Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura
hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri,
kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum.
Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum)
dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya,
namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya
tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya
membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh
beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak
dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos,
malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap
membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin
Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura
memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas.
Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa
penyelesaian hukum.
Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri
bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD
Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh
Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang
ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah
keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya
mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan
mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai
oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh
pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para
pelaku lari, tanpa proses hukum.
Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi
pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh
suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya
sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang
tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh
karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh
diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup
berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah,
kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25
Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.
Penyerbuan tak berlangsung sekali, pada tanggal 1 Januari, massa malah mengepung
Pangkalan Udara Supadio II, yang telah menjadi kamp pengungsi itu. Untung mereka berhasil
dihalau satuan Brimob dan pasukan Beruang Hitam. Berangsur-angsur pengungsi dari Supadio
ini diangkut ke Asrama Haji Pontianak dengan lima pesawat Cassa milik TNI Angkatan Udara.
Kerusuhan tak berhenti di kampung kecil yang letaknya tak jauh dari perbatasan negeri
Serawak, Malaysia Timur, tersebut. Beberapa penduduk asal Madura yang tinggal di kecamatan
tetangga, seperti Ledo, Bengkayang, dan Samalantan, juga terpaksa mengungsi. Hingga 2
Januari 1997, empat hari setelah Kerusuhan Sanggau Ledo, sekitar 4.000 orang telah "hijrah" ke
Singkawang. Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura Mayor Jenderal Namoeri Anoem yang
berkantor di Balikpapan, Kalimantan Timur, datang ke daerah kerusuhan. Ia juga mengirimkan
pasukan tambahan.
Kerusuhan mulai bisa ditanggulangi. Bersama pimpinan daerah Kalimantan Barat, tepat di hari
tahun baru itu, Pangdam menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh Dayak dan Madura di
Singkawang. "Kedua belah pihak telah bersedia membantu aparatur keamanan untuk
menenangkan situasi," ujar Namoeri Anoem seusai pertemuan tersebut. Namun, di pelosokpelosok suasana masih panas. Arus pengungsi terus berdatangan ke tempat aman.
Menurut Bupati Sambas, Tarya Aryanto, para pengungsi belum bisa kembali ke desa asal.
"Mereka sudah tak memiliki tempat berteduh", kata Tarya. Sekitar 1.094 rumah, menurut Tarya,
habis terbakar dalam kerusuhan yang disebut aparatur keamanan mengakibatkan lima orang
meninggal dunia tersebut.[2]