Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS KECIL

CONGESTIVE HEART FAILURE


(CHF)

Pembimbing : dr. Mamun, Sp.PD

Disusun oleh :
Prakosa Jati Prasetyo

G4A014111

Aria Yusti Kusuma

G4A014112

Kelli Julianti

G4A014131

AnggitaSetiadiNur

G4A015051

Weni R.M

G4A015079

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


Congestive Heart Failure(CHF)

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto
telah disetujui dan dipresentasikan
pada tanggal: Maret 2016

Disusun oleh :
Prakosa Jati Prasetyo

G4A014111

Aria Yusti Kusuma

G4A014112

Kelli Julianti

G4A014131

AnggitaSetiadiNur

G4A015051

Weni R.M

G4A015079

Purwokerto,

Maret 2016

Pembimbing,

dr. Mamun, Sp.PD

BAB I
PRESENTASI KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j

II.

Nama
Umur
Jeniskelamin
Status
Sukubangsa
Agama
Pekerjaan
Alamat
TanggalMasuk
Autoanamnesis

: Ny. S
: 61Tahun
: Wanita
: Menikah
: Jawa
: Islam
: Ibu RumahTangga
: Dukuh waluh RT 02/06 Kembaran
: 29 Februari 2016 (IGD)
: 2 Maret2016 (Bangsal Dahlia Kamar No. 3)

ANAMNESIS
a

KeluhanUtama

b KeluhanTambahan

: Kedua kaki bengkak


: Perut membesar, gatal dan kemerahan di

perut dan kaki, sering minum, BAK sedikit namun sering.


c

RiwayatPenyakitSekarang:
Pasien dating ke IGD RSMS tanggal 29 februari 2016 dengan
keluhan kedua kaki bengkak sekitar satu minggu yang lalu.
Disertaidengandemamdanbengkak di perut.Bengkakdiawalidarikedua
kaki barumulai bengkak di perut.Selain itu juga terdapat bengkak di
tangan kiri namun sekarang sudah membaik.
Pasien sebelumnya telah terdiagnosa menderita DM tipe 2
sekitar 1 tahun yang lalu dan rutin mengonsumsi obat metformin sehari
sekali setelah makan.Pasien pernah mencoba menggunakan insulin
namun menurut pasien, pasien tidak cocok menggunakan insulin
karena setelah menggunakan insulin pasien merasa berkeringat dingin,
lemas dan mata berkunang- kunang. Pasien mengeluhkan BAK sedikit
daripada biasanya tanpa disertai nyeri maupun anyang- anyangan.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu gatal disekitar perut dan
daerah kaki dan disertai kemerahan dan juga kesemutan di kedua kaki.
Pasien juga mengaku sering merasa lapar.

Pasien juga mengeluh sering merasa sesak terutama ketika


beraktivitas.Pasien sudah merasa sesak jika berjalan sekitar 50- 60 m.
Selain itu pasien juga menggunakan bantal yang tinggi untuk tidur
yaitu sekitar 2-3 bantal, menurut pasien, pasien akan merasa sesak jika
tidak menggunakan bantal tersebut. Keluhan ini sudah dirasakan
pasien sekitar 1 bulan terakhir.
d

Riwayat Penyakit Dahulu :


1

Riwayat keluhan yang sama : Disangkal

Riwayat hipertensi

: Disangkal

Riwayat DM

:Diakui pertama kali terdiagnosis

DM sejak 1 tahun yang lalu, rutin minum obat dan kontrol Prolanis

Riwayat penyakit jantung

: Disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: Disangkal

Riwayat HD

: Disangkal

Riwayat alergi / asma

: Disangkal

Riwayat OAT

: Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


1

Riwayat keluhan yang sama : Disangkal

Riwayat hipertensi

: Disangkal
3 Riwayat DM : Diakui. Ayah pasien
merupakan penderita diabetes
mellitus tipe 2

Riwayat penyakit jantung

: Disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: Disangkal

Riwayat Sosial dan Ekonomi


1

Keluarga
Pasien tinggal bersama dengan suami dan seorang anaknya di
lingkungan pedesaan yang cukup padat penduduknya. Pasien
berasal dari keluarga dengan social ekonomi sedang.Sumber
pembiayaan kesehatan berasal dari BPJS.

Rumah

Pasien tinggal di sebuah rumah bersama dengan keluarganya.


Rumah yang dihuni terdiri dari 3 kamar, ruang tamu, dapur dan
ruang makan. Memiliki kamar mandi dan jamban di dalam rumah.
Atapnya memakai genteng dan lantai terbuat dari ubin.Ventilasi
dan pencahayaan rumah dirasa pasien cukup.
3

Pekerjaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga.

Kebiasaan
Pasien jarang berolahraga dan melakukan aktivitas fisik lain.
Pasien mengaku senang mengkonsumsi makanan manis terutama
minum sirup, namun sudah mulai mengurangi sejak terdiagnosis
DM 1 tahun lalu.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
a

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran

: Compos mentis dengan GCS 15 (E=4, V=5, M=6)

Status Gizi

: BB 60 kg, TB 155 cm, BMI 25 (Obesitas I)

Tanda Vital

Tekanan Darah

: 140/90 mmHg

Nadi

Pernapasan

Suhu (Peraksiller)

: 80x/menit
: 20x/menit
: 36.8 C

Status Generalis
1

Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala

: Simetris, mesocephal

Rambut

: Distribusi merata

Pemeriksaan mata
Konjungtiva

: Anemis (-/-)

Sklera

: Ikterik (-/-)

Palpebra

: Oedem (-/-)

Reflekcahayalangsung/tidaklangsung : (+/+) / (+/+)


3

Pemeriksaan telinga

Simetris

Kelainan bentuk

: (-)

Discharge

: (-)

Pemeriksaan Hidung
Discharge

: (-)

NafasCupingHidung : (-)
5

Pemeriksaan mulut
Bibir sianosis : (-)
Lidahsianosis : (-)
Lidah kotor

: (-)

Pemeriksaan leher
Deviasi trakea

: (-)

Perbesaran kelenjar tiroid

: (-)

Perbesaran limfonodi

: (-)

JVP

: 5 + 2 cmH2O

Pemeriksaan Ekstremitas
Superior dekstra/sinistra

: Oedem (-/+)

Inferior dekstra/sinistra

: Oedem (+/+)

Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi

: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri


Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

Perkusi

: Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepardi SIC


VI LMCD.

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+)


Suara tambahan wheezing (-), RBH (-), RBK(-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordisterlihat di SIC V, 2 jari lateral LMCS
Palpasi: Ictus Cordisteraba SIC V, 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi: Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kanan bawah SIC V 2 jari medial LMCD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kiri bawah SIC VI, 2 jari lateral LMCS

Auskultasi: S1 > S2 di apeksreguler, murmur (-), gallop (-)


Abdomen
Inspeksi

: Cembung, jejas (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal.

Palpasi

: Nyeri tekan (-)


hepar tidak teraba
lien tidak teraba
undulasi (+)

Perkusi
IV.

: Timpani, pekak alih (+), pekak sisi (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a

Laboratorium 29 Februari 2016

Pemeriksaan
DarahLengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
HitungJenisLeukosit
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit

Kimia Klinik
Ureumdarah
Kreatinindarah
Glukosasewaktu
Total protein

Hasil

NilaiRujukan

12,6 g/dL
15410 U/L H
39 %
4.2^6/uL
215.000 / uL
94.0 fL
30.3pg
32.2 %
15.3 % H
10.9 fL

11,7 15,5
4800 11000
37 47
3,8 5,4
150.000 450.000
79 99
27 31
32 37
11,5 14,5
9,4 12,3

0,4 %
6.2 % H
0.5 %L
79.6 % H
9.3 %L
4.0 %

0,0 1,0
2,0 4,0
2,0 5,0
40,0 70,0
25,0 40,0
2,0 8,0

104.7 mg/dL H
2.5 mg/dL H
156 mg/dL
5,85 g/dL L

14,98 38,52
0,60 1,00
200
6,40-8,20

Albumin
Globulin
b

3,03 g/dL L
2,82 g/dL

Pemeriksaan Rontgen

Expertise:

Pancardiomegaly
Suspect efusi pleura sinistra

V.

RESUME
A. Anamnesis :
1

Bengkak kedua kaki

Perut membesar

Gatal dan kemerahan di perutdan kaki

Kaki terasa kesemutan

BAK sedikit

Merasa sering lapar

Mudah sesak jika beraktivitas (jalan 50- 60 m)

3,40- 5,00
2,70- 3,20

Tidur menggunakan 2-3 bantal agar tidak sesak

a. PemeriksaanFisik :
1

KU

: Baik
2

Status generalis

Status Lokalis

: ekstremitas edem (-/+/+/+)


:

Cor:
Perkusi: Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kanan bawah SIC V 2 jari medial LMCD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kiri bawah SIC VI, 2 jari lateral LMCS Kardiomegali
Abdomen

: cembung, undulasi (+), pekak alih (+),


pekak sisi (+) Ascites

b. PemeriksaanLaboratorium :
1 Leukositosis
2 Peningkatan kadar ureum creatinin
3 Penurunan kadar albumin
B. Diagnosis Kerja

Diabetes Melitus tipe 2


Congestive Hearth Failure
Hipertensi

C. Terapi
a. Non Farmakologis
1

Istirahat

Minum obat secara teratur

Diet bergizi seimbang

Menghindari makanan yang terlalu banyak mengandung gula dan


tinggi garam

Meningkatkan aktivitas fisik

Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus,


terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit.

b. Farmakologi
1

IVFD Martos 1000 cc

InjFurosemid 1-1-0

Irbesartan 1x150

Asamfolat 3x 1

Paracetamol 3x1

Loratadin 1x1

Spironolacton 1 x50 g

Pemeriksaan GDP/ GD2PP

Pemeriksaan USG Abdomen

D. Prognosis
Ad vitam

:Dubia ad malam

Ad fungsionam

: Dubia ad malam

Ad sanamtionam

: Dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

Definisi

Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa


kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara
abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai dengan kegagalan
pada jantung kiri dan jantung kanan (Hauseret al., 2005).
2

Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban
akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal (preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat
septum ventrikel; beban akhir (afterload) meningkat pada keadaankeadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati

(Sugeng et al., 2004).


Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor.
The New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi
4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha
yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
a. Kelas I

: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan


aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan
rasa lelah dan sesak napas.

b. Kelas II

:Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan


adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa
lega jika beristirahat.

c. Kelas III : Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan


adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan
fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah memberi
gejala lelah, sesak napas.
d. Kelas IV :Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup
melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak

napas tetap ada walaupun saat beristirahat (Oemaret al.,


2007).
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage,
yaitu:
a.

Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak


memiliki penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal
jantung

b.

Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak

c.

memiliki gejala gejala dari gagal jantung


Stage C pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki

gejala-gejala dari gagal jantung


d.
Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut
intervensi khusus (Kumar et al., 2007).
4

Penegakkan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG,
foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi doppler.
a. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik dan karakteristik forward orbackward, left or right heart
failure. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart
Study :
1) Kriteria mayor :
a) Paroksismal nokturnal dispneu
b) Ronki paru
c) Edema akut paru
d) Kardiomegali
e) Gallop S3
f) Distensi vena leher
g) Refluks hepatojugular
h) Peningkatan tekanan vena jugularis

2) Kriteria minor :
a) Edema ekstremitas
b) Batuk malam hari
c) Hepatomegali
d) Dispnea deffort
e) Efusi pleura
f) Takikardi (120x/menit)
g) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan 4,5 kg dalam
5 hari pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium Darah
-

Pemeriksaan darah lengkap

Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium,


klorida, kolesterol total, LDL, HDL)

2) Elektrokardiogram
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat
menunjukkan bukti MI (Miocardium Infark) atau iskemia, namun
dalam kasus nonkardiogenik, EKG biasanya normal.
3) Radiologi
a) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui
ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paruparu. Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu
atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan
pembesaran pada jantung. Pemeriksaan radiologi memberikan
informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat

mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien


(Russell et al., 2006).
b) Computed Tomography
CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin
dan manajemen gagal jantung kongestif.Multichannel CT scan
berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup,
namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI)

dapat

memberikan

informasi

yang

sama

tanpa

mengekspos pasien untuk radiasi pengion (Russell et al., 2006).


c) Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari
evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui
atau diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan
katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat.
Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga
dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan
diagnosis HF diastolik. Dua dimensi dan Ekokardiografi
Doppler dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan
diastolik LV (ventrikel kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan
tekanan

arteri

pulmonalis

dan

pengisian

ventrikel.

Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi


penyakit katup penting secara klinis. Tingkat kepercayaan di
echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu
5

dan negatif palsu yang rendah (Russell et al., 2006).


Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi

neurohormonal,

sistem

ReninAngiotensinAldosteron

(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang

bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas


jantung dapat terjaga (Greenberg, 2007).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga

cardiac

output

dengan

meningkatkan

denyut

jantung,

meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan


katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard
fokal (Greenberg, 2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi
renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Greenberg, 2007;
Kumar et al., 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan
saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai
respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya

pada

ventrikel,

kerjanya

mirip

dengan

ANP.C-type

natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf


pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal
jantung(Greenberg, 2007; Hauser, 2005).

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat


kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didapatkan

pada

pemberian

diuretik

yang

akan

menyebabkan

hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan


merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat
sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan
kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular
dan miokardial akibat endotelin (Hauser, 2005; Kumar, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance
ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat
diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun
masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
6

bersamaan meski dapat timbul sendiri.


Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.

a. Non Farmakalogi :
1) Anjuran umum :
a) Edukasi

mengenai

pengobatan.

hubungan

keluhan,

gejala

dengan

b) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan


seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
c) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
2) Tindakan Umum :
a) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
b) Hentikan rokok
c) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
d) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
e) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
1) Diuretik
Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon
tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik
intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik
hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
2) Penghambat

ACE

bermanfaat

untuk

menekan

aktivitas

neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi

sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,


dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
3) Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
4) Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
5) Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan
fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor,
beta blocker.
6) Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,
trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
7) Antiaritmia

tidak

direkomendasikan

untuk

pasien

yang

asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas


I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.
Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
8) Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5
2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah

baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena


mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas.
Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,
gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel (Grady et al.,
2000).
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis
dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik
< 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan
bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang
berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya
problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark (Grady et al., 2000).
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi
duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker
sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi
jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter (Grady et al., 2000).
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti
obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan
(Grady et al., 2000).

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam


penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan
(Grady et al., 2000).
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai
vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian
harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi
terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya
hanya 16 24 jam (Grady et al., 2000).
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal
jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5
g/kg/menit (Grady et al., 2000).
Nesiritide adalah peptide

natriuretik

yang

merupakan

vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang


dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit (Grady et al., 2000).
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan

darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah


dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg (Grady et al., 2000).
Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung
serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3
g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15
g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt (Grady et al., 2000).
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclicAMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik
jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan
enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut
dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus
10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone
0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt (Grady et al.,
2000).
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung
akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt (Grady et al.,
2000).
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.

Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan


untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau
nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan.
Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan
aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi (Grady
et al., 2000).
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon
intra

aorta,

pemasangan

pacu

jantung,

implantable

cardioverter

defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan


pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi.

Implantable

cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan


takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik (Grady et al., 2000).
7

Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak
diketahui. Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang
mendapat terapi yaitu:
a. Kelas NYHA I

: mortalitas 5 tahun 10-20%

b. Kelas NYHA II

: mortalitas 5 tahun 10-20%

c. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%


d. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

(Hauser et al., 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Davis, Russell C. 2006. ABC of heart failure second edition. Australia: Blackwell
publishing. Hal.10-11.
Grady KL, Dracus K, Kennedy G. 2000. Team management of patients with heart
failure. The Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart
Assiciation Circulation.
Greenberg, Barry H. 2007. Congestuve Heart Failure. Philadephia, USA:
Lipincott Williams & Wilkins.Hal.167-168.
Hauser K, Longo B, Jameson F. 2005. Harrisons principle of internal medicine.
Ed XVI.

Kumar, Cotran, Robbins. 2007.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC.


Volume 2.
Oemar, Hamed. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 7-12.
Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. 2004.Buku ajar kardiologi. Jakarta : Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 717, 115126.

Anda mungkin juga menyukai