapat didesentralisasikan. Contoh:
kebijakan tentang subsidi BBM, kebijakan tentang ekspor impor,kebijakan tentang hubungan
luar negeri, kebijakan tentang ketahan pangan, dan lain-lain.
Pendekatan top down serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up serupa dengan pendekatan the market
approach (Lester
Stewart,
2000:108).
Pendekatan top
and
control dilakukan secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusankeputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus
dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang berada pada level bawah (street level
bureaucrat).
2. Pendekatan Bottom Up (Implementasi Kebijakan Bottom Up)
Bertolak
Masyarakat akan lebih kreatif karena masyarakat bukan hanya sebagai objekdalam
kebijakan melainkan sebagai subjek dalam kebijakan.
Kelemahan:
Dari
segi
waktu,
pendekatan
ini
memakan
waktu
yang
lebih
lama
memberikan
layanan
kesehatan,
lain
sebagainya,
pendidikan,
serta
masalahnya. Oleh karena itu model Top-down kemudian diikuti oleh model sudut pandang
Bottom-up dan model Sintesis (Wayne Parson, 2008)
Sudut pandang Model Sintesis muncul sekitar tahun 1982 dengan tokohnya yang
popular Randall P. Ripley & Grace Franklin. Model Sintesis ini memadukan kedua model
sebelumnya (Top-down dan Bottom up) dengan tekanan utama yang bisa beragam, mulai
pada jaringan interaksi antar aktor pelaksana sampai pada pendekatan sosiologis, dan lainlain. Karenanya, dalam beberapa literature juga disebut sebagai teory atau model Hybrid.
Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories) ini disempurnakan melalui pendekatan policy
subsystem, yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu sama lain dalam proses politik dan
kebijakan. Pada proses ini dibatasi oleh parameter yang relative stabil serta kejadian di luar
subsistem.
Kelebihan dan kelemahan pendekatan sintesa
Kelebihan:
Kelemahan:
Relevansi implementasi
Kebijakan yang menekankan pada karakteristik wilayah dan daerah sasarankebijakan,
karena
campuran
antara
pendekatan
top
down
yang
didesentralisasikandalam
Model sintesa (hybrid) ini pada hakekatnya ingin menegaskan bahwa tidak ada model
perspektif yang bisa diterapkan pada setiap masalah implementasi. Tiap katagori kebijakan
memiliki kekhasan tersendiri, sehingga pendekatannya pun harus disesuaikan dengan kondisi
tersebut. Model sintesa ini sangat beragam mulai dari yang hanya mengemukakan variable
yang dianggap mempengaruhi implementasi. Kategori model sintesis ini sungguhnya
dilakukan hanya untuk memeprmudah pengkatagorian berbagai pendekatan studi
implementasi yang muncul belakangan.
C. Instrumen Implementasi Kebijakan
Karena sifat dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang begitu
kompleks, maka tidak ada satu instrumen yang dapat dijadikan solusi tunggal untuk
menyelesaikan semua masalah yang ada. Pemerintah dapat menerapkan berbagai jenis
instrumen sesuai dengan peruntukannya untuk menyelesaikan masalah masalah kebijakan
yang berbeda. Berdasarkan taksonomi instrumen yang dilakukan oleh Michael Howlett dan
M. Ramesh (1995), terdapat sepuluh jenis instrumen kebijakan yang kemudian
dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu : instrumen sukarela (Voluntary Instruments),
instrumen campuran (Mixed Instruments), dan instrumen wajib (Compulsory Instruments).
Ringkasan spektrum instrumen kebijakan
Kategori
Alat
kebijakan
Ciri-ciri
Pilihan
pemerintah
Pilihan
Rasional
Keuntungan
Kerugian
Instrumen
sukarela
Tidak ada
atau
keterlibatan
pemerintah
sedikit,
meninggalka
n pasar,
keluarga,
atau
organisasi
sukarela;
efisiensi
biaya,
menghormat
i normanorma
budaya;
penggunaan
akan
keluarga
dan
masyarakat
Menyediak
an barang
dan
jasa tanpa
imbalan
keuangan
gratifikasi
emosional,
berharap
usaha
akan
dibalas
Tidak ada
biaya untuk
pemerintah,
kecuali
memilih
untuk
memberikan
hibah atau
subsidi
Instrumen
lemah untuk
mengatasi
masalah
ekonomi
; adil;
Terkadang
membutuhka
n bantuan
keuangan
organisasi
sukarela
Kebebasan
pemaksaan
negara
dan
kendala
ekonomis
Mengeluarkan
peran mereka
baik
secara tidak
langsung
dengan
memotong
kembali
pada layanan
pemerintah,
atau
langsung
dengan
mempromosik
an mereka
kendala
anggaran
pemerintah
telah ditekan
untuk
memperluas
kepuasan
dalam
perbuatan
untuk
agama,
etika,
Merata,
hemat biaya,
fleksibel,
respon cepat
dari
organisasi
Sebagian
besar tidak
berlaku
untuk
banyak
ekonomi dan
meningkat
karena lebih
banyak
privatisasi
Instrumen
Campuran
(MBIs)
Keterlibatan
izin
Pemerintah
diberbagai
tingkat,
meninggalka
n keputusan
akhir untuk
pelaku
swasta;
menawarkan
manfaat dari
kedua
instrumen
sukarela dan
wajib
Pasar
organisasi
sukarela
didukung
oleh
kekuasaan
koersif
pemerintah
informasi
dan nasihat
nasihat
hanya
melibatkan
sedikit
kegiatan
pemerintah
dari
penyebaran
informasi
Subsidi
Semua
bentuk
transfer
keuangan
untuk
menghargai
sebuah
diinginkan
Kegiatan
(misalnya,
taksi
industri
peran mereka;
perluasan
kesejahteraan
negara secara
bertahap
peran mereka
berkurang
atau alasan
politik
pemerintah;
mempromosi
kan
semangat
komunitas,
solidaritas
sosial, dan
peran serta
Instrumen
yang paling
penting,
mengandalkan
pemerintah
secara luas;
sering
disertai dengan
instrumen
lainnya
(misalnya,
regulasi,
subsidi)
Tidak
menawarkan
imbalan atau
menjatuhkan
sanksi;
konsultasi
antara
pejabat
pemerintah
dan
perwakilan
industri
menjadi
bentuk baru
nasihat
Kepentinga
n diri
sendiri
Efektif dan
efisien dalam
menyediakan
barang
pribadi
Membantu
orang
membuat
pilihan
informasi
Instrumen
heterogen:
hibah (dari
penerimaan
umum pajak
pemerintah);
pajak
insentif
(belanja tidak
langsung
pemerintah);
voucher
Voucher
memungkin
kan pilihan
relatif
bebas di
pasar
Sebuah titik
awal yang
baik jika
solusi
masalah
tidak pasti
; mudah
untuk
mengubah
atau
meninggalka
n; murah;
konsisten
dengan
norma-norma
demokrasi
liberal
Lebih mudah
untuk
menentukan
apakah
preferensi
antara
pemerintah
dan orangorang
bertepatan;
fleksibel
untuk
sosial
masalah;
mungkin
menjadi
birokrasi;
tidak
costefficient
jika
tergantung
pada
dana
pemerintah
Tidak dapat
secara
memadai
memberikan
kolam
renang
umum atau
umum
barang
barang; adil
Sebuah
instrumen
pasif,
masyarakat
tidak
memiliki
kewajiban
untuk
menanggapi
Sulit untuk
membangun
dan
membutuhka
n
pembiayaan
dan
persetujuan
legislatif
(kecuali
insentif
pajak);
taksi
melalui
peraturan
yang
memperbai
ki
harga untuk
melindungi
persaingan
dari
mengendar
ai
harga)
meningkatkan
konsumsi
barang dan
jasa
pemerintah
yang
diinginkan;
pinjaman
dengan suku
bunga rendah
Lelang hak
milik
membangu
n pasar
dengan
menciptaka
n
kelangkaan
buatan
dan harga
yang
memungkin
kan
mekanisme
untuk
pekerjaan
Kombinasi
regulasi dan
instrumen
pasar
Orang
dapat
menyesuaik
an
perilaku
menanggap
i
mengubah
keadaan
Pajak dan
biaya
Pajak
sering
Retribusi
adalah
dibebankan
pada
mengelola
(misalnya,
insentif pajak
tidak dibatasi
oleh
ketersediaan
dana dan
tidak perlu
persetujuan
anggaran);
mendorong
inovasi;
murah dalam
mengelola
dan
menegakkan;
politik dapat
diterima
(manfaat
terkonsentras
i, biaya
tersebar)
Mudah untuk
membangun;
fleksibel
untuk
mengatur
langit-langit;
membatasi
beberapa
penggunaan
sumber daya
untuk
mereka yang
tidak
alternatif;
pasar dibuat
Keputusan
menurut
permintaan
dan (artifisial
terbatas)
pasokan;
meningkatka
n
pendapatan;
kepastian
(hanya
jumlah tetap
Kegiatan
yang tidak
diinginkan
terjadi)
Mudah untuk
membangun;
mahal dalam
pengumpula
n
informasi;
waktu-lag;
mungkin
berlebihan
dan
menyebabka
n durian
runtuh; sulit
untuk
menghilangk
an; insentif
pajak tidak
adil
Dapat
menyebabka
n spekulasi;
biaya
penegakan
tinggi
(misalnya,
mereka tidak
bisa
membeli
hak dipaksa
untuk
menipu);
adil
(misalnya,
biaya
tambahan
membeli
hak,
mengalokasi
kan
sumber daya
sesuai
dengan
kemampuan
untuk
membeli
yang
diperlukan)
Membutuhk
an informasi
Instrumen
Wajib
Petunjuk dan
sangat
instrumen
koersif,
menyisakan
sedikit
keleluasaan
untuk
menargetkan
individu,
kelompok,
atau
organisasi
undangundang
digunakan
sebagai
insentif
negatif
(atau
sanksi)
untuk
mengekang
tingkah
laku yang
tidak
diinginkan
; pemakai
biaya
biasanya
digunakan
untuk
kontrol
negatif
eksternalita
s
regulasi
kombinasi
dan instrumen
pasar;
pemerintah
menetapkan
biaya
(pajak),
kekuatan pasar
menentukan
target
aktivitas
Cukup
ketat dalam
fokus
(misalnya,
aturan,
izin,
larangan,
hukum
perintah,
dan
perintah
eksekutif);
beberapa
undangundang,
sebagian
besar
administrati
f
fatwa;
mengatur
harga dan
standar luas
barang dan
jasa
kita
konsumsi
Pemerintah
membutuhkan
atau
mengatur
kegiatan
tertentu
atau perilaku
pada bagian
dari
individu dan
lembaga
melalui
melanjutkan
Proses
administrasi;
peraturan
ekonomi
Harga
mengendalika
n untuk
memperbaiki
ketidakseimba
ngan dirasakan
dalam
pasar;
peraturan
sosial
fokus pada
menyediakan
insentif
keuangan
untuk
mengurangi
Kegiatan
yang tidak
diinginkan;
retribusi
mempromosi
kan inovasi
(misalnya,
cari
untuk
alternatif
yang lebih
murah);
fleksibel;
perlu
penegakan
kurang;
meningkatka
n pendapatan
pemerintah
Kegagalan
untuk
melakukan
nya
Hasil
penalti
Memerlukan
sedikit
informasi
kepada
membangun;
mudah untuk
melarang
Kegiatan
yang tidak
diinginkan;
administratif
efisien dan
efektif;
memungkink
an koordinasi
dan
perencanaan;
prediktabilita
s dan
cocok untuk
tanggapan
langsung;
politik
menarik jika
ingin
tindakan
yang cepat
dan pasti
yang luas
untuk
mengatur
tingkat yang
benar
pajak atau
biaya;
sumber
informasi
dapat disalah
gunakan
selama
proses; tidak
efektif dalam
masa krisis;
tidak
mengizinkan
perencanaan
(seperti
bergantung
pada
keputusan
pribadi);
mungkin
tinggi
biaya
administrasi
Mendistorsi
sukarela atau
swasta
kegiatan,
mempromosi
kan
inefisiensi
ekonomi
(misalnya,
pembatasan
masuk ke
dan keluar
dari industri
mengurangi
kompetisi);
menghambat
inovasi dan
kemajuan
teknologi
(misalnya,
ada insentif
untuk
mengurangi
perilaku di
bawah
ditentukan
standar);
fleksibel
masalah yang
lebih luas,
memotong
industri dan
lembaga;
lingkungan
perlindungan
hibrida
perusahaan
publik
Milik
negara,
semiotonom;
beberapa
derajat
kepemilika
n publik
(antara
pribadi
perusahaan
dan
biasa saja
birokratis
lembaga);
beberapa
derajat
pemerintah
langsung
pengelolaa
n
Tren di
perusahaan
publik
adalah untuk
meningkatkan
privatisasi
untuk
mencegah
kehilangan
uang besar
pemerintah
memiliki
kontrol atau
langsung
pengelolaa
n
Alat
kebijakan
ekonomi
yang efisien
(jika tidak
menghasilka
n sektor
swasta
barang atau
jasa yang
relevan);
membutuhka
n informasi
lebih sedikit
untuk
membangun;
sederhana
administrasi
pengaturan;
keuntungan
bagi
pendanaan
masyarakat
ketentuan
langsung
Dasar dan
instrumen
yang paling
banyak
digunakan
Langsung
melakukan
tugas
yang
bersangkutan,
memberikan
barang-barang
dan layanan
dana yang
tersedia
dari
masyarakat
perbendaha
raan
Informasi
yang rendah
diperlukan
untuk
membangun;
memungkink
an kapasitas
bangunan;
menghindari
masalah
dengan
Ketentuan
langsung;
(tidak
menganggap
keadaan
individu,
teknologi
baru
membutuhka
n
perubahan
peraturan);
ketidakpastia
n dalam
interpretasi;
tinggi
administrasi
dan
biaya
penegakan
Sulit untuk
latihan
pengendalia
n efektif atas
perusahaan;
efisien
dalam
operasi
(tidak ada
kebangkruta
n);
Sifat
monopoli
mungkin
lulus biaya
inefisiensi
kepada
konsumen
Fleksibel
(karena
resmi
prosedur
operasional);
mempromosi
kan politik
gangguan;
arahan kacau
; biaya tidak
sadar
(tidak ada
kompetisi)
menginternal
isasi
biaya
transaksi
; pengiriman
antar
program
mungkin
menderita
dan
konflik antar
lembaga
Edwards III
Van Meter
dan Van Horn
Komunikasi
Komunikasi
Standar dan
Sasaran
Grindle
Mazmanian
dan Sabatier
Kejelasan dan
konsistensi
47 | Teori Kebijakan Publik
Kebijakan
Sumber
daya
Sumber
daya
Sumber daya
Pelaksana
program
Sumber yang
disediakan
Disposisi
Disposisi
Karakteristik
agen pelaksana
Karakteristik
lembaga dan
penguasa
Kepatuhan
dan daya
tanggap
Struktur
birokrasi
Struktur
birokrasi
Hubungan
antar
organisasi
Letak
pengambil
keputusan
Kondisi
sosial, politik,
dan ekonomi
Kepentingan
kelompok
sasaran
Tipe manfaat
Derajat
perubahan
Kekuasaan,
kepentingan,
dan strategi
aktor
tujuan
Aturan
keputusan dari
Ketepatan
alokasi
sumber daya
Rekruitmen
agen
pelaksana
Dukungan
publik
Sikap dan
sumber-sumber
yang dimiliki
konstituen
Dukungan
Penguasa
Komitmen
dan
leadership skill
implementor
Keterpaduan
hierarkis
Kesulitan
teknis
Keragaman
perilaku
Persentase
target
group
Derajat
perubahan
Akses formal
pihak luar
Kondisi
sosioekonomi
dan
teknologi
Menurut Hogwood dan Gun, bahwa kebijakan publik mengandung resiko untuk gagal.
Keduanya membagi dua pengertian tentang kegagalan kebijakan (policy failure), yaitu :
1. Tidak terimplementasikan (Non Implementation).
Suatu kebijakan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana dan pada akhirnya
berakibat pada implementasi yang tidak efektif dan sulit untuk dipenuhi.
2. Implementasi yang tidak berhasil (Unsucessfull Implementation).
48 | Teori Kebijakan Publik
Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu
telah dilaksanakan sesuai dengan rencana namun karena ada faktor eksternal akhirnya
kebijakan itu tidak berhasil untuk mencapai hasil yang dikehendaki. Kebijakan
memiliki resiko gagal karena faktor berikut :
a. Pelaksanaan buruk (Bad Excecution)
b. Kebijakan itu sendiri buruk (Bad Policy)
c. Kebijakan itu sendiri yang bernasib buruk (Bad Luck).
Peter mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan oleh beberapa factor:
1. Kekurangan informasi sehingga menyebabkan gambaran gambaran yang kurang tepat
mengenai isi kebijakan yang sesungguhnya. Gambaran yang kurang jelas ini
berdampak buruk kepada objek kebijakan maupun kepada pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakan dan hasil dari kebijakan itu. Hal ini juga menghindari
kesalahpahaman dan agar menyamakan persepsi antara kedua belah pihak.
2. Isi kebijakan yang samar-samar dan tidak jelas atau tidak tegas. Implementasi
kebijakan bisa gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau
ketidaktepatan intern maupun ekstern kebijakan itu sendiri dan menunjukkan adanya
kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber
daya.
3. Tidak cukupnya dukungan dalam melaksanakan kebijakan. Implementasi kebijakan
akan sangat sulit apabila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan terhadap
kebijakan tersebut.
4. Pembagian potensi yang bersifat diferensiasi tugas dan wewenang para aktor
implementasi kebijakan. Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor
implementasi dan dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
IV.
paling tidak mengurangi beban masalah. Selama tahap evaluasi dari siklus kebijakan, hasil
kebijakan yang diharapkan bergerak ke pusat perhatian. Alasan normatif yang masuk akal
bahwa akhirnya pembuatan kebijakan harus dinilai terhadap tujuan dimaksud dan dampak
yang membentuk titik awal evaluasi kebijakan. Namun, evaluasi tidak hanya terkait dengan
tahap akhir dalam siklus kebijakan, yang baik berakhir dengan penghentian kebijakan atau
mendesain ulang berdasarkan persepsi masalah yang diubah dan agenda setting. Pada saat
49 | Teori Kebijakan Publik
yang sama, penelitian evaluasi membentuk sub disiplin terpisah dalam ilmu kebijakan yang
berfokus pada hasil yang diharapkan dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan.
Studi evaluasi tidak terbatas pada tahap tertentu dalam siklus kebijakan, melainkan perspektif
yang diterapkan untuk seluruh proses pembuatan kebijakan dan dari perspektif yang berbeda
dalam hal waktu (ex, ente, ex post).
Selain itu, peran evaluasi dalam proses kebijakan jauh melampaui ruang lingkup studi
evaluasi ilmiah. Evaluasi kebijakan
perdebatan politik. Oleh karena itu, evaluasi ilmiah telah dibedakan dari evaluasi administrasi
yang dilakukan atau diprakarsai oleh administrasi publik dan evaluasi politik yang dilakukan
oleh beragam aktor dalam arena politik, termasuk masyarakat luas dan media (Howlett dan
Ramesh, 2003).
Evaluasi dapat menyebabkan pola beragam dari pelajaran kebijakan, dengan implikasi
yang berbeda dalam hal mekanisme umpan balik dan potensi me-restart proses kebijakan.
Satu pola kebijakan sukses akan diperkuat, sebuah pola yang membentuk ide inti dari proyek
percontohan yang disebut (atau model percobaan), di mana ukuran tertentu terlebih dulu
diperkenalkan dalam (teritorial, substantif, atau temporal) konteks terbatas dan hanya
diperpanjang jika evaluasi mendukung. Namun, daripada meningkatkan berdasarkan bukti
pembuatan kebijakan, proyek percontohan dapat mewakili alat yang digunakan untuk tujuan
menghindari konflik; tindakan diperebutkan tidak akhirnya diadopsi tapi diambil sebagai
proyek percontohan dan ditunda sampai suasana politik sudah matang bagi tindakan yang
lebih tahan lama.
A. Pendekatan Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda,
tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan
evaluasi. Dunn membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain :
1. Evaluasi Semu
Evaluasi semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metodemetode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil
tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang
manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak
kontroversial.
2. Evaluasi Formal
Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi
mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara
formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi
formal adalah bahwa tujuandan target diumukan secara formal adalah merupakan ukuran
yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
3. Evaluasi Keputusan Teoritis.
Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid
mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku
kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari
perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi
merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.
B. Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan
Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat
dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi
yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan
dibandingkan dengan tipe evaluasi lain. Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi
praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut
atau karena penyebab lain.
6.
secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin
timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang
51 | Teori Kebijakan Publik
kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi
tersebut. Anderson dalam Winarno mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi
dalam proses evaluasi kebijakan, antara lain:
a. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan
tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana
tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses
penetapan kebijakan.
b. Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara
tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks.
Sringkali ditemukan suatu perubahan terjadi , tetapi tidak disebabkan suatu tindakan
atau kebijakan.
c. Dampak
kebijakan
yang
menyebar.
Tindakan-tindakan
kebijakan
mungkin
kebijakan
publik,
dalam
tahapan
pelaksanaannya
menggunakan
pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman
ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam
menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho menjelaskan
bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui
tindakan publik. William N. Dunn mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan
yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan terdiri atas:
1. Efektifitas (effectiveness). Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil
(akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.
Efektifitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur
dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya.
2. Efisiensi (efficiency). Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari
rasionalitas ekonomi adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha, yang
terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.
3. Kecukupan (adequacy). Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan menumbuhkan adanya masalah.
Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan
dan hasil yang diharapkan.
4. Perataan (equity). Erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan
menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda
dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang
akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya
biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kebijakan yang dirancang untuk
mendistribusikan pendapatan, kesempatan pendidikan, atau pelayanan pendidikan
kadang-kadang didistribusikan atas dasar kriteria kesamaan. Kriteria kesamaan erat
berhubungan dengan konsepsi yang saling bersaing, yaitu keadilan atau kewajaran
dan terhadap konflik etis sekitar dasar yang memadai untuk mendistribusikan risoris
masyarakat.
5. Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat
tertentu. kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan
semua kriteria lainnya efektifitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan masih gagal jika
belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan
dari adanya suatu kebijakan.
6. Ketepatan (appropriateness). Kriterian ketepatan secara dekat berhubungan dengan
rasionalitas, substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak
53 | Teori Kebijakan Publik
berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara
bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan
kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Secara umum, Dunn mengggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik
sebagai berikut :
Tipe Kriteria
Pertanyaan
Efektifitas
Efisiensi
Kecukupan
Perataan
Responsivitas
Ketepatan
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua,
Yogyakarta; Gadjah Mada University Press Hal. 610
D. Tujuan Evaluasi Kebijakan
Tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H. Weiss (1972, p.4)
adalah : To measure the effects of a program against the goals it set out to accomplish as a
means of contributing to subsequent decision making about the program and improving
future programming. The effect emphasizes the outcomes of the program, rather than its
efficiecy, honesty, morale, or adherence to rule or standars. The comparison of effects with
goals stresses the use of explicit criteria for judging how well the program is doing.
Weis secara tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi lebih pada pengukuran
efek dan dampak sebuah program/kebijakan pada masyarakat, dibanding pengukuran atas
efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan lain-lain yang terkait dengan standar-standar
pelaksanaan. Tujuan kebijakan itu sendiri adalah untuk menghasilkan dampak/perubahan,
sehingga wajar jika untuk itulah evaluasi dilakukan. Adapun yang membedakan antara
54 | Teori Kebijakan Publik
analisis studi implementasi dengan analisis studi evaluasi dapat kita lihat yang dinyatakan
oleh Parsons : evaluation eximines how public policy and the people who deliver it may
be appraised, audited, valued and controlled while the study of implementation is about
how policy is put into action and practice (1995, p. 461).
Meskipun dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang membedakan
analisi evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang menurut Weiss (p. 6-7)adalah :
1. Evaluasi ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis problem
sebagaimana yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset, sebab si
pembuat keputusanlah yang berkentingan terhadap hasil evaluasi.
2. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting
akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan oleh
program.
Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri sebagaimana pada studistudi lain.
3. Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan mengevaluasi tujuan
Atau dari pernyataan Browne & Wildavsky : Evaluators are able to tell us a lot about
what happened which objectives, whose objectives, were achieved and a little about why
the causal connections (Hill & Hupe, 12), yang merupakan wilayah analisis implementasi.
Karena meski tujuan dan dampak saling berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai
melalui seperangkat tujuan yang dirumuskan secara tegas.
Ada pun tujuan evaluasi antara lain:
1. Mengukur efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan
membandingkan kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut.
Mengukur
efek
menunjuk
pada
perlunya
metodologi
penelitian.
Sedang
Eksplanasi yang
logis
atas
realitas
pelaksanaan
sebuah
pelaksanaan program
akunting untuk melihat dan mengukur akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misalnya
seberapa jauh program yang dimaksud mampu meningkatkan pendapatan masyarakat,
adakah dampak yang ditimbulkan telah sesuai dengan yang diharapkan, adakah
dampak yang tak diharapkan.
E. Dimensi Evaluasi
Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari
studi dievaluasi dalam kebijakan public. Dimensi tersebut adalah:
1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orangorang yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan
memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas dan
efisiensi, dlsb yang terkait.
2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta
kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat
(efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan
tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll
Menurut Palumbo dimensi kajian pada studi evaluasi mencakup keseluruhan siklus di
dalam proses kebijakan, dari saat penyusunan desain kebijakan, saat implementasi, hingga
saat selesai diimplementasikan. Kajian dalam studi evaluasi kebijakan meliputi dimensidimensi:
melibatkan
ukuran-ukuran
kuantitatif
sebagai
pengukuran
kinerja
implementasi.
3. Evaluasi Sumatif yang dilakukan pada saat kebijakan telah diimplementasikan dan
memberikan dampak . Tujuan evaluasi Sumatif ini adalah untuk mengukur bagaimana
efektifitas kebijakan/program tersebut member dampak yang nyata pada problem
yang ditangani.
F. Dampak Kebijakan/Program
Ada 4 tipe utama dampak program :
1. Dampak pada kehidupan ekonomi : penghasilan, nilai tambah, dan sebagainya.
2. Dampak pada proses pembuatan kebijakan: apa yg akan dilakukan pada kebijakan
berikutnya.
3. Dampak pada sikap publik : dukungan pada pemerintah, pada program, dan
sebagainya.
4. Dampak pada kualitas kehidupan individu, kelompok dan masyarakt yg bersifat non
ekonomis.
a. Unit-unit sosial terdampak
Sebuah kebijakan/program dapat membawa dampak pada berbagai unit sosial.
Dampak individual : biologis (penyakit, cacat fisik dsb karena kebijakan teknologi nuklir
57 | Teori Kebijakan Publik
misalnya), psikologis (stress, depresi, emosi dsb), lingkungan hidup (tergusur, pindah rumah
dsb), ekonomis (naik turunnya penghasilan, harga, keuntungan dsb), sosial serta personal.
1. Dampak organisasional : langsung (terganggu atau terbantunya pencapaian tujuan
organisasi), tak langsung (peningkatan semangat kerja, disiplin)
2. Dampak pada masyarakat (meningkatnya kesejahteraan; dan sebagainya)
3. Dampak pada lembaga dan sistem sosial (meningkatnya kesadaran kolektif
masyarakat; menguatnya solidaritas sosial, dlsb)
b. Faktor-Faktor Kegagalan Dampak
Sebuah kebijakan/program bisa saja gagal memperoleh dampak yang diharapkan
meski proses implementasi berhasil mewujudkan output sebagaimana yang dituntut oleh
program tersebut, namun ternyata gagal mencapai outcomesnya; apalagi jika proses
implementasi gagal mewujudkan keduanya. Hal ini menurut Anderson bisa saja disebabkan
karena :
1. Sumber daya yang tidak memadai,
2. Cara implementasi yang tidak tepat (misalkan pilihan-pilihan tindakan yang kontra
produktif seperti studi banding atau membeli mobil bagi pejabat yang memakan
banyak biaya dengan tujuan meningkatkan kapasitas layanan),
3. Masalah publik sering disebabkan banyak faktor tetapi kebijakan yang dibuat hanya
mengatasi satu faktor saja,
4. Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat mengurangi dampak yang diinginkan
(misalkan karena takut dianggap melanggar prosedur, maka implementers bertindak
sesuai textbook walau situasinya mungkin berbeda),
5. Tujuan-tujuan kebijakan tak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain (misalnya
kebijakan untuk menumbuhkan industry dalam negeri yang memberi insentif pajak
dan kemudahan modal; tapi di sisi lain ada kebijakan kenaikan harga listrik dan
kenaikan harga sumber energy, dan lain-lain),
6. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya (yang ini sering terjadi di
Indonesia, terutama karena seringnya terjadi mark-up harga, ataupun karena bentukbentuk kegiatan yang terkesan dicari-cari untuk penyerapan anggaran yang
seharusnya tidak dibutuhkan,
7. Banyak masalah publik yang tak mungkin dapat diselesaikan,
8. Timbulnya masalah baru sehingga mendorong pengalihan perhatian dan tindakan,
9. Sifat dari masalah yang akan dipecahkan (Anderson, 1996)
58 | Teori Kebijakan Publik
pada
evaluasi kebijakan. Konsep perubahan kebijakan (policy change) merujuk pada penggantian
kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang lain. Perubahan kebijakan
ini meliputi pengambilan kebijakan baru dan merevisi kebijakan yang sudah ada.
Konsep perubahan kebijakan (policy change) merujuk pada penggantian kebijakan
yang sudah ada. Menurut Anderson, perubahan kebijakan mengambil tiga bentuk, yakni:
1. Perubahan inkremental pada kebijakan yang sudah ada. Sebagaimana perubahan yang
bersifat inkremental, maka kebijakan yang sudah ada menurut bentuk perubahan ini
tidak diubah seluruhnya, tetapi hanya beberapa bagian saja yang dilakukan perubahan.
2. Pembuatan undang-undang baru untuk kebijakan-kebijakan khusus.
3. Penggantian kebijakan yang besar sebagai akibat dari pemilihan umum kembali.
Dalam kasus yang ketiga ini, sering kita temukan arah program atau program
kebijakan itu sendiri diganti secara besar-besaran karena elit politik atau rezim yang
memerintah berganti.
Jarang terjadi kebijakan publik dipertahankan dalam bentuk yang sama sebagaimana
kebijakan itu pada awalnya ditetapkan. Sebaliknya, kebijakan publik secara konstan bisa
berkembang. Perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan yang ada tergantung pada beberapa
faktor.
Perubahan terus menerus terjadi didalam proses kebijakan. Ini mungkin merupakan
akibat dari evaluasi kebijakan, tetapi kemungkinan besar merupakan konsekuensi dari
perubahan dalam lingkungan kebijakan, politik , dan pembelajaran birokratis, atau
perkembangan ide dan struktur organisasi. Ini berarti bahwa problem dan perubahan
kebijakan terjadi didalam ruang kebijakan yang sudah ada, yang mengakibatkan, seperti yang
ditunjukkan oleh Wildavsky, kebijakan seringkali menjadi penyebabnya sendiri, bukan
karena dimunculkan oleh problem baru (Wildavsky, 1979: 70). Kerenanya kebijakan baru
seringkali muncul dari kebijakan yang sudah ada atau tumpang tindih dengan program yang
sudah terbentuk. Perubahan kebijakan juga bisa jadi berasal dari kebijakan sebelumnya yang
mungkin telah mengubah kondisi, membuat kondisi menjadi lebih buruk, atau kebijakan itu
tidak memadai. Dalam kaitan ini, Hogwood dan Peters mengatakan bahwa variasi perubahan
dapat dipahami dalam term tipe perubahan yaitu inovasi kebijakan, suksesi kebijakan,
pemeliharaan kebijakan, dan terminasi kebijakan.
Perubahan, seperti diakui oleh pendekatan siklus kebijakan mengandung dimensi
organisasional. Perubahan kebijakan mungkin merupakan konsekuensi dari perubahan
organisasional, atau mungkin bahwa perubahan organisasional itu sendiri merupakan
perubahan dalam organisasi, melalui suksesi, inovasi, pemeliharaan dan terminasi. Dalam
model ini, perubahan organisasi dipengaruhi oleh persaingan antar perusahaan; persaingan
antar negara, dan meningkatnya kontrol negara; serta tuntutan akan kesetaraan dihadapan
hukum. Bentuk-bentuk perubahan organisasional dalam model ini dapat dilihat dalam
perubahan yang terjadi didalam masyarakat industri yang menginginkan lebih banyak
efisiensi rasional.
Perubahan kebijakan juga dapat dipahami dalam konteks pembelajaran kebijakan.
Pendekatan yang dikembangkan oleh Sabatier dan Jenkins-Smith menyatakan bahwa kunci
untuk memahami dan memprediksi perubahan kebijakan adalah dinamika keyakinan dan
pembelajaran kebijakan. Menurut model ini perubahan akan terjadi pada tingkat sekunder
dari aspek kebijakan. Berbagai model pendekatan perubahan kebijakan tersebut akan
menuntun kita dalam memahami kajian analisa kebijakan dalam perspektif perubahan
kebijakan yang akan sangat menentukan kontuinitas dalam pembuatan kebijakan, dimana
suatu kebijakan publik akan mengarah pada suksesi, inovasi, pemeliharaan dan terminasi
(penghentian).
Terminasi Kebijakan
Terminasi kebijakan menunjukkan pada proses penyelesaian kebijakan pemerintah,
terjadi manakala tujuan kebijakan mulai tiada, yang tidak duanya kebijakan jua program dan
lembaga pemerintah. Pandangan-pandangan mengenai terminasi merupakan hal yang baru
dalam administrasi publik.
Selama tahun 60-an berkembang perhatian yang besar terhadap analisis kebijakan
public tapi kebanyakan penulis dan penganalisis menghentikan pada langkah hanya sampai
ditahap evaluasi. Dan akhir-kahir ini mulai ada perhatian lebih serius mengenai konsep
terminasi yang secara khusus didorong oleh semangat untuk menghidupkan anggaran
seimbang dan pudarnya efektivitas berbagai peraturan.
62 | Teori Kebijakan Publik
yang
paling
umum,
karena
jumlah
konstituen
yang
terbatas
merupakan penghapusan tahap demi tahap secara moderat dan hati-hati terhadap suatu
kebijakan, program, atau organisasi. Kadangkala, tipe terminasi ini juga disebut
decrementalism, dengan mana budget suatu organisasi dikurangi secara perlahan atau
posisinya yang secara perlahan dieliminasi. Pada akhirnya, organisasi atau program tidak bisa
lagi melakukan fungsinya secara efektif. Kelemahan pokok dari tipe eliminasi ini, dari
perspektif mereka yang berusaha mengakhiri program, adalah bahwa oposisi bisa
mengorganisir diri untuk melawan terminasi.
Kesulitan yang dihadapi dalam melakukan terminasi seperti:
1. Perlawaan dari para pejabat yang bersangkutan.
2. Kelemahan birokrasi yang menghalangi perubahan dan terminasi.
3. Penentangan dari para rekanan dan kelompok-kelompok penekan.
4. Sikap anggota kongres yang mengharapkan timbale baik dari dukungannya untuk
melanjutkan/memberikan otoritas kembali pada seluruh program yang akan dimulai.
Strategi yang disarankan yaitu memberikan rangsangan untuk terminasi. Misal :
dengan memperkenalkan sesuatu badan menggunakan sumber yang disimpannya untuk
membiayai program-progam yang lain dan memberikan peluang untuk lebih banyak
menggunakan matriks organisasi dalam melaksanakan program-program pemerintah. Strategi
ini dengan mengidentifikasi titik-titik rawan bagi terminasi khususnya waktu dan tempat
yang kondusif bagi terminasi sesuatu kebijakan. Untuk lebih bermakna seharusnya dilakukan
baik sebagai awal maupun akhir, yaitu: Di awal untuk mengoreksi kebijakan yang diprediksi
akan salah arah, sedangkan di akhir untuk menghentikan kegiatan program yang sudah tidak
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N., 1999, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Presindo.
Sumber lain:
http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/
http://ageconsearch.umn.edu/
http://digilib.unila.ac.id/
http://download.portalgaruda.org/
http://fatkhan-ashari-fisip11.web.unair.ac.id/
http://lib.ui.ac.id/
http://map.pasca.uns.ac.id/
http://pustaka.pu.go.id/
http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id/
http://sap.ubhara.ac.id/
http://www.academia.edu/
http://www.lontar.ui.ac.id/
http://www.sumbarprov.go.id/
Search Keyword: proses kebijakan publik, siklus kebijakan publik, teori siklus
kebijakan publik, agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi
kebijakan, perubahan kebijakan, terminasi kebijaakan.